“Adisti!”
Suara Kartilan memanggil namanya. Untuk apa malam-malam begini kakeknya datang? Batin Adisti heran. Ia menatap Abimanyu, tetapi tidak ada siapa pun di sana.
Hilang!
Abimanyu hilang!
Laki-laki bertubuh tegap nan menawan itu hilang! Adisti menutup mulutnya dengan kedua tangan, ia terkejut setengah mati. Wanita itu memindai sekitar, tidak ada tanda-tanda ke mana perginya Abimanyu.
“Kok bisa hilang?” gumam Adisti lirih.
Jika Abimanyu manusia, tidak mungkin bisa menghilang dalam sekejap mata. Adisti yakin, Abimanyu bukanlah manusia.
“Adisti!” suara Kartilan kembali terdengar.
Gegas Adisti beranjak lalu membuka pintu. Detak jantungnya masih belum sepenuhnya normal. Kembali ia menatap kursi bekas Abimanyu duduk sebelum membuka pintu. Masih rapi seperti sebelumnya.
Adisti menggeleng, mencoba menghilangkan bayang Abimanyu, kemudian barulah ia membuka pintu.
“Ada apa, Mbah?” tanya Adisti heran saat Kartilan yang menatapnya tajam.
“Siapa yang baru saja ke rumahmu?” tanya Kartilan to the point. Kepala laki-laki tua itu melongok ke dalam, mencari sosok yang ia cari.
“Nyari apa, Mbah?” tanya Adisti lirih.
“Aku mencium bau harum sekali dari rumahmu, Adisti. Siapa yang datang?”
“Bau harum?” tanya Adisti tidak mengerti.
“Iya, bau harus seperti bunga melati atau bunga yang biasanya di kuburan.” Kartilan mengernyit saat bau itu tiba-tiba menghilang.
“Ah, tidak ada yang seperti itu, Mbah,” jawab Adisti mantap.
“Benarkah? Kamu tidak mencium bau itu?” tanya Kartilan sangsi.
Adisti menggeleng cepat.
Melihat tanggapan Adisti, Kartilan yakin memang tidak ada sesuatu di sana. Lagi pula ia yakin, cucunya itu tidak lagi bisa melihat makhluk tak kasatmata, jadi tidak mungkin ada ‘mereka’ di rumah Adisti.
Kartilan mengangguk-angguk, lalu berbalik badan dan berpamitan pulang.
Setelah menutup pintu lalu menguncinya, Adisti mengembuskan napas lega. Setidaknya kakeknya saat ini tidak curiga dengan kedatangan Abimanyu.
“Untung saja segera pulang,” gumam Adisti.
---
Esoknya Adisti kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Ia harus tetap bekerja untuk mencukupi kebutuhannya setiap hari.
Pagi itu Adisti sudah siap dengan baju dinasnya, yaitu baju kerja khusus admin di pabrik plastik. Beruntung di umur 20 tahun ia bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji tetap walaupun hanya lulusan SMA.
Adisti segera berangkat dengan motor matic-nya, sengaja ia berangkat lebih pagi untuk membeli sarapan di warteg. Wanita berambut lurus itu sedang malas memasak, sejak mati suri ia merasa tubuhnya sedikit berbeda yang tidak bisa diungkapkan.
Tepat pukul 7 pagi, Adisti sampai di pabrik tempatnya bekerja. Tiba-tiba Adisti merasakan sesuatu sedang mengawasinya saat ia sudah duduk di meja kerjanya.
Adisti mengusap tengkuknya yang terasa dingin, lalu menatap sekeliling. Tidak ada siapa pun yang mengawasinya. Teman-temannya sedang sibuk mempersiapkan diri untuk bekerja, ada yang sedang sarapan, baru datang, bahkan ada yang sudah menyalakan komputer dan memulai pekerjaan. Semua sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Namun, masih saja Adisti merasa ada yang mengawasinya.
“Siapa?” gumam Adisti lirih.
Mengabaikan perasaan takutnya, perut Adisti lebih penting diperhatikan. Segera ia membuka nasi bungkus yang tadi dibeli di pinggir jalan dekat kantor dan mulai sarapan.
Sesekali hawa dingin menyapa tengkuk Adisti, tetapi wanita itu berusaha melupakannya. Pekerjaan lebih penting dari perasaan takut.
---
“Kamu cantik sekali dengan baju seperti tadi” puji Abimanyu malamnya.
Seperti kemarin, di jam yang sama, Abimanyu bertamu ke rumah Adisti. Wanita 20 tahun itu mulai terbiasa dengan kedatangan Abimanyu. Selain tampan, Abimanyu tidak pernah melecehkan dirinya dengan kata-kata, berbeda dengan beberapa rekan kerjanya yang terkadang terang-terangan menggoda Adisti.
“Seperti tadi?” tanya Adisti tidak mengerti. Ia menatap Abimanyu curiga. Pakaian mana yang dipuji Abimanyu?
“Iya, saat kamu bekerja.”
Seketika Adisti membelalakkan mata, dari mana Abimanyu tahu pakaian kerjanya? Apakah laki-laki itu mengikutinya? Jika benar, lancang sekali dia memata-matai dirinya. Adisti mengumpat dalam hati.
“Jadi kamu mengikutiku? Di mana kamu bersembunyi waktu itu?” cecar Adisti tidak suka.
Abimanyu tersenyum samar. Ia menatap Adisti dalam. Ia berpikir, mungkin saja benar kata ibunya, bahwa Adisti adalah wanita yang cocok.
Mendapat tatapan yang tidak biasa, membuat Adisti menjadi salah tingkah. Ia menunduk saat tahu Abimanyu terus menatapnya.
“Jangan menatapku terus!” protes Adisti, “katakan! Di mana kamu bersembunyi selama aku bekerja?”
Bukannya menjawab, Abimanyu justru mengungkapkan perasaannya.
“Aku menyukaimu, Adisti!”
“Menyukaiku?” seketika Adisti mendongak, menatap Abimanyu yang masih menatapnya.
Abimanyu mengangguk. “Aku ingin menikah denganmu!”
Detak jantung Adisti seolah terhenti saat mendengar ucapan Abimanyu. Menikah? Bahkan dirinya saja belum mengenal Abimanyu secara jauh. Wanita berkulit putih itu belum mengenal keluarga Abimanyu, bahkan tempat tinggal Abimanyu saja ia belum tahu. Lantas, bagaimana bisa Abimanyu secara tiba-tiba mengajaknya menikah?
“Ka-kamu serius?” tanya Adisti tidak percaya.
“Serius. Aku mencintaimu sejak pertama bertemu. Lagi pula, ibuku sudah menyukaimu sejak pertama aku ceritakan.”
Ucapan Abimanyu benar-benar membuatnya bingung. Ibu Abimanyu menyukai dirinya? Bertemu saja belum pernah, bagaimana bisa suka? Banyak pertanyaan yang berkecamuk di hati Adisti saat ini. Keanehan demi keanehan yang terjadi, membuat mentalnya belum siap menerima. Mati suri, bisa melihat makhluk tak kasatmata, dan kini ada Abimanyu dan keluarga yang menyukainya. Aneh!
“Kamu aneh! Pergilah dari rumahku. Jangan datang lagi!” sarkas Adisti.
“Mengapa? Kamu tidak mau hidup bersamaku? Kita akan hidup bahagia dan aku jamin hidupmu akan lebih baik dari sekarang. Bahkan kekayaanku dan keluarga bisa mencukupi kebutuhan kita sampai tujuh turunan!” ucap Abimanyu. Laki-laki itu menatap Adisti dengan pandangan tidak Terima.
“Aku belum bisa menerima kamu sekarang! Masih banyak hal yang membuatku bingung dengan keadaan ini.”
“Apa itu artinya aku masih mempunyai kesempatan mendapatkanmu?” tanya Abimanyu penuh harap.
“Iya. Tapi, jawab dulu pertanyaanku!”
“Apa yang ingin kamu tahu?” tanya Abimanyu.
Adisti meremas ujung bajunya, cemas. Apakah benar ia harus bertanya? Atau membiarkan dirinya mengikuti alur Abimanyu?
“Katakan! Jangan ragu, Adisti. Tanyakan saja apa yang menjadi ganjalan di hatimu.”
“A-aku ... ingin tahu sesuatu tentangmu,” ucap Adisti terbata-bata.
“Hem, katakan!”
“Aku ingin bertanya, siapa kamu sebenarnya?” akhirnya keluar dari mulut Adisti pertanyaan yang mengganjal di kepalanya.
“Aku? Kamu bertanya siapa aku? Apakah kamu yakin ingin tahu?”
“Tentu saja yakin!” jawab Adisti mantap. Ia memang penasaran dengan identitas Abimanyu yang menurutnya aneh. Apalagi ia merasa aman jika bersama Abimanyu saat laki-laki itu datang. Bahkan, ia merasa bukan sepertinya dirinya yang biasanya. Apalagi mengizinkan laki-laki bukan mahramnya masuk ke rumah.
“Aku adalah ....”
Sengaja Abimanyu mengulur ucapannya agar Adisti penasaran. Selain itu ia takut Adisti akan menolak dirinya. Sebenarnya bisa saja ia membuat Adisti mengikuti keinginannya dengan mudah. Namun, Abimanyu ingin mencoba dengan cara alami. Ia ingin Adisti mencintai dirinya karena kemauannya sendiri, bukan dari mantra, karena itulah sampai sekarang Adisti belum sepenuhnya patuh pada ucapan Abimanyu.
“Katakan! Siapa kamu sebenarnya?” bentak Adisti tidak sabar.
“Aku ... bukan manusia!”
Akhirnya meluncur dari bibir tebal Abimanyu. Ia menatap Adisti yang seketika menganga tidak percaya mendengar ucapan Abimanyu.
“Lantas siapa?” tanya Adisti masih penasaran. Jika Abimanyu bukan manusia, bagaimana bisa ia bisa melihat sosok Abimanyu? Bukankah oleh Kartilan sudah ditutup mata batinnya?
Baskara menyemburkan api ke arah Ustaz Ramli. Dengan cepat laki-laki itu menghindar dengan cara berguling ke samping sebelum terkena semburan Baskara. Baskara tidak patah arang, makhluk itu kembali menyemburkan api, tapi lagi-lagi gagal karena Ustaz Ramli cepat menghindar. “Sialan!” umpat Baskara kesal. Emosinya memuncak hingga ubun-ubun karena merasa gagal mengalahkan Ustaz Ramli. “Kejahatan pasti akan kalah karena ada Allah yang akan membantu,” ucap Ustaz Ramli tenang. “Jangan sebut-sebut nama Tuhan! Dia hanyalah sebuah nama tanpa kekuasaan.”Ustaz Ramli beristigfar lalu menggeleng. “Kalianlah yang harusnya sadar diri, derajatmu tidak lebih baik dari kamu.”“Banyak omong kamu!” Baskara kembali menyemburkan api ke arah Ustaz Ramli karena terlambat menghindar, lengan laki-laki itu terkena api. Beruntung, sebelum api membesar Ustaz Ramli mampu memadamkannya dengan ujung jarinya. Baskara tampak tersenyum puas karena bisa melukai lawannya. Namun, senyumnya sirna saat Ustaz Ramli be
“Aku sangat merindukan bertempur dengan kalian lagi,” ucap Lastri terlihat tenang.Ustaz Ramli pun tak kalah tenang, ia memberi kode pada Aldi untuk mundur. Pertempuran kali ini sepertinya akan sedikit sengit, tidak seperti sebelumnya karena Lastri pasti sudah menyiapkan semuanya. Tak mungkin menunggu dirinya dengan tangan kosong.“Lepaskan mereka!” ucap Ustaz Ramli datar. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun. Setenang air di danau.Berbeda dengan Lastri yang memiliki ambisi ingin menang agar Baskara tidak menghukumnya.“Tidak akan! Mereka akan menjadi budak kami, tentu saja kalian juga akan menyusul mereka,” sanggah Lastri. Ia mendekati Ustaz Ramli, detik berikutnya wujud Lastri berubah menjadi raksasa berekor ular.Ustaz Ramli mundur selangkah, pun dengan Aldi. Belum sempat mereka mempersiapkan diri, ekor Lastri terayun ke arah mereka, membuat 2 laki-laki itu terpental hingga menabrak tembok.“Hanya begitu saja kekuatan kalian? Masih permulaan sudah tidak berdaya,” sindir Lastri
Belum sempat berteriak meminta tolong, dirinya sudah dibawa pergi oleh Lastri. Wanita itu tersenyum penuh kemenangan karena berhasil mengecoh Ustaz Ramli dan Aldi. Mau dicari ke mana pun, Dion tidak akan ditemukan karena Baskara membawa laki-laki itu ke alam mereka sama seperti Adisti. Kini di sinilah mereka berada, di dalam penjara terpisah dengan tangan terikat. Dion tak sadarkan diri saat Adisti datang, bahkan saat wanita itu memanggil namanya, laki-laki itu bergeming. Merasa percuma meminta tolong dan memanggil Dion, akhirnya Adisti memilih diam. Ia terus berdoa dalam hati agar Ustaz Ramli mengalahkan Abimanyu dan menyelamatkan dirinya. Bibir Adisti tampak terus bergerak membaca doa, ia tidak tahu akan segera Allah kabulkan atau tidak, tetapi yang jelas ia ingin berusaha dulu. “Lama sekali Abimanyu!” ucap Lastri mondar-mandir di depan penjara. Sesekali ia melirik Dion dan Adisti’ bergantian. Bibirnya terkatup rapat, enggan berbicara dengan Adisti atau memanasinya. “Biarkan s
Malam itu Adisti dan Dion memutuskan ke rumah Ustaz Ramli untuk mengusir Abimanyu agar tidak lagi mengganggu hidup mereka. Untung saja di rumah Ustaz Ramli ada acara istighosah dan syukuran, sehingga jam 3 lagi masih terjaga semua.Dion melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju rumah Ustaz Ramli. Sepanjang jalan mereka terus beristighfar, berharap selamat sampai tujuan.Adisti tidak menginginkan bertemu Abimanyu lagi. Mengingatnya saja membuat dirinya merinding, apalagi saat ingat bagaimana pertemuan mereka, pernikahan, hingga memiliki anak Abimanyu.Adisti menyesal mengenal makhluk itu, mengapa dulu ia begitu mudah digoda Abimanyu untuk menuruti keinginannya. Jika waktu bisa diulang kembali, Adisti memilih untuk tidak mengenal Abimanyu sama sekali. Hidupnya benar-benar kacau karena makhluk itu.Namun, saat beberapa ratus meter lagi sampai di rumah Ustaz Ramli, tiba-tiba mobil Dion berhenti. Hal itu membuat Adisti sontak terkejut.“Astagfirullah!” pekik Adisti, “mobilnya kenap
“Bodoh banget kamu!” umpat Abimanyu begitu wanita itu masuk kamar. Makhluk tak kasatmata itu terlihat penuh amarah, wajahnya memerah dan bibirnya kini terkatup rapat. Siska terkejut melihat kedatangan Abimanyu yang tak disangkanya. Ia mundur saat makhluk itu semakin mendekati dirinya. “A-aku ....” Ucapan Siska terputus saat Abimanyu melesat cepat ke arahnya lalu mencekik leher Siska. “Kamu memang tidak berguna! Apa susahnya memisahkan mereka? Dasar lamban!” bentak Abimanyu. Siska tidak bisa berkata-kata lagi, lehernya sakit dan mulai sulit bernapas. Semakin lama cekikan itu tidak kendur, justru semakin kencang. Beberapa detik kemudian, Siska memejamkan mata dan terkulai lemas. “Kamu memang pantas mati!” ucap Abimanyu, “sayang sekali, wanita secantik kamu ternyata sangat bodoh. Melakukan tugas yang mudah saja tidak bisa.” Setelah yakin Siska tidak lagi bernapas, Abimanyu segera pergi dari kamar Siska. Namun, ia tidak pulang ke rumahnya. Ingat apa yang dikatakan Baskara, bahwa in
Malam itu Siska sengaja pulang agak malam, ia pura-pura sibuk membuat laporan keuangan untuk diserahkan pada Adisti. Padahal ia sudah merencanakan sesuatu untuk Dion. Dikeluarkannya botol kecil dari saku bajunya, lalu tersenyum miring.“Aku harus memainkan peran wanita tersakiti malam ini,” gumamnya lirih.Siska melirik Dion dan Adisti yang tengah mengobrol di salah satu kursi untuk pelanggan. Sesekali Dion tersenyum pada Adisti, jemarinya menggenggam tangan Adisti erat, seolah takut kembali terpisahkan.“Mau saya bikinin minuman?” tawar Siska mendekati mereka.“Boleh,” jawab Adisti singkat sambil tersenyum.“Oh ya, laporannya selesaikan malam ini ya. Kalau bisa sebelum jam 9 malam.”Siska mengangguk paham. Sebenarnya laporan itu sudah ia selesaikan sejak sore tadi, ia berpura-pura masih mengerjakan untuk mengulur waktu.“Kasian dia, Mas. Janda anak satu,” ucap Adisti setelah kepergian Siska ke dapur.“Oh, makanya kamu tetep kekeh buka warung ini?” tanya Dion.Adisti mengangguk. “Aku