“Besok sepulang bekerja, datanglah ke Kafe Garden. Laki-laki itu akan menunggumu di sana.”
Ucapan sang kakek terus terngiang di kepala Adisti malam itu. Ia bingung bagaimana mengatakannya pada Abimanyu saat bertemu nanti. Ia yakin laki-laki itu pasti akan marah mendengar perjodohan itu. Apalagi mereka akan segera menikah. Menikah? Tentu saja menikah dengan tata cara alam Abimanyu.
Hati dan pikiran Adisti sudah dipenuhi Abimanyu seorang. Tidak ada lagi ruang untuk laki-laki lain. Setidaknya itu yang ia rasakan saat ini.
Adisti menghela napas. Apa yang akan ia katakan pada Abimanyu nanti?
Sampai pukul 11 malam, Abimanyu tidak juga datang. Ada apa? Bukankah laki-laki itu bilang akan menjemput malam ini? Apakah pernikahan itu ditunda? Apa penyebabnya? Banyak pertanyaan dalam kepala Adisti saat ini.
Adisti mengingat lagi ucapan Abimanyu, sepertinya ia tidak salah mendengar saat laki-laki itu mengatakan mereka akan menikah malam ini di rumah Abimanyu. Lantas, mengapa sampai sekarang laki-laki itu belum datang? Apakah pernikahan ini batal? Adisti semakin gelisah.
Lelah mondar-mandir di kamar, Adisti memutuskan untuk tidur. Jika pun Abimanyu datang, pasti akan terdengar olehnya nanti. Tak lama kemudian, mata Adisti telah terpejam.
Sementara itu di tempat yang berbeda, Abimanyu menggeram karena kedatangan Arka. Bangsa jin saingan keluarga Abimanyu itu datang menawarkan kesepakatan. Namun, keluarga Abimanyu menolak mentah-mentah.
“Pergilah! Sebelum kesabaranku habis, Arka!” bentak Abimanyu. Ia mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Seseorang yang paling ia hindari dan benci kedatangannya, justru muncul di depannya di hari yang seharusnya menjadi hari bersejarah bagi dirinya dan keluarga. Namun, akibat kedatangan Arka semua menjadi berantakan. Sial!
“Aku hanya menawarkan kesepakatan, kalian pun diuntungkan dengan penawaranku. Apa yang salah?” sindir Arka.
“Penawaranmu hanya menguntungkan untuk bangsa kalian saja,” tolak Lastri tegas.
“Tidak, tidak. Penawaran keluarga kami akan menguntungkan. Kalian hanya perlu menyerahkan gadis itu, dan kami tidak akan mengganggu kalian. Bahkan kami memberikan sebagian wilayah kami untuk kalian. Apa masih kurang?” tanya Arka sok polos.
Abimanyu menggeram. Ingin sekali ia meninju mulut Arka saat ini juga. Namun, lengannya dicegah oleh Lastri. Wanita itu menggeleng pada Abimanyu. Jika Arka pulang dalam keadaan terluka, keluarga mereka akan mendapat masalah. Tidak hanya itu, keluarga Arka pasti akan menyerang mereka.
“Yakin menolak?” tanya Arka meminta kepastian.
“Kami menolak.”
Arka mengangguk. “Itu artinya kalian mengibarkan bendera perang pada keluarga kami.”
Setelah berkata demikian, Arka menjentikkan jari lalu menghilang dalam sekejap. Tinggallah keluarga Abimanyu yang terdiam memikirkan kejadian barusan.
“Bagaimana ini, Ma?” tanya Abimanyu gusar. Hari pernikahan gagal karena kedatangan Arka. Ia yakin jika ia melaksanakan pernikahan pun, Arka tidak akan tinggal diam.
“Paksa gadis itu kemari besok. Malam ini kita siapkan semuanya.”
Abimanyu hanya mengangguk. Laki-laki itu menatap sekeliling, mencari sosok Hartanto yang tidak muncul sejak kedatangan Arka.
“Ayah ke mana?” tanya Abimanyu pada Lastri yang akan berlalu menuju kamar.
“Entahlah. Sejak pagi dia pergi entah ke mana.” Lastri berlalu meninggalkan Abimanyu yang termangu sendirian.
“Aku harus segera menikahi Adisti dan memerawaninya. Jika tidak segera, pasti Arka akan mengacaukan semuanya,” gumam Abimanyu sambil mengepalkan tangan. Ia bertekat akan mendapatkan Adisti apa pun yang terjadi. Mana mungkin ia mau menjadi budak keluarga Arka.
Abimanyu tahu keluarga Arka sangat licik. Penawaran itu hanya kamuflase. Jika ia benar menyerahkan Adisti, belum tentu janjinya akan ditepati.
Abimanyu memejamkan mata, pikirannya tertuju pada Adisti. Ia tersenyum saat melihat Adisti tengah terlelap. Ia tidak ingin menemui Adisti saat ini karena di dunia Adisti sudah menjelang pagi.
----
“Jangan lupa malam nanti datang ke kafe Garden.”
Adisti menghela napas. Ucapan sang kakek seolah beban bagi dirinya. Mana mungkin ia menemui laki-laki lain di saat yang sama ada Abimanyu yang siap menikahi dirinya?
“Kenapa wajah kamu?” tanya Sesil saat Adisti baru saja datang.
“Kakek ingin aku menemui laki-laki yang dijodohkan,” jawab Adisti singkat.
Sesil membelalak. “Hei, harusnya kamu senang dong. Itu artinya kamu akan melepas status jomlo di usia muda,” goda Sesil.
“Gak semudah itu, Sil.”
Sesil mengernyit. “Kenapa?” tanyanya heran. Selama ini ia belum pernah melihat Adisti mengenalkan pacarnya. Lantas, mengapa saat dijodohkan ia tidak bahagia? Jangan-jangan ....
“Kamu sudah punya pacar?” imbuh Sesil ingin tahu.
Seketika Adisti menghentikan aktivitasnya menyalakan laptop. Matanya menerawang, teringat ada Abimanyu yang mengikatnya dengan sebuah cincin. Tanpa sadar jemarinya yang lain menutupi cincin yang melingkar di jari manis.
“Kamu sudah punya pacar?” tanya Sesil lagi. Reaksi Adisti mencurgakan menurutnya.
Adisti menggeleng lalu tersenyum. “Tidak ada.”
Sesil mengernyit lalu mengembuskan napas. Ia tidak ada hak apa pun memaksa Adisti menceritakan semuanya. “Are you okey?”
“Fine.” Adisti meneruskan aktivitasnya dan berharap Sesil segera pergi. Mana mungkin ia menceritakan pada Sesil tentang Abimanyu? Siapa pun tidak ada yang boleh tahu tentang Abimanyu. Titik!
Mengingat Abimanyu membuat Adisti tidak tenang. Sebenarnya ke mana laki-laki itu pergi? Mengapa tidak datang menemuinya tadi malam? Apa yang terjadi? Sampai pagi pun tidak ada sosok Abimanyu di rumah.
“Adisti, kamu diminta datang ke ruangan Pak Dion sekarang membawa laporan.”
Adisti hanya mengangguk saat salah satu rekannya memberitahu. Ia sampai lupa harus menyerahkan laporan kepada Dion siang ini gara-gara memikirkan Abimanyu.
Setelah membereskan meja, Adisti membawa berkas yang dibutuhkan ke ruangan Dion. Entah mengapa jantungnya berdetak kencang sesaat akan masuk ruangan. Adisti berusaha menepis rasa tidak enak itu dan berharap tidak ada apa pun di dalam sana.
Setelah mengetuk pintu, Adisti membukanya dan berjalan mendekati Dion yang serius menatap layar laptop.
“Ini, Pak, laporannya.” Adisti meletakkan beberapa map berkas laporan ke atas meja di samping laptop.
“Apakah kamu tidak bisa mengucap salam?” sindir Dion datar.
Adisti terkesiap. Salam? Entah kapan terakhir kali ia mengucap salam. Kalimat itu seolah hilang dari kepalanya. Bahkan kalimat kalam lain ia tidak ingat sama sekali.
Tiba-tiba wajah Adisti memucat saat mendengar suara azan zuhur dari ponsel Dion. Entah mengapa tiba-tiba kepalanya terasa sangat sakit sama seperti saat ia mendengar azan di waktu salat lain.
Tubuh Adisti sedikit terhuyung. Salah satu tangannya memegangi kepala, sedangkan yang lain digunakan untuk berpegangan di meja Dion.
Laki-laki itu menatap Adisti dalam diam. Tidak ingin membantu atau berkata apa pun. Ia ingin melihat reaksi Adisti saat mendengar azan. Sepertinya benar dugaannya selama ini. Ada sesuatu yang tidak beres dalam diri Adisti.
Beberapa menit kemudian, azan berhenti pun dengan Adisti yang berhenti memegang kepala. Sakit di bagian sana hilang seketika saat azan berhenti.
Adisti menatap Dion, kemudian pada dirinya yang berkeringat hebat. Apa yang baru saja terjadi? Ia tidak ingat apa pun selain kedatangannya ke sini untuk menyerahkan laporan.
“Apa yang terjadi, Pak?” tanya Adisti kebingungan.
Dion menghela napas. “Tidak ada. Sekarang kamu boleh keluar dari ruangan saya.”
Laki-laki itu kembali menatap layar laptop tanpa memedulikan Adisti yang masih tidak mengerti.
Adisti mengangguk lalu membalikkan badan keluar dari ruangan. Sesaat sebelum ia membuka pintu, suara Dion menghentikan aktivitasnya.
“Jangan sampai terlambat malam nanti di Kafe Garden.”
Adisti mengernyit. Ia tidak paham maksud Dion kali ini. Kafe Garden? Bukankah itu tempat pertemuannya nanti dengan laki-laki yang dijodohkan dengannya? Jangan-jangan ...
Seketika Adisti menganga tidak percaya. Apakah mungkin Dion-lah laki-laki yang dimaksud sang kakek?
“Kenapa bengong? Segera keluar dari ruangan saya,” usir Dion saat melihat Adisti yang melamun.
Gelagapan, Adisti segera keluar dari ruangan Dion dengan penuh tanda tanya.
“Mau ke mana kamu?” tanya Abimanyu yang tiba-tiba muncul dari belakang Adisti. Wanita itu terkejut setengah mati saat akan menyalakan motornya.“Ngagetin aja sih,” protes Adisti sambil mencubit lengan kekar Abimanyu.“Jawab dulu. Kamu mau ke mana?” tanya Abimanyu ketus.Adisti diam. Mana mungkin ia jujur pada Abimanyu bahwa akan menemui laki-laki yang dijodohkan kakeknya. Lagi pula, Abimanyu mengingkari janjinya malam kemarin.“Aku jalan sama temen. Kamu ke mana kemarin? Kenapa tidak datang?” tuntut Adisti mencoba mengalihkan pembicaraan.“A-aku ... keluarga kami sedang ada sedikit masalah. Jadi pernikahan kita ditunda sementara waktu.” Abimanyu tampak salah tingkah. Ia tidak bisa menceritakan kenyataannya bahwa Arka datang dan mengganggu moodnya kemarin.Adisti mengernyit. “Masalah? Karena masalah itu kita tidak jadi menikah?” protes Adisti kesal. Ia sudah membayangkan akan hidup bahagia bersama Abimanyu.Adisti tidak mengerti, seolah ada sesuatu yang mencubit di dalam sana saat meng
“Kita percepat pernikahanmu apa pun yang terjadi,” titah Lastri pada Abimanyu sesaat laki-laki itu baru saja kembali dari dunia Adisti.Seketika Abimanyu mendongak. “Kenapa, Ma?” tanyanya heran. Baru saja beberapa jam yang lalu Lastri mengatakan bahwa akan memikirkan lagi kapan waktu yang pas untuk pernikahan Abimanyu, justru sekarang memerintahkan Abimanyu segera menikah.“Kamu lupa Arka bisa saja menyerang kita sewaktu-waktu. Jadi, kamu harus segera menikah dan renggut gadis itu di malam pertama. Setelah itu baru kita melakukan ritual untuk menyempurnakan kekuatan keluarga kita,” jelas Lastri berapi-api. Tentu saja ia bersemangat karena ambisinya yang membuat Abimanyu harus menikahi Adisti.“Bawa gadis itu malam nanti. Kita lakukan secepatnya. Jangan sampai ada yang tahu,” bisik Lastri sambil melirik sekeliling. Ia takut ada telinga yang mendengar pembicaraan mereka.Abimanyu mengangguk. Hanya dengan cara ini dirinya bisa berbakti pada ibunya. Walaupun harus mengorbankan dirinya sen
Adisti dan Abimanyu duduk bersanding di atas panggung yang terbuat dari batu yang diukir. Proses pernikahan di dunia Abimanyu belum selesai. Sekarang mereka harus menjalani prosesi siraman yang akan dilakukan sesepuh di wilayah Abimanyu.Adisti tidak berani mengangkat kepala, ia terus menunduk sambil menautkan jemarinya. Cemas. Itu yang dirasakannya saat ini. Walau bagaimanapun, ini kali pertama Adisti menjalani prosesi pernikahan, apalagi dengan Abimanyu yang berbeda alam.Hati kecilnya yang paling dalam mengatakan untuk lari dari prosesi ini, tetapi tubuhnya tidak sinkron. Gadis itu tetap duduk dan mengikuti semua kegiatan dengan patuh. Ia lupa bahwa apa yang dilakukannya sekarang adalah sebuah kesalahan.Mantra yang Abimanyu tujukan pada Adisti sangat kuat, sehingga gadis itu benar-benar lupa bahwa semuanya ini keliru.Tak terasa waktu berlalu, prosesi pernikahan Abimanyu dan Adisti berjalan lancar. Kini tinggallah sesi ramah tamah. Hal pertama yang membuat Adisti terheran adalah m
“Bagaimana wanita yang dikenalkan kemarin?” Tanya Dini, ibu Dion.Dion menghela napas. Ia teringat perjanjian yang ia buat dengan Adisti malam itu.“Jika kita sama-sama tidak bisa menolak, bagaimana kalau kita membuat perjanjian?” usul Dion akhirnya.“Perjanjian?” tanya Adisti tidak mengerti.Dion mengangguk. “Iya, kita tetap menyetujui perjodohan ini, tetapi ada hitam di atas putih. Kita buat perjanjian apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan selama pernikahan.”Adisti terdiam sejenak. “Sampai kapan?” tanyanya.“Aku tidak tahu.” Dion berharap Adisti menyetujui usulnya, sehingga ia bisa dengan mudah mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Adisti saat ini.Adisti diam, memikirkan setiap ucapan Dion. Jika menolak, tentu saja ia tidak tega pada kakeknya. Menerima perjanjian itu, sama saja membuka diri agar orang lain tahu hubungannya dengan Abimanyu.Memikirkan hal itu membuat Adisti semakin pusing. Hingga akhirnya sebuah keputusan diambilnya dengan terpaksa.“Baiklah! Tetapi a
“Selesaikan dia sekarang!” perintah Lastri pada Abimanyu. Saat ini mereka sedang berperang melawan keluarga Arka.Abimanyu mengangguk lalu mendekati Arka yang ngos-ngosan karena perutnya terluka. Sebelumnya Lastri yang melawan Arka, tetapi wanita itu ingin Abimanyu yang menghabisi Arka. Setidaknya sampai Arka mengibarkan bendera putih.“Matilah kamu!” Tiba-tiba dari telapak tangan Abimanyu muncul cahaya berwarna merah terang yang membentuk seperti bola, lalu dengan sekali ayun, telapak tangan Abimanyu mengenai punggung Arka yang berusaha kabur.Lama-lama tubuh Arka melemah dan akhirnya tidak sadarkan diri. Beberapa pengikut Arka saling berpandangan saat melihat Arka mulai tidak berdaya. Segera mereka menghilang dan kembali ke wilayahnya meninggalkan Arka.“Buang dia ke lembah Kematian!” perintah Lastri pada Abimanyu.Laki-laki hanya mengangguk. Kini masalah wilayah terselesaikan. Setelah sekian lama, akhirnya Negeri Goria berada di tangan Lastri. Inilah momen yang paling ditunggu Last
“Maafkan aku, Sayang. Aku cemburu.” Abimanyu mencoba menenangkan Adisti yang menangis sesenggukan di atas ranjang.“Pergi kamu!” teriak Adisti. Ia menjauhkan diri dari suaminya lalu beranjak menuju kamar mandi dan meneruskan menangis di sana.Selama hidupnya, belum ada yang memarahinya hingga membuatnya terluka. Bukan luka yang tampak, justru luka tak tampak yang membekas kiat di hati. Kartilan tidak pernah membentaknya sekali pun.Adisti mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan kasar. Ia kecewa dengan Abimanyu yang berbuat kasar padanya. Padahal mereka baru beberapa hari menikah.“Maafkan aku, Sayang!” teriak Abimanyu dari balik pintu kamar mandi sambil mencoba membuka pintu. Sayangnya dikunci dari dalam.Saat tidak lagi terdengar jawaban Adisti, Abimanyu memutuskan pulang.“Manusia sangat menyusahkan!” gerutu Abimanyu kesal. Ia memang mencintai Adisti, tetapi jika wanita itu menyusahkan seperti sekarang malas rasanya bertemu lagi.Sementara itu, Adisti terus menangis di kamar
“Menikah dengan makhluk tak kasatmata, Ustaz?” tanya Dion. Ia pernah mendengar ada manusia yang menikah dengan makhluk tak kasatmata, tapi baru kali ini ia tahu secara langsung, bahkan itu adalah Adisti, calon istrinya.Ustaz Ramli mengangguk. “Mereka belum lama menikah.”Sekali lagi Dion membelalak. Belum lama? Apakah menikah setelah bertemu dengannya atau sebelum? Bagaimana bisa Adisti yang terlihat polos mau menikah dengan makhluk tak kasatmata?“Sepertinya gadis itu tidak sadar bahwa dirinya dipengaruhi mantra mereka agar mau patuh.”Ucapan Ustaz Ramli seperti menjawab pertanyaan yang ada di otak Dion. Tentu saja dimantrai, mana mungkin orang mau menikah dengan makhluk tak kasatmata jika bukan karena ada sesuatunya.“Mengapa mereka melakukan itu? Maksud saya, mengapa bangsa mereka memilih Adisti?” tanya Dion.Ustaz Ramli memejamkan mata sebentar. Tak lama Kemudian membuka mata. “Merek
“Lantas bagaimana aku menolaknya?” tanya Adisti mengiba.“Pikirkan sendiri! Jika kamu menikah, lantas bagaimana aku? Aku suamimu, Adisti! Suamimu!” teriak Abimanyu penuh penekanan di setiap ucapannya. Sepertinya ia benar-benar marah kali ini.Tentu saja marah. Mana ada laki-laki yang rela berbagi istri? Tidak ada! Ia pun mana mungkin mau berbagi suami dengan wanita lain.“Katakan! Bagaimana cara aku menggagalkan perjodohan itu?” Wajah Adisti tampak memelas. Ia lelah berdebat dengan Abimanyu yang tidak mau mengalah.Abimanyu diam sejenak. Mana mungkin perjodohan antar manusia itu bisa ia batalkan. Abimanyu hanya bisa mengikat Adisti, tidak dengan rencana manusia yang lain, yaitu rencana Kartilan.“Jika kamu ada cara menggagalkan perjodohan itu, akan aku lakukan.” Adisti pasrah dengan apa yang dikatakan Abimanyu nanti.“Aku tidak tahu!” ucap Abimanyu akhirnya.“Aku dan la