Bab 1
“Saya ceraikan kamu Anggita Prameswari dalam keadaan sadar!” Galih mengucapkan talak tersebut kepada istrinya dihadapan kedua orang tua Galih dan ibu dari Gita. Dengan wajah tanpa dosa dan tanpa merasa bersalah sedikit pun, kemudian Galih langsung pergi menggandeng wanita berpakaian seronok itu.Seperti disambar halilintar Anggita mendengar kalimat yang tidak boleh sembarangan disebut oleh para suami itu. Hatinya hancur luluh lantak bagai diterjang puting beliung. Mengapa pria yang selama lima tahun ini menjadi suaminya tega mentalaknya. Tiga hari lalu Anggita memergoki suaminya sedang bersama seorang wanita, berduan di apartemen dalam keadaan yang tidak pantas. Ia hanya meminta penjelasan tentang siapa wanita itu kepada suaminya. Tapi bukannya menjawab, sang suami malah murka padanya.“Kalau aku selingkuh, kamu mau apa? Mau minta cerai?” ucap Galih saat itu dengan wajah merah padam, Anggita hanya bisa menangis melihat perubahan sang suami.Anggita tidak menginginkan perceraian ini terjadi. Walaupun suaminya telah jelas berkhianat didepan matanya sendiri. Mungkin ini adalah ujian dalam rumah tangganya, ia berniat akan tetap sabar dalam menghadapi suaminya yang sedang khilaf. Tapi kenyataannya malah Galih sendiri yang sudah tidak mau membina rumah tangga dengannya. Kalau sudah begitu Anggita bisa apa? Mau tak mau ia menerima keputusan yang dibuat oleh Galih, walaupun dirinya terluka.Saat ini Anggita sedang merebahkan diri diatas sajadah sehabis sholat Isya, kedua orang tua Galih pun sudah pulang, mereka tidak bisa melakukan apapun dengan pilihan anaknya.“Maafkan mamah Git, mamah tidak bisa membantumu, kamu tau sendiri watak suamimu yang keras kepala itu,” ujar ibu mertua Gita sambil menangis memeluk mantan menantunya siang tadi.Berbagai kejadian seminggu terakhir berkelebat dikepala Gita. Suaminya memang jarang pulang kerumah sebulan terakhir, karena Galih dua bulan lalu mendapat kenaikan jabatan dari perusahaannya. Satu bulan terakhir suaminya lebih sering pulang ke apartemen yang baru saja dibelinya, berdalih sedang banyak pekerjaan kantor dan lemburan. Membuat Galih lebih sering pulang ke apartemen yang jaraknya lebih dekat dengan kantornya.Tapi hari itu Gita memberanikan diri untuk ke apartemen suaminya, ia juga sudah satu minggu ini harus menemani ibunya dirumah sakit. Ia rindu pada Galih, rasanya sudah lama Gita tidak memeluk sang suami. Hari itu Gita berdandan lebih cantik untuk memberikan suaminya kejutan, dengan mengenakan hijab berwarna hijau kesukaan suaminya dan memakai make up tipis pada wajahnya. Tapi setelah sampai di apartemen suaminya, ia malah melihat sang suami sedang berpelukan mesra dengan seorang wanita.Anggita menghela napasnya panjang,dadanya terasa sesak lagi mengingat kejadian itu. Galih sendiri adalah sosok pria yang humoris dan pandai merayu, mungkin sudah ribuan kali kata cinta pria itu ucapkan pada Gita selama berumah tangga. Anggita menganggap selama tiga tahun ini pernikahannya baik-baik saja walaupun mereka belum dikarunia seorang anak. Tapi ternyata itu yang menjadi salah satu alasan Galih menceraikannya.“Aku sudah bosan dengan wanita mandul sepertimu, itulah mengapa aku mencari wanita lain agar aku mempunyai keturunan,”“Aku akan menceraikanmu, karena kami akan segera menikah, dia sedang mengandung anakku sekarang.”Ucapan-ucapan Galih kemarin benar-benar telah merobek jantung Gita. Wanita itu tergugu dihamparan sajadah yang baru saja dipakainya.“Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dariMu).” Gita berdoa dengan suara lirih.Tok ... Tok ... Tok ...“Gita, boleh Mak masuk Nak?”Gita tidak langsung menjawab, ia membenahi mukena yang telah dilipat rapih, kemudian ia mencuci wajahnya ke arah wastafel. Ia tidak ingin ibunya melihatnya dalam keadaan menyedihkan seperti ini.“Masuk saja Mak!” Gita menyambut ibunya dengan senyuman.“Gita lagi beres-beresin baju, punya Mak biar nanti aku yang masukin koper juga!”Mirna menghampiri anaknya itu, kemudian memeluknya erat seraya mengusap punggungnya.“Menangislah ... lepaskan semua kesedihan kamu. Jika dengan menangis bisa membebaskan kesedihanmu, tidak usah berpura-pura dihadapan Makmu ini.”Mirna mengusap punggung Gita dengan penuh sayang, usapan hangat itu seolah meminta Gita untuk bersabar. Gita pun sudah bersimbah air mata, meluapkan kesedihannya. Setelah ini Gita berjanji untuk tidak menangisi nasibnya lagi. Ia akan menerima apapun takdir yang telah ditetapkan Tuhan.“Allah tidak akan menguji hamba-Nya diluar batas kemampuanya.” ucap sang ibu lagi sambil mengusap air mata putri satu-satunya itu.“Iya Mak, doakan Gita kuat dalam ujian ini!”“Pasti, Sayang. Mak selalu mendoakan yang terbaik untukmu.”Tok ... Tok ... Tok ...Terdengar bunyi ketukan pintu dari luar rumah. Makin lama suaranya makin kencang, terdengar tidak sabaran. Mirna dan Gita saling berpandangan, keduanya menghampiri ke arah pintu. Gita membuka pintu itu dengan mata membulat terkejut.Gita menatap dua makluk yang menjadi penyebab kesedihannya berdiri berhadapan dengannya sekarang. Mereka terlihat lengket seperti perangko dan kertas.“Aku ingin menempati rumah ini malam ini juga, bersama calon istriku!” ujar Galih, mereka langsung menerobos masuk kedalam rumah.“Tidak bisakah kalian menunggu sampai besok!” Gita berbicara dengan nada kecewa.“Calon istriku ingin menginap disini malam ini, kalau kau mau, kita bisa tidur bertiga dikamar, Ayu tidak akan keberatan, benar kan Sayang!” Galih menoleh ke arah wanitanya sambil menyeringai, tanpa tahu malu wanita itu malah mencium panas mantan suaminya.“Dasar Sinting kalian!” maki Gita seraya meninggalkan keduanya, ia masuk menuju kedalam kamar kemudian kembali lagi dengan menyeret koper miliknya.Sebelum Gita masuk ke kamar sang ibu, Mirna ternyata sudah berada didepan pintu kamarnya sambil membawa tas miliknya. Wanita tua itu sudah mendengar kegaduhan yang terjadi antara putrinya dengan mantan suaminya. Mereka harus keluar
Gita tersenyum kepada wanita yang merupakan tetangganya yang selama ini sudah merawat rumahnya. “Wa’alaikumussalam, nyampe rumah malem Cing, kejebak macet.” Gita menjawab dengan senyum ramahnya.“Iye malam minggu mah macetnya parah Git, emak lo mane?”“Mak didalem Cing, masih ngaji.”“Ya udeh, Cing kedalam dulu ye mau ketemu emak lo.”Wanita ceriwis itu pun masuk kedalam rumah, Cing Lela merupakan salah tetangga terbaik yang mereka miliki. Walaupun dia lumayan cerewet layaknya emak-emak pada umumnya, tapi Cing Lela tidak suka ikutan bergosip dengan para tetangga lainnya. Malah terkadang dia yang membubarkan ketika ibu-ibu mulai berkerumun didepan warungnya. Setelah selesai merapihkan beberapa tanamannya, Gita pun menyusul masuk kedalam rumah.“Saya mau mudik semingguan, mau nengokin emaknya Bang Udin yang lagi sakit. Tapi saya lagi bingung nyari orang buat gantiin kerjaan saya. Bos saya gak suka sembarangan orang yang masuk ke apartemennya. Takut orangnya panjang tangan, saya juga su
You’re all i need beside me girl You’re all i need yo turn my worldYou’re all i want inside my heartYou’re all i need when we’re apartYou’re all that i needDering ponsel Rion terus berbunyi, tapi ia masih saja tetap bergelung didalam selimutnya. Say, say that you’ll be thereWhenever i reach out To feel you’re hand in mineStay, stay within my heartWhenever i’m aloneI’ll know that you are there(You’re All I need, White Lion)Rion akhirnya terbangun dan mengambil poneslnya yang sejak tadi berdering. Ternyata Arka yang menghubunginya.“Halo Sayang, ada apa?” “Pah, nanti Arka jadi dijemput kan?”“Dijemput? Hmm ... Oh iya iya, tentu jadi dong.”“Nanti papah minta tolong pelayan papah, namanya Bu Gita untuk jemput Arka, oke!”“Yeee ...nanti Arka mau ke duffan ya Pah, besok papah libur kan?”“Siap bos, iya dong besok papah libur.”“Jam berapa bu Gita mau jemput Arka?”“Hmm ... Mungkin jam 10, nanti papah akan memberitahunya terlebih dahulu, Boy.”“Oke, Arka gak sabar dijemput Bu
“Kamu duduk di depan aja, Arka biar sama mainanannya ditengah.” Ujar Andro sambil menatap Gita dari kaca spion.Gita pun akhirnya pindah duduk disebelah Andro, ia terkejut ketika Andro mendekatinya dan memasangkannya seatbelt. Dengan jarak sedekat ini, Gita merasakan wajahnya memerah apalagi sejak tadi Gita tahu kalau Andro memperhatikannya terus.“Sorry, kebiasaan.” Ujar Andro kemudian ia menjalankan kemudi dan fokus menatap jalan didepannya.“Sudah berapa lama kamu kerja sama bang Rion?” Andro memulai percakapan, ia bertanya tanpa melepaskan pandangannya kedepan jalan.“Baru dua hari, saya cuma pengganti Cing Lela untuk sementara.” Gita menjawab dengan pandangan lurus juga. Dia sebenarnya merasa risih duduk didepan bersama Andro, tapi apa boleh buat rasanya tidak sopan juga membiarkan Andro duduk sendiri didepan seperti seorang supir.“Kamu tinggal didekat rumah Bu Lela?” “Iya, kami tetanggaan.”“Berapa usia kamu?” Andro.seperti wartawan yang sedang menanyai buruannya.“Saya sudah
Gita pun merapihkan baju kotor miliknya dan memasukannya kedalam goodie bag lalu ia berniat untuk berpamitan pulang pada Andro. Tapi yang Gita jumpai malah pria dengan sorot mata tajam yang sepertinya terkejut juga melihat dirinya. Pria itu menatapnya lekat dan lama, membuat Gita jadi salah tingkah ditatap intens seperti itu. “Permisi Pak, sa-saya mau pulang.”“Kamu Gita?” tanya Rion sambil memperhatikan kecanggungan Gita.“Iya Pak, Saya Gita.”“Maaf Pak, tadi uang sisa ongkos taksi, saya belikan untuk bahan makanan.” Rion hanya mengangguk, sambil terus menatapi wanita muda berhijab coklat itu. Pantas saja tadi mamahnya berbicara seperti itu, Rion tersenyum penuh arti. “Arka dimana?” “Arka tidur dikamar, Mas Andro ...”“Andro? Dia masih disini?” Andro yang mendengar namanya disebut pun lalu datang menghampiri kakaknya. Dia tadi berada dibalkon, sedang menerima panggilan entah dari siapa.“Tumben, kamu ikut kesini.” Ujar Rion sambil melepaskan jas nya dan menaruhnya di kursi. Rion
Bab 7Anggita dan Andro berhenti disebuah gang yang tak terlalu besar, mobil bisa masuk sebenarnya, hanya saja Gita tidak mau menjadi bahan gosip tetangganya ketika melihat dirinya pulang dengan Andro. Apalagi saat ini mereka mungkin sudah mengetahui kalau dirinya sudah bercerai dari mantan suaminya."Saya turun disini saja, Mas Andro!" ujar Gita sambil mengangkat goodie bagnya hendak keluar dari mobil."Andro aja sih manggilnya, biar lebih akrab!" tukas pria gondrong berambut ikal itu."Dari sini masih jauh gak, aku antar sampai depan rumah kamu!" sahut Andro tetap melancarkan usaha untuk mendekati Gita."Gangnya sempit, kalau mobil masuk khawatir ada kendaraan lain yang mau keluar dari arah sebaliknya." Gita memberikan alasan kepada pria itu."Tapi kamu bener gak papa kan jalan sendirian?" Andro melihat ke arah wanita bermata teduh itu."Saya sudah puluhan tahun tinggal disini, tenang aja!" Gita membalas seraya memberikan senyum manisnya."Ya udah deh kalau gitu, kamu hati-hati ya
Gita tersenyum mendengar ucapan Raya itu."Jangan bercanda kamu!" wanita itu terkekeh menganggap ucapan Raya hanya sebuah gurauan saja."Aku serius Git, kamu sih orang lagi nembak malah diketawain." Raya pura-pura merajuk lalu ikut terkekeh dengan Gita agar tidak canggung."Makasih dah nemenin ngobrol sampe rumah ya." "Masuk gih cepet, diluar dingin, anginnya kenceng, bentar lagi kaya mau turun hujan nih." Raya membukakan pagar untuk Anggita, lalu wanita itu pun masuk kehalaman rumah, kemudian Raya menutup kembali pagarnya. "Salam buat emak!" seru Raya sambil tersenyum.Anggita pun menganggukan kepala lalu ia masuk kedalan rumah, Raya pun kembali menuju rumah orang tuanya. "Baru pulang, Nak! Tumben agak malam," ujar emak keluar dari kamar."Iya mak, tadi Gita dapet tugas jemput anaknya Pak Rion, terus akhinya nungguin Arka dulu sampai papahnya datang." Gita menjelaskan kepada sang ibu."Hmm ... emak khawatir kamu kenapa-kenapa." Gita tersenyum lalu berkata,"Maaf sudah bikin Mak c
Tolong kamu duduk didepan, saya bukan supir!" tegur Rion kepada Gita seraya menatap tajam wanita itu dari kaca tengah mobil. Kemudian Rion mengenakan kacamata hitamnya.Gita yang sedang menaruh tas ransel Arka kebagian belakang pun menengok ke arah Rion dengan tergagap."Ma-maaf, Pak." Ia segera turun dan duduk disamping Rion , kemudian ketiganya mulai membelah jalanan ibu kota yang hari ini terlihat cerah. Rion menatap jalanan lurus didepannya, sedangkan Gita duduk disampingnya dengan tegang, bahkan ia tak berani menoleh sedikitpun ke arah Rion ataupun Arka. Ia merasa tangannya basah, karena gugup. Tenanglah Gita ... tenanglah, batin Gita berbicara pada diri sendiri. Sesampainya ditempat tujuan, Arka langsung berlari kegirangan, buatnya pergi bersama dengan Papahnya adalah hal yang istimewa karena mereka jarang bertemu. Gita menggendong tas ransel milik Arka, berjalan cepat menyusul bocah tampan itu. Ya ... Arka berwajah tampan mirip dengan papahnya. Banyak orang memperhatikan mere