Share

Bab 2. KEMBALI KERUMAH LAMA

Gita menatap dua makluk yang menjadi penyebab kesedihannya berdiri berhadapan dengannya sekarang. Mereka terlihat lengket seperti perangko dan kertas.

“Aku ingin menempati rumah ini malam ini juga, bersama calon istriku!” ujar Galih, mereka langsung menerobos masuk kedalam rumah.

“Tidak bisakah kalian menunggu sampai besok!” Gita berbicara dengan nada kecewa.

“Calon istriku ingin menginap disini malam ini, kalau kau mau, kita bisa tidur bertiga dikamar, Ayu tidak akan keberatan, benar kan Sayang!” Galih menoleh ke arah wanitanya sambil menyeringai, tanpa tahu malu wanita itu malah mencium panas mantan suaminya.

“Dasar Sinting kalian!” maki Gita seraya meninggalkan keduanya, ia masuk menuju kedalam kamar kemudian kembali lagi dengan menyeret koper miliknya.

Sebelum Gita masuk ke kamar sang ibu, Mirna ternyata sudah berada didepan pintu kamarnya sambil membawa tas miliknya. Wanita tua itu sudah mendengar kegaduhan yang terjadi antara putrinya dengan mantan suaminya. Mereka harus keluar dari rumah itu malam ini juga. Karena bagaimana pun Anggita tidak akan sudi seatap dengan selingkuhan Galih walaupun hanya semalam.

“Kau mau kemana?” Galih mencengkram tangan mantan istrinya itu kuat seraya menatapnya dengan berang.

“Bukan urusanmu!” Sahut Gita sambil melepaskan tangannya dari cekalan Galih.

“Oh ... kalian mau pergi ke gubuk kalian yang kumuh itu, baguslah. Aku juga tidak berniat memberikan rumah ini untukmu, rumah ini kubeli dengan hasil kerja kerasku, jangan berharap aku akan memberikannya untukmu,” seru Galih seraya memandang meremehkan.

“Aku sama sekali tidak membutuhkan rumahmu. Aku cukup tau diri!” Gita menatap tajam Galih, ia sempat tidak percaya mantan suaminya akan berbicara sepert itu.

Memang rumah itu adalah milik Galih, ia membelinya ketika mereka akan menikah. Saat itu Galih menerima keadaan Anggita yang merupakan dari keluarga tak mampu, ayahnya telah lama tiada, sedangkan ia hanya tinggal dengan ibunya saja, dirumah warisan ayahnya di lingkungan kumuh kota Jakarta. Anggita yang hanya lulusan SMA, ia bekerja sebagai karyawan produksi sebuah pabrik elektronik di kawasan Bekasi saat itu, sedangkan Galih bekerja sebagai salah staff kantor perusahaan itu.  Ketika mereka menikah, Galih melarang Anggita untuk bekerja lagi, kemudian mereka pindah kerumah baru yang dibeli oleh Galih di kawasan Cikarang.

Ketika Gita dan Ibunya sudah mau melangkah keluar rumah lagi-lagi Galih memanggilnya.

“Berhenti sebentar!”

Galih pun mengeluarkan sebuah amplop putih dan memberikannya kepada Gita.

“Ambilah ini untukmu, kau bisa gunakan untuk apapun terserah, ini ... hanya sebagai kompensasi dariku setelah menceraikanmu.” Galih mengepalkan amplop putih itu ke tangan Gita seraya menatap mata wanita itu dengan lekat.

Tapi Gita melemparkan amplop itu ke wajah Galih, “Aku gak butuh uang kamu!”

Wajah Gita merah menahan ledakan amarah dihatinya. Ia menatap Galih dengan tatapan sinis,” Berikan saja pada gundikmu itu.”

Kemudian Gita dan ibunya benar-benar pergi meninggalkan rumah Galih. Keduanya menaiki taksi online menuju rumah lama mereka. Hati wanita itu masih panas mendengar nada-nada mencemooh dari mantan suaminya. Kemudian sang Ibu mencoba menenangkan putrinya dengan mengusap punggung.

“Sabar, istighfar ... Jangan biarkan amarah menghanguskanmu!”

“Astagfirullohaladzim” Gita beristighfar berulang kali sampai perasaannya lebih tenang. Kemudian ia meneguk air mineral yang sempat ia bawa dalam goodie bag.

Dua jam perjalanan mereka tempuh menuju kota jakarta, karena weekend jalanan lebih padat dan terjadi kemacetan dimana-mana. Sudah lama sekali rasanya Anggita dan Emak tidak pulang kerumah mereka, hampir dua tahun mereka tidak kesana.

“Mak sudah kabarin Cing Lela mau pulang hari ini, dia bilang katanya rumah sudah dirapihkan, kuncinya ditaroh ditempat biasa.”

“Alhamdulillah, Cing Lela mau bantu merawat rumah kita ya, Mak.”

Mereka sampai dirumah sekitar pukul sebelas malam. Bersyukurnya malam ini tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa anak muda yang sedang bernyanyi dan bermain gitar di pos ronda tadi. Sedangkan tetangga disekitar rumahnya tidak terlihat, mungkin mereka sudah terlelap dalam buaian mimpi.

Rumah kecil yang terlihat sangat sederhana itu tidak banyak berubah sejak terakhir mereka singgah. Anggita sudah berada didalam kamarnya, hanya beberapa tanaman kesayangannya telah mati saat ia melihatnya dihalaman tadi.

Gita merebahkan dirinya diatas ranjang, menatap langit-langit kamar yang bergantungan sebuah kipas angin tua miliknya. Perasaannya menjadi lebih tenang berada kembali kerumah masa kecilnya. Tempat segala kenangan bersama sang Ayah tercipta. Buku-bukunya masih tersusun rapih diatas meja belajar. Gita sangat suka membaca dulu, sejak ia kecil, dimulai dari ayahnya yang suka membelikannya majalah BOBO, lalu buku-buku dongeng seperti Putri Cinderella, Putri Aurora, ketika beranjak remaja dia suka membaca komik manga yang berasal dari negri Sakura. Beranjak dewasa ia menyukai membaca novel, salah satu novel favoritnya karya dari Mira W. Mendiang ayahnya yang bekerja menjadi supir bus jurusan Bekasi-Blok M, saat itu kerap kali membawakan pulang beberapa majalah untuk anak remaja ketika ia masih duduk dibangku SMP.

 Gita menghela napas panjang, begitu cepat waktu berlalu. Sekarang ia berencana ingin memulai mencari kerja, karena uang yang dia punya saat ini jumlahnya tidak seberapa, itu adalah tabungan dari uang pribadinya dulu saat ia masih bekerja. Sedangkan seluruh tabungan dan kartu atm yang diberikan mantan suaminya tidak ia bawa sepeser pun. Ia meninggalkan semuanya termasuk perhiasan-perhiasan yang diberikan Galih padanya ia tinggalkan diatas ranjang termasuk cincin pernikahan mereka.

Dia tidak ingin membawa apapun dari masa lalunya. Yaa ... Gita akan fokus pada masa depannya mulai sekarang, bagaimana cara membahagiakan ibunya dan dirinya sendiri. Semoga saja ia bisa mewujudkan inginnya itu. Bunyi rintik hujan terdengar jelas dimalam yang sunyi ini. Sesekali tangannya menepuk nyamuk yang mencoba menggigitnya. Ia mencoba memejamkan matanya, tapi tak bisa. Sebelum tidur, ia selalu meminta maaf ataupun memaafkan orang lain yang telah berbuat salah. Ya ... Bukankah tidak enak tidur dalam keadaan marah apalagi sampai menyimpan dendam. Gita mengikhlaskan yang terjadi antara dirinya dengan Galih. Kadang hal-hal yang menyakitkan itu mudah untuk dimaafkan tapi tak mudah untuk dilupakan. Biarlah waktu yang akan menyembuhkan lukanya hari ini, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik.

Pagi harinya Gita memulai rutinitas paginya seperti biasa, lalu ia mulai membenahi tanaman-tanamannya yang tak terurus itu.

“Assalammu’alaikum, Ya Allah ... Kapan sampenya Lu Git, Cing tungguin semalem ampe ketiduran.” Sapa seorang wanita yang masuk kedalam halaman rumah Gita.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status