“Kak, aku pengen punya anak juga.” Perkataan Nania membuat Maha membeku. “Nanti,” lanjut Nania sambil menatapnya. “Setelah kakak benar-benar sehat, aku mau punya seenggaknya dua anak dari Kak Maha.”
Wanita itu tersenyum penuh kehangatan pada suaminya yang saat itu justru menegang hebat. Pertama karena kata-kata Nania terlalu mendadak dan membuatnya takut tidak bisa memenuhi keinginan wanitanya. Kedua, karena perkataan itu terlalu vulgar untuknya dan membuat jantungnya berdebar lebih kencang. Apalagi saat itu wajah Nania begitu dekat dengan wajahnya.
“Nanti setelah Maha sehat, kamu bisa minta sepuluh anak dari dia Nan,” balas Arjuna memecah keheningan di hati Maha. Membuat Maha menggaruk tengkuknya karena tiba-tiba merasa canggung. Sementara yang lain tertawa kecil melihat wajah Maha yang memerah.
Langit Jakarta berwarna biru cerah dengan sedikit gumpalan awan putih. Nania dan Maha berdiri di depan rumah, koper mereka sudah tersusun rapi di bagasi mobil. Supir yang akan mengantar mereka, Pak Arman, membuka pintu belakang dengan ramah.Maha membantu Nania masuk terlebih dahulu sebelum ia menyusul duduk di sampingnya. Begitu pintu tertutup, mobil perlahan melaju meninggalkan hiruk-pikuk ibu kota. Sepanjang perjalanan, Nania bersandar di bahu suaminya, sementara Maha tidak melepaskan tangan Nania dari genggamannya.Pak Arman, yang sesekali melirik melalui spion depan, tersenyum tipis setiap kali melihat interaksi mereka. Dia sudah cukup lama ikut dengan keluarga Kurniawan. Biasanya hanya diminta mengantar Amerta ke sana kemari, baru kali ini dia mengantar putra kedua Amerta dan itu pun dalam perjalanan cukup jauh.
Nania perlahan membuka mata, merasakan detak jantung yang teratur di dadanya. Maha memeluknya erat dari belakang, lengan hangatnya melingkari pinggang Nania–erat, seolah khawatir kalau Nania akan pergi bila pelukan itu lepas.Aroma lembut tubuh suaminya bercampur membuat Nania merasa aman dan nyaman. Ia mengingat malam panjang yang mereka lalui—penuh bisikan, ucapan cinta, dan tatapan mata yang seolah berbicara tanpa kata. Pipinya memerah saat mengingat semua adegan semalam.Nania memutar badannya perlahan hingga ia bisa melihat Maha dengan jelas. Dua sudut bibirnya tertarik, sebuah lengkung bulan sabit terbit disana. Nania memainkan jarinya di pipi dan bibir Maha, kata ‘i love you’ yang diucapkan Maha semalam benar-benar seperti menghipnotisnya.Maha terbangun saat merasakan sentuhan di pipi
Be wise! Adegan 21+*Klik!Pintu kamar mandi terbuka, Maha yang berdiri di depan pintu tertegun melihat penampilan Nania saat itu. Rambutnya digerai, wajahnya dipoles minimalis, bibirnya sedikit basah, wangi parfum menguar.Kulit putih bersih Nania tertutup lingerie hitam dengan tali spageti di bagian bahu. Malam ini, wanita itu tampil seksi di hadapan Maha. Terlalu seksi untuk diabaikan.“Nan, kamu…” kalimat Maha terhenti, ia meneguk salivanya kasar saat Nania berjalan mendekat ke arahnya. Senyum wanita begitu menggoda. Mata keduanya bertemu, seperti saling menginginkan.CupNania mengecup pelan bibir Maha, pelan d
Nania tidak lekas menjawab pertanyaan Maha, ia malah tersenyum tipis melihat reaksi Maha. Ia ambil sesendok soto dan menyuapkannya pada Maha.“Warung Pak Ma’ruf, 10 tahun lalu. Kak Maha lagi makan siang bareng teman-teman kakak, menunya Soto Betawi, tapi waktu itu sotonya kurang satu mangkok. Teman-teman Kak Maha gak ada yang mau ngalah, kebetulan waktu itu aku juga di warung yang sama nemenin teman aku makan siang. Aku niatnya mau makan soto yang dibawa dari rumah, tapi karena Kak Maha kehabisan, jadi sotonya aku kasi ke Kakak, tapi pakai mangkok Pak Ma’ruf.”Maha mengerjap, ia masih menerima suapan Nania dan mengunyahnya pelan sambil mendengarkan wanita itu bercerita.“Jadi…” “Jadi, soto yang Kak Maha makan waktu itu buatan Bunda. Dan ini, sotonya juga pakai resep dari Bunda,” potong Nania.Sejak tadi senyum di wajahnya tidak pernah lindap. Ia tersenyum manis dan itu membuat Maha tidak tahan memberikan sebuah kecupan di pipi kanannya.“Aduuuuh, lagi makan disuguhi adegan romantis,”
Bulan madu.Mendadak pertanyaan itu membuat tubuh Nania menegang tidak karuan. Tangannya mencengkram setir mobil erat, mulutnya terkatup rapat dan tidak ada jawaban apapun yang diberikan Nania pada suaminya.Apa dia keberatan?“Nan, kamu keberatan?”Nania menoleh sekilas dan kembali fokus pada jalanan. “Gak gitu, cuma…” “Ya sudah gak usah, gak papa kok.” Potong Maha.Nania merasa bersalah karena tidak bisa menyampaikan maksud hatinya saat itu. Tapi meski begitu, dia tidak berusaha memperbaiki keadaan. Dia memilih diam dan tetap fokus mengemudi pulang ke rumah keluarga Kurniawan.Sampai di rumah, keduanya tidak membahas apapun tentang bulan madu. Maha diam karena dia pikir Nania tidak menginginkannya, sementara Nania sedang memikirkan hal lain yang sebenarnya sudah dia siapkan sejak beberapa hari lalu.Aat Maha sedang berada di ruang baca, Nania memilih ke dapur, melihat kesibukan di dapur sambil menawarkan bantuan yang sebenarnya selalu ditolak oleh para ART.“Tolonglah Bi, kali ini
“Kak, aku pengen punya anak juga.” Perkataan Nania membuat Maha membeku. “Nanti,” lanjut Nania sambil menatapnya. “Setelah kakak benar-benar sehat, aku mau punya seenggaknya dua anak dari Kak Maha.”Wanita itu tersenyum penuh kehangatan pada suaminya yang saat itu justru menegang hebat. Pertama karena kata-kata Nania terlalu mendadak dan membuatnya takut tidak bisa memenuhi keinginan wanitanya. Kedua, karena perkataan itu terlalu vulgar untuknya dan membuat jantungnya berdebar lebih kencang. Apalagi saat itu wajah Nania begitu dekat dengan wajahnya.“Nanti setelah Maha sehat, kamu bisa minta sepuluh anak dari dia Nan,” balas Arjuna memecah keheningan di hati Maha. Membuat Maha menggaruk tengkuknya karena tiba-tiba merasa canggung. Sementara yang lain tertawa kecil melihat wajah Maha yang memerah.