15.
Aku mendecih pelan. “Denda?”Aku mengulang tanya dan Purnama mengangguk cepat.“Berapa?” tanyaku lagi.Jari Purnama mengetuk-ngetuk dagunya. “Emm, satu piring satu juta, deh,” ucapnya sambil tertawa kecil.Aku pun mengulum senyum dengan kepala terangguk. “Boleh … tapi kalau bersih, kamu yang didenda gimana?”Purnama menggeleng. “Enggak mau. Aku pengawas, masa' kena denda juga?” Suaranya terdengar manja persis anak kecil merengek, dan aku sangat menyukainya.Aku terkekeh pelan. “Ya gak adil dong kalau kamu gak ikut kena dendanya,” ucapku menimpali.Terdengar helaan napas berat darinya. “Ya udah, aku ikut,” balasnya lesu dan seperti terpaksa.Sambil mengulum senyum, aku manggut-manggut. Setuju dengan kesepakatan ini. Entah lah ide dari mana, tapi ternyata Purnama sangat mengasyikkan. Tidak kaku dan tidak membuat pernikahan kami ini berjarak. Selagi tanganku berg16.Aku bersama Purnama duduk di kursi beton panjang di bawah rindangnya pohon Angsana dan menghadap lapangan. Di sana banyak anak-anak sedang bermain basket. Semilir angin sore berembus terasa menyejukkan.“Kamu mau beli jajanan?” tanyaku pada Purnama yang berada tepat di samping kanan.Ia menggeleng. “Nanti saja.”“Biar aku belikan kalau mau.”Namun Purnama tetap menggeleng. Dia ingin melihat anak-anak bermain basket. Aku pun menurut. Ia fokus pada permainan basket yang sedang berlangsung. Sementara aku, tak bisa berpaling memandanginya.Hingga Purnama menoleh dan menatapku. “Kenapa?”Aku tersenyum simpul. “Suka aja lihatin kamu. Tahu begini, aku gak akan ajak ke sini. Aku diamkan saja di rumah. Biar bisa lebih lama dan leluasa memandangi kamu.”Purnama tak bersuara, hanya gelengan kepalanya yang terdengar.Kami masih mengisi bangku dan menikmati permainan basket anak-anak yang kutaksir duduk di sekol
17.Setelah makan malam bersama. Aku dan Purnama lekas memasuki kamar. Mengisi spring bed king size dengan perasaan gugup yang cukup mendominasi. Aku salah tingkah, untuk pertama kalinya satu tempat tidur dengan perempuan.“Emm … aku mau bicara,” ucapku membuka pembicaraan.“Iya?” sahutnya dengan lembut.Aku menunduk. Sebenarnya aku ingin membicarakan mengenai uang nafkah untuknya. Tapi, tiba-tiba saja aku merasa gugup dan bingung harus memulai dari mana.Melalui ujung mata, dapat kulihat Purnama sedang menarik kerudung dari kepalanya. Hingga berhasil terlepas dan menyita perhatianku. Kepalaku menoleh dan menatapnya tanpa kedip.Rambutnya hitam legam. Ia melepas ikatan rambutnya itu yang ternyata hanya pendek sebatas leher.Aku menatapnya lekat. Tak berpaling. Memperhatikannya yang sedang merapikan rambut dengan jari-jari tangan. Hingga aku mengerjap, saat telapak tangan Purnama dikibaskan di depan wajahku.“Tad
18.Aku menarik diri. Namun di luar dugaan, ternyata Purnama sudah membuka matanya kembali. Aku menunduk dan tak ayak pandangan kami pun bertemu. Tanganku yang seharusnya membelai anak rambut di keningnya, kini justru menangkup pipi Purnama.Jarak kami begitu dekat. Aku bahkan tak bisa berkedip menatapnya dari jarak sedekat ini. Hingga kurasakan telapak tangan Purnama menyentuh pipiku. Dia mengusapnya, membuatku kian menundukkan kepala. Aku benar-benar terbawa suasana.Hidung mancungnya bahkan telah beradu dengan ujung hidungku. Pandangan kami masih saling mengunci, aku memiringkan kepala, hingga menemukan posisi yang pas untuk kemudian mendaratkan bibirku di bibirnya.Aku butuh tali, untuk mengikat jantungku yang seperti akan melompat meninggalkan tempatnya.Ini ciuman pertamaku.Rasanya begitu hangat dan menggetarkan hati.Tidak ada hal lebih yang kulakukan. Hanya membiarkan bibir kami saling menempel. Begini saja, ali
19.Tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Namun tanpa aba-aba, mataku seketika ringan terbuka. Tersadar dan melihat Purnama masih berada di atas dadaku.Aku menoleh untuk melihat jam duduk di atas nakas. Rupanya pukul tiga dini hari. Sejak tinggal di pondok, bangun dini hari seperti ini sudah menjadi kebiasaanku.Purnama nampak masih lelap. Sangat terpaksa aku harus menggeser kepalanya dengan hati-hati sampai akhirnya berpindah ke bantal. Kutatap sejenak wajah cantiknya saat tertidur, hingga bibirku tersenyum karenanya.Pelan-pelan aku bangkit. Gerakanku amat pelan sampai kemudian berhasil turun dari kasur. Karena aku tidak ingin mengganggu tidurnya.Lekas aku ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Berdiam sejenak sebelum kemudian mengambil wudhu. Sehingga wajah ini terasa lebih segar setelah terkena air. Membiarkan wajah ini tetap basah, gegas aku keluar.Langkahku terhenti di depan pintu kamar mandi. Kulihat Purnama ju
"Purnama kenapa? Sakit apa?" tanya Fanisa yang baru saja datang. Dia adalah orang pertama yang kuhubungi, setelah Purnama masuk ruang IGD lima belas menit lalu.Aku menggeleng pelan. "Masih ditangani," jawabku lesu.Fanisa menghempas bobotnya di sebelahku. Dia menepuk-nepuk pundakku. Seolah menyalurkan ketenangan. Aku menunduk. Mengusap wajah dengan kedua tangan seraya menarik napas panjang. Sebelum kemudian aku menoleh pada Fanisa."Apa kamu tahu sebelumnya, Purnama mengidap sakit apa?" tanyaku kepada Fanisa.Adik perempuanku itu nampak diam seolah tengah berpikir, sampai kemudian ia menggeleng. "Aku dan Mas Rafka gak tahu, Bang. Tapi sempat Purnama juga pingsan saat dia menginap di rumah kami waktu itu. Setelah sholat Subuh. Saat itu dia menolak untuk diperiksa. Meskipun aku dan Mas Rafka terus membujuk dan memaksa. Sampai akhirnya dia kembali ke pondok dan aku gak pernah tahu Purnama itu sakit apa," jelasnya kemudian.Aku pun terdiam.
Hari demi hari aku lalui bersama Purnama. Hingga berganti bulan dan aku dengan setia menemani berikhtiar untuk mencapai kesembuhannya. Namun, sudah hampir enam bulan kami jalani, kondisi Purnama tidak kunjung membaik. Bobot tubuhnya justru kian menyusut. Badannya yang mungil makin terlihat kurus. Pasca kemo, helaian demi helaian rambutnya berjatuhan. Rambutnya yang pendek, kian tipis saja sekarang. Satu bulan terakhir, ia bahkan harus memakai kursi roda saat berada di rumah. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda akan kesembuhannya.Hari ini, pemeriksaan kembali dilakukan. Aku dan Purnama berada di ruangan dokter untuk mengetahui hasil pemeriksaannya."Jaringan kankernya semakin meluas. Kemo yang dilakukan tidak begitu efektif, karena sejak penyakit ini diketahui, sudah masuk stadium empat yang artinya sudah cukup parah," jelas sang dokter membuat hati ini rasanya tercabik-cabik."Kalau operasi bagaimana, Dok?" tanyaku lemas.Dokter berkacamata di ha
Lampu ruangan operasi menyala. Artinya, sebuah tindakan sedang berlangsung di dalam sana. Setelah tiga hari menunggu, operasi Purnama pun dijadwalkan malam ini. Setelah sebelumnya menjalani puasa selama delapan jam, kini Purnama menjalani operasi yang sudah kami sepakati.Fanisa menemaniku. Duduk di samping kananku mengisi ruang tunggu. Sedangkan Rafka, harus menemani Belfania dalam pagelaran seni yang diikutinya.Detik demi detik berlalu, dan tindakan operasi belum juga selesai. Hatiku rasanya tak karuan selama menunggu. Fanisa berulangkali menepuk pahaku, karena aku tak bisa diam. Terus menggerakkan kaki sebagai luapan rasa gelisahku."Abang mau ke mushola. Kamu jaga di sini, ya?" ucapku seraya berdiri dengan cepat."Iya, Bang."Aku pun melangkah pergi. Menuju mushola yang terpisah dengan gedung rumah sakit tetapi masih satu area. Mengambil wudhu, cepat-cepat aku menunaikan shalat hajat. Zikir dan wirid tak henti kulafalkan seiring deng
Dua Minggu berlalu, masa penyembuhan pasca operasi yang dilakukan Purnama terbilang cepat. Perempuan berstatus istriku itu sekarang sudah bisa beraktifitas di rumah walau terbatas. Bukan, bukan terbatas. Tetapi aku lah yang membatasi. Andai tidak kucegah, Purnama tidak lah mau diam.Seperti pagi ini, karena pekerjaan rumah sudah selesai kukerjakan, Purnama pasti berada di halaman. Merawat mawar-mawar yang sempat layu dan kering karena tak tersentuh olehku. Hingga kini, tanaman-tanaman itu mulai segar kembali."Kasihan, bunga-bunga ini hampir mati. Pasti kamu tidak merawatnya 'kan?" ucap Purnama yang sedang membongkar satu tanaman dalam pot berukuran kecil.Aku yang berdiri di sampingnya tak ayal mengangguk. "Bagaimana lagi? Kamu lebih penting dari sekedar bunga-bunga ini," jawabku cepat.Hanya helaan napas yang terdengar dari Purnama. Tangannya masih sibuk dengan tanaman yang sudah kering kerontang karena telah mati itu. Hingga satu pot sudah kos