"Tika, Raptor hari sabtu manggung di kampus kan, kita pakai baju apa bagusnya?" Tiwi merangkul sahabatnya Tika.
"Gimana kalau pulang kuliah nanti kita mampir ke mall, sepertinya ada diskon, lumayan kan." jawab Tika semangat.
"Kalian kan kuliah buat jadi desainer, baju masih aja beli gak jelas." celetuk Ranti yang duduk di belakang kedua sahabatnya itu. "Lagian apa itu Raptor, kumpulan bangsa dinaosaurus, jaman purba?"
"Kamu yang dari purbakala, seluruh kampus juga tahu, siapa itu Raptor. " jawab Tika ketus.
Tiba-tiba dari samping Marlina datang langsung mengambil handphone Tika, dia menggoda dua sahabatnya yang menjadi fans berat grup Band Raptor. Marlina berlarian mengelilingi kelas sambil menghindar dari kejaran Tika dan Tiwi.
"Hehhh...., Marlina kembalikan HP ku, awas kau!!!" Tika berteriak sambil mengejar Marlina.
"Kalian kenapa seperti anak kecil, lagian mau seperti apa kalian berpakaian itu dinosaurus juga gak akan melihat kalian." Ranti bergegas menarik tangan Marlina, sehingga Tika bisa mengambil kembali Hp dari tangan Marlina.
"Kalian berdua yang tidak memiliki selera yang bagus, dari semua anak cewek di kampus ini, mungkin hanya kalian berdua yang tidak tertarik dengan Raptor." jawab Tiwi sambil duduk di bangku depan Ranti dan Marlina.
"Marlina, bukankah kamu seharusnya mengmabil barang di ruang penyimpanan?" Ranti mengingatkan.
Tanpa menjawab sepatah katapun, Marlina langsung bergegas lari meninggalkan kelas. Dia harus menuju ruang penyimpanan bahan kain. Dia melewati ruang musik, ruangan itu terlihat begitu mewah. Marlina pun penasaran apa saja yang ada di dalam ruangan itu. Dia mencoba mengintip dari bilik kaca di pintu.
"Bagaiman kalau kita menikah saja?" terdengar suara laki-laki dari dalam ruangan itu.
"Apa yang kau katakan?" jawab seorang wanita.
"Apa kau tidak mendengarkan? Aku sedang melamarmu sekarang." sahut laki-laki itu.
Marlina pun sangat penasaran, siapa orang yang sedang berada didalam ruangan itu. Dia mengendap-endap mencoba membuka sedikit pintu masuk yang memang sudah sedikit terbuka.
"Oh! bukankah Kelana, vokalis grup band terkenal itu?" dalam hati Marlina berkata.
"Kamu bercanda, kita masih menjadi mahasiswa. Apa yang kamu pikirkan? apa maksudmu dengan menikah?" suara wanita itu semakin terdengar jelas.
"Kamu tahu aku kuliah disini hanya untuk mengulur waktu saja kan? Aku adalah penerus satu-satunya di perusahaan keluargaku. Aku mungkin akan dinikahkan dengan wanita yang sudah ditentukan oleh orangtuaku." jelas Kelana. "Kecuali aku mengatakan sendiri kalau aku memiliki gadis yang aku pilih sendiri untuk menikah denganku. Lagipula kita adalah teman baik, kita sudah saling mengenal. Akan lebih baik menikah denganmu daripada menikah dengan wanita yang belum aku kenal."
"Aku tidak ingin merusak persahabatan kita dengan hal semacam ini. Dan juga kehidupan kalangan sosialita kelas atas dengan tanggung jawab dan kehidupan yang membosankan." sang wanita menjawab dengan penuh kharisma." Dan kaupun pasti juga tahu, mimpiku adalah ingin menjadi seorang pianis yang terkenal. Aku akan berusaha dengan baik, dan tidak ingin menyerah sekarang. Jika aku menjadi seorang istri dari pewaris perusahaan besar, itu artinya aku akan menyerah dari semua usahaku itu?"
Marlina kagum dengan jawaban sang wanita, dia begitu dingin namun berkelas saat menolak ajakan Kelana. Namun dia melihat ada raut kesedihan dimata Kelana.
Tiba-tiba HP marlina berdering cukup keras, hingga Kelana dan sang wanita itupun kaget mendengar ada suara asing. Kelana langsung melihat kearah sumber suara, dia melihat ada seseorang berdiri diambang pintu. Kelana langsung bergegas berlari, begitupun Marlina langsung bergegas menjauh meninggalkan dua sejoli itu.
"Hei, berhenti!!! Siapa kau?!" Kelana berteriak mencoba menghentikan langkah Marlina.
"Aku, tidak mendengar apapun. Aku sedikit tuli!" Marlina mencoba menghindar. Dia kembali mencoba berlari menjauh dari ruangan itu.
"Siapa dia, apakah dia mendengar semua percakapan kita tadi?" Kanaya muncul dari dalam ruangan.
"Entahlah, semoga dia tidak mengenal siapa kamu." Kelana mencoba menenangkan Kanaya.
-
Pada saat perjalanan pulang, Kelana melihat Marlina duduk ditaman kampus. Dia ingat betul Marlina adalah orang yang menguping pembicaraannya denga Kanaya. Perempuan dengan rambut di tusuk dengan pensil, memakai rok mini tapi masih memakai celana olahraga panjang. Kelana langsung memarkirkan motornya dan bergegas menghampiri Marlina.
"Ini mungkin akan menjadi gosip buatmu, namun ini adalah hal yang serius bagiku." Kelana berdiri di depan Marlina.
"Ada apa denganmu, aku sudah bilang tidak akan bilang kepada siapapun." Jawab Marlina kesal.
"Berarti memang benar kamu mendengar sesuatu. Dengar Jika kau menyebarkan gosip yang bahkan kau tidak tahu kebenarannya. Bukan hanya aku, kau pun akan dalam bahaya." Kelana mencoba mengingatkan Marlina dan berlalu meninggalkannya.
-
Marlina melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah. Rasanya hari ini di kampus sangat melelahkan. Di dalam rumah tampak sepi, dia kemudian menuju halaman belakang rumah. Nampak ibunya sedang duduk mengupas sayuran. Dia melihat raut wajah ibunya yang murung. Memang akhir-akhir ini Ayah dan Ibunya sering bertengkar.
"Ibu, apakah Ibu berfikiran untuk bercerai dari ayah. Ayolah Ibu, ini tidak lucu. Hatiku merasa sedih setiap kali memikirkan itu." Marlina langsung memeluk Ibunya.
"Ibu do'a kan aku agar bisa menjadi seorang desainer yang sukses. Jika nanti aku terkenal dan sukses, Ibu tidak perlu lagi merasakan hal-hal yang menyedihkan. Aku berjanji." Marlina mencoba meyakinkan ibunya dengan menggenggam tangan ibunya.
"Ibu, bisakah kau membelikanku mesin jahit yang baru? tolonglah." Marlina meminta dengan manja.
"Sudahlah, jangan kamu menambah tekanan hidup Ibu. Sudah sana masuk, kamarmu Ibu lihat tadi terlihat sangat berantakan. Kamu ini anak gadis, harusnya kamarmu itu rapi, wangi." Ibu Marlina mendorong tubuh anaknya untuk berdiri dan segera masuk ke dalam rumah.
Marlina paling malas kalau harus membersihkan kamarnya. Dia berprinsip jika orang yang jenius adalah orang yang memilki kamar yang berantakan. Dia berjalan menuju kamarnya, namun dia melihat ayahnya sedang mengobrak-abrik lemari. Nampak ayah Marlina mengeluarkan semua isi lemari.
"Ayah sedang apa? Kenapa isi lemari ayah berantakin?" Marlina mencoba mengagetkan ayahnya.
"Ahhhh kau ini, ayah sedang mencari harta karun. Aku benar-benar tidak dapat menemukannya." Terlihat muka Ayah cukup frustasi.
"Kenapa? Ayah kehilangan sesuatu?" Marlina mencoba menenangkan Ayahnya.
"Iya sebuah cincin peninggalan kakekmu. Dia memberikan kepada Ayah sebelum meninggal." Jawab Ayah
"Apakah benda yang Ayah maksud yang itu?" Marlina menunjuk ke arah kalender yang tertempel di dinding.
"Ya Tuhan, memang benar itu. Kau memang malaikat penolong ku." Ayah berteriak lalu berlari menuju kalender. Terlihat ada sebuah cincin di jadikan pengait agar kalender bisa menempel pada paku.
"Ibu, lihat ini. Kita selamat, akhirnya kebahagiaan datang ke dalam rumah ini. Ayahku memang tidak berbohong. Ibuuu.... cepat kesini." Ayah berteriak kegirangan.
"Apa, mana cincin itu. Wahhhh lihat cincin itu terlihat bersinar, seperti anak kita." Ibu tak kalah gembiranya dengan Ayah. Mereka melompat sambil berpelukan. Suasana rumah yang awalnya sepi menjadi sangat ramai dengan teriakan Ibu dan Ayah. Marlina masih bingung dengan tingkah laku Ibu dan Ayahnya. Dia hanya ikut tertawa mengikuti suasana rumah yang tiba-tiba berubah.
-
Kelana sampai di rumah dengan suasana hati yang masih kacau. Dia masih terpikir dengan ucapan kekasihnya Kanaya, yang dengan jelas menolak lamarannya. Ditambah dengan percakapan mereka terdengar oleh Marlina. Cepat atau lambat pasti gosip akan menyebar dan membuatnya repot. Kelana masuk ke dalam rumahnya. Suasana nampak berbeda, rumah yang biasanya hanya ada dia dan pembantu, saat itu nampak ada sekretaris perusahaan sedang duduk di ruang tamu.
"Mas Kelana, baru saja pulang?" sapa Pak Rudi sang sekretaris.
"Hai Pak, apakah Papa dan Mama akan pulang?" jawab Kelana.
"Oh, iya Mas, bahkan eyang putri juga akan datang hari ini. Mas Kelana belum tahu ada acara keluarga malam ini? Mereka sedang menuju kesini, mungkin tidak lama lagi akan sampai." Pak Rudi coba menjelaskan.
"Pak Rudi jadi wakilku saja ya, aku capek. Besok aku mau manggung." Kelana menepuk punggung Pak Rudi sambil berlalu.
Belum sempat Kelana naik ke tangga rumah, terdengar suara lembut perempuan. "Kelana....", kemudian sosok perempuan paruh baya mendatangi dan langsung memeluk Kelana. "Bagaimana kabarmu Nak, kamu semakin tinggi saja, eyang sudah tidak bisa memelukmu."
"Eyang, aku sangat merindukan Eyang. Kapan Eyang sampai? Harusnya Eyang bilang dulu sama Kelana, kan Kelana bisa jemput di bandara." Kelana langsung menuntun Eyangnya duduk di meja makan.
"Eyang dengar kamu semakin sibuk dengan band kamu, kuliah kamu gak terganggu kan?" perempuan paruh baya itu mengelus rambut cucunya.
"Tenang Eyang, semuanya lancar jaya. Kalau mau Eyang besok ikut saja ke kampus, aku besok manggung sama anak-anak."
"Kamu ada-ada saja. Eyang disini hanya satu malam, besok pagi-pagi eyang harus balik. Kalian semua duduk dulu, ada yang perlu Eyang sampaikan." Eyang meminta mama dan papa kelana untuk segera duduk di meja makan.
"Kelana, kamu sudah tahu kenapa kamu harus kuliah manajemen bisnis, padahal mama dan papa tahu kamu lebih suka dengan dunia musik." papa Kelana mulai membuka pembicaraan kearah yang lebih serius.
"Papa, berencana menetap bersama eyangmu di luar negri. Papa harus berobat dalam jangka waktu yang cukup lama. Jadi, papa ingin kamu meneruskan usaha yang sudah eyang kakungmu rintis sejak beliau masih muda."
"Benar Kelana, Mama, Papa dan Eyang akan menetap di luar negeri. Jadi kamu harus tinggal di sini bersama Pak Rudi. Dan sebelum itu semua kami harus memastikan kamu akan baik-baik saja selama tinggal disini." Mama Kelana menambahkan penjelasan suaminya.
"Kelana, sebelum Eyang kakungmu meninggal, beliau berwasiat agar kelak cucu laki-lakinya nanti akan dinikahkan dengan cucu sahabatnya." Eyang putri memberikan penjelasan.
Wajah Kelana tidak terlihat terkejut, dia sudah menduga dengan skenario kehidupan orang kelas atas. Kelana hanya berekspresi datar saja. Dia hanya menjaga etika sopan santun di depan orangtua nya.
"Kelana, kamu tidak perlu khawatir. Mama sudah mencari tahu latar belakang perempuan yang akan menjadi calon istrimu. Dan apa memang sudah berjodoh, tapi kalian satu universitas. Dia kuliah di jurusan desain." Mama Kelana mencoba mencari sesuatu di dalam tasnya.
"Nah ini Nak, calon istrimu. Dia begitu cantik." Mama Kelana memberikan selembar foto kepada Kelana.
Kelana mengambil foto yang diberikan oleh mamanya. Dia berusaha mengenali wajah perempuan dalam foto itu. Alangkah terkejutnya Kelana setelah benar-benar melihat siapa gadis dalam foto itu.
Appaaaaaa, kenapa gadis ini....
Sementara itu selama Kelana berada di luar negri, Marlina setiap hari harus belajar mengelola perusahaan. Dia merasa sangat beruntung karena ada Hiroshi yang selalu membantunya. Meskipun sering menemui kesulitan, namun Marlina tidak mudah menyerah. Dia terus mencoba dan tidak sungkan untuk bertanya kepada Hiroshi maupun kepada pegawai yang lain. "Apa kamu masih ingin lembur?" Hiroshi berdiri di depan meja kerja Marlina. "Ohhhh, sudah jam berapa ini?" Marlina kaget mendengar suara Hiroshi. "Sudah lebih dari jam 7, yang lain juga sudah pulang. Kamu mau jadi penunggu kantor ini?" "Bukankah aku terlalu cantik untuk sesosok hantu penunggu gedung?" Marlina mengusap-usap mukanya. "Hahahahaha, kalau kamu hantunya, aku rela setiap hari kamu ganggu." "Aku sangat lapar, tapi aku harus segera pulang." Marlina membereskan mejanya dan memasukkan barang bawaannya ke dalam tas. "Lahhhh, kenapa kita tidak makan dulu saja. Deket sini ada ayam goreng yang sambelnya terkenal enak, Aku yakin kamu
Sesampainya di Singapura, Kelana langsung bertemu dengan salah satu kliennya. Karena perjalanan yang tidak terlalu melelahkan, maka Kelana memutuskan untuk segera menyelesaikan urusannya dengan beberapa klien sekaligus. Setelah hampir setengah hari dia berkutat dengan urusan pekerjaan, Kelana memutuskan untuk istirahat saja di hotel, karena besok dia masih ada pertemuan dengan klien yang lain. Sebelum kembali ke kamar hotel, Kelana ingin bersantai di restoran hotel. Ketika sedang menikmati kopinya, dia di kejutkan dengan suara perempuan. "Apakah kopi disini enak?" Suara perempuan itu mengejutkan Kelana. "Astaga, apa yang kamu lakukan di sini?" Kelana sedikit beranjak dari duduknya karena terkejut. "Aku mengejutkanmu?" Perempuan itu lalu duduk di samping Kelana. "Bukankah kamu seharusnya ada di Thailand? Apakah tempatnya berubah?" Kelana melihat sekeliling karena seharusnya Kanaya berada di Thailand untuk koompetisi. "Kamu tidak senang aku berada di sini?" Kanaya mencoba memeluk K
"Apa yang menjadi pikiranmu, selama sesi latihan tadi sepertinya kamu begitu gelisah." Ibu Sayaka memberikan Kirana secangkir teh hijau. "Ah, tidak aku hanya merasa tegang, sebentar lagi ada ujian akhir, dan minggu depan aku akan ikut perlombaan di Bangkok." Kirana mencoba memutar lengannya agar merasa lebih tenang. "Aku dengar anda tinggal di Jepang cukup lama, Bagaimana dengan Jepang?" "Disana aku merasakan ketenangan, karena memang disana kampung halamanku. Hiroshi juga senang berada di sana. Jepang adalah negara yang sangat menarik. Hal modern bisa sangat berdampingan dengan tradisi yang kuat. Baru-baru ini ada sebuah kontroversi, seorang bangsawan yang akhirnya menikah dengan pacar lamanya." "Benarkah itu, pasti mereka menjadi bahan perbincangan nasional. Hahaha." Karina tertawa mendengar cerita Ibu Sayaka. "Tentu saja, bangsawan itu adalah seorang pewaris tunggal di keluarga bangsawan sekaligus pengusaha. Dia jatuh cinta dengan seorang gadis, temannya semasa kuliah. Mereka m
"Kakak kapan datang?" Agha, suara adik Marlina membuat suasana yang awalnya terasa cukup romantis tiba-tiba menjadi sangat canggung. "Agha, sejak kapan kamu datang?" Marlina mencoba bersikap biasa saja, dan mengusap-usap wajahnya. "Ehmmm, baru saja. Kakak kenapa disini?" Agha mendekat kearah Marlina sambil menyipitkan matanya. Dia melihat kearah Kelana dengan tatapan curiga. "Kamu sudah ditunggu ayah, cepat sana ganti baju dan segera bantu ayah." Kelana mencoba mengalihkan perhatian Agha, dia merangkul kepala Agha sambil menariknya berjalan menuju pasar. "Heiii, kenapa kamu memanggil ayahku Ayah." Agha mencoba melepaskan rangkulan Kelana. "Apa maksudmu, aku ini kan kakakmu. Sopanlah sedikit. Ayo cepat." Kelana kembali menarik tubuh Agha untuk berjalan lebih cepat. Marlina masih kaget dengan kejadian yang baru saja terjadi. Dia juga bingung dengan perilaku Kelana yang sok akrab dengan adiknya. "Hei, kenapa kamu masih berdiri di sana?" Kelana berteriak ke arah Marlina. "Haaa,
"Marlina." Terdengar teriakan perempuan dari dalam rumah. "Ibu, aku sangat merindukanmu." Marlina langsung memeluk ibunya yang berlari dalam rumah. "Apa kau tidak merindukan ayahmu ini?" Ayah Marlina berdiri di samping Marlina dan istrinya yang saling berpelukan. "Ayah, bagaimana kabarmu? Aku merindukan kalian semua." Marlina juga langsung memeluk ayahnya. Mereka bertiga terlihat sangat senang sekali, Marlina sampai melupakan ada Kelana dan Pak Rudy yang masih berdiri di luar rumah. Kelana dan Pak Rudy hanya tersenyum melihat tingkah laku keluarga Marlina. Kemudian Ayah Marlina tersadar dan melepaskan pelukannya, lalu berlari kecil menuju luar rumah. "Maafkan kami, silahkan masuk. Mohon maklum, kami bertiga belum pernah berpisah dengan waktu yang cukup lama. Mari-mari..." Ayah Marlina mengajak menantunya dan Pak Rudy masuk ke dalam rumah. "Mari silahkan duduk, rumah kami sangat sederhana, beginilah rumah di desa tidak ada barang yang mewah." Ibu Marlina mempersilahkan Kelana dan
Pagi ini tidak seperti biasanya, Marlina sarapan sendiri. Sejak bangun tidur tadi Marlina tidak melihat Kelana ada di rumah."Bi, Kelana kenapa tidak sarapan? Apa dia belum bangun tidur?" Tanya Marlina kepada Bi Nah."Maaf Non, tuan dari semalam belum kembali kerumah. Mungkin Pak Rudy lebih tahu.""Hah, tidak pulang?" Marlina langsung berdiri dan berlari ke depan mencari Pak Rudy"Pak, Kelana tidak pulang? Dia kemana?" Marlina memegang lengan Pak Rudy sambil menggoyang-goyangkannya."Iya Non, tapi..." Belum selesai Pak Rudy menjawab pertanyaan Marlina, Kelana sudah nampak dari dalam rumah."Ada apa kamu mencariku?" Nada suara Kelana terdengar agak meninggi."Hei, kemana saja kamu semalam, kenapa tidak pulang?" Marlina langsung menghampiri suaminya."Ada hal yang perlu aku selesaikan, dan itu bukan urusanmu. Cepat kamu berkemas, hari ini kita harus pergi ke suatu tempat." Kelana mendorong Marlina masuk ke dalam rumah."Kita akan kemana, kamu mengajakku liburan? benarkah itu?" Marlina