Share

Bab 4

Malam ini keluarga dari Akbar akan datang ke rumah untuk meminang. Acaranya sederhana saja sesuai permintaan aku pada ibu karena jangan sampai mereka malu jika hati nekat menolak.

Aku hanya mengenakan pakaian muslim biasa, lalu melilit jilbab sesuai model yang aku tiru di Yo*Tube tadi. Huh, sekalipun akan menolak, tetap saja ada rasa gugup.

"Mereka sudah tiba, ayo ke luar!" perintah ibu.

Sebenarnya sedikit malu keluar dengan mata sembab begini, tetapi kalau tetap diam di kamar nanti ibu yang menerima lamaran itu dengan dalih aku mengiyakan saja keputusan orangtua.

Teringat kemarin pesan Dian ketika Gio sudah benar-benar pergi bahwa rida orangtua harus kita kejar apalagi ibu. Jangan pernah menolak lamaran laki-laki baik atau akan ditimpa musibah.

"Cepet!" panggil ibu lagi.

Aku melangkah malas ke luar dari kamar menuju ruang tamu. Kepala terus menunduk enggan menatap calon suami. Ah, menyebutnya dengan panggilan itu membuat aku ingin mengamuk.

Kalau saja bukan karena Dian yang selalu membujuk, mungkin sekarang aku memaksa Gio membawaku kabur dari sini. Sekali lagi aku tekankan, menikah tanpa cinta itu tidak bagus.

Mereka yang menikah dengan cinta saja mudah tergoyah imannya untuk selingkuh dan menyakiti pasangan, apalagi yang dijodohkan. Entah pernikahan apa yang akan aku jalani nanti.

"Jadi, bagaimana, Nak Ayu? Apa kamu mau menerima lamaran putra kami?" Suara bass itu pasti milik Pak Haris, ayahnya.

"Bagaimana aku bisa menerima lamaran orang yang tidak aku kenal sama sekali?" tanyaku pelan, tetapi penuh penekanan.

Air mata kembali membentuk anak sungai pada pipi, tetapi segera aku seka karena malu juga sudah dewasa begini malah tukang nangis. Di depan orang yang akan meminang pula.

"Benar, Pak, sepertinya mereka memang harus saling mengenal dulu jangan langsung dinikahkan." Aku tersenyum mendengar penuturan perempuan tua itu.

"Bu Laila benar, siapa tahu Nak Akbar juga tidak suka sama anak kami," tambah ibu.

Aku melengkungkan segaris senyum di bibir karena tidak terlalu ditekan seperti tadi sore ketika mereka mengabarkan akan datang malam ini. Jantung di dada bertalu cepat bak pacuan kuda.

"Tidak, aku suka melihat Ayu. Cuman kalau dia mau kenal lebih jauh dulu, gak apa-apa. Aku bisa menunggu," jawab Akbar.

Mata terpejam kuat begitu mendengar jawaban konyol itu. Sial sekali, bagaimana bisa dia suka sama aku padahal baru pertama kali bertemu. Kalau pun melihat di foto, kan berbeda.

Kenapa beda?

Ya, jelas sekali karena di foto itu pakai filter. Aslinya tidak bisa. Ada-ada saja dia, batinku menggerutu.

"Kalau begitu memang seharusnya mereka dikenalkan dulu, bukan malah langsung melamar. Untung saja baru kami bertiga yang hadir, padahal ada banyak rombongan yang siap, loh!" ujar Bu Laila.

Dari suaranya kedengaran sekali kalau dia itu orang baik karena sangat lembut dalam bertutur kata. Namun, semoga saja sesuai apa yang ada dalam hatinya.

Ibu berbisik padaku untuk mengangkat wajah melihat pada Akbar. Terpaksa aku menyeka air mata, lalu menuruti permintaan ibu.

Kami tengah beradu pandang. Ya, Akbar memang tampan dengan hidung mancung luar biasa. Ternyata dia berpostur tubuh tinggi dan seandainya aku memeluknya, kepala bisa bersandar di dada yang bidang itu.

Kedua tanganku meremas lutut yang tertutupi celana bahan. Dia tersenyum manis hingga hati sedikit berdesir. Aku menggeleng cepat menolak fakta kalau ada rasa tertarik padanya.

"Kita bertemu lagi," ucapnya.

"Akbar Wijayuda?" tanyaku memastikan.

Lelaki itu mengangguk cepat masih dengan senyum yang menampilkan deretan gigi yang berjejer rapi dan bersih. Aku semakin ingat begitu melihat kurta azzaky warna taro yang dipakainya.

Ternyata dia sengaja membeli kurta itu untuk acara lamaran. Sepertinya dia memang baik dan sopan. Huh, aku dilema sekarang mengingat Gio yang mengaku mundur.

"Aku gak nyangka, ternyata perempuan yang menanyakan statusku itu adalah calon jodoh sendiri," lanjut Akbar membuatku tersipu malu.

Saking malunya, aku kembali menunduk karena khawatir wajah sudah seperti kepiting rebus.

"Bukan maksud bagaimana, aku cuma terkejut dan ingin memastikan saja."

"Ini satu pertanda yang baik, Bu Nur karena ternyata anak kita tidak sengaja dipertemukan di toko dan terlibat obrolan singkat!" seru Pak Haris begitu antusias.

Mungkin benar apa yang dikatakannya karena pada hari itu juga Gio datang mengaku tidak bisa berjuang padahal sudah janji akan berusaha mendapat restu ibu.

Kata Dian juga adalah kita tidak boleh nyaman pada satu orang saja sekaligus fokus mencintainya karen boleh jadi dia hanya jodoh orang yang kita jaga. 

"Jadi, bagaimana, Bu Nur? Aku rasanya tidak sabar untuk punya menantu secantik Ayu!" tambah Bu Laila.

"Tenang, Bestie. Kita tunggu jawaban dari Ayu." Mereka semua tertawa karena ibu meniru gaya bicara anak jaman sekarang, memanggil sahabat dengan sebutan 'bestie'.

"Maaf semua, seperti keputusan awal, lebih baik kami saling mengenal lebih dulu. Masing-masing sifat dan banyak hal lainnya harus kita tahu agar kelak setelah menikah tidak terkejut. Jangan sampai Akbar membatin, 'oh, ternyata seperti ini!'.

Lagi pun dengan saling mengenal itu bisa meminimalisir pertengkaran atau perpisahan dan aku tidak pernah berharap cerai setelah menikah," gumamku, tetapi yakin mereka masih bisa mendengar.

"Kalau begitu, baiklah. Kalian bisa tukar nomor telepon kalau misal ada yang perlu ditanyakan. Namun, jangan sampai video call atau pacaran, ya." Pak Haris sepertinya sengaja menggoda.

Aku mengangkat wajah menatap pada Akbar yang tersenyum manis, tentu aku membalas senyum itu meski samar. Dia tampan sekali mirip salah satu aktor Korea yang tidak aku tahu nama aslinya.

Aktor itu berperan sebagai Dokter Kwak dalam drama Hospital Ship. Aku memang kadang menonton drama Korea, tetapi tidak sampai kepo nama asli pemerannya.

Mereka pamit setelah kami tukaran nomor telepon yang tentu saja terhubung ke akun Whats*pp. Aku membuang napas kasar begitu mengingat Gio. Bukan berarti aku berkhianat, tetapi dia sendiri yang enggan berusaha.

"Tuh, kan, apa kata ibu!" Ibu menyikut lenganku saat sudah kembali masuk ke ruang tengah.

"Akbar itu baik juga tampan. Kamu suka sama dia, kan?"

"Enggak. Aku sukanya sama Gio," elakku ragu.

***

Dalam kamar temaram, aku memainkan ponsel berselancar di beberapa media sosial karena akun Whats*pp Gio tidak aktif. Ada kemungkinan dia sedang berusaha menerima takdir, itu menurut prasangka Dian waktu aku tanya padanya.

Ting!

Sebuah notifikasi mengusik perhatian. Itu dari Akbar Wijayuda.

[Semoga Allah mudahkan ikhtiar kita. Sebenarnya ada yang mau aku sampaikan, tetapi malu jika didengar orangtua.]

[Apa itu?] balasku gugup.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status