Malam ini keluarga dari Akbar akan datang ke rumah untuk meminang. Acaranya sederhana saja sesuai permintaan aku pada ibu karena jangan sampai mereka malu jika hati nekat menolak.
Aku hanya mengenakan pakaian muslim biasa, lalu melilit jilbab sesuai model yang aku tiru di Yo*Tube tadi. Huh, sekalipun akan menolak, tetap saja ada rasa gugup.
"Mereka sudah tiba, ayo ke luar!" perintah ibu.
Sebenarnya sedikit malu keluar dengan mata sembab begini, tetapi kalau tetap diam di kamar nanti ibu yang menerima lamaran itu dengan dalih aku mengiyakan saja keputusan orangtua.Teringat kemarin pesan Dian ketika Gio sudah benar-benar pergi bahwa rida orangtua harus kita kejar apalagi ibu. Jangan pernah menolak lamaran laki-laki baik atau akan ditimpa musibah.
"Cepet!" panggil ibu lagi.
Aku melangkah malas ke luar dari kamar menuju ruang tamu. Kepala terus menunduk enggan menatap calon suami. Ah, menyebutnya dengan panggilan itu membuat aku ingin mengamuk.Kalau saja bukan karena Dian yang selalu membujuk, mungkin sekarang aku memaksa Gio membawaku kabur dari sini. Sekali lagi aku tekankan, menikah tanpa cinta itu tidak bagus.
Mereka yang menikah dengan cinta saja mudah tergoyah imannya untuk selingkuh dan menyakiti pasangan, apalagi yang dijodohkan. Entah pernikahan apa yang akan aku jalani nanti.
"Jadi, bagaimana, Nak Ayu? Apa kamu mau menerima lamaran putra kami?" Suara bass itu pasti milik Pak Haris, ayahnya.
"Bagaimana aku bisa menerima lamaran orang yang tidak aku kenal sama sekali?" tanyaku pelan, tetapi penuh penekanan.
Air mata kembali membentuk anak sungai pada pipi, tetapi segera aku seka karena malu juga sudah dewasa begini malah tukang nangis. Di depan orang yang akan meminang pula.
"Benar, Pak, sepertinya mereka memang harus saling mengenal dulu jangan langsung dinikahkan." Aku tersenyum mendengar penuturan perempuan tua itu.
"Bu Laila benar, siapa tahu Nak Akbar juga tidak suka sama anak kami," tambah ibu.
Aku melengkungkan segaris senyum di bibir karena tidak terlalu ditekan seperti tadi sore ketika mereka mengabarkan akan datang malam ini. Jantung di dada bertalu cepat bak pacuan kuda.
"Tidak, aku suka melihat Ayu. Cuman kalau dia mau kenal lebih jauh dulu, gak apa-apa. Aku bisa menunggu," jawab Akbar.
Mata terpejam kuat begitu mendengar jawaban konyol itu. Sial sekali, bagaimana bisa dia suka sama aku padahal baru pertama kali bertemu. Kalau pun melihat di foto, kan berbeda.
Kenapa beda?
Ya, jelas sekali karena di foto itu pakai filter. Aslinya tidak bisa. Ada-ada saja dia, batinku menggerutu.
"Kalau begitu memang seharusnya mereka dikenalkan dulu, bukan malah langsung melamar. Untung saja baru kami bertiga yang hadir, padahal ada banyak rombongan yang siap, loh!" ujar Bu Laila.
Dari suaranya kedengaran sekali kalau dia itu orang baik karena sangat lembut dalam bertutur kata. Namun, semoga saja sesuai apa yang ada dalam hatinya.
Ibu berbisik padaku untuk mengangkat wajah melihat pada Akbar. Terpaksa aku menyeka air mata, lalu menuruti permintaan ibu.
Kami tengah beradu pandang. Ya, Akbar memang tampan dengan hidung mancung luar biasa. Ternyata dia berpostur tubuh tinggi dan seandainya aku memeluknya, kepala bisa bersandar di dada yang bidang itu.
Kedua tanganku meremas lutut yang tertutupi celana bahan. Dia tersenyum manis hingga hati sedikit berdesir. Aku menggeleng cepat menolak fakta kalau ada rasa tertarik padanya.
"Kita bertemu lagi," ucapnya.
"Akbar Wijayuda?" tanyaku memastikan.
Lelaki itu mengangguk cepat masih dengan senyum yang menampilkan deretan gigi yang berjejer rapi dan bersih. Aku semakin ingat begitu melihat kurta azzaky warna taro yang dipakainya.
Ternyata dia sengaja membeli kurta itu untuk acara lamaran. Sepertinya dia memang baik dan sopan. Huh, aku dilema sekarang mengingat Gio yang mengaku mundur.
"Aku gak nyangka, ternyata perempuan yang menanyakan statusku itu adalah calon jodoh sendiri," lanjut Akbar membuatku tersipu malu.
Saking malunya, aku kembali menunduk karena khawatir wajah sudah seperti kepiting rebus."Bukan maksud bagaimana, aku cuma terkejut dan ingin memastikan saja."
"Ini satu pertanda yang baik, Bu Nur karena ternyata anak kita tidak sengaja dipertemukan di toko dan terlibat obrolan singkat!" seru Pak Haris begitu antusias.
Mungkin benar apa yang dikatakannya karena pada hari itu juga Gio datang mengaku tidak bisa berjuang padahal sudah janji akan berusaha mendapat restu ibu.
Kata Dian juga adalah kita tidak boleh nyaman pada satu orang saja sekaligus fokus mencintainya karen boleh jadi dia hanya jodoh orang yang kita jaga.
"Jadi, bagaimana, Bu Nur? Aku rasanya tidak sabar untuk punya menantu secantik Ayu!" tambah Bu Laila.
"Tenang, Bestie. Kita tunggu jawaban dari Ayu." Mereka semua tertawa karena ibu meniru gaya bicara anak jaman sekarang, memanggil sahabat dengan sebutan 'bestie'.
"Maaf semua, seperti keputusan awal, lebih baik kami saling mengenal lebih dulu. Masing-masing sifat dan banyak hal lainnya harus kita tahu agar kelak setelah menikah tidak terkejut. Jangan sampai Akbar membatin, 'oh, ternyata seperti ini!'.
Lagi pun dengan saling mengenal itu bisa meminimalisir pertengkaran atau perpisahan dan aku tidak pernah berharap cerai setelah menikah," gumamku, tetapi yakin mereka masih bisa mendengar.
"Kalau begitu, baiklah. Kalian bisa tukar nomor telepon kalau misal ada yang perlu ditanyakan. Namun, jangan sampai video call atau pacaran, ya." Pak Haris sepertinya sengaja menggoda.
Aku mengangkat wajah menatap pada Akbar yang tersenyum manis, tentu aku membalas senyum itu meski samar. Dia tampan sekali mirip salah satu aktor Korea yang tidak aku tahu nama aslinya.Aktor itu berperan sebagai Dokter Kwak dalam drama Hospital Ship. Aku memang kadang menonton drama Korea, tetapi tidak sampai kepo nama asli pemerannya.
Mereka pamit setelah kami tukaran nomor telepon yang tentu saja terhubung ke akun Whats*pp. Aku membuang napas kasar begitu mengingat Gio. Bukan berarti aku berkhianat, tetapi dia sendiri yang enggan berusaha.
"Tuh, kan, apa kata ibu!" Ibu menyikut lenganku saat sudah kembali masuk ke ruang tengah.
"Akbar itu baik juga tampan. Kamu suka sama dia, kan?"
"Enggak. Aku sukanya sama Gio," elakku ragu.
***
Dalam kamar temaram, aku memainkan ponsel berselancar di beberapa media sosial karena akun Whats*pp Gio tidak aktif. Ada kemungkinan dia sedang berusaha menerima takdir, itu menurut prasangka Dian waktu aku tanya padanya.
Ting!
Sebuah notifikasi mengusik perhatian. Itu dari Akbar Wijayuda.
[Semoga Allah mudahkan ikhtiar kita. Sebenarnya ada yang mau aku sampaikan, tetapi malu jika didengar orangtua.]
[Apa itu?] balasku gugup.
[Apa kamu ada hati sama orang lain? Maaf, kalau pertanyaan ini terkesan lancang. Namun, aku tidak ingin menaruh harap sama orang yang tidak pernah ada niat untuk menerimaku. Katakanlah sekarang sebelum akhirnya kita melangkah lebih jauh dan sulit untuk kembali ke titik awal.] Membaca pesan itu membuatku semakin dilema. Kasihan juga Akbar kalau harus diberi harapan sementara hati fokus memikirkan Gio. Ya, dalam hati dan pikiran selalu terbesit nama Gio Syaputra. Aku sampai heran kenapa bisa sesuka itu sama dia. Entah karena sifatnya yang suka menolong orang atau memang sudah menjadi takdir. [Tidak, Akbar.] Hanya itu yang bisa aku kirim padanya. Ini tidak berbohong karena aku hanya mengatakan tidak, bukan menjelaskan secara rinci. Aku mengaku tidak bisa memberitahunya tentang Gio karena lelaki itu saja sudah mengaku kalah. Mungkin Gio merasa ragu untuk berjuang mengingat status ibunya yang seorang kupu-kupu malam. Ibu merasa khawatir jika kelak aku menjadi menantunya, akan dipaksa u
Sesampainya di depan toko, aku memaksa senyum pada Mbak Rina karena sepanjang jalan tadi mendapat omelan dari ibu. Sungguh aku tidak mengerti kenapa ibu harus mempermasalahkan pekerjaan orangtua Gio.Padahal jika telah menikah nanti, kami bisa pisah rumah. Lagi pula tentu saja ibunya Gio tidak akan mau serumah dengan kami atau akan mempersulit dirinya sendiri."Sebenarnya ada apa, sih, Yu? Mbak bukannya kepo cuman kalau ada masalah, kamu bisa cerita." Mbak Rina mulai penasaran."Gak ada apa-apa, kok, Mbak.""Gak apa-apa gimana? Tadi aja ibu kamu langsung marah-marah pas tau mbak bilang ke rumah sahabatmu. Dia juga marahin mbak karena ngeberi izin gitu."Aku membuang napas kasar. Ternyata ibu sangat benci jika aku masih berusaha dekat dengan Gio atau dengan orang-orang yang akrab dengannya. Namun, kenapa harus memarahi Mbak Rina juga?"Maafkan ibu, Mbak." Hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan sebelum akhirnya kembali ke meja kasir.Mbak Rina manggut-manggut mengerti. Mungkin dia peka
"Ayu!" Gio meraih pergelangan tanganku. Kami tidak bersentuhan langsung karena piyamaku menjadi perantara. Menyadari itu, Gio langsung melepasnya. "Kamu mau bunuh diri? Sadarlah, itu dosa.""Aku gak peduli. Selama kamu menyerah, aku akan tetap mengakhiri hidup.""Jangan bunuh diri. Pikirkan perasaan orangtua kamu, juga Dian sebagai sahabatmu.""Bagaimana dengan perasaanmu sendiri, Gio? Apa kamu tidak sedih atau malah senang jika aku pergi dari dunia ini?"Gio membuang napas kasar. "Bukan seperti itu. Kamu tidak bisa memahami apa keinginanku karena dibelenggu obsesi. Cinta tidak selamanya berakhir indah.""Bagaimana jika aku ingin cinta kita berakhir indah?""Jangan melawan takdir, Ayu!"Aku tersentak mendengar respons Gio. Sungguh, aku bukan mau melawan takdir karena sama saja durhaka kepada Tuhan. Hanya saja berusaha bangkit dan meminta agar takdir itu diubah menjadi indah.Bukankah senjata orang mukmin adalah doa? Allah tidak pernah melarang hamba-Nya untuk berdoa, lalu kenapa Gio b
Lelah rasanya setelah melakukan live streaming di Facebo0k. Pasalnya lelang kali ini lumayan banyak daripada tahun lalu dan alhamdulillah peminatnya banyak juga. Kami sampai banjir orderan.Selain aku, ada satu karyawan baru lagi. Ah, mungkin saja saudara Mbak Rina karena setahu aku dia bukan asli sini, ketahuan dari muka.Dia mem-packing barang dengan cekat, aku sampai melongo melihatnya. Atau mungkin juga karena dia seorang lelaki berpengalaman sampai bisa secepat dan serapi itu."Tempelin gih!" perintah Mbak Rina menyerahkan tumpukan stiker info pemesan yang berisi nomor pesanan, nama, nomor telepon, alamat serta ucapan terimakasih. "Mbak mau ke warung sebentar, laper!"Laki-laki itu sangat pintar karena sudah menandai tiap paket dengan nomor pesanan sehingga aku tidak perlu bingung. Tentu saja aku menempel stiker itu dengan hati-hati, takut mendapat sensor."Rafael, panggil saja Rafa.""Eh?" Aku terkejut karena tiba-tiba saja dia memperkenalkan diri."Nama kamu siapa?" tanya Rafa
"Gak, aku gak mau pulang sebelum berhasil menyadarkanmu!" tolak Dian dengan senyum pongah."Lagian kenapa, sih? Aku kan gak kesurupan!""Sudah kukatakan, rasa berharapmu pada Gio harus dikikis, Ayu." Dian sudah kembali melembutkan suara."Hatiku pedih!" tukasku cepat, kemudian berakhir dengan embusan napas kasar.Memang semua ini salah dan aku menyadari itu, tetapi kita tidak bisa mengatur hati untuk bersikap biasa saja. Aku juga tahu bahwa masalah apa pun yang menimpa baik itu berupa ujian pada harta, keluarga atau kekasih, kita harus kembali kepada Allah.Setiap malam aku bermunajat pada-Nya meminta pertolongan agar bisa menerima Akbar hadir dalam kehidupanku. Nyatanya cinta pada Gio yang semakin tumbuh megah. Umpama ilalang yang rimbun tanpa disiram."Kepedihan bagiku adalah sebuah panggilan dari Tuhan untuk kembali pada-Nya. Wahai hambaku, segeralah kembali, mendekat ke sisi-Ku. Kamu sudah lama merasa hebat sehingga lupa dan lalai dari mengingat-Ku," tutur Dian menohok hati.Air m
Pesan Akbar tidak aku balas karena masih bingung harus menjawab apa. Ingin mengelak juga khawatir dia sudah tahu semuanya dan menganggap aku ini perempuan dramatis.Ingin jujur juga tidak mungkin, jangan sampai dia mengira aku ini terlalu diperbudak cinta. Aku tidak mau dicap buruk sama manusia lainnya sekalipun penilaian mereka tidak penting.Apalagi, sepuluh menit setelah kudiamkan pesannya semalam, dia posting story Whats*pp. Katanya, hati yang tenang adalah hati yang tidak terikat sesuatu selain Allah."Selamat datang di Toko Fashion Muslim dan Muslimah. Ada yang bisa kami bantu?" sapaku ramah begitu melihat pelanggan masuk.Hari sudah beranjak sore, sejak tadi kami sibuk menyusun barang baru dibantu Rafael juga. Lelaki itu melepas maskernya seraya melangkah cepat mendekat padaku yang mematung di dekat manekin."Ayu, aku mau bicara sama kamu.""Bicara apa?""Story yang kamu pasang itu buat Gio?""Kamu tahu Gio?" tanyaku ragu-ragu.Akbar menunduk dalam beberapa saat, aku jadi semak
"Ibu bilang sama Akbar kalau lamaran ini diterima?" tanyaku pada ibu begitu selesai salat magrib."Loh, memangnya kenapa kalau ibu ngomong gitu ke Akbar?" Ibu melipat kedua tangan di depan dada. "Pokoknya tidak usah banyak protes. Sabtu nanti mereka bakal datang ke sini buat nentuin tanggal pernikahan. Ayahmu aja sudah setuju, jadi nunggu apa lagi?""Ibu gak ngerti perasaan aku!" pungkasku menunjuk diri dengan tangan kanan."Memangnya Akbar kurang apa dari Gio? Setahu ibu, Akbar itu lebih berilmu, kemudian cakep. Cuman mungkin kalah tajir aja sama Gio yang ibunya–""Kupu-kupu malam kan yang mau Ibu bilang lagi?" Terpaksa aku membuang napas kasar di depan ibu karena emosi sudah mendarah daging. "Gini ya, Bu. Kita gak bisa menilai orang dari luar saja. Sifat asli orang itu ketahuan kalau dia dalam keadaan emosi, apakah tetap lemah lembut atau malah meluapkannya ""Dan Akbar orang yang ibu percaya. Dia anak yang lahir dari orangtua hebat, mendidik dengan sempurna sampai bisa seperti sek
Sabtu yang dinanti-nanti telah tiba. Entah mengapa sampai sekarang aku tidak bisa ikhlas menerima semua ini padahal kemarin malam merenungkan ayah yang sudah berusaha membujuk ibu sampai beradu mulut.Selama beberapa hari ini pula aku selalu di bawah pengawasan Dian untuk tidak menemui Gio. Bukan hanya itu, setiap hari dia mengingatkanku untuk menerima Akbar sebagai suami karena di luar sana banyak sekali perempuan yang menginginkan lelaki sepertinya.Walau aku menolak dengan dalih Gio juga orang baik, Dian menggelengkan kepala. Ibu memberi kepercayaan pada Dian sehingga dia tidak ingin ingkar ketika diminta berjanji untuk membujukku.Sebuah amanah yang sebenarnya sulit untuk Dian lakukan karena dia sendiri tahu bagaimana hati ini telah tenggelam dalam dunia Gio. Lelaki itu tidak pernah lagi memberi kabar padaku, hanya memasang story beberapa kali."Sudah siap, Bestie?" tanya Dian memecah lamunan.Aku menatap pantulan cermin. Di sana ada sosok pere