Share

Bab 8

Lelah rasanya setelah melakukan live streaming di Facebo0k. Pasalnya lelang kali ini lumayan banyak daripada tahun lalu dan alhamdulillah peminatnya banyak juga. Kami sampai banjir orderan.

Selain aku, ada satu karyawan baru lagi. Ah, mungkin saja saudara Mbak Rina karena setahu aku dia bukan asli sini, ketahuan dari muka.

Dia mem-packing barang dengan cekat, aku sampai melongo melihatnya. Atau mungkin juga karena dia seorang lelaki berpengalaman sampai bisa secepat dan serapi itu.

"Tempelin gih!" perintah Mbak Rina menyerahkan tumpukan stiker info pemesan yang berisi nomor pesanan, nama, nomor telepon, alamat serta ucapan terimakasih. "Mbak mau ke warung sebentar, laper!"

Laki-laki itu sangat pintar karena sudah menandai tiap paket dengan nomor pesanan sehingga aku tidak perlu bingung. Tentu saja aku menempel stiker itu dengan hati-hati, takut mendapat sensor.

"Rafael, panggil saja Rafa."

"Eh?" Aku terkejut karena tiba-tiba saja dia memperkenalkan diri.

"Nama kamu siapa?" tanya Rafa tanpa mengalihkan pandangan dari tumpukan barang yang tersisa sedikit.

"Ayu Syafitri, panggil saja Ayu."

"Nama yang indah," pujinya lantas membuatku mengukir senyum.

Sekalipun sikap Rafael yang dengan mudah memperkenalkan diri juga memuji nama, aku tetap tidak bisa menilainya sebagai lelaki ganjen atau pun playboy karena bisa saja dia memang friendly.

Tangannya berhenti bergerak setelah sepuluh menit berlalu karena semua barang sudah dibungkus rapi. Aku terkagum-kagum melihatnya.

"Perlu dibantu pasang stiker?"

"Tidak."

Rafael mengulum senyum, kemudian kembali membantuku. Dia seperti manusia robot yang tidak mengenal kata lelah padahal sejak tadi dia berkutat dengan pekerjaannya sampai-sampai baju basah karena berkeringat.

Aku tidak mau banyak bicara jangan sampai dia salah faham mengira aku baper apalagi sekarang suasana hati masih belum membaik. Seandainya hanya ada aku seorang diri, sudah tentu air mata akan tumpah sejadi-jadinya.

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumussalam, Dian? Sini gih bantu aku tempelin stiker. Tinggal sesuaiin nomor. Bisa, kan?" Pintaku tanpa basa-basi.

Dian mengangguk setuju, kami melakukannya bersama-sama. Berulang kali mata kami beradu pandang seperti ada yang hendak disampaikan Dian, tetapi ada Rafael di sini.

Aku tidak tahu harus melakukan apa agar Rafael menjauh supaya tidak mendengar pembicaraan kami, juga merasa tidak enak jika harus mengusir halus.

"Ini karyawan baru?" tanya Dian dengan setengah berbisik.

"Oh, ini. Namanya Rafael, dia tadi yang paketin semua barang hasil lelang."

Kembali Dian manggut-manggut mengerti. Setelah itu dia berkata, "kamu pasti capek, ya? Istirahat gih, biar aku yang bantu Ayu."

"Iya, Ra. Kamu istirahat saja, aku dibantu Dian. Udah biasa kok," tambahku.

Mungkin karena sudah benar-benar lelah sehingga Rafael berdiri tanpa jawaban. Aku lega dia melangkah menjauh dari kami.

Tanpa mengulur waktu, Dian memberitahuku bahwa tadi malam Gio hampir dibunuh sama ibunya gara-gara memberontak di rumah. Lelaki tadi malam benar bukan ayahnya, mereka berdua terlibat perkelahian.

Kondisi Gio sangat memprihatinkan, tetapi tidak ingin ditemui. Dia juga mengirim pesan pada Dani untuk menyampaikannya padaku.

"Pesan apa?" kejarku.

"Kamu harus ikhlas sama takdir yang Allah berikan. Tidak selamanya kita minta yang manis, langsung dikasi gula. Kadang Allah beri garam dulu, setelah itu diberi madu. Allah selalu punya cara untuk mengabulkan doa hamba-Nya sekalipun itu di luar dugaan."

Dengan intonasi sangat pelan, aku menceritakan pada Dian perkara tadi malam. Tentang jawaban Gio juga ibunya yang membawa pulang seorang lelaki.

"Jadi, gimana keputusan kamu setelah tahu Gio memutuskan menyerah?"

"Tetap berjuang walau sendiri, Beb. Aku gak mau kalau nanti Gio balik berjuang sementara aku sudah jadi istrinya Akbar."

"Laki-laki bukan cuma Gio. Demi kebaikan kamu, blokir nomor Whats*pp Gio dan hapus pertemanan di Facebo0k."

"Kenapa aku harus melakukan itu?"

"Bukan cintamu yang perlu dikikis, tetapi rasa berharap." Dian menepuk pundak ini sekilas sebelum akhirnya melanjutkan pekerjaan.

Dia benar, aku harus mengikis harapan dan melabuhkannya hanya kepada Allah. Pernah suatu hari aku membaca novel bahwa ada satu hal yang mampu mendewasakan seseorang. Sesuatu yang pasti terjadi terlebih jika tidak melabuhkan harapan kepada Allah. Sesuatu itu bernama luka.

Apalagi jika kita menyimpan sebuah nama dalam hati, pasti berujung kecewa. Itu yang aku tahu dan tidak dapat dielakkan kalau Gio telah memenuhi ruang hatiku.

Air mata berlinang, tetapi berusaha aku tahan apalagi menyadari kalau di toko ada Rafael juga. Bibir bergetar hebat ketika kenangan tentang Gio terbayang-bayang dalam ingatan.

"Lebih baik kamu baca doa Nabi Musa agar hatimu lapang menerima takdir. Kamu hafal, kan?" tambah Dian lagi.

"Rabbi syrahli shodriy, wayassirliy amriy, wahlul uqdatan min lisaani, yafqahuu qauliy. Itu?"

Dian mengangguk, kemudian memelukku erat. Seketika air mata turun tanpa permisi, aku menangis dengan suara keras. Luka terlalu menohok hati sehingga aku tidak mampu mengendalikan diri.

Berulang kali Dian mengusap punggungku untuk menenangkan. "Laa tahzan, innallaaha ma'anaa. Kamu harus kuat, sabar dan ikhlas. Aku mau kamu kembali seperti Ayu yang aku kenal."

Aku tidak merespon, tetapi berusaha mereda isakan yang luar biasa dengan menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Tiba-tiba mataku terpaku pada Rafael yang berdiri di belakang Dian.

"Ma-maaf tadi aku kaget dengar kamu nangis makanya lari ke sini."

"Gak apa-apa."

"Kamu istirahat aja biar aku yang selesaikan!" suruh Rafael seraya menunjuk kursi tunggu.

Dian membantuku berdiri, lalu menggenggam erat tangan ini seperti berusaha menyalurkan kekuatan. Di hadapan Dian, aku bagai perempuan bodoh yang hanya mengenal satu lelaki saja. Akan tetapi, bagaimana jika hati sudah bertuan pada Gio?

Lihatlah Qais yang selalu setia mencintai Layla, padahal mereka terlibat cinta terlarang dikarenakan perbedaan kasta. Aku bukan meminta Gio menjadi gila seperti Qais, tetapi mau melihat perjuangannya.

Cinta bukan hanya tentang pengorbanan, tetapi juga perjuangan. Bahkan aku rela memeluk duri dalam diri Gio sekalipun harus berdarah-darah.

"Ayu, rasa kehilangan itu hanya sekejab. Perlahan waktu akan membuatmu lupa pada Gio. Jadi, kamu yang tenang, lupakan dia!"

Aku tersenyum malas. "Kamu ternyata tidak mengerti apa itu cinta dan kehilangan, Dian. Andai kamu faham bahwa cinta dan rasa kehilangan tidak akan sirna sekalipun waktu berputar lima kali lebih cepat."

"Tetapi, Gio bilang tidak peduli lagi sama kamu. Dia bahkan mau nyari calon pendamping hidup yang bisa menerima keadaan orangtuanya."

"Kamu pikir aku gak bisa nerima keadaan ibunya Gio?"

"Tetapi tidak dengan orangtuamu. Kamu harus ingat itu. Jangan sampai kamu tidak tahu membedakan mana cinta dan obsesi!" Dian tersulut emosi.

"Oh begitu? Kalau begitu tinggalkan saja aku! Pergi!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rosi Mauliana
dari awal curiga kenapa Dian kekeh minta ayu melepaskan gio. pas baca langsung ke bab terakhir ternyata tebakan ku benar. Dian suka sama gio dan mereka nikah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status