Pesan Akbar tidak aku balas karena masih bingung harus menjawab apa. Ingin mengelak juga khawatir dia sudah tahu semuanya dan menganggap aku ini perempuan dramatis.Ingin jujur juga tidak mungkin, jangan sampai dia mengira aku ini terlalu diperbudak cinta. Aku tidak mau dicap buruk sama manusia lainnya sekalipun penilaian mereka tidak penting.Apalagi, sepuluh menit setelah kudiamkan pesannya semalam, dia posting story Whats*pp. Katanya, hati yang tenang adalah hati yang tidak terikat sesuatu selain Allah."Selamat datang di Toko Fashion Muslim dan Muslimah. Ada yang bisa kami bantu?" sapaku ramah begitu melihat pelanggan masuk.Hari sudah beranjak sore, sejak tadi kami sibuk menyusun barang baru dibantu Rafael juga. Lelaki itu melepas maskernya seraya melangkah cepat mendekat padaku yang mematung di dekat manekin."Ayu, aku mau bicara sama kamu.""Bicara apa?""Story yang kamu pasang itu buat Gio?""Kamu tahu Gio?" tanyaku ragu-ragu.Akbar menunduk dalam beberapa saat, aku jadi semak
"Ibu bilang sama Akbar kalau lamaran ini diterima?" tanyaku pada ibu begitu selesai salat magrib."Loh, memangnya kenapa kalau ibu ngomong gitu ke Akbar?" Ibu melipat kedua tangan di depan dada. "Pokoknya tidak usah banyak protes. Sabtu nanti mereka bakal datang ke sini buat nentuin tanggal pernikahan. Ayahmu aja sudah setuju, jadi nunggu apa lagi?""Ibu gak ngerti perasaan aku!" pungkasku menunjuk diri dengan tangan kanan."Memangnya Akbar kurang apa dari Gio? Setahu ibu, Akbar itu lebih berilmu, kemudian cakep. Cuman mungkin kalah tajir aja sama Gio yang ibunya–""Kupu-kupu malam kan yang mau Ibu bilang lagi?" Terpaksa aku membuang napas kasar di depan ibu karena emosi sudah mendarah daging. "Gini ya, Bu. Kita gak bisa menilai orang dari luar saja. Sifat asli orang itu ketahuan kalau dia dalam keadaan emosi, apakah tetap lemah lembut atau malah meluapkannya ""Dan Akbar orang yang ibu percaya. Dia anak yang lahir dari orangtua hebat, mendidik dengan sempurna sampai bisa seperti sek
Sabtu yang dinanti-nanti telah tiba. Entah mengapa sampai sekarang aku tidak bisa ikhlas menerima semua ini padahal kemarin malam merenungkan ayah yang sudah berusaha membujuk ibu sampai beradu mulut.Selama beberapa hari ini pula aku selalu di bawah pengawasan Dian untuk tidak menemui Gio. Bukan hanya itu, setiap hari dia mengingatkanku untuk menerima Akbar sebagai suami karena di luar sana banyak sekali perempuan yang menginginkan lelaki sepertinya.Walau aku menolak dengan dalih Gio juga orang baik, Dian menggelengkan kepala. Ibu memberi kepercayaan pada Dian sehingga dia tidak ingin ingkar ketika diminta berjanji untuk membujukku.Sebuah amanah yang sebenarnya sulit untuk Dian lakukan karena dia sendiri tahu bagaimana hati ini telah tenggelam dalam dunia Gio. Lelaki itu tidak pernah lagi memberi kabar padaku, hanya memasang story beberapa kali."Sudah siap, Bestie?" tanya Dian memecah lamunan.Aku menatap pantulan cermin. Di sana ada sosok pere
"Gio, kenapa sejak tadi kamu diam? Kamu marah karena sebenarnya aku yang maksa Dian buat ngajak kamu ketemuan? Hayolah, aku butuh kejelasan!" rengekku menahan tangis agar dia mengira kalau hati sedang baik-baik saja.Sebenarnya ini bagian dari syarat yang diajukan Dian sebelum mengantarku bertemu dengan Gio. Dia bilang kalau aku harus tegar di hadapannya dan jangan sampai menitikkan air mata atau pertemuan ini tidak akan terjadi.Mau tidak mau aku menurut saja karena rindu sudah meraja dalam hati. Namun, sepertinya berbeda dengan Gio. Dia sama sekali tidak senang melihat kedatanganku karena sejak tadi dia diam saja bahkan enggan membuka mulut."Gio, tolong. Hanya sekali ini saja!" bujuk Dian ketika aku menatap iba padanya."Kejelasan apa? Semua sudah jelas dan aku tahu dia akan menikah sama Akbar," ketus Gio."Ayu cuma mau nanya satu hal sama kamu, Gio. Jangan keras kepala begini karena aku tahu kamu juga sama merindukannya, tetapi mencoba lari dar
Saat pertama melihat Gio, perlahan benih-benih cinta tumbuh dalam hatiku. Setiap hari aku merasa, selama ada cinta pasti ada kebahagiaan. Namun, kadang-kadang pula cinta adalah air mata. Menjadi penyebab kesedihan dan penderitaan, yakni sedih karena tidak bisa memiliki dan menderita karena menahan gejolak rindu tanpa temu. Sejak saat itu aku faham bahwa cinta saja tidak cukup untuk menyatukan dua insan. Sekalipun cinta melebihi luasnya langit dan bumi, tanpa restu dari orangtua, tetap saja semua itu sia-sia. "Saya terima nikah dan kawinnya Ayu Syafitri binti Herianto dengan mas kawin tersebut, tunai." Akbar mengucapkan ijab qabul dengan suara lantang seolah dia sudah latihan beberapa hari. Akan tetapi, lebih lantang lagi sorakan saksi dan tamu undangan yang hadir mengatakan kalau kami sudah sah menjadi suami istri. Hati menangis pilu karena pada akhirnya takdir benar-benar tidak sejalan. Dian menepuk pundakku berulang kali, juga memaksakan senyum. Tentu saja sebagai sahabat yang t
Fajar menyingsing, aku tentu sudah siap untuk ke luar kamar hendak membantu ibu di dapur. Sesuai kesepakatan saat fitting baju pengantin, aku minta untuk menetap di rumah beberapa hari.Baru saja tangan ingin membuka daun pintu ketika Akbar menarikku menjauh dari sana. Kami berdiri di dekat jendela, matanya seperti ingin mencari tahu sesuatu.Aku berdehem karena salah tingkah. "A-ada apa?""Ada yang mau aku tanyakan dan tolong kamu jawab dengan jujur, Ay.""Apa?" Aku mengerjapkan mata seraya berusaha meminimalisir rasa gugup."Kamu ...." Sejenak Akbar menundukkan pandangan, lalu melanjutkan, "apa ada kemungkinan namaku hadir dalam hatimu?"Entahlah. Aku tidak tahu harus menjawab apa pertanyaan sepele itu. Bagi pengantin baru lainnya, tentu akan menjawab dengan yakin bahwa suaminya akan menjadi pemilik hati. Namun, mungkin tidak denganku karena pernikahan ini tidak pernah kuharapkan terjadi.Dia memang baik, aku tahu itu. Hanya saja kita tidak bisa mengatur hati untuk mudah menggantika
Saat ini aku tengah merinduSekalipun tetap tak berujung temuDalam benakku bertanya, "kamu sedang apa?"Namun, tetap saja tanpa ada jawabnya Apakah kamu tidak pernah mencobaUntuk mengingatku barang sebentar?Senyummu yang begitu memesonaMengubah candu menjadi pilar Lucu memang, tetapi seperti inilah akuSendiri dalam sepi berselimut rinduMelangkah dalam gelapnya malam kelabuTenggelam dalam lautan cinta yang semu Kala kugaungkan yang terasaHati harus siap menelan dukaHanya saja aku teringat sabda cintaYang kerap mengelabui hati dan mata Saat kutak ada kabarKamu bertanya tak kenal sabarSaat kumenjauhKamu mendekat tak kenal jenuh Aku rindu... *** "Kenapa kamu murung, Ay. Ada masalah? Kalau ada cerita sama aku. Kita ini suami istri dan sudah seharusnya saling menyampaikan keluh kesah," tutur Akbar begitu aku selesai mengemas pakaian. "Gak apa-apa, By. Aku cuma penasaran kita akan tinggal di mana nanti." Lagi dan lagi aku berbohong pada suami bahkan sampai memaksa bibir m
"Ma-maksud aku batu giok, By." Aku menjawab asal seraya tersenyum manis.Mata Akbar memicing, setelah itu alis kanannya terangkat tipis. "Memangnya kenapa dengan batu giok?""Aku penasaran sama batu giok, By, soalnya gak pernah lihat. Oh iya, laper nih. Kamu gak laper? Mau aku masakin apa suapin gitu?" cecarku karena tentu saja merasa sangat bersalah.Lagi pula Akbar tidak boleh tahu tentang Gio atau dia akan mengadu pada ibu. Bukan hanya itu, rencana untuk mengunjungi sang kekasih bisa batal karena kami akan pindah rumah atau kemungkinan buruk lainnya.Yup, aku sudah mendapat ide harus melakukan apa saja selama di sini, toh tidak harus bekerja lagi karena diminta resign walau belum memberi kabar pada Kak Rina juga."Kamu bisa masak?"Baru saja ingin menjawab, aroma masakan sudah menguar dalam hidung. Aku menarik lengan Akbar, menuntunnya keluar kamar. Tepat di meja makan sudah terhidang masakan istimewa."Sejak kapan Mbok masak?" tanyaku langsung menyambar piring kosong."Tadi, Bu. N