Share

PERSELINGKUHAN ISTRI PENGUSAHA
PERSELINGKUHAN ISTRI PENGUSAHA
Penulis: Mllapngst

BAB I

Pukulan keras seketika menyentuh tubuh seorang gadis kecil berusia sembilan tahun. 

            “Bukan. A ... aku tidak melakukannya, Ma.” 

Dari bilik kamar di sebuah rumah, terlihat anak kecil tengah meyakinkan sesuatu kepada ibunya. Gadis kecil itu terlihat sangat mungil. Ia mengenakan pakaian bermotif polkadot, ditambah penampakan pita merah muda yang menghiasai rambutnya, membuat dirinya terlihat begitu menggemaskan. 

           “Sudah, ngaku saja! Kamu yang memakan ikan di meja itu, kan?” tanya perempuan paruh baya yang berdiri tepat di depan gadis kecil tersebut. Tatapan matanya begitu sinis, bola mata yang berbentuk bulat sempurna, seakan mau keluar dari kerangkanya, ditambah kerutan di dahinya, membuat gadis kecil tersebut makin merasa ketakutan. 

           “Argh, sakit!” Gadis kecil tersebut merintih kesakitan. 

Sesekali ia mengelap air mata yang mengalir deras di pipinya. Pipinya yang masih memiliki tulang lunak, harus mengalami luka memar kemerahan akibat tamparan yang begitu keras. 

          “Rasakan! Sudah salah, masih saja berbohong,” cetus ibunya.

         “Sebagai hukumannya, nanti malam kamu tidak mendapat jatah makan,” tutur wanita tersebut. Sorot matanya begitu tajam.

Ibu yang kejam! Kalimat tersebut sangat pantas untuk dirinya.  Isak tangis mengiringi suasana hari itu. Tidak ada rasa iba dari raut wajahnya, sedikit pun tidak ada.

Hari-hari dilewati tanpa adanya senyuman. Ibarat hidup, tetapi mati. Benar saja, itulah yang ia rasakan saat ini. Ia tidak pernah menerima cinta dari siapa pun, begitu pula sebaliknya. 

**

Waktu terasa bergulir sangat cepat, bersama penderitaan yang menghujam semakin hebat. Kini, gadis kecil tersebut sudah tumbuh dewasa, Sara Damayanti. Ia memiliki alis tebal dengan warna hitam kecokelatan. Bibirnya merah merekah seperti setangkai mawar, membuat ia terlihat sangat indah dan seksi untuk dipandang. 

Meski sudah beranjak dewasa, ia masih mengingat begitu jelas semua kejadian yang ia alami sewaktu ia kecil. Andai saja ia tidak terlahir di keluarganya sendiri, rasanya itu akan jauh lebih baik, pikirnya dalam hati.

Bagi Sara, terlahir sebagai anak dari kedua orang tuanya merupakan mimpi buruk yang ingin segera diakhiri. Belasan tahun ia harus merasakan ketidakadilan dalam keluarganya. Andai kata disuruh memilih, Sara lebih memilih mati daripada harus dilahirkan di dunia ini. 

        “Daging sapi ini untuk adikmu, makanan kamu sudah mama taruh di meja,” kata mama Sara sambil memegang sepotong dendeng sapi dengan taburan bawang goreng di atasnya. Lantas ia pergi meninggalkan Sara. 

Sara bergegas menuju meja makan. Ia segera membuka tudung saji yang diletakkan di atas meja. Setengah tidak percaya, ia hanya mendapati sepiring nasi dengan sepotong tempe di meja tersebut.

      “Punya Sara kenapa hanya tempe aja lauknya, Ma?” tanya Sara pada mamanya.

      “Kenapa? kamu iri sama adik kamu sendiri?”  Mamanya kembali menatapnya tajam, dan menggerakkan salah satu alisnya dengan sinis. Ini pertama kalinya Sara berani protes kepada mamanya sendiri.

      “Aku bukannya iri, Ma. Dari aku kecil sampai dewasa, mama tidak pernah bersikap adil,” kata Sara dengan mata yang berkaca-kaca. Matanya tidak bisa bohong, terlalu banyak luka yang selama ini ia pendam.

       Namun kali ini, ia tidak ingin terlihat lemah.  Sudah banyak air mata yang ia keluarkan untuk menghadapi mamanya sendiri. 

      “Dasar, anak kurang ajar! Kamu itu udah besar, sama adik sendiri saja kamu tidak mau ngalah. Adik kamu itu masih kecil, dia butuh banyak gizi untuk pertumbuhannya. Lagi pula, kamu juga tidak pernah ranking satu di sekolah, jadi buat apa kamu makan makanan enak kalau akhirnya kamu tetap jadi anak bodoh!” timpal mama Sara, tanpa memikirkan perasaan anaknya.

         Bagi wanita itu, memaki Sara sudah menjadi suatu kebiasaan. Terdapat kepuasan sendiri di hatinya ketika ia berhasil membuat anaknya bersedih, apalagi sampai meneteskan air mata. 

          “Mama bilang karena adik masih kecil, jadi membutuhkan banyak gizi. Terus, bagaimana dengan Sara yang sejak kecil cuma dikasih makan nasi sama garam? Bahkan Sara masih ingat kalau Mama pernah nuduh Sara mengambil ikan di meja. Dengan teganya Mama gak ngasih Sara makan malam. Jadi, pantas saja Sara bodoh karena orang tua Sara aja jarang ngasih makan!”  Emosi Sara benar-benar tidak bisa dikendalikan lagi. 

Perkataan yang seharusnya tidak dilontarkan kepada mamanya, keluar secara tiba-tiba dari mulutnya. Rasanya, ia sudah banyak memendam perasaan kecewa di dalam hatinya hingga pada akhirnya, ia tiba pada hari yang mengharuskannya mengeluarkan semua duri-duri yang sering kali menyayat hatinya.

          “Kamu ….”

           “Apa, Ma? Mau nampar Sara lagi?”  

Kali ini, Sara berusaha menahan tangan mamanya agar tidak berhasil mendarat di pipinya. Seketika, ia mengingat kejadian selama ini, begitu banyak tamparan yang harus ia terima. Sekarang, Sara tidak ingin merasakan sakit yang sama. Ia benar-benar sudah muak diperlakukan seperti anak tiri di keluarganya sendiri.

“Cuih, anak sialan!” umpat mama Sara sambil meludah di depannya. Pergerakan bibirnya begitu lincah mengeluarkan kata-kata keji. Ia tak pernah berpikir sebelum berucap.

Semudah membalikkan telapak tangan, semudah itu pula emosi seseorang merapuhkan hati orang lain. Air mata Sara rupanya tidak bisa dibendung lagi. Bulir kepedihan itu mengalir secara perlahan hingga membasahi pipinya yang bulat. Ditambah omongan mamanya yang semakin melukai hati, memaksanya untuk mengeluarkan semua isi hatinya. Pergerakan jam dinding terasa begitu lambat mengiringi mereka berdua. 

Sara terdiam seribu bahasa. Bagaimanapun  juga, di telapak kaki ibunya masih ada surga yang harus ia jaga. Meskipun faktanya, ia tidak pernah meminta memiliki surga di kakinya.

Secara perlahan ia berusaha menggerakkan kakinya untuk segera beranjak. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapi ibunya sendiri. Bahkan, tidak ada sisi kelembutan sedikit pun yang bisa ia temukan dari ibunya. 

Sara pergi ke luar rumahnya. Ia ingin menenangkan diri di gubuk petani yang tempatnya berada di tengah-tengah sawah, dekat dengan rumahnya. Ia sadar melanjutkan perdebatan tidak ada gunanya. Yang ada, ia akan lebih merasa sakit hati mendengar umpatan ibunya sendiri. 

Ia berhenti, ketika baru melangkah beberapa jengkal. Ada sesuatu yang menganggu pikirannya. Mata Sara terfokus pada sebuah benda yang tergeletak di depannya. Sebuah buku bersampul cokelat,cukup menarik perhatiannya.

Sara merasa, ia tidak pernah melihat buku tersebut. Anehnya lagi, ada beberapa bagian dari buku tersebut yang sengaja disobek. Tidak perlu berpikir panjang, ia mengambil buku tersebut dan berusaha mencari potongan kertas yang hilang di tumpukkan sampah. Pada akhirnya, ia berhasil menemukan beberapa bagian yang hilang. 

        Sara menyelipkan buku itu di dalam bajunya, lalu membawanya ke dalam gubuk.

 

 Sesampai di gubuk, ia masih saja merasa penasaran, dan tertarik dengan isi buku tersebut. Sebelum membaca isinya, dirinya berusaha menggabungkan terlebih dahulu bagian-bagian yang telah hilang. 

Bagian per bagian ia buka dengan perlahan, tidak ada satu pun yang terlewat. Ia menemukan banyak sekali foto keluarganya. Mulai dari foto ibu, dan ayahnya saat masih mudah. Bahkan, foto adiknya pun juga tertempel di dalamnya.                                           

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status