Share

Memberi tahu.

“Kamu ngancam aku, Mas?!” gertakku, sengaja kukencangkan suaraku biar ibunya tahu.

 

 

“Sssttt ... apa-apaan sih, kamu! Enggak perlu teriak gitu, dong!” Mas Bayu membekap mulutku.

 

 

“Kenapa? Kamu takut orang tahu kebusukanmu? Berani berbuat berani bertanggung jawab dong, Mas!” sungutku.

 

Kutinggalkan Mas Bayu yang hendak menyahut ucapanku. Gegas aku ke dapur  membuat minuman untuk ibu mertuaku.

 

 

Ini juga yang menjadi dilema untukku. Mertuaku baik sekali bahkan sudah seperti orang tua kandungku, tapi di sisi lain aku tidak mau bertahan dengan lelaki yang jelas-jelas sudah mengingkari janji pernikahannya padaku. Bagiku pengkhianatan adalah dosa besar yang tidak bisa aku tolelir apa lagi mereka sudah tidur satu ranjang. Berbagai peluh dan saling mencumbu. Haram jadah bagiku untuk kembali padanya. Jijik burung puyuhnya sudah dicelup sana-sini.

 

 

“Buat minum apa bengong! Heran aku sama kamu, Mel, apa-apanya lelet. Gini kok, Bayu betah banget sama kamu!” omel Mbak Dwi, dia merebut gelas teh yang akan aku bawa ke depan.

 

 

“Sudahlah, Bu ... tidak usah repot-repot nyapu segala nanti kalau Melsa sudah baikkan bakalan diberesin. Dia bilang sedang tidak enak badan makanya hari ini enggak beres-beres rumah. Ibu duduk saja sini. Aku punya sesuatu untuk Ibu,” ucap Mas Bayu seraya mengambil sapu dari tangan ibu mertuaku. Aku mau tidak mau ikut ke depan untuk duduk bersama. 

 

 

“Benar itu kata Bayu, Ibu itu tamu jadi enggak usah repot. Harusnya tamu itu jadi raja,” timpal Mbak Dwi. Aku tahu dia pasti menyindirku. Ah, terserah saja, toh sebentar lagi dia tidak akan jadi iparku.

 

 

“Dengar enggak kamu, Mel. Nanti kalau kamu udah enakkan bersihin ini rumah!” ujarnya lagi. Kali ini seraya menoyor kepalaku.

 

 

“Dwi! Jangan bertindak seenaknya. Melsa ini lagi sakit jadi sudah kewajiban kita sebagai orang terdekat membantu meringankan pekerjaannya. Itu kamu lihat, di ruang tengah ada bekas susu tercecer, lengket dan dikerumuni semut. Di dapur juga ada pecahan piring dan gelas, kalau Ibu enggak bersihkan nanti kena Naila dan dia terluka,” jelas mertuaku.

 

 

Mbak Dwi mencebik kesal lalu menyuruh Mas Bayu bergeser dan duduk di sebelahnya.

 

“Kamu juga Bayu, kalau enggak mau Ibu beres-beres kamu peka, dong! Bantuin istrimu. Melsa pasti sangat capek semua dikerjakan sendiri dari bangun tidur sampai tidur lagi.” Kapok! Emang enak kena repetan ibunya.

 

 

“Aku juga capek, Bu, kerja seharian, jadi aku enggak bisa bantu,” jawab Mas Bayu. Cih, capek kerja katanya? Capek main sama selingkuhannya baru itu benar.

 

 

“Bisa kan, Ibu enggak belain Melsa sekali saja? Bosan tahu!” protes Mbak Dwi lagi.

 

 

“Kami itu sama saja dengan adikmu, tidak bisa bersikap lembut pada orang lain,” sahut ibu.

 

 

“Tidak apa, Bu. Aku sudah terbiasa mengerjakan semuanya sendiri. Mungkin memang benar Mas Bayu capek karena akhir-akhir ini Mas Bayu sering lembur bahkan keluar kota,” jawabku sengaja menyindirnya. Mbak Dwi dan mertuaku tampak terkejut.

 

“Benarkah? Wah ... bagus dong, itu Bay. Berarti kamu sudah naik jabatan, ya?” kata Mbak Dwi. Mas Bayu diam saja. Naik jabatan apa? Naik ranjang dosa iya, sama selingkuhannya.

 

 

“Kalau gitu gaji kamu naik dong, Bay? Selamat ya, Mbak ikut senang rasanya tidak sia-sia pengorbanan Mbak selama ini. Kamu enggak lupa kan, kalau berada di titik seperti sekarang ini berkat siapa? Aku, Bay! Kakakmu ini yang rela makan pakai lauk seadanya demi mengumpulkan uang untuk bayar sekolahmu,” kata Mbak Dwi lagi. Selalu saja seperti itu. Dia akan mengungkit uang yang sudah digunakan untuk bayar sekolah Mas Bayu dulu. Zaman baheula.

 

 

“Dwi, enggak baik kamu ngungkit begitu. Lagi pula Bayu selama ini sudah memenuhi tanggung jawabnya. Dia sering memberikan gajinya padamu bahkan membiayai sekolah anakmu juga. Ibu rasa itu sudah impas. Sekarang Bayu sudah berumah tangga dan ada yang jauh lebih penting dari kamu.” Lagi-lagi ibu mertua membelaku. 

 

 

“Ibu benar, Mbak Dwi pun benar. Aku tidak masalah kok, Bu, jika harus membiayai sekolah anaknya Mbak Dwi,” jawab Mas Bayu. 

 

 

Jika kemarin-kemarin aku akan protes atas sikap Mas Bayu yang terlalui memprioritaskan kakaknya, maka kali ini aku cuek. Terserah saja toh sebentar lagi juga aku akan menyudahi pernikahan ini.

 

 

“Kalau tidak ada yang mau dibicarakan lagi aku ke kamar aja, ya, Bu. Lelah sekali mataku juga sakit,” pamitku.

 

 

“Enggak sopan ada tamu kok, tidur!” ketus Mbak Dwi.

 

 

“Biarkan saja Melsa istirahat Mbak, mendingan Mbak Dwi belanja aja sana pakai motor baruku. Itu motor sebenarnya untuk Melsa, tapi dia bilang enggak suka, jadi dari pada mubazir karena sudah dibeli kes lunas lebih baik motor itu Mbak Dwi pakai saja,” ucap Mas Bayu.

 

 

“Wah, serius, Bay! Makasih loh, ya? Dari tadi juga sebenarnya aku mau tanya perihal motor baru itu.Pasti Mas Arkan senang banget karena tidak perlu ngojek lagi kalau berangkat kerja,” jawab Mbak Dwi antusias. Dia langsung ke ruang tengah.

 

 

“Motor bagus gini kok, enggak mau si, Mel. Dasar perempuan enggak pandai bersyukur. Harusnya terima kasih sama suami,” cerocos Mbak Dwi seraya selfi di depan motor itu.

 

 

“Ini kan, punya Melsa kalau dipakai Dwi nanti Melsa gimana?” tanya ibu mertuaku, pasti beliau merasa tidak enak padaku.

 

 

“Aku sudah biasa pakai motorku sendiri, Bu. Kalau Mbak Dwi mau ya, pakai saja. Lagi pula aku enggak mau pakai barang haram takut celaka,” jawabku.

 

 

“Melsa! Kalau marah sama aku enggak usah bawa-bawa barang haram segala, dong! Itu motor dibeli pakai uang hasil kerja bukan nyuri!” bentak Mas Bayu.

 

 

“Tahu nih, istri kamu itu emang nyebelin banget, Bay. Suaminya kerja siang malam 'kok bilang barang haram!” timpal Mbak Dwi.

 

 

“Ini, menantu kesayangan Ibu. Selalu saja tidak menghargai suami.” Ibu mertuaku diam saja.

 

 

“Mulai sekarang Ibu,  enggak usah lagi terlalu memanjakan si Melsa. Ibu lihat sendiri kan, dia enggak hormat ke suaminya,” sahut Mbak Dwi.

 

 

“Aku bicara begini bukan tanpa alasan, Bu. Memang kenyataannya itu motor dari hasil haram, kok!” kataku lagi.

 

 

“Jaga bicaramu, Mel!” teriak Mas Bayu bahkan dia hendak menamparku.

 

 

“Bayu, jangan main kasar. Istighfar, Nak!” Cegah mertuaku.

 

 

“Tapi, Bayu itu bener, Bu. Suami itu wajib memberi pelajaran ke istrinya kalau istrinya model si Melsa. Ngelawan sama suami ditinggal baru tahu rasa! Hidup sendiri itu enggak enak Melsa. Harusnya kamu itu bersyukur dikasih suami baik hati seperti Bayu. Kalau ngelunjak gitu mah enggak usah ragu, Bay, tamparanmu halal untuknya.” Mbak Dwi menyeringai padaku.

 

Lagi, Mas Bayu mengayunkan tangannya hendak menamparku, tapi diurungkan. Lalu meninju ke udara.

 

 

“Cuma segitu Mas, nyalimu? Asal Ibu dan Mbak Dwi tahu, ya, bukan aku tidak menghargai pemberian suami itu motor memang dibelikan untukku sebagai hadiah ulang tahun pernikahan, tapi dibeli dari hasil jerih payah kekasih gelap Mas Bayu. Mereka sengaja beli itu untuk menyuapku agar aku merestui perselingkuhannya,” kataku lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status