Share

Perkara hadiah.

“Mah, boleh tidak aku tidur di sini, ya? Papah di kamarku berisik telponan aja jadi, aku enggak bisa tidur,” pinta Naila. Lamunanku buyar.

 

 

“Boleh, Sayang, sini Mamah peluk!”

 

 

“Mah, Papah itu teleponan sama siapa si, kok manggilnya sayang-sayang? Kata Papah, itu cinta sejatinya Papah,” tutur Naila lagi.

 

 

Astaghfirullah Mas Bayu, bisa-bisanya dia bilang begitu pada Naila. Jika di luaran sana orang-orang akan menutupi perselingkuhannya ini beda dengan Mas Bayu. Dia justru terang-terangan dan terkesan ingin membuat semua orang tahu. Apa si, bagusnya pelakor itu sampai membuat Mas Bayu tergila-gila begitu. Memang harus benar-benar buat perhitungan padanya.

 

 

“Cinta sejati seorang laki-laki itu biasanya ibunya, Nak. Nah, mungkin papah begitu juga ke nenek kamu. Sudah tidak usah dipikirin yang penting Naila sama Mamah dan papah baik-baik saja,” jawabku asal.

 

Ya, setidaknya sampai detik ini semuanya baik-baik saja. Entah besok atau lusa.

 

Kudekap erat putri semata wayangku karena dia satu-satunya kekuatan dan pelipur laraku saat ini.

 

 

Terserah Mas Bayu mau berbuat apa malam ini. Rasa cintaku mati tiba-tiba. Lebih baik kumenata hati untuk menerima kenyataan ini. Membayangkan dia bercumbu mesra saat memadu kasih dengan selingkuhannya membuat otakku mendidih.

 

 

Ting!

 

Pesan dari no asing. 

 

[Halo ... Aku, Rania, belahan jiwa Mas Bayu. Cuma mau kasih tahu aja bahwa sekarang Mas Bayu bukan cuma milikmu seorang, tapi dia juga milikku dan sebentar lagi akan jadi satu-satunya. Saranku kamu mundur aja, deh! Sebentar lagi kami mau menikah. Kamu pasti akan dibuangnya. Dari pada kamu makin merana lebih baik kamu mundur teratur saja. Ingat Melsa, tak dianggap itu rasanya enggak enak ‘loh! Mas Bayu bilang, kamu Cuma untuk mainan aja.]

 

 

Deg!

 

 

Kurang ajar sekali pelakor tak tahu diri ini! Pasti ini ulah Mas Bayu yang sudah memberikan nomorku padanya. Dasar laki-laki rombeng. Tapi, Mas Bayu bilang, aku kenal dengan simpanannya. Kalau kami saling kenal harusnya nomor ini ada namanya atau dia pakai nomor lain? Pengecut sekali!

 

 

[Melsa, kamu mau enggak aku kirim video hot kami? Pasti kamu akan terkejut dan akhirnya menyerah.]

 

Oh, rupanya pelakor ini mau memanasiku. Dasar murahan dan tak tahu malu.

 

 

[Hai, pelakor! Gimana rasanya tidur dengan bekasanku? Iih, pasti bikin nagih ya, buktinya kamu sampai rela jadi gundiknya. Sebegitu enggak lakunya kamu, sampai kamu rela ambil bekasan orang?! Ambil sana, ambil aja! Aku memang mau buang Mas Bayu. Sampah seperti dia memang pantas aku buang di tongnya. Silakan pungut biar rumahku bersih.] Jawabku.

 

 

[Kurang ajar ya, kamu, Melsa! Ngatain Mas Bayu sampah. Pantas saja Mas Bayu selingkuh, kamu kasar gini!] Balas pelakor itu lagi.

 

 

[Baguslah kalau kamu nyadar. Ambil sana sampah bekasanku. Dengan senang hati aku berikan padamu!]

 

 

Hanya dibaca setelahnya hilang foto profil. Oohh ... baru segitu udah kena mental. Sok-sokan neror aku giliran kena ulti langsung kabur.

 

 

“Melsa, buka pintunya. Kamu ngomong apa sama pacarku, sampai dia nangis-nangis begitu telepon aku!” teriak Mas Bayu. Rupanya pelakor itu ngadu. Baiklah kau jual aku beli!

 

 

Klek! Pintu kamar kubuka. Mas Bayu yang sedang sandaran di pintu sampai terjatuh. HP-nya mental dan rupanya mereka sedang video call.

 

“Enggak usah berisik, Mas. Lihat itu jam, sudah tengah malam. Aku enggak mau buat keributan. Kasihan Naila nanti kebangun,” ucapku.

 

 

“Aku enggak akan ribut kalau kamu enggak buat ulah, Mel. Lihat ini, pacarku nangis gara-gara kamu!” jawab Mas Bayu seraya menunjukkan ponselnya. Sakit banget, tak bisa digambarkan saat lelakiku malah menyalahkanku.

 

Astoge kol brokoli itu pelakor pakai handuk doang memperlihatkan paha mulusnya. Memang manusia tidak tahu malu.

 

 

“Enggak usah lebai, Mas! Pacarmu itu yang neror aku duluan. Kalau enggak mau kena senggol enggak usah ganggu macan lagi tidur. Siapa pun orangnya, senggol bacok!” jawabku santai. Kini aku menuju dapur rasanya haus sekali. Lagi pula kalau ribut depan pintu takut Naila bangun. Kasihan dia baru saja terlelap.

 

 

“Maksud kamu, apa?” tanya Mas Bayu sok polos atau memang beneran oon jadi enggak ngerti dengan ucapanku.

 

 

“Enggak ada penjelasan ulang, Mas. Kalau mau tahu tanya saja sama pacarmu itu. Kuteguk air dalam botol sampai tandas. Rasanya panas dan haus sekali. Hati dan pikiranku pun panas.

 

 

“Tapi, Mel ....”

 

 

“Tapi, apa? Enggak usah sok belain pacarmu itu! Atau kutendang burung puyuhmu itu biar enggak bisa berzina lagi!” seruku seraya kulempar botol dalam genggamanku.

 

 

“Bukan soal itu. Anu, itu ....” Mas Bayu mendekatiku. 

 

“Stop di situ atau aku lempar ini!” Ancamku seraya mengacungkan garpu.

 

“Oke, santai, Mel. Aku Cuma mau bilang, kembalikan hadiah motor yang tadi siang kukasih ke kamu. Itu sebenarnya yang beli pacarku. Sengaja memang untuk kamu, tapi berhubung kamu tadi sudah buat dia murka, jadi dia mau motor itu diambil lagi,” jawab Mas Bayu. Aku melongo. Apa tadi katanya? Motor hadiah Anniversary pernikahan itu dari selingkuhannya. Tak habis pikir dan habis kata-kataku untuk menjabarkan laki-laki pezina di depanku ini. Aku pun tidak sudi pakai barang hasil dari perzinahan bisa-bisa aku sial dibuatnya.

 

 

“Mel, kamu dengar ‘kan?” Lihatlah bahkan dia ngomong menghadap tembok! Laki model begini kok, selingkuh!

 

“Kupingku enggak budek, Mas. Ambil saja sana. Aku pun tidak sudi pakai barang haram!” tegasku.

 

 

“Haram? Itu halal, Mel. Pacarku beli pakai uang hasil keringatnya sendiri. Harusnya kamu bersyukur dikasih hadiah semahal itu. Dia benar-benar orang baik. Mana ada orang mau kasih hadiah motor baru ke orang lain. Punya otak itu dipakai, Mel, jangan hanya emosi aja yang digedein,” jawab Mas Bayu.

 

 

“Otakku berfungsi sebagai mana mestinya ‘kok, Mas. Otakmu itu yang harus kamu servis biar bisa mikir yang bener bukan cuma burung puyuhmu saja yang diservis!” sungutku. Enak saja dia bilang begitu dikira aku ini perempuan b*doh apa.

 

 

“Jaga bicaramu, Mel. Aku ini suamimu!” bentak Mas Bayu. Herannya dia sama sekali tidak berani menatapku.

 

 

“Jaga sikapmu, Mas. Enggak usah main bentak begitu. Harusnya kamu ngaca kenapa aku begini! Capek ya, ngomong sama orang sint*ng sepertimu!”

 

 

“Aku juga capek punya istri seperti kamu!” bantahnya.

 

 

“Baguslah, tinggal kita selesaikan saja di kantor pengadilan agama!” Tantangku.

 

 

“Enggak nyambung!” ucap Mas Bayu sebelum dia enyah dari pandanganku. Dia masuk kamar Naila, lagi-lagi pintunya dibanting dengan sangat keras. Biar saja rusak nanti juga dia sendiri yang ganti.

 

 

Hatiku kembali panas saat aku melewati ruang tengah menuju kamarku pasalnya motor matic model terbaru itu menghalangi pandanganku. Aku kira Mas Bayu beneran punya uang banyak sampai beli motor baru untukku, tak tahunya ini sogokan dari selingkuhannya.

 

Brak! Kurobohkan motor yang tadi siang kusayang-kusayang. Spionnya pecah. Tak lupa kuludahi dan kuinjak-injak. Kesal sekali  rasanya. Inginku bakar saja, tapi aku tidak mau masuk penjara yang ada nanti Naila tidak ada yang urus.

 

***

 

“Loh, Mas kamu enggak kerja?” Tumben sekali sudah jam 7 pagi, Mas Bayu belum siap-siap pergi kerja. Sebenarnya aku malas sekali mau menegurnya. Semua karena Naila.

 

 

“Hari ini aku libur. Aku mau di rumah saja,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.

 

 

“Kalau gitu antar Naila sekolah. Aku sibuk,” kataku seraya kembali masuk kamar. Aku tidak mau bertatap muka dengan pengkhianat.

 

 

Tak lama terdengar suara motor menjauh. Baguslah dia beneran pergi.

 

Sepi. Bukan rumah ini yang sepi, tapi hatiku. Ingin menangis, tapi untuk apa? Menangis bukan solusi, meski tak kupungkiri semalam pun aku menangis. Tapi, aku sudah janji hanya untuk semalam saja. Aku tidak mau lagi menangisi nasib. Lebih baik aku fokus merubahnya. Aku sudah dibuang dan dicampakkan, jadi haram bagiku untuk kembali, meski nanti Mas Bayu bersujud di kakiku.

 

 

“Mel, bangun, Mel! Masih pagi juga sudah molor aja!” bentak Mas Bayu. 

 

“Enggak usah ganggu aku, lah, Mas. Pergi sana!” usirku.

 

 

“Bangun, ada ibu, tolong jangan kamu katakan yang sebenarnya, ya? Kamu tahu kan, ibuku bisa sakit kalau dengar kabar tidak mengenakan,” kata Mas Bayu lagi. Ooh, jadi ini alasan dia enggak masuk kerja. Dia takut aku ngadu pada ibunya.

 

 

“Aku tidak janji. Terserah aku mau ngomong apa. Mulut-mulutku, kok!” jawabku ketus.

 

Kesal sekali aku harus memenuhi keinginannya. Aku tidak bisa diatur lagi.

 

 

“Bay, istri masih pagi ‘kok dibiarin tidur sih, pemalas banget. Rumah berantakan malah tidur,” sahut Dwi, kakak iparku. Dia lagi ... si benalu, tak tahu malu main masuk kamar orang tanpa permisi.

 

 

“Enggak usah bawel, Mbak. Kalau enggak suka enggak usah datang ke sini!” jawabku. Sudah cukup aku jadi adik ipar yang baik. Mulai hari ini aku tidak mau lagi.

 

Mbak Dwi melotot tak terima aku bantah.

 

 

“Awas juling, Mbak!” kataku seraya beranjak pergi.

 

 

“Bu ... lihat ini menantu kesayangan Ibu, jam segini baru bangun. Pantas saja Bayu enggak kerja. Istrinya pemalas. Rumah berantakan enggak ada makanan pula,” adu Mbak Dwi. Ibu mertuaku sedang membereskan mainan Naila yang berserakan. 

 

“Biarlah, Wi. Melsa itu capek, dia harus ngurus apa-apa sendirian. Bayu mana paham pasti dia juga tidak pernah bantu istrinya,” jawab beliau.

 

 

“Tuh, lihat, mau dapat mertua baik seperti ibuku di mana lagi? Jadi, awas jangan macam-macam,” bisik Mas Bayu bernada ancaman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status