âMah, boleh tidak aku tidur di sini, ya? Papah di kamarku berisik telponan aja jadi, aku enggak bisa tidur,â pinta Naila. Lamunanku buyar.âBoleh, Sayang, sini Mamah peluk!ââMah, Papah itu teleponan sama siapa si, kok manggilnya sayang-sayang? Kata Papah, itu cinta sejatinya Papah,â tutur Naila lagi.Astaghfirullah Mas Bayu, bisa-bisanya dia bilang begitu pada Naila. Jika di luaran sana orang-orang akan menutupi perselingkuhannya ini beda dengan Mas Bayu. Dia justru terang-terangan dan terkesan ingin membuat semua orang tahu. Apa si, bagusnya pelakor itu sampai membuat Mas Bayu tergila-gila begitu. Memang harus benar-benar buat perhitungan padanya.âCinta sejati seorang laki-laki itu biasanya ibunya, Nak. Nah, mungkin papah begitu juga ke nenek kamu. Sudah tidak usah dipikirin yang penting Naila sama Mamah dan papah baik-baik saja,â jawabku asal.Ya, setidaknya sampai detik ini semuanya baik-baik saja. Entah besok atau lusa.Kudekap erat putri semata wayangku karena dia satu-satunya
âKamu ngancam aku, Mas?!â gertakku, sengaja kukencangkan suaraku biar ibunya tahu.âSssttt ... apa-apaan sih, kamu! Enggak perlu teriak gitu, dong!â Mas Bayu membekap mulutku.âKenapa? Kamu takut orang tahu kebusukanmu? Berani berbuat berani bertanggung jawab dong, Mas!â sungutku.Kutinggalkan Mas Bayu yang hendak menyahut ucapanku. Gegas aku ke dapur membuat minuman untuk ibu mertuaku.Ini juga yang menjadi dilema untukku. Mertuaku baik sekali bahkan sudah seperti orang tua kandungku, tapi di sisi lain aku tidak mau bertahan dengan lelaki yang jelas-jelas sudah mengingkari janji pernikahannya padaku. Bagiku pengkhianatan adalah dosa besar yang tidak bisa aku tolelir apa lagi mereka sudah tidur satu ranjang. Berbagai peluh dan saling mencumbu. Haram jadah bagiku untuk kembali padanya. Jijik burung puyuhnya sudah dicelup sana-sini.âBuat minum apa bengong! Heran aku sama kamu, Mel, apa-apanya lelet. Gini kok, Bayu betah banget sama kamu!â omel Mbak Dwi, dia merebut gelas teh yang akan
âHahaha selingkuh? Kalau ngarang itu enggak usah terlalu tinggi, Mel. Takutnya malah jadi doâa loh!â Tertawanya Mbak Dwi membahana. Dia tidak percaya dengan ucapanku. Tapi, memang sih, bagi yang tidak tahu pasti tidak akan percaya karena Mas Bayu memang tipe suami penyayang keluarga.âBay, bilangin istrimu ini kalau udah enggak betah sama kamu tidak usah memfitnah kamu begini. Ngeri banget si, fitnahannya itu loh, perselingkuhan,â ucap Mbak Dwi lagi.Mas Bayu tersenyum sinis padaku. Dia pasti merasa menang karena kakak tersayangnya tidak percaya.Kumenatap iba pada mertuaku, beliau satu-satunya harapanku semoga saja percaya padaku. Lagi pula aku punya bukti perselingkuhan mereka.âSebaiknya kamu istirahat, Nak. Ibu tahu kamu capek banget dengan tingkah Bayu yang tidak adil padamu. Ini salah Ibu, harusnya tegas agar Bayu tidak menomor duakan anak dan istrinya,â sahut ibu mertuaku.âTidak, Bu! Aku tidak sedang berbohong. Aku ada buktinya, kok!â Gegas aku ke kamar mengambil HP. Akan aku
âWaaah ... pasti Mas Bayu istimewa banget ya, sampai temannya baik banget kasih kebutuhan pokok sebanyak ini. Pasti ada maunya,â sindirku.âTidak usah suuzon begitu, Mel. Bayu itu orang baik di mana pun berada makanya banyak yang sayang,â jawab Mbak Dwi.âIya, saking baik dan sayangnya sampai kelewatan,â jawabku.Ibu mertuaku dan Mbak Dwi bersamaan menoleh padaku. Pasti mereka tidak akan menyangka kalau aku selalu saja membantah ucapan mereka.âTerserah kamu lah, Mel! Orang dapat rezeki kok, malah suuzon harusnya itu bersyukur dan ngucapin terima kasih,â kata Mbak Dwi lagi.âKalau Mbak Dwi dikasih sesuatu sama maling yang sudah mengambil barang sangat berharga bagi Mbak, apa Mbak Dwi akan bilang terima kasih?â tanyaku menohok. Tatapanku beralih pada Mas Bayu yang sejak tadi sudah gelisah.âMaling? Apaan si, kamu, Mel, ini halal.ââAh ... terserahlah. Aku mau ke kamar. Lelah banget rasanya. Ayo, Naila, kita tidur sudah malam takut besok kesiangan,â kataku seraya mengambil Naila dari p
âKita harus laporkan kasus ini ke polisi, Bu. Sebab tidak hanya berbahaya bagi Naila, tapi juga ancaman serius untuk siswa yang lain. Sekolah bisa jadi tidak nyaman apalagi kalau berita ini sampai menyebar ke luar. Resikonya terlalu besar. Sekolah bisa saja tidak dapat peserta didik baru nantinya,â ucap Kepala Sekolah lagi.âSaya setuju. Ini tindak kriminal memang harus diperkarakan. Saya tidak mau cucu saya Naila kenapa-kenapa. Pasti dia sudah jadi incaran karena orang itu sudah tahu betul siapa saja orang-orang terdekat Naila,â sahut mertuaku.âSaya juga setuju, Bu. Ini semua demi keamanan dan kenyamanan anak-anak di sekolah,â jawabku. Ah, lega sekali setidaknya dengan begini Mas Bayu dan selingkuhannya tidak bisa berkutik. Mertuaku dan kakaknya juga akan segera tahu.âSaya tidak setuju!â Baru saja kami hendak masuk ke mobil, tiba-tiba Mas Bayu datang dengan seorang wanita bercadar. Aku yakin sekali dia dan selingkuhannya buru-buru datang ke sini agar tidak ada yang melaporkannya k
âJadi, kamu enggak kasih izin kami tinggal di sini, Mel?â âEnggak Mbak, aku tidak kasih izin. Mbak Dwi kan, punya rumah ngapain tinggal di sini!?" tegasku.âYa, kami di sini untuk jagain ibu. Selama ini kan, kami jagain ibu. Sepi kalau tidak ada ibu. Lagi pula ada lebihan kamar itu di belakang,â jawab Mbak Dwi kekeh memaksa tinggal di sini.âKalau Mbak Dwi enggak mau pergi, maka aku akan minta bantuan RT untuk usir Mbak Dwi!" Ancamku.âEh, kurang ajar ya, kamu! Ini juga rumah adikku. Kamu lupa tanah ini milik orang tua kami?ââEnggak lupa kok! Sepertinya memang Mbak Dwi yang lupa bahwa rumah ini dibangun pakai uangku.ââIh, kamu itu ya, nyebelin banget!â Mbak Dwi hendak mendorongku, tapi aku berhasil menghindar. âDwi, jaga sikapmu! Apa yang dikatakan Melsa itu benar. Kamu punya tempat tinggal ngapain ikut Ibu ke sini. Kalau alasan kamu sepi enggak ada Ibu, ya, udah Ibu pulang saja. Lagi pula orang tua Melsa juga mau ke sini,â sahut mertuaku. Beliau memang selalu baik hati dan menjad
âEmm ... ini, Bu ... anu temanku Rania lagi ada masalah sama keluarganya, jadi minta izin singgah ke sini sebentar biar hilang penat,â jelas Mas Bayu. Keringat sebesar biji jagung bercucuran di dahinya. Padahal malam ini cukup dingin.Ibu dan Mbak Dwi menatap curiga, tapi sejurus kemudian Mbak Dwi tersenyum lebar saat Rania mengangkat plastik belanja yang dia bawa.âWaah ... boleh-boleh. Ayo, sini masuk, Rania! Udah enggak usah sungkan memang istrinya Bayu begitu. Dia selalu saja suuzon kalau ada perempuan main padahal kan, cuma teman kerja aja,â ucap Mbak Dwi. Ditariknya tangan Rania.Saat melewatiku, Rania tersenyum sinis penuh kemenangan. Begitu juga Mas Bayu. Dia berkali-kali mengusap dadanya, pasti dia merasa lega karena Mbak Dwi percaya padanya. Sedang mertua masih berdiri terpaku di sampingku. Mungkin iba padaku.âWah, rame, ya? Kalau di rumah Rania cuma sama mamah aja dan itu pun selalu ribut,â ucap Rania. Entah kenapa aku merasa ada yang aneh padanya. Suaranya juga seperti di
âIbu, kok, gitu, sih! Ibu bilang kita harus menghormati tamu sekalipun itu musuh kita,â protes Mbak Dwi.âIbu, paham. Hanya saja Ibu merasa tamu kali ini berbeda. Bukankah kita sudah menjamunya. Rumah ini sempit tidak bisa lagi menampung orang lain,â jawab ibu dengan santainya.âKan, ada kamar Naila, aku sama Mas Rudi dan anak-anak bisa di kamar belakang. Enggak enak loh, Bu, Rania sudah bawa oleh-oleh banyak gini untuk kita. Weh ... kok, malah kita usir,â kata Mbak Dwi lagi.âKamar Naila mau Ibu tempati. Sudah jangan banyak bantah. Ibu tidak suka dibantah. Silakan pergi Mbak Rania! Kami semua mau istirahat,â usir ibu lagi. Rania dan Mas Bayu terlihat sangat kesal sekali, tapi Mas Bayu tidak bisa berkutik.âIbu, jahat ih!â Mbak Dwi masih saja berisik.âKamu sekalian pergi juga Mbak, aku juga tidak mengizinkan kamu dan keluargamu tinggal di sini. Sana pulang! Punya rumah kok, senangnya jadi benalu di rumah orang lain,â sahutku.âEeh ... kurang ajar ya, kamu! Ini rumah adikku, jadi ters