 Masuk
MasukRumah besar itu berdiri megah di kawasan elite yang sunyi. Arsitekturnya bergaya minimalis modern. Reina menatap bangunan itu dari balik kaca mobil, kacamata hitamnya menutupi separuh wajah lelahnya.
Abian keluar dari mobil, diikuti Reina di belakangnya. Kedatangan keduanya disambut oleh bibi kepala pelayan dan satpam rumah. Abian menyerahkan kunci mobil dan meminta satpam mengeluarkan koper istrinya. “Selamat datang, Nyonya Reina. Saya Maryam, kepala pelayan di sini sekaligus orang yang akan membantu segala keperluan rumah tangga di sini,” ujar bibi kepala pelayan. Bu Mar segera tersenyum. “Itu sudah menjadi tugas saya, Nyonya.” Reina masuk ke dalam rumah dengan menjinjing tas kecilnya. Hawa dingin khas pendingin ruangan mahal dan aroma maskulin yang samar menyambutnya. Rumah itu besar, megah, tapi terlalu hampa untuk rumah yang mewah. Bu Mar menyuruh seorang pelayan untuk membawa koper Reina ke kamar utama. Abian langsung melenggang pergi menuju ruang kerjanya, meninggalkan Reina. Tatapan Reina terpaku pada pintu kayu cokelat tua. Pintu yang membuat sosok Abian hilang di dalamnya dan tak pernah keluar lagi. Hatinya bergemuruh tak tentu arah, tapi wajahnya tetap tenang. Cardigan sudah ia buka, memperlihatkan tank top putih miliknya. Dengan senyum nakal yang terselip di sudut bibirnya, ia melangkah pelan mendekati pintu tersebut. Sesampainya di depan pintu, Reina tidak mengetuknya. Dia hanya berdiri di depan pintu, kepala sedikit miring, alis terangkat geli. Di benaknya, ide jahil mulai berputar untuk menggoda Abian. Tangannya sudah menggenggam kenop, bersiap untuk membuka pintu. Penasarannya bukan cuma soal isi ruangan, tapi juga reaksi Abian saat melihat istrinya berdiri di sana, setengah menantang, sepenuhnya menggoda. Perlahan pintu terbuka dan Reina menyembulkan kepalanya, menengok keadaan di dalam ruangan. “Aku sudah atur kamar untukmu di lantai dua. Sebelah kamar utama,” ucap Abian tiba-tiba, masih dalam fokusnya pada layar laptop. Reina mendongak, bibirnya melengkung sinis. Langkah kakinya dia hentikan, mendengus kesal karena ketahuan. “Katakan saja aturannya sekarang! Aku yakin kamu sudah menyusunnya secara sistematis seperti dulu.” Reina balik menyindir. Tatapan Abian menusuk, tapi tenang. “Pertama, kamu bebas melakukan apa pun, asal tidak membawa siapa pun ke rumah ini untuk urusan pribadi, terutama seks.” Reina membeku. “Maksudmu?” “Kamu boleh ke klub. Maksimal dua kali seminggu, tapi rumah ini bukan tempatmu membawa laki-laki. Ini rumahku dan aku ingin menjaga batasan.” Mata Reina membelalak, ekspresinya berubah dari geli menjadi marah. “Wow. Kamu benar-benar berpikir aku semurah itu?” “Aku hanya memberi batasan. Selain itu, kamu terlalu impulsif,” balas Abian santai, bahkan terlewat santai. “Asal kamu tahu, aku bahkan belum pernah tidur dengan Raka. Bukan belum, tapi Raka orang berprinsip yang tidak akan menyentuhku sebelum adanya ikatan pernikahan. Dia itu pria idaman walaupun statusnya anak haram. Gak kayak kamu yang menuduhku murahan!” Abian terdiam kaku, rahangnya mengeras. Dia tidak suka mendengar Reina memuji pria lain di hadapannya. Abian tidak langsung membalas. Matanya menatap Reina dalam, seolah menyaring emosi yang mendadak meledak. “Kedua, tidak ada aktivitas seksual apa pun di dalam rumah ini,” lanjut Abian. “Itu yang aku mau. Oke, lalu peraturan ketiga?” Reina menatap Abian menantang. “Pulang sebelum tengah malam atau beri kabar. Kalau kamu hilang sampai pagi dan mabuk berat, aku nggak mau repot mencari mayatmu di pinggir jalan,” balas Abian dingin. “So sweet sekali, tumben perhatian,” ucap Reina sarkastik. “Ini bukan perhatian, tapi tanggung jawab karena namamu ada di dokumen sebagai istriku. Jadi, bantu aku untuk nggak peduli sambil tetap bertanggung jawab.” Reina membuang napas keras. “Ingat, aku di sini hanya sebagai formalitas saja. Selebihnya aku akan tetap berada di apartemen atau bersama Raka semauku. Kamu hanya boleh membawaku ke rumah sialan ini kalau ada kunjungan dari orang tua kita,” peringat Reina. Kemudian, Reina berbalik dan menaiki tangga tanpa menoleh lagi. Di depan pintu dirinya sempat berpapasan dengan Bu Mar, tapi dia tidak peduli. Hak sepatunya mengetuk setiap anak tangga dengan penuh amarah. Abian hanya berdiri diam di bawah, menatap punggung Reina yang semakin menjauh. Ia tidak membalas, tidak pula mengejar. Dirinya hanya menghela napas perlahan, seolah sudah tahu ini akan menjadi awal yang panjang dan rumit. . . . ~ To Be Continue ~



Ruang konseling itu terasa hangat dan tenang, seolah menenangkan siapa pun yang memasukinya. Aroma lavender lembut mengisi udara, membuat dada Reina sedikit lebih rileks. Ia duduk di sofa abu muda dengan tangan yang masih digenggam Abian, mencoba menenangkan diri. Di hadapan mereka, psikiater wanita paruh baya tersenyum ramah sambil mencatat sesuatu di tabletnya.“Selamat datang, Nyonya Reina. Terima kasih sudah datang hari ini,” ucap sang psikiater dengan nada lembut.Reina hanya mengangguk pelan, matanya menatap lantai sebelum akhirnya beralih ke wajah wanita itu. “Saya… belum tahu harus mulai dari mana,” ujarnya jujur, suaranya sedikit bergetar.“Tidak apa-apa,” jawab sang psikiater tenang. “Kita mulai dari hal yang membuat Anda paling tidak nyaman. Tidak harus semuanya langsung hari ini. Perlahan saja.”Abian menatap Reina dengan penuh dukungan, sorot matanya lembut dan tenang. Ibu jarinya bergerak perlahan di punggung tang
Matahari sore perlahan tenggelam di balik deretan gedung tinggi, meninggalkan semburat jingga yang mulai meredup di langit kota. Lampu jalan menyala satu per satu, memantulkan cahaya hangat di kaca mobil yang bergetar halus mengikuti ritme jalan. Reina membuka mata perlahan, masih dibalut kantuk dan sisa lelah perjalanan. Menyadari kepalanya bersandar di bahu Abian, ia cepat menegakkan duduk, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.Abian menoleh sekilas dan tersenyum kecil. “Tidur aja kalau masih ngantuk,” ucapnya pelan.Namun, Reina hanya menggeleng pelan, pandangannya menerobos kaca jendela yang dipenuhi pantulan senja. Bayangan gedung dan cahaya lampu kota berpadu, menimbulkan kesan samar di matanya yang tampak sendu. Ingatannya kembali berputar pada makam yang baru mereka kunjungi, membawa kenangan lama yang perlahan muncul ke permukaan.Begitu mobil berhenti di depan rumah, Abian sempat menepuk pelan bahu Reina yang ternyata tertidur bersand
Abian mengulang pertanyaannya pelan. “Mau ke mana, Sayang?” Suaranya lembut, mencoba menembus hening yang masih menggantung di antara mereka.Reina menatap tangannya sendiri, jemarinya saling menggenggam seolah takut melepaskan sesuatu. “Ke rumah baru Mama.”Abian tidak langsung menjawab. Ia tahu apa yang dimaksud Reina bukan rumah dalam arti sebenarnya. “Makamnya?” tanyanya pelan.Reina mengangguk tanpa menatap. “Aku belum pernah ke sana lagi sejak Mama meninggal. Udah tujuh belas tahun.”Suara itu bergetar halus. Abian mengulurkan tangannya, menyentuh bahu Reina pelan. “Kalau kamu yakin kuat, aku antar sekarang.”Reina mengangguk lagi, kali ini dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Abian putar arah saat Reina menyebutkan salah satu nama pemakaman elit. Perjalanan menuju makam berlangsung dalam diam.Jalanan pagi menjelang siang itu sepi, langit berwarna pucat dengan awan bergerak lambat. Reina menatap keluar jendela, matanya ses
Cahaya pagi menembus tirai tipis kamar rumah sakit, membentuk pola lembut di lantai dan di wajah Abian yang tertidur di kursi. Kemeja yang sama sejak kemarin masih melekat di tubuhnya, dengan lengan tergulung dan rambut yang sedikit berantakan. Namun di balik kelelahan itu, ada ketenangan yang membuat Reina terdiam lama. Senyum kecil muncul di bibirnya tanpa sadar karena untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar aman.Ia mengulurkan tangan pelan, menyentuh jemari Abian yang terkulai di tepi ranjang. Sentuhan kecil itu cukup membuat pria itu tergerak. Abian mengangkat kepala, mata hazelnya langsung bertemu pandangan Reina. Seketika seluruh kelelahan di wajahnya menguap.“Kamu udah bangun?” suaranya serak, tapi lembut.Reina mengangguk pelan. “Iya. Kamu mau tidur lagi?”Abian tersenyum samar, lalu menggeleng. Begitu jam dinding menunjukkan pukul 09:00 am, ia segera menatap istrinya. “Dokternya sudah datang?” tanyanya.Reina mengangguk pe
Reina membuka mata perlahan, kelopak matanya terasa berat seolah baru terlepas dari mimpi panjang. Pandangannya masih kabur, hanya siluet samar cahaya lampu yang menembus kelopak matanya. Ruangan di sekitarnya terasa asing, terlalu tenang untuk disebut nyaman. Ada sesuatu di udara yang membuat dadanya sesak, jantungnya berdetak tak beraturan, sementara pikirannya masih berusaha memahami di mana ia berada.Dengan sisa tenaga, ia menggerakkan tangan pelan, berusaha memastikan dirinya masih ada di dunia nyata. Pandangannya berhenti pada sosok Abian yang duduk di samping ranjang, diam, nyaris tanpa gerak. Dalam hening itu, Reina tahu tatapan Abian bukan sekadar cemas, ada sesuatu yang lebih dalam, seperti janji yang belum sempat terucap.“Abian,” panggilnya pelan, nyaris hanya berupa bisikan.Suara itu terdengar rapuh, tapi cukup untuk mengguncang dunia kecil di antara mereka. Abian sontak menegakkan tubuh, sorot matanya membulat tidak percaya, seolah tidak ya
Arga terdiam sejenak, menatap wajah Abian yang tegang. Ia tahu pertanyaan itu bukan sekadar rasa ingin tahu, tapi luapan emosi yang sulit disembunyikan. Pandangannya beralih ke Reina yang masih terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat, bibirnya kering, napasnya pelan namun tidak teratur.“Ya,” jawab Arga akhirnya, pelan tapi tegas. “Aku tahu sedikit tentang traumanya.”Abian mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha menahan diri agar tidak meledak. “Dan kamu tidak berpikir untuk memberitahuku?” suaranya datar, tapi tajam, seolah menuntut jawaban panjang yang tak ia dapatkan.Arga menarik napas dalam, menahan gemuruh emosinya sendiri. “Karena bukan tempatku untuk bercerita, Abian,” ujarnya dengan nada hati-hati. “Reina sendiri yang memutuskan menutup masa lalunya. Aku cuma menghormati itu.”Jawaban itu membuat dada Abian sesak. Ia tahu Arga tidak salah, tapi hatinya menolak menerima kenyataan. Ada bagian dari dirinya yang terganggu karena ora








