Home / Rumah Tangga / PESONA ISTRI NAKAL CEO / Bab 04. Godaan dan Keputusan

Share

Bab 04. Godaan dan Keputusan

Author: Kenzie
last update Last Updated: 2025-07-19 09:36:32

“Jadi, setelah ini kalian akan tinggal di mana?” suara mama Reina terdengar ringan, tetapi jelas mengandung harapan tertentu.

Setelah sarapan, suasana di ruang tamu beralih menjadi sedikit lebih serius. Abian duduk dengan tenang, tangan kanannya menggenggam secangkir kopi hitam. Sementara Reina, kini sudah berganti pakaian menjadi lebih tertutup.

Reina yang masih duduk di samping Abian langsung menoleh dengan refleks. Dia belum memikirkan apa pun soal tempat tinggal. Baginya, pernikahan ini saja masih seperti skenario teater yang dipaksa dijalani.

“Kita sepakat untuk tinggal di rumahku,” jawab Abian kalem, tanpa melihat Reina.

“Tentu saja, Nak.” Bunda Abian menyahut cepat, ekspresinya puas atas keputusan kedua pengantin.

Ayah Abian mengangguk setuju. “Keamanan rumahnya pun ketat. Jadi kalian berdua aman dari kejaran wartawan.”

Reina menahan napas. Semua orang berbicara seakan dia tak punya suara. Seolah hidupnya sudah dipetakan dengan garis tegas. Tinggal di rumah suami dan berpura-pura bahagia.

“Ngomong-ngomong, kapan kalian rencana honeymoon?” tanya mama Reina.

“Aku fleksibel, Ma. Ikut jadwal suamiku. Dia kan bukan pengangguran kayak aku,” jawab Reina santai, akhirnya buka suara.

“Memangnya kalian sudah ada rencana mau pergi ke mana?” tanya ayah Abian.

Abian melirik Reina sekilas. “Reina tadi malam sempat bilang ingin ke luar negeri. Mungkin Edinburgh.”

Edinburgh adalah kota yang pernah menjadi tempat favoritnya waktu kuliah dulu. Dia pernah mengatakan pada Abian kalau dia sangat menyukai Edinburgh. Dia ingin melihat kastil tua secara langsung.

Mama Reina menatap sang anak, curiga. “Kenapa Edinburgh?”

“Karena tenang, sunyi, dan mungkin aku bisa napas sebentar dari urusan bisnis sialan ini,” jawab Reina jujur.

Mama Reina melotot ke arah anaknya karena berbicara tidak sopan, sedangkan Reina masa bodoh. Dia hanya ingin menyuarakan isi pikirannya. Setidaknya dia ingin keempat orang dewasa di hadapannya sadar kalau ia tidak menyukai urusan bisnis apalagi pernikahan ini.

“Baiklah,” kata bunda Abian. “Kalian butuh waktu berdua juga. Ini pernikahan, bukan kontrak bisnis.”

“Justru ini memang kontrak tak tertulis,” batin Reina, tapi tentu tak diucapkannya.

“Abian, kamu yang punya perusahaan. Seharusnya kamu bisa mengambil cuti lebih dari dua minggu, ‘kan?” Itu bukan pertanyaan, melainkan perintah mutlak yang tak bisa ditawar lagi oleh ayah Abian.

“Iya. Nanti aku ambil cuti sampai Reina sendiri yang ingin pulang. Perusahaan sementara biar asisten pribadiku yang atur. Aku hanya akan memantau dari jarak jauh,” jawab Abian.

“Kami hanya ingin kalian bahagia dan mendapat waktu berdua tanpa gangguan,” tambah mama Reina.

Reina hampir menyeringai sinis saat mendengar kata bahagia. Kata itu terlalu mahal untuk pernikahan keduanya. Pernikahan yang dibangun dari pemaksaan dan kebohongan.

Abian tiba-tiba meletakkan tangan di paha Reina, sedikit memberikan tekanan kecil. Ia memberikan isyarat agar sang istri mencoba menahan diri. Tatapan Reina justru tak terima, walaupun begitu dia memilih untuk menahan diri.

“Terima kasih atas masukannya, Ma,” kata Abian sopan. “Walaupun kita sudah mengenal, tapi masih ada banyak hal yang aku tidak tahu soal Reina. Kalian benar kita butuh waktu berdua tanpa adanya gangguan. Kita juga perlu banyak belajar tentang tugas dan kewajiban sebagai suami istri.”

Kata-kata Abian terdengar begitu rasional. Reina membenci bagaimana pria itu bisa terdengar dewasa, kalem, dan menenangkan. Nyatanya, lelaki itu adalah alasan utama hidup Reina jungkir balik dalam beberapa minggu ini.

“Baiklah dan yang penting, kalian sudah menikah. Sisanya kita serahkan ke kalian. Papa juga minta Abian untuk mengatur hidupmu yang berantakan itu,” ujar papa Reina sambil berdiri.

Kehidupan yang mana Papa maksud? Hidup bebas dan klub malam?

Seketika dirinya tersadar bahwa dengan adanya pernikahan ini, hidupnya akan terkekang. Apalagi kedua orang tuanya begitu berharap pada Abian, suaminya.

Abian merespons dengan cepat. “Papa tidak perlu khawatir, saya akan menjaganya. Reina tetap bisa menjadi dirinya sendiri dengan batasan yang kami sepakati bersama.”

Reina melirik Abian tajam. Berani-beraninya lelaki itu bicara seolah mereka adalah pasangan impian. Seolah dalam pernikahan mereka tidak ada kontrak dan rasa terpaksa menjalaninya.

Suasana menjadi lebih sunyi saat kedua orangtua mereka sudah kembali pulang.

Reina menatap ke jendela, lalu memutar tubuhnya menghadap pria itu. “Jadi, semua ini bagian dari drama besar keluarga kita, ya?”

Abian merapikan sisa cangkir kopinya, lalu menatapnya lurus. “Kamu bisa menyebutnya begitu.”

“Apa kamu serius soal aku tinggal di rumahmu?” tanya Reina, nadanya tajam.

Abian terdiam sebelum menjawab. “Kalau kamu tidak suka dan ingin melanggar kesepakatan kita, terserah. Semua keputusan ada di tanganmu. Aku cuma mengingatkan saja bahwa kesepakatan ini dibuat karena kamu sendiri yang mengajukan syarat.”

“Sialan! Kamu masih sama seperti dulu, bajingan dan brengsek,” maki Reina tak tahan lagi.

“Kamu juga masih sama seperti dulu,” balas Abian cepat. “Suka menantang dan berpikir dunia harus tunduk padamu.” lanjutnya. 

“Sialan kamu Abian.”

.

.

.

~ To Be Continue ~

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Wei Yun
mbak Reina..sadarnya telat sih
goodnovel comment avatar
Syafitri Wulandari
keras kepala bnget. dua²nya mungkin ini yg dinamakan jodoh
goodnovel comment avatar
KiraYume
konflik konflik konflik....baca terus....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PESONA ISTRI NAKAL CEO   Bab 143. Aku Harus Bagaimana?

    Ruang konseling itu terasa hangat dan tenang, seolah menenangkan siapa pun yang memasukinya. Aroma lavender lembut mengisi udara, membuat dada Reina sedikit lebih rileks. Ia duduk di sofa abu muda dengan tangan yang masih digenggam Abian, mencoba menenangkan diri. Di hadapan mereka, psikiater wanita paruh baya tersenyum ramah sambil mencatat sesuatu di tabletnya.“Selamat datang, Nyonya Reina. Terima kasih sudah datang hari ini,” ucap sang psikiater dengan nada lembut.Reina hanya mengangguk pelan, matanya menatap lantai sebelum akhirnya beralih ke wajah wanita itu. “Saya… belum tahu harus mulai dari mana,” ujarnya jujur, suaranya sedikit bergetar.“Tidak apa-apa,” jawab sang psikiater tenang. “Kita mulai dari hal yang membuat Anda paling tidak nyaman. Tidak harus semuanya langsung hari ini. Perlahan saja.”Abian menatap Reina dengan penuh dukungan, sorot matanya lembut dan tenang. Ibu jarinya bergerak perlahan di punggung tang

  • PESONA ISTRI NAKAL CEO   Bab 142. Hening yang Hangat

    Matahari sore perlahan tenggelam di balik deretan gedung tinggi, meninggalkan semburat jingga yang mulai meredup di langit kota. Lampu jalan menyala satu per satu, memantulkan cahaya hangat di kaca mobil yang bergetar halus mengikuti ritme jalan. Reina membuka mata perlahan, masih dibalut kantuk dan sisa lelah perjalanan. Menyadari kepalanya bersandar di bahu Abian, ia cepat menegakkan duduk, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.Abian menoleh sekilas dan tersenyum kecil. “Tidur aja kalau masih ngantuk,” ucapnya pelan.Namun, Reina hanya menggeleng pelan, pandangannya menerobos kaca jendela yang dipenuhi pantulan senja. Bayangan gedung dan cahaya lampu kota berpadu, menimbulkan kesan samar di matanya yang tampak sendu. Ingatannya kembali berputar pada makam yang baru mereka kunjungi, membawa kenangan lama yang perlahan muncul ke permukaan.Begitu mobil berhenti di depan rumah, Abian sempat menepuk pelan bahu Reina yang ternyata tertidur bersand

  • PESONA ISTRI NAKAL CEO   Bab 141. Keberanian yang Tertunda

    Abian mengulang pertanyaannya pelan. “Mau ke mana, Sayang?” Suaranya lembut, mencoba menembus hening yang masih menggantung di antara mereka.Reina menatap tangannya sendiri, jemarinya saling menggenggam seolah takut melepaskan sesuatu. “Ke rumah baru Mama.”Abian tidak langsung menjawab. Ia tahu apa yang dimaksud Reina bukan rumah dalam arti sebenarnya. “Makamnya?” tanyanya pelan.Reina mengangguk tanpa menatap. “Aku belum pernah ke sana lagi sejak Mama meninggal. Udah tujuh belas tahun.”Suara itu bergetar halus. Abian mengulurkan tangannya, menyentuh bahu Reina pelan. “Kalau kamu yakin kuat, aku antar sekarang.”Reina mengangguk lagi, kali ini dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Abian putar arah saat Reina menyebutkan salah satu nama pemakaman elit. Perjalanan menuju makam berlangsung dalam diam.Jalanan pagi menjelang siang itu sepi, langit berwarna pucat dengan awan bergerak lambat. Reina menatap keluar jendela, matanya ses

  • PESONA ISTRI NAKAL CEO   Bab 140. Pulang

    Cahaya pagi menembus tirai tipis kamar rumah sakit, membentuk pola lembut di lantai dan di wajah Abian yang tertidur di kursi. Kemeja yang sama sejak kemarin masih melekat di tubuhnya, dengan lengan tergulung dan rambut yang sedikit berantakan. Namun di balik kelelahan itu, ada ketenangan yang membuat Reina terdiam lama. Senyum kecil muncul di bibirnya tanpa sadar karena untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar aman.Ia mengulurkan tangan pelan, menyentuh jemari Abian yang terkulai di tepi ranjang. Sentuhan kecil itu cukup membuat pria itu tergerak. Abian mengangkat kepala, mata hazelnya langsung bertemu pandangan Reina. Seketika seluruh kelelahan di wajahnya menguap.“Kamu udah bangun?” suaranya serak, tapi lembut.Reina mengangguk pelan. “Iya. Kamu mau tidur lagi?”Abian tersenyum samar, lalu menggeleng. Begitu jam dinding menunjukkan pukul 09:00 am, ia segera menatap istrinya. “Dokternya sudah datang?” tanyanya.Reina mengangguk pe

  • PESONA ISTRI NAKAL CEO   Bab 139. Di Antara Napas yang Tenang

    Reina membuka mata perlahan, kelopak matanya terasa berat seolah baru terlepas dari mimpi panjang. Pandangannya masih kabur, hanya siluet samar cahaya lampu yang menembus kelopak matanya. Ruangan di sekitarnya terasa asing, terlalu tenang untuk disebut nyaman. Ada sesuatu di udara yang membuat dadanya sesak, jantungnya berdetak tak beraturan, sementara pikirannya masih berusaha memahami di mana ia berada.Dengan sisa tenaga, ia menggerakkan tangan pelan, berusaha memastikan dirinya masih ada di dunia nyata. Pandangannya berhenti pada sosok Abian yang duduk di samping ranjang, diam, nyaris tanpa gerak. Dalam hening itu, Reina tahu tatapan Abian bukan sekadar cemas, ada sesuatu yang lebih dalam, seperti janji yang belum sempat terucap.“Abian,” panggilnya pelan, nyaris hanya berupa bisikan.Suara itu terdengar rapuh, tapi cukup untuk mengguncang dunia kecil di antara mereka. Abian sontak menegakkan tubuh, sorot matanya membulat tidak percaya, seolah tidak ya

  • PESONA ISTRI NAKAL CEO   Bab 138. Bayangan di Balik Pintu

    Arga terdiam sejenak, menatap wajah Abian yang tegang. Ia tahu pertanyaan itu bukan sekadar rasa ingin tahu, tapi luapan emosi yang sulit disembunyikan. Pandangannya beralih ke Reina yang masih terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat, bibirnya kering, napasnya pelan namun tidak teratur.“Ya,” jawab Arga akhirnya, pelan tapi tegas. “Aku tahu sedikit tentang traumanya.”Abian mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha menahan diri agar tidak meledak. “Dan kamu tidak berpikir untuk memberitahuku?” suaranya datar, tapi tajam, seolah menuntut jawaban panjang yang tak ia dapatkan.Arga menarik napas dalam, menahan gemuruh emosinya sendiri. “Karena bukan tempatku untuk bercerita, Abian,” ujarnya dengan nada hati-hati. “Reina sendiri yang memutuskan menutup masa lalunya. Aku cuma menghormati itu.”Jawaban itu membuat dada Abian sesak. Ia tahu Arga tidak salah, tapi hatinya menolak menerima kenyataan. Ada bagian dari dirinya yang terganggu karena ora

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status