“Jadi, setelah ini kalian akan tinggal di mana?” suara mama Reina terdengar ringan, tetapi jelas mengandung harapan tertentu.
Setelah sarapan, suasana di ruang tamu beralih menjadi sedikit lebih serius. Abian duduk dengan tenang, tangan kanannya menggenggam secangkir kopi hitam. Sementara Reina, kini sudah berganti pakaian menjadi lebih tertutup. Reina yang masih duduk di samping Abian langsung menoleh dengan refleks. Dia belum memikirkan apa pun soal tempat tinggal. Baginya, pernikahan ini saja masih seperti skenario teater yang dipaksa dijalani. “Kita sepakat untuk tinggal di rumahku,” jawab Abian kalem, tanpa melihat Reina. “Tentu saja, Nak.” Bunda Abian menyahut cepat, ekspresinya puas atas keputusan kedua pengantin. Ayah Abian mengangguk setuju. “Keamanan rumahnya pun ketat. Jadi kalian berdua aman dari kejaran wartawan.” Reina menahan napas. Semua orang berbicara seakan dia tak punya suara. Seolah hidupnya sudah dipetakan dengan garis tegas. Tinggal di rumah suami dan berpura-pura bahagia. “Ngomong-ngomong, kapan kalian rencana honeymoon?” tanya mama Reina. “Aku fleksibel, Ma. Ikut jadwal suamiku. Dia kan bukan pengangguran kayak aku,” jawab Reina santai, akhirnya buka suara. “Memangnya kalian sudah ada rencana mau pergi ke mana?” tanya ayah Abian. Abian melirik Reina sekilas. “Reina tadi malam sempat bilang ingin ke luar negeri. Mungkin Edinburgh.” Edinburgh adalah kota yang pernah menjadi tempat favoritnya waktu kuliah dulu. Dia pernah mengatakan pada Abian kalau dia sangat menyukai Edinburgh. Dia ingin melihat kastil tua secara langsung. Mama Reina menatap sang anak, curiga. “Kenapa Edinburgh?” “Karena tenang, sunyi, dan mungkin aku bisa napas sebentar dari urusan bisnis sialan ini,” jawab Reina jujur. Mama Reina melotot ke arah anaknya karena berbicara tidak sopan, sedangkan Reina masa bodoh. Dia hanya ingin menyuarakan isi pikirannya. Setidaknya dia ingin keempat orang dewasa di hadapannya sadar kalau ia tidak menyukai urusan bisnis apalagi pernikahan ini. “Baiklah,” kata bunda Abian. “Kalian butuh waktu berdua juga. Ini pernikahan, bukan kontrak bisnis.” “Justru ini memang kontrak tak tertulis,” batin Reina, tapi tentu tak diucapkannya. “Abian, kamu yang punya perusahaan. Seharusnya kamu bisa mengambil cuti lebih dari dua minggu, ‘kan?” Itu bukan pertanyaan, melainkan perintah mutlak yang tak bisa ditawar lagi oleh ayah Abian. “Iya. Nanti aku ambil cuti sampai Reina sendiri yang ingin pulang. Perusahaan sementara biar asisten pribadiku yang atur. Aku hanya akan memantau dari jarak jauh,” jawab Abian. “Kami hanya ingin kalian bahagia dan mendapat waktu berdua tanpa gangguan,” tambah mama Reina. Reina hampir menyeringai sinis saat mendengar kata bahagia. Kata itu terlalu mahal untuk pernikahan keduanya. Pernikahan yang dibangun dari pemaksaan dan kebohongan. Abian tiba-tiba meletakkan tangan di paha Reina, sedikit memberikan tekanan kecil. Ia memberikan isyarat agar sang istri mencoba menahan diri. Tatapan Reina justru tak terima, walaupun begitu dia memilih untuk menahan diri. “Terima kasih atas masukannya, Ma,” kata Abian sopan. “Walaupun kita sudah mengenal, tapi masih ada banyak hal yang aku tidak tahu soal Reina. Kalian benar kita butuh waktu berdua tanpa adanya gangguan. Kita juga perlu banyak belajar tentang tugas dan kewajiban sebagai suami istri.” Kata-kata Abian terdengar begitu rasional. Reina membenci bagaimana pria itu bisa terdengar dewasa, kalem, dan menenangkan. Nyatanya, lelaki itu adalah alasan utama hidup Reina jungkir balik dalam beberapa minggu ini. “Baiklah dan yang penting, kalian sudah menikah. Sisanya kita serahkan ke kalian. Papa juga minta Abian untuk mengatur hidupmu yang berantakan itu,” ujar papa Reina sambil berdiri. Kehidupan yang mana Papa maksud? Hidup bebas dan klub malam? Seketika dirinya tersadar bahwa dengan adanya pernikahan ini, hidupnya akan terkekang. Apalagi kedua orang tuanya begitu berharap pada Abian, suaminya. Abian merespons dengan cepat. “Papa tidak perlu khawatir, saya akan menjaganya. Reina tetap bisa menjadi dirinya sendiri dengan batasan yang kami sepakati bersama.” Reina melirik Abian tajam. Berani-beraninya lelaki itu bicara seolah mereka adalah pasangan impian. Seolah dalam pernikahan mereka tidak ada kontrak dan rasa terpaksa menjalaninya. Suasana menjadi lebih sunyi saat kedua orangtua mereka sudah kembali pulang. Reina menatap ke jendela, lalu memutar tubuhnya menghadap pria itu. “Jadi, semua ini bagian dari drama besar keluarga kita, ya?” Abian merapikan sisa cangkir kopinya, lalu menatapnya lurus. “Kamu bisa menyebutnya begitu.” “Apa kamu serius soal aku tinggal di rumahmu?” tanya Reina, nadanya tajam. Abian terdiam sebelum menjawab. “Kalau kamu tidak suka dan ingin melanggar kesepakatan kita, terserah. Semua keputusan ada di tanganmu. Aku cuma mengingatkan saja bahwa kesepakatan ini dibuat karena kamu sendiri yang mengajukan syarat.” “Sialan! Kamu masih sama seperti dulu, bajingan dan brengsek,” maki Reina tak tahan lagi. “Kamu juga masih sama seperti dulu,” balas Abian cepat. “Suka menantang dan berpikir dunia harus tunduk padamu.” lanjutnya. “Sialan kamu Abian.” . . . ~ To Be Continue ~Reina berdiri, sempoyongan, lalu menarik tangan teman di sampingnya yang masih setengah sadar. “Kepalaku berisik, minuman ini tidak bisa mengurangi berisiknya.”Kemudian, Reina duduk lagi karena merasa pusing. Ia ambil ponselnya dan menekan nomor Abian. Sudah empat kali dia spam panggilan, tapi tak ada satu pun yang dijawab. Saat panggilan kelima, dia sudah tidak peduli akan terhubung atau tidak.“ABIAAAAAANN! APA KAMU MEMANG SEJAHAT ITU?” bentak Reina. Suaranya sedikit serak, bernada tinggi, dan jelas terdengar mabuk. “Sialan! Kamu tuh … kamu tuh cowok paling menyebalkan sedunia! SOK ATUR! PADAHAL AKU NGGAK NGAPA-NGAPAIN!”“Heh cowok brengsek, dengar ya. Kalau aku mati malam ini, itu karena kamu! Kamu yang terlalu ganteng, terlalu sok cool, dan terlalu diem kayak setan!” racau Reina yang tidak sadar kalau panggilan itu tersambung.Tak ada balasan, tentu saja, tapi Reina terus bicara. Mata mulai berkaca. “Kamu pikir aku nggak n
Sementara itu di kamar utama, Reina baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah dan tubuh hanya dibalut bathrobe kecil. Ketika ia melihat koper-kopernya masih tertumpuk di sudut ruangan, membuatnya bertanya-tanya.Reina berjalan ke sisi kiri ranjang dengan ponsel sudah berada di tangan kanannya. Dia melihat jadwal sang kekasih yang menunjukkan bahwa Raka sedang berjaga di rumah sakit. Sore ini dia akan datang berkunjung. Bagi Reina, Raka adalah tempatnya melarikan diri dari dunia nyata.“Tumben nomornya tidak aktif?” monolog Reina saat dua panggilannya mengarah pada jawaban operator.Kini Reina sudah berganti pakaian. Mini dress warna biru dengan corak bunga Daisy. Rambutnya dibiarkan terurai setelah menyisirnya rapi.Reina keluar dan menuju kamar tamu. Namun, saat ia hendak membuka pintunya, pintu itu tak mau terbuka. Kesal, Reina turun ke lantai bawah untuk mencari keberadaan bu Mar.“Bu Mar, itu pi
Rumah besar itu berdiri megah di kawasan elite yang sunyi. Arsitekturnya bergaya minimalis modern. Reina menatap bangunan itu dari balik kaca mobil, kacamata hitamnya menutupi separuh wajah lelahnya. Abian keluar dari mobil, diikuti Reina di belakangnya. Kedatangan keduanya disambut oleh bibi kepala pelayan dan satpam rumah. Abian menyerahkan kunci mobil dan meminta satpam mengeluarkan koper istrinya. “Selamat datang, Nyonya Reina. Saya Maryam, kepala pelayan di sini sekaligus orang yang akan membantu segala keperluan rumah tangga di sini,” ujar bibi kepala pelayan. Bu Mar segera tersenyum. “Itu sudah menjadi tugas saya, Nyonya.” Reina masuk ke dalam rumah dengan menjinjing tas kecilnya. Hawa dingin khas pendingin ruangan mahal dan aroma maskulin yang samar menyambutnya. Rumah itu besar, megah, tapi terlalu hampa untuk rumah yang mewah. Bu Mar menyuruh seorang pelayan untuk membawa koper Reina ke kamar utama. Abian langsung melenggang pergi menuju ruang kerjanya, meninggalkan Rei
“Jadi, setelah ini kalian akan tinggal di mana?” suara mama Reina terdengar ringan, tetapi jelas mengandung harapan tertentu.Setelah sarapan, suasana di ruang tamu beralih menjadi sedikit lebih serius. Abian duduk dengan tenang, tangan kanannya menggenggam secangkir kopi hitam. Sementara Reina, kini sudah berganti pakaian menjadi lebih tertutup.Reina yang masih duduk di samping Abian langsung menoleh dengan refleks. Dia belum memikirkan apa pun soal tempat tinggal. Baginya, pernikahan ini saja masih seperti skenario teater yang dipaksa dijalani.“Kita sepakat untuk tinggal di rumahku,” jawab Abian kalem, tanpa melihat Reina.“Tentu saja, Nak.” Bunda Abian menyahut cepat, ekspresinya puas atas keputusan kedua pengantin.Ayah Abian mengangguk setuju. “Keamanan rumahnya pun ketat. Jadi kalian berdua aman dari kejaran wartawan.”Reina menahan napas. Semua orang berbicara seakan dia tak punya suara. Seolah hidupnya sudah dipetakan dengan garis tegas. Tinggal di rumah suami dan berpura-pu
“Kamu yakin kita harus pakai cincin itu?” tanya Reina berbisik saat melihat bunda Abian berjalan mendekat ke arah altar sambil membawa kotak beludru warna merah. “Apa hal begini saja kamu tidak tahu?” sindir Abian. “Jangan mulai,” peringat Reina sambil mencubit lengan Abian dengan pelan. Setelah acara tukar cincin selesai, lima puluh tamu undangan pilihan bergiliran mengucapkan selamat pada kedua mempelai. Mereka adalah orang-orang terpilih dari keluarga inti, rekan bisnis hingga orang yang berpengaruh dalam dunia bisnis. Mereka semua menyambut bahagia pernikahan ini, berbanding terbalik dengan kedua mempelai. Sore harinya, Reina memilih untuk mengurung diri di kamar pengantin yang dingin dan luas. Ia tidak memedulikan petugas keamanan yang berpatroli di sekitar vila, tidak juga suara para pekerja yang mulai membereskan dekorasi. Ia hanya berbaring di ranjang, menatap langit-langit yang sama hampa dengan hatinya. Di tempat lain, Abian berdiri di balkon kamarnya, memandangi langi
“Aku tidak menghina. Aku cuma mengingatkanmu. Kamu dan aku tahu. Dunia kita kotor. Hubungan bukan cuma soal cinta, tapi reputasi, kekuasaan, dan nama baik.” Abian melangkah mendekat. Wajah mereka kini hanya berjarak sejengkal. Ketegangan mereka semakin mencapai puncaknya. “Apa kamu cukup hebat sampai tega menyingkirkan tunanganmu sendiri hanya karena dia selingkuh? Kamu lupa jati dirimu dulu?.” “Kamu lupa selingkuhanku itu kamu?” tambah Abian santai. Reina memukul meja terlalu keras. “Kita berdua sama-sama punya alasan. Kamu ingin bebas dari tekanan keluarga dan menyelamatkan citramu. Aku ingin lepas dari seseorang dan memperbaiki citraku. Cukup.” ungkap Abian. Senyap. Dunia seperti membeku dalam kesepakatan yang tak terucapkan. Ketegangan masih menyelimuti keduanya. Namun, sesuatu di dalam diri Reina merasa ditelanjangi dalam tatapan tajam Abian. Reina menimbang sebelum bicara, sejenak menunduk seolah menakar dosa yang akan diucapkan. Reina tahu, orang tuanya tak akan pernah s