Share

BAB 3. PARNO

“Beliau putri Syarifah Alawiyah, pelanggan usaha almarhum. Maaf tidak memberitahu lebih dulu, kami singgah sejenak mewakili keluarga.”

Seolah tahu gestur Yara yang masih terkejut, Santi, sahabatnya mengambil alih menjawab pertanyaan pria tadi.

Sebenarnya, Santi-lah putri hubabah yang asli. Bukan Yara. Namun, Santi tahu betul siapa pria di hadapannya ini untuk Yara. Untuk itu, dia cepat-cepat menjalankan sebuah skenario.

Pria itu diam, tersenyum dan mengangguk tetapi tatapannya tak lepas dari sosok Yara yang berdiri di belakang Santi.

“Maaf, Wan, bukan mahram. Tolong jaga pandangan.”

Santi menghalau pandangan pria itu sembari menggandeng Yara menyingkir dari bahaya.

Namun, baru beberapa langkah menjauh, pria tadi memanggil dua gadis itu lagi.

“Tunggu.”

Jantung Yara berdebar hebat kala langkah kaki pria itu kian dekat. Kembali, pria itu tersenyum tipis menatap ke arah Yara. Santi gegas berdiri di hadapan sahabatnya, berusaha melindungi Yara dari pandangan menyelidik pria itu.

"Ehm ... silakan lanjutkan." Pria itu membiarkan mereka pergi, dengan tatapan menyelidik.

Sesampainya di parkiran, Yara lemas. Dia berjongkok di samping motor Santi.

Keringat dingin mengucur deras di balik gamis dan kerudungnya. Dia meraba dadanya yang berdentum hebat akibat ketakutan penyamaran mereka bakal terbongkar.

Seolah tahu ketakutan yang dirasakan Yara, Santi ikut berjongkok dan memeluknkya. "Baiknya ditunda dulu. Jangan sampai perjuangan kamu susah payah lepas dari dia, malah ketahuan. Pulanglah."

Santi benar. Dia belum memiliki kekuatan atau tabungan untuk menyewa pengacara jika keadaan bahaya mengancam jiwanya lagi seperti empat tahun lalu.

Akan tetapi, saat motor keduanya baru saja keluar dari komplek pemakaman umum, tiba-tiba mereka dijegal sebuah mobil yang menghadang jalan.

Kedua gadis itu saling pandang seraya mengendikkan bahu. Tak ingin berdebat, Santi memundurkan motornya untuk menghindar dan melanjutkan perjalanan mereka.

Namun, sebuah panggilan membuat Yara terkejut dan melihat ke sumber suara.

"Yara!"

"Eh!" Yara menoleh ke sosok yang memanggilnya.

"Siapa?" tanya Santi penasaran. "Kok dia bisa mengenalimu?"

"P-pak Andaru? Ngapain di sini?" Setengah tak percaya melihat kehadiran Andaru di sini.

"Aku tahu itu kamu. Turun dulu, kita bicara."

Andaru menepuk dashboard motor Santi dua kali seraya menatap lekat sekretarisnya yang berpakaian super tertutup.

Saat Yara bersiap turun dari boncengan Santi, sahabatnya itu menahan. "Bahaya gak?"

"Beliau bos aku di Jakarta. Nggak apa-apa."

Setelah meyakinkan Santi, Yara menghampiri atasannya.

Andaru mengajaknya bicara di dalam mobil dan membiarkan salah satu pintunya terbuka. Bimo, yang kali ini ikut pun diminta menyingkir sejenak, seolah pembicaraan mereka adalah sebuah rahasia.

"Bapak ngapain di Semarang?"

Sang duda tak menjawab pertanyaan sekretarisnya, dan memilih untuk menarik napas panjang.

Selanjutnya, kalimat yang keluar dari mulut Andaru sungguh-sungguh tak terduga.

"Yara, mari menikah."

"HAAAHH?"

Yara menoleh ke belakang, di mana Andaru duduk. Pria itu tak berkedip saat mengucapkan tiga kata keramat idaman para wanita. Wajah tampan sang CEO terlihat serius saat ini.

"Bukan pernikahan kontrak. Aku akan menjamin kehidupan kamu. Syaratnya cuma satu, merahasiakan status kita."

Seperti biasa, gestur pria itu begitu dingin. Bersedekap sambil menopang kaki.

Yara terkekeh dibuatnya. "Apa bedanya? ... Bapak mau menjadikan saya simpanan, gitu?" imbuhnya seraya menoleh ke belakang.

Andaru berdecak. "Beda, lah. Pernikahan ini legal di mata hukum. Kamu diakui sebagai cucu menantu keluarga Garvi, ditanggung biaya hidup, diberi fasilitas juga hal lain.” Pria itu mengambil jeda sejenak sebelum kemudian melanjutkan lagi kalimatnya. “Kita tinggal seatap dan aku membebaskan kamu dari segala tugas rumah tangga. Kamu tetap bekerja dan digaji seperti biasa. Hanya status saja berubah."

Yara memutar kembali tubuhnya. Tatapannya memandang jauh ke arah kaca depan mobil Andaru.

"Tidak ada komitmen, tidak ada seks atau kehamilan. Hanya kontrak seperti di film-film?” Ada nada ragu tersirat di sana. Setelahnya, Yara tersenyum sinis meski tertutupi cadar. “Maaf Pak, Anda salah sasaran. Saya memang miskin, tapi Anda tidak berhak menghina seperti ini.”

Dia sudah menggeser posisi kakinya, bersiap keluar dari mobil sang pimpinan saat Andaru kembali membuka suara.

"Aku tidak menghinamu. Hanya mengajak berkomitmen saja."

"Komitmen palsu, kan? Terikat seterusnya dalam satu atap meski tanpa cinta, begitu? Apa tujuan Anda?"

Andaru tak menjawab. Dia terus menatap lekat wanita yang menyamar dengan hijab dan niqab di depannya.

"Anda bilang membebaskan dari pekerjaan rumah tangga. Berarti termasuk pada no sex karena tidak ada cinta?"

Gadis itu tersenyum remeh dari balik niqabnya.

"Kamu hidup di jaman apa, Yara? Tidak butuh cinta jika hanya sekadar membuat kecebong berenang bebas menemukan sarang dan berkembang biak.” Andaru berujar enteng, nyaris membuat bola mata Yara memutar. “Lagipula, kamu istriku, bukan? Aku membebaskanmu dari pekerjaan rumah, tapi tidak dengan kewajibanmu yang satu itu."

Kalimat terakhir benar-benar penuh penegasan. Mata elangnya terus menatap lekat sosok Yara yang berada di hadapan.

Yara terkekeh geli sampai-sampai dia menepuk dashboard mobil. Andaru seperti membolak-balik perkataannya sendiri. Dalam otak Yara, itu sama saja bagai perjanjian pernikahan. Banyak syarat yang harus disepakati demi meraih keuntungan.

Namun, jelas sekali penawaran Andaru hanya menguntungkan dirinya sendiri. Sedangkan Yara, jika dia hamil, tentu dia akan seutuhnya menjadi ibu rumah tangga biasa. Tidak dapat leluasa keluar rumah, bahkan mungkin membuka celah cemoohan karena dianggap hamil di luar nikah.

"Anda gila!"

Tak tahan lagi, Yara mantap menarik tubuhnya keluar dari mobil Andaru.

“Come on, Yara!"

Andaru masih tak mau menyerah. Dia mengikuti Yara yang kembali berjalan menghampiri Santi.

Saat Santi bersiap menjalankan motornya untuk mengantar Yara ke Bandara, tangan pria itu menahan dengan memegang bagian spion motor.

"Aku memberimu waktu satu hari. Pikirkan lagi. Kita sama-sama sedang dalam situasi terdesak bukan?" tegasnya.

Yara hanya melirik tajam saat motor Santi perlahan meninggalkan Andaru yang terpaku.

**

"Lepas! lepasin aku!"

Gadis SMA itu berusaha menepis tangan kekar yang melingkari dadanya.

“Diamlah. Aku nggak punya niat jahat sama kamu. Kita sama-sama kedinginan.”

Takut, sang gadis terus memberontak. “Nggak! Lepasin!”

Hal tersebut justru membuat pria itu semakin murka. Sebuah seringai lantas tercipta di wajah pria itu.

Plak!

Gadis itu menampar sang pria, menatap nanar si pelaku yang berusaha melecehkannya. Napasnya terengah, tangan yang digunakan untuk menampar pun berdenyut dan memerah.

Saat pria itu lengah, gadis itu lantas berusaha kabur. Namun, teriakan minta tolongnya tidak didengar siapa pun dan berakhir dengan dirinya yang tertangkap kembali.

“Nggak!”

Tubuh Yara yang semula lelap bersandar di kursi penumpang ekonomi pesawat itu terguncang. Napasnya memburu, pandangannya kabur saat memori kelam itu kembali mengganggunya.

Peluh sebesar biji jagung terlihat di dahi. Wajah Yara memucat. Gerakan kepala Yara yang mencoba mengenyahkan memori pahit itu rupanya menarik perhatian seorang pramugari maskapai.

“Mbak, apa baik-baik saja?”

Meski masih linglung, akhirnya tepukan halus di bahunya itu menarik kembali kesadaran Yara sepenuhnya. Dengan tergagap, dia menyahut. “I-iya. Maaf.”

Setelahnya, pramugari itu memberikannya segelas air mineral. Sementara, hati Yara kembali dibuat sesak. Saat itu … tidak ada satu pun yang percaya padanya. Semua orang beranggapan jika gadis abege ingusan itu hanya sedang berhalusinasi.

Menjelang petang, Yara telah kembali menginjakkan kaki di ibu kota. Tidak ada waktu berleha-leha, karena dia harus menyiapkan makanan gratis untuk anak jalanan.

Saat semua pekerjaan selesai, baru juga berbaring di ranjangnya yang sempit, notifikasi ponsel Yara berbunyi. Dia enggan membuka pesan, tapi pop up yang muncul itu dengan gamblang menampilkan isi pesan, membuat matanya membelalak.

["Halo, Sayang. Apa kabarmu? akhirnya, kau kutemukan."]

"Aaahh!" pekik Yara, melempar ponselnya asal dan beringsut tiba-tiba ke pojok ruang di bawah jendela. Dia meraih bantal dan menggigit ujung jarinya. "Enggak, gak mau. Pergi, pergi!"

Comments (6)
goodnovel comment avatar
QIEV
Betul betul betul
goodnovel comment avatar
QIEV
Siiiaappp grak
goodnovel comment avatar
QIEV
Mangats ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status