Aku mulai bangun lebih siang dari biasa.
Bukan karena lelah fisik, tapi karena aku takut menghadapi pagi. Takut menghadapi tatapan mata yang kuhindari, tapi kucari. Tatapan Sona. Beberapa hari ini, aku mulai menjauh. Tak sarapan bersama. Tak duduk di ruang tengah terlalu lama. Bahkan sengaja menutup pintu kamar lebih sering. Aku pikir, dengan menarik diri, semuanya akan perlahan kembali normal. Bahwa jika aku berhenti hadir di hidupnya, dia akan kembali ke tempat yang seharusnya. Ke sisi Kak Arman. Ke rumah ini sebagai istri, bukan sebagai perempuan yang pernah duduk diam bersamaku di tengah sunyi. Tapi ternyata… aku yang patah duluan. Rasanya kosong. Bukan karena kehilangan, tapi karena menahan diri dari hal yang paling ingin kutanyakan: “Apa kamu juga sesak, seperti aku?” Sore itu, aku pulang lebih awal. Tidak sengaja. Dan kudapati Sona menangis pelan di ruang tamu, punggungnya membelakangi jendela. Tangannya menutupi wajah. Tubuhnya berguncang, tapi tak bersuara. Aku berdiri membeku. Ingin menghampiri, tapi takut. Ingin memeluk, tapi tahu tak boleh. Akhirnya aku duduk di lantai, beberapa meter darinya. Tidak menatap langsung, hanya diam. Membiarkannya tahu… bahwa dia tak sendiri. Beberapa menit kemudian, dia sadar aku ada di sana. Dia tidak terkejut. Tidak marah. Dia hanya menoleh perlahan dan bertanya: “Kenapa kamu mulai menjauh?” Aku ingin menjawab jujur. “Karena kalau aku terus dekat, aku akan jatuh. Dan kalau aku jatuh, kita berdua yang hancur.” Tapi yang keluar dari mulutku hanya, “Maaf. Aku pikir itu yang paling aman.” Sona mengangguk, pelan. Matanya masih basah. Tapi bibirnya melengkungkan senyum kecil—senyum orang yang mengerti, meski hatinya tidak setuju. “Berarti kita sama-sama takut, ya?” Aku mengangguk. Dan untuk pertama kalinya… aku merasa sangat dekat dengannya. Justru karena kami sama-sama memilih tidak mendekat. Sejak hari itu, ada jarak baru di antara kami. Jarak yang bukan dibuat untuk menjauh, tapi dibuat agar kami bisa tetap bernapas tanpa saling menyakiti. Aku kembali bangun pagi lebih awal, menyibukkan diri, banyak keluar rumah. Sona pun begitu—ia mulai lebih sering ke rumah orang tuanya, katanya untuk membantu ibunya di toko kecil depan gang. Kami tidak saling tanya, tidak saling cari. Tapi tetap saling hadir dalam cara-cara kecil yang tak kasat mata. Seperti sore itu. Saat aku pulang lebih awal karena hujan deras. Di ruang tengah, tak ada siapa-siapa. Tapi di atas meja makan, ada tisu basah, teh hangat, dan jaketku yang sudah dicuci—terlipat rapi. Sona tidak terlihat, tapi jejak perhatiannya tetap ada. Dan itu cukup membuat dadaku terasa sesak. Aku duduk, menggenggam cangkir teh itu dengan dua tangan. Menunduk lama. Kenapa rasa yang tidak pernah disebut… bisa terasa sedalam ini? Tak lama kemudian, dia muncul. Basah, dari luar. Payungnya robek. Hujan membasahi ujung kerudungnya. Tapi dia tidak langsung bicara. Kami saling menatap. Lagi. “Maaf,” ucapnya pelan. “Aku nyoba... buat biasa. Tapi ternyata nggak bisa.” Aku mengangguk. Rasanya ingin bicara banyak. Tapi lidah ini terlalu takut menyentuh kata yang salah. “Aku bukan nyari kamu,” lanjutnya. “Tapi… setiap kali aku butuh tenang, kenapa wajah kamu yang muncul di kepala aku?” Kalimat itu sederhana. Tapi diucapkan dengan suara yang sudah nyaris pecah. Dan saat dia berdiri di ambang pintu kamarnya, dia menatapku sekali lagi sebelum menutup pintu pelan-pelan. “Kita nggak salah... tapi kalau kita terus begini, mungkin kita akan saling menyakiti.” Dan malam itu, untuk kesekian kali, aku tidur bukan karena mengantuk. Tapi karena tidak tahu harus apa dengan perasaan yang tidak pernah kami rencanakan. Malam itu hujan turun lagi, seperti mengulang waktu. Dan di rumah ini, suara hujan menjadi satu-satunya yang benar-benar terdengar jujur. Sona duduk di dapur, menatap sisa teh yang sudah dingin. Aku berdiri di ambang pintu, memandangi punggungnya yang tampak letih. Seolah tubuhnya terlalu lelah untuk terus menahan perasaan yang tak punya tempat pulang. “Kamu yakin nggak mau cerita ke siapa pun?” tanyaku pelan. Dia menggeleng. “Apa gunanya cerita kalau nggak ada yang bisa ngerti?” Aku melangkah masuk. Tak duduk terlalu dekat. Tapi cukup agar dia tahu: aku di sini. “Aku ngerti,” ucapku nyaris berbisik. Dia menoleh. Matanya merah. Tapi tidak ada air mata. Hanya sisa-sisa hati yang sudah terlalu kering karena terus ditahan. “Justru itu masalahnya,” katanya pelan. “Cuma kamu yang ngerti.” Aku menunduk. Dan untuk pertama kalinya, aku sadar... kadang yang paling menyakitkan bukan ditinggalkan, tapi menjadi satu-satunya tempat seseorang bersandar, padahal kamu sendiri sudah goyah. Sona mengusap wajahnya. Berdiri. Mengambil napas panjang. “Kita harus mulai benar-benar menjauh. Bukan karena aku nggak peduli…” Dia menahan napas sejenak, suaranya retak. “Tapi karena kalau aku terus dekat, aku akan mulai berharap.” Dan harapan… adalah racun paling manis dari perasaan yang tidak punya tempat. Aku ingin menghentikannya. Tapi aku tahu, kalau aku menahan, aku yang akan jadi alasan dia makin terluka. Maka malam itu, aku hanya menatap punggungnya yang perlahan menjauh, masuk ke kamar dan menutup pintu—bukan dengan marah, bukan dengan benci… tapi dengan kesedihan yang terlalu dewasa untuk dilawan. Dan sejak malam itu, aku tahu… Pecahnya bukan karena kami saling menyakiti. Tapi karena kami terlalu saling menjaga, sampai-sampai lupa menjaga diri sendiri.Hari itu, aku berkemas lebih cepat dari biasanya. Bukan karena terburu-buru. Tapi karena aku takut, kalau aku terlalu lama berdiri di kamar ini, aku akan berubah pikiran. Kakakku sedang di kantor. Kak Arman ada di kamar, entah tidur atau hanya berpura-pura. Tak ada perpisahan. Tak ada penjelasan. Hanya koper kecil, jaket tipis, dan langkah pelan menuruni tangga. Aku sempat berhenti di depan dapur. Meja itu masih sama. Gelas-gelasnya juga. Dan kenangan yang tertinggal di sela percakapan yang tidak pernah selesai. --- Ibu menatapku lama saat aku tiba di rumahnya. “Bukan libur biasa, ya?” tanyanya, seperti tahu. Aku menggeleng. “Aku cuma… butuh tempat yang tidak terlalu banyak kenangan.” Ibu tidak bertanya lebih jauh. Hanya membuatkan teh manis, lalu duduk di sampingku tanpa kata. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa… diam itu cukup. --- Hari-hari di rumah Ibu berjalan lambat. Pagi diisi dengan menyapu teras. Siang bantu di toko. Malam duduk bersama
Bab 10: Jeda yang Tidak Diucapkan Sejak hari itu, tak banyak yang berubah. Piring di meja makan masih berkurang satu. Suara-suara di dalam rumah jadi lebih tenang—bukan damai, hanya... kosong. Kak Arman tetap pulang setiap malam, tepat waktu. Tapi ia tak lagi menanyakan apa aku sudah makan. Tak lagi duduk di dapur dengan dua gelas kopi. Ia seolah mengerti, bahwa batas-batas yang pernah kami abaikan kini sedang coba diperbaiki. Tapi diam itu menyiksa. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan. Seperti, "Kamu baik-baik saja?" Atau "Kenapa kamu terlihat lelah meski tidak berkata apa-apa?" Tapi aku takut. Takut kalau percakapan kecil akan membuka celah yang lebih dalam. Dan aku tahu, celah itu terlalu mudah terisi oleh rasa yang salah. --- Suatu malam, aku turun ke dapur. Hanya ingin mengambil air, tapi langkahku terhenti. Dia berdiri di sana, memunggungiku. Mengaduk sesuatu di panci kecil. "Belum tidur?" tanyanya, tanpa menoleh. Aku ragu menjawab. Sudah lama kami tidak berbicar
Pagi itu, suara TV sudah menyala sejak jam enam. Kak Arman duduk di ruang tamu, masih memakai pakaian tidur, matanya belum sepenuhnya bangun. Tapi ekspresinya tajam—bukan karena marah, tapi karena siaga. Sona keluar dari dapur dengan celemek masih terikat di pinggang. “Aku mau ke toko Ibu sebentar, nitip pesanan tetangga juga,” ucapnya datar. Tapi Kak Arman menoleh cepat. “Kenapa nggak besok aja? Hari ini kamu di rumah. Temenin aku.” Nadanya terdengar manis, tapi kaku. Seperti seseorang yang ingin terdengar lembut, tapi lupa caranya mencintai tanpa mengontrol. Sona terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Iya, besok aja.” Sepanjang hari, Kak Arman lebih sering di rumah. Ia mulai bertanya lebih sering, kadang soal masakan, kadang soal handphone Sona yang mulai jarang terlihat. “Aku lihat kamu sering keluar sendiri. Sekarang banyak laki-laki iseng di luar. Aku cuma jaga-jaga,” katanya saat makan malam. Sona tidak menjawab. Tapi dari cara dia mengunyah pelan dan me
Sudah hampir dua minggu Sona mulai jarang bicara. Dia tetap melakukan semua kewajibannya, tetap bangun pagi, tetap memasak, tetap menyapu halaman. Tapi tidak ada lagi kalimat-kalimat ringan yang dulu sering mengisi ruang makan. Dan Kak Arman mulai menyadarinya. “Makan bareng, Son,” katanya suatu malam. Sona hanya menoleh, lalu menjawab, “Nanti nyusul. Lagi lelah.” Itu bukan jawaban yang aneh. Tapi bagi seseorang yang terbiasa didengar tanpa diminta, jawaban sesingkat itu terasa seperti tamparan. “Sekarang kamu sering lelah, ya?” Arman bertanya lagi, kali ini dengan nada yang mulai berubah. Sona tidak menjawab. Ia hanya berlalu masuk ke kamar. Aku memperhatikan dari ruang tengah, pura-pura sibuk dengan layar ponsel. Tapi aku tahu, detik itu juga, sesuatu di dalam diri Kak Arman mulai retak—bukan karena curiga, tapi karena egonya terusik. Sona bukan lagi perempuan yang sama. Malamnya, aku mendengar suara mereka dari balik tembok. Tidak keras. Tapi cukup untuk membuatku tak bi
Aku mulai bangun lebih siang dari biasa. Bukan karena lelah fisik, tapi karena aku takut menghadapi pagi. Takut menghadapi tatapan mata yang kuhindari, tapi kucari. Tatapan Sona. Beberapa hari ini, aku mulai menjauh. Tak sarapan bersama. Tak duduk di ruang tengah terlalu lama. Bahkan sengaja menutup pintu kamar lebih sering. Aku pikir, dengan menarik diri, semuanya akan perlahan kembali normal. Bahwa jika aku berhenti hadir di hidupnya, dia akan kembali ke tempat yang seharusnya. Ke sisi Kak Arman. Ke rumah ini sebagai istri, bukan sebagai perempuan yang pernah duduk diam bersamaku di tengah sunyi. Tapi ternyata… aku yang patah duluan. Rasanya kosong. Bukan karena kehilangan, tapi karena menahan diri dari hal yang paling ingin kutanyakan: “Apa kamu juga sesak, seperti aku?” Sore itu, aku pulang lebih awal. Tidak sengaja. Dan kudapati Sona menangis pelan di ruang tamu, punggungnya membelakangi jendela. Tangannya menutupi wajah. Tubuhnya berguncang, tapi tak bersuara. Aku berdi
Beberapa minggu terakhir, Kak Arman mulai lebih sering pulang lebih awal. Tidak lagi ada perjalanan dinas, tidak lagi lembur sampai malam. Tapi rumah ini… tetap terasa kosong. Setiap sore, ia duduk di depan TV dengan mata lelah yang tak benar-benar melihat. Kadang memainkan ponsel, kadang tertidur di sofa. Sona menyajikan makanan seperti biasa, duduk di sebelahnya, menanyakan hal-hal kecil… yang tak pernah dijawab dengan utuh. Dan aku hanya memperhatikan dari jauh. Dari ruang tengah. Dari dapur. Dari lorong kamar. Selalu dari tempat yang tidak terlalu dekat, tapi juga tak pernah benar-benar jauh. “Dia nggak berubah,” bisik Sona padaku suatu malam, saat kami secara tidak sengaja bertemu di dapur. “Cuma... makin diam.” Aku tak tahu harus menjawab apa. Karena yang berubah justru kami. Kami yang semakin bisa membaca raut wajah masing-masing tanpa bicara. Kami yang mulai memahami kesepian bukan dari cerita, tapi dari sorot mata. Sona tertawa kecil, pahit. “Kadang, keh