Home / Fantasi / PESONA KAKA IPAR / Bab 11: Pergi yang Tidak Sungguh Pergi

Share

Bab 11: Pergi yang Tidak Sungguh Pergi

Author: jarumkecil
last update Last Updated: 2025-09-09 17:15:52

Hari itu, aku berkemas lebih cepat dari biasanya. Bukan karena terburu-buru. Tapi karena aku takut, kalau aku terlalu lama berdiri di kamar ini, aku akan berubah pikiran.

Kakakku sedang di kantor. Kak Arman ada di kamar, entah tidur atau hanya berpura-pura.

Tak ada perpisahan.

Tak ada penjelasan.

Hanya koper kecil, jaket tipis, dan langkah pelan menuruni tangga.

Aku sempat berhenti di depan dapur. Meja itu masih sama. Gelas-gelasnya juga.

Dan kenangan yang tertinggal di sela percakapan yang tidak pernah selesai.

---

Ibu menatapku lama saat aku tiba di rumahnya.

“Bukan libur biasa, ya?” tanyanya, seperti tahu.

Aku menggeleng. “Aku cuma… butuh tempat yang tidak terlalu banyak kenangan.”

Ibu tidak bertanya lebih jauh. Hanya membuatkan teh manis, lalu duduk di sampingku tanpa kata.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa… diam itu cukup.

---

Hari-hari di rumah Ibu berjalan lambat.

Pagi diisi dengan menyapu teras. Siang bantu di toko. Malam duduk bersama Ibu, mendengarkan radio tua yang kadang masih mengeluarkan suara gemeretak.

Tapi di antara semua itu, ada satu rutinitas yang diam-diam tak pernah aku lewatkan: membuka pesan singkat dari Kak Arman.

Tidak setiap hari. Tidak banyak. Hanya sesekali.

Kalimat sederhana seperti:

"Kakakmu makan tadi jam berapa?"

"Ada yang minta kamu di toko, pelanggan lama katanya."

Atau sekadar: "Hati-hati pulangnya."

Dan aku... tak pernah membalas.

Bukan karena marah. Tapi karena aku tahu, kalau aku membalas... aku akan kembali tenggelam.

---

Malam itu, hujan turun pelan-pelan. Seperti malam di balkon itu.

Aku duduk di kamar masa kecilku, menatap langit-langit yang retaknya belum juga diperbaiki. Lalu membuka ponsel, dan mengetik pesan.

> "Terima kasih karena tidak mengejarku."

"Dan terima kasih karena tetap diam di tempatmu."

"Diam yang paling aku butuhkan sekarang."

Pesan itu tak pernah kukirim.

Aku hanya membacanya lagi dan lagi. Lalu menutup layar.

Dan dalam sunyi yang sama seperti biasanya, aku mencoba tidur.

Sendiri. Tapi sedikit lebih utuh.

-----

Sudah seminggu aku di sini.

Waktu berjalan lambat, seperti langkah-langkah pagi Ibu saat menyapu halaman. Tapi aku tidak mengeluh. Mungkin ini memang tempo yang kubutuhkan: perlahan, pelan, dan tidak mendadak menyakitkan.

Kadang, saat Ibu tertidur di kursi rotan siang hari, aku duduk di lantai kamar, menyentuh dinding yang masih penuh coretan masa kecil. Nama-nama yang pernah kutulis dengan spidol, khayalan-khayalan sederhana seperti “ingin jadi penulis” atau “ingin hidup bahagia”.

Lucu.

Ternyata saat dewasa, semua cita-cita itu bisa berubah jadi luka.

---

Sore itu, Ibu bertanya tanpa melihat ke arahku.

“Kamu tahu kenapa rumah ini nggak pernah aku ubah?”

Aku menoleh. “Kenapa?”

“Karena aku takut kalau aku benahi semuanya, aku lupa rasanya pulang.”

Aku terdiam. Rasanya seperti sedang dibacakan isi hati sendiri.

Ibu menambahkan pelan, “Tapi kadang... yang kita sebut ‘pulang’ juga bisa jadi tempat yang bikin sesak, kalau kita nggak tahu cara menata ulang perasaan.”

Kali ini, aku tidak bisa menahan air mata.

---

Malamnya, aku bermimpi.

Aku berdiri di depan rumah—rumah itu. Lampunya menyala, pintunya terbuka. Tapi tak ada yang keluar. Tak ada suara memanggilku masuk.

Di dalamnya, hanya satu siluet berdiri di dekat balkon. Tak bergerak. Tapi menunggu.

Aku tidak melangkah masuk. Hanya berdiri di ambang pintu.

Sambil menggenggam sesuatu di tanganku.

Ketika kutengok, itu bukan koper. Bukan jaket. Tapi... sepucuk surat. Tanpa nama.

Aku terbangun dengan dada sesak. Masih malam. Hujan belum reda sejak sore.

Kutelusuri layar ponsel.

Masih kosong.

Tidak ada pesan darinya malam ini.

Entah karena dia mulai belajar menahan diri.

Atau karena dia juga... sedang belajar melepaskan.

Dan untuk pertama kalinya, aku menyadari:

Yang paling sulit dari pergi, bukan soal meninggalkan. Tapi soal mengikhlaskan kemungkinan untuk tidak kembali.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PESONA KAKA IPAR   Bab 11: Pergi yang Tidak Sungguh Pergi

    Hari itu, aku berkemas lebih cepat dari biasanya. Bukan karena terburu-buru. Tapi karena aku takut, kalau aku terlalu lama berdiri di kamar ini, aku akan berubah pikiran. Kakakku sedang di kantor. Kak Arman ada di kamar, entah tidur atau hanya berpura-pura. Tak ada perpisahan. Tak ada penjelasan. Hanya koper kecil, jaket tipis, dan langkah pelan menuruni tangga. Aku sempat berhenti di depan dapur. Meja itu masih sama. Gelas-gelasnya juga. Dan kenangan yang tertinggal di sela percakapan yang tidak pernah selesai. --- Ibu menatapku lama saat aku tiba di rumahnya. “Bukan libur biasa, ya?” tanyanya, seperti tahu. Aku menggeleng. “Aku cuma… butuh tempat yang tidak terlalu banyak kenangan.” Ibu tidak bertanya lebih jauh. Hanya membuatkan teh manis, lalu duduk di sampingku tanpa kata. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa… diam itu cukup. --- Hari-hari di rumah Ibu berjalan lambat. Pagi diisi dengan menyapu teras. Siang bantu di toko. Malam duduk bersama

  • PESONA KAKA IPAR   Bab 10: Jeda yang Tidak Diucapkan

    Bab 10: Jeda yang Tidak Diucapkan Sejak hari itu, tak banyak yang berubah. Piring di meja makan masih berkurang satu. Suara-suara di dalam rumah jadi lebih tenang—bukan damai, hanya... kosong. Kak Arman tetap pulang setiap malam, tepat waktu. Tapi ia tak lagi menanyakan apa aku sudah makan. Tak lagi duduk di dapur dengan dua gelas kopi. Ia seolah mengerti, bahwa batas-batas yang pernah kami abaikan kini sedang coba diperbaiki. Tapi diam itu menyiksa. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan. Seperti, "Kamu baik-baik saja?" Atau "Kenapa kamu terlihat lelah meski tidak berkata apa-apa?" Tapi aku takut. Takut kalau percakapan kecil akan membuka celah yang lebih dalam. Dan aku tahu, celah itu terlalu mudah terisi oleh rasa yang salah. --- Suatu malam, aku turun ke dapur. Hanya ingin mengambil air, tapi langkahku terhenti. Dia berdiri di sana, memunggungiku. Mengaduk sesuatu di panci kecil. "Belum tidur?" tanyanya, tanpa menoleh. Aku ragu menjawab. Sudah lama kami tidak berbicar

  • PESONA KAKA IPAR   BAB-9 RUMAH YANG TAK LAGI PULANG

    Pagi itu, suara TV sudah menyala sejak jam enam. Kak Arman duduk di ruang tamu, masih memakai pakaian tidur, matanya belum sepenuhnya bangun. Tapi ekspresinya tajam—bukan karena marah, tapi karena siaga. Sona keluar dari dapur dengan celemek masih terikat di pinggang. “Aku mau ke toko Ibu sebentar, nitip pesanan tetangga juga,” ucapnya datar. Tapi Kak Arman menoleh cepat. “Kenapa nggak besok aja? Hari ini kamu di rumah. Temenin aku.” Nadanya terdengar manis, tapi kaku. Seperti seseorang yang ingin terdengar lembut, tapi lupa caranya mencintai tanpa mengontrol. Sona terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Iya, besok aja.” Sepanjang hari, Kak Arman lebih sering di rumah. Ia mulai bertanya lebih sering, kadang soal masakan, kadang soal handphone Sona yang mulai jarang terlihat. “Aku lihat kamu sering keluar sendiri. Sekarang banyak laki-laki iseng di luar. Aku cuma jaga-jaga,” katanya saat makan malam. Sona tidak menjawab. Tapi dari cara dia mengunyah pelan dan me

  • PESONA KAKA IPAR   BAB-8 Lapu-Lapu yang tertinggal

    Sudah hampir dua minggu Sona mulai jarang bicara. Dia tetap melakukan semua kewajibannya, tetap bangun pagi, tetap memasak, tetap menyapu halaman. Tapi tidak ada lagi kalimat-kalimat ringan yang dulu sering mengisi ruang makan. Dan Kak Arman mulai menyadarinya. “Makan bareng, Son,” katanya suatu malam. Sona hanya menoleh, lalu menjawab, “Nanti nyusul. Lagi lelah.” Itu bukan jawaban yang aneh. Tapi bagi seseorang yang terbiasa didengar tanpa diminta, jawaban sesingkat itu terasa seperti tamparan. “Sekarang kamu sering lelah, ya?” Arman bertanya lagi, kali ini dengan nada yang mulai berubah. Sona tidak menjawab. Ia hanya berlalu masuk ke kamar. Aku memperhatikan dari ruang tengah, pura-pura sibuk dengan layar ponsel. Tapi aku tahu, detik itu juga, sesuatu di dalam diri Kak Arman mulai retak—bukan karena curiga, tapi karena egonya terusik. Sona bukan lagi perempuan yang sama. Malamnya, aku mendengar suara mereka dari balik tembok. Tidak keras. Tapi cukup untuk membuatku tak bi

  • PESONA KAKA IPAR   Bab 7: Pecah yang Pelan

    Aku mulai bangun lebih siang dari biasa. Bukan karena lelah fisik, tapi karena aku takut menghadapi pagi. Takut menghadapi tatapan mata yang kuhindari, tapi kucari. Tatapan Sona. Beberapa hari ini, aku mulai menjauh. Tak sarapan bersama. Tak duduk di ruang tengah terlalu lama. Bahkan sengaja menutup pintu kamar lebih sering. Aku pikir, dengan menarik diri, semuanya akan perlahan kembali normal. Bahwa jika aku berhenti hadir di hidupnya, dia akan kembali ke tempat yang seharusnya. Ke sisi Kak Arman. Ke rumah ini sebagai istri, bukan sebagai perempuan yang pernah duduk diam bersamaku di tengah sunyi. Tapi ternyata… aku yang patah duluan. Rasanya kosong. Bukan karena kehilangan, tapi karena menahan diri dari hal yang paling ingin kutanyakan: “Apa kamu juga sesak, seperti aku?” Sore itu, aku pulang lebih awal. Tidak sengaja. Dan kudapati Sona menangis pelan di ruang tamu, punggungnya membelakangi jendela. Tangannya menutupi wajah. Tubuhnya berguncang, tapi tak bersuara. Aku berdi

  • PESONA KAKA IPAR   BAB-6 Hadir Tapi Tak Ada

    Beberapa minggu terakhir, Kak Arman mulai lebih sering pulang lebih awal. Tidak lagi ada perjalanan dinas, tidak lagi lembur sampai malam. Tapi rumah ini… tetap terasa kosong. Setiap sore, ia duduk di depan TV dengan mata lelah yang tak benar-benar melihat. Kadang memainkan ponsel, kadang tertidur di sofa. Sona menyajikan makanan seperti biasa, duduk di sebelahnya, menanyakan hal-hal kecil… yang tak pernah dijawab dengan utuh. Dan aku hanya memperhatikan dari jauh. Dari ruang tengah. Dari dapur. Dari lorong kamar. Selalu dari tempat yang tidak terlalu dekat, tapi juga tak pernah benar-benar jauh. “Dia nggak berubah,” bisik Sona padaku suatu malam, saat kami secara tidak sengaja bertemu di dapur. “Cuma... makin diam.” Aku tak tahu harus menjawab apa. Karena yang berubah justru kami. Kami yang semakin bisa membaca raut wajah masing-masing tanpa bicara. Kami yang mulai memahami kesepian bukan dari cerita, tapi dari sorot mata. Sona tertawa kecil, pahit. “Kadang, keh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status