Hari itu, aku pulang lebih larut dari biasa. Motor sempat mogok di tengah jalan, hujan turun, dan tubuhku menggigil—lebih karena lelah, daripada dingin.Aku membuka pintu pelan. Rumah gelap. Kukira semua sudah tidur. Tapi dari sela dapur, terlihat cahaya kecil. Sona.Dia duduk sendiri di lantai, punggung bersandar ke lemari es. Matanya sembab, tangannya memegang gelas air putih yang nyaris kosong.Aku terdiam.Dia juga.“Kenapa belum tidur?” tanyaku, mencoba netral.Dia tak langsung menjawab. Menatapku sebentar, lalu menunduk lagi.“Arman nggak pulang,” katanya akhirnya. “Aku tahu,” jawabku.Ada jeda. Sunyi lagi.“Aku cuma… ngerasa sendirian malam ini,” bisiknya. “Dan aku cuma... capek.”Kata itu—capek—terdengar sederhana. Tapi dari suaranya, aku tahu itu bukan sekadar lelah badan. Tapi lelah hati. Lelah menahan.Aku meletakkan tasku di lantai, duduk tak jauh darinya. Tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk bisa mendengar nafasnya yang berat.“Aku juga,” kataku.“Capek… nahan semuany
Terakhir Diperbarui : 2025-09-02 Baca selengkapnya