Beberapa minggu terakhir, Kak Arman mulai lebih sering pulang lebih awal.
Tidak lagi ada perjalanan dinas, tidak lagi lembur sampai malam. Tapi rumah ini… tetap terasa kosong. Setiap sore, ia duduk di depan TV dengan mata lelah yang tak benar-benar melihat. Kadang memainkan ponsel, kadang tertidur di sofa. Sona menyajikan makanan seperti biasa, duduk di sebelahnya, menanyakan hal-hal kecil… yang tak pernah dijawab dengan utuh. Dan aku hanya memperhatikan dari jauh. Dari ruang tengah. Dari dapur. Dari lorong kamar. Selalu dari tempat yang tidak terlalu dekat, tapi juga tak pernah benar-benar jauh. “Dia nggak berubah,” bisik Sona padaku suatu malam, saat kami secara tidak sengaja bertemu di dapur. “Cuma... makin diam.” Aku tak tahu harus menjawab apa. Karena yang berubah justru kami. Kami yang semakin bisa membaca raut wajah masing-masing tanpa bicara. Kami yang mulai memahami kesepian bukan dari cerita, tapi dari sorot mata. Sona tertawa kecil, pahit. “Kadang, kehadiran itu justru lebih menyakitkan daripada ketidakhadiran.” Aku hanya diam. Lalu, seperti malam-malam sebelumnya, kami kembali ke kamar masing-masing. Tanpa sentuhan. Tanpa pelukan. Tapi hati kami saling mendekap, erat… dalam sunyi yang tak bisa dipecah. Dan yang paling menyiksa dari semua ini adalah: Kami tidak sedang mencintai secara diam-diam. Kami hanya sedang tidak bisa membenci kenyamanan yang seharusnya tidak ada. Keesokan harinya, suasana di rumah masih sama. Pagi yang tenang, tapi bukan damai. Dapur yang sibuk, tapi tanpa obrolan. Meja makan yang terisi, tapi sunyi. Kak Arman duduk dengan mata terpaku pada layar ponsel. Sona menyajikan sarapan seperti biasa. Ia duduk di seberangnya, menunggu respons yang tak pernah datang. Aku duduk paling ujung. Mencoba tak terlihat, tapi terlalu sadar akan setiap gerak mereka. “Tehnya kamu nggak minum, Man?” tanya Sona pelan. “Masih panas,” jawabnya cepat, singkat, tanpa menoleh. Sona mengangguk. Tapi dari caranya menarik napas, aku tahu—dia lelah. Bukan lelah fisik, tapi lelah menunggu seseorang yang ada, tapi tidak benar-benar hadir. Beberapa menit kemudian, Kak Arman bangkit tanpa menyentuh tehnya. Ia mengambil jaket dan kunci motor, lalu keluar rumah tanpa kata. Pintu tertutup dengan suara yang biasa saja, tapi terasa menghantam. Sona tak bergerak. Matanya kosong menatap gelas teh yang tak disentuh suaminya. Lalu, perlahan… dia menoleh ke arahku. “Kamu pernah nggak, merasa lebih kesepian justru saat orang yang kamu cintai ada di depan mata?” Aku ingin menjawab, tapi lidahku kelu. Karena sebenarnya, aku juga sedang mengalami hal yang sama. Aku jatuh dalam rasa terhadap orang yang selalu ada di dekatku, tapi tak bisa kusentuh. Sona tersenyum kecil, lalu berdiri. Ia mengambil cangkir itu, menuangkan isinya ke wastafel, dan berbisik… “Ternyata yang paling menyakitkan bukan ditinggalkan. Tapi diabaikan perlahan-lahan, sampai kita lupa rasanya dipedulikan.” Lalu dia pergi ke kamarnya. Meninggalkan aku… dan segelas teh yang kini kubuat untuk diriku sendiri. Karena meski kami tak pernah berkata saling rindu, kami tahu: setiap cangkir teh yang kami buat… adalah pesan diam yang tak bisa dituliskan. Beberapa hari terakhir, aku mulai melihatnya berbeda. Sona bukan lagi perempuan yang kukenal lewat tatapan diam di balik jendela. Dia kini seperti seseorang yang hidup dalam dua dunia: satu tempat ia mencoba menjadi istri yang kuat, dan satu lagi... tempat ia diam-diam mencoba bertahan sebagai dirinya sendiri. Kak Arman makin sering di rumah. Tapi bukan berarti lebih dekat. Ia ada secara fisik, tapi jiwanya seperti sudah menepi entah sejak kapan. Setiap percakapan mereka hanya sebatas fungsi: makan, cucian, pekerjaan. Tak ada sentuhan, tak ada tatapan. Dan aku — duduk di ruang tengah, pura-pura membaca buku, pura-pura tidak mendengar. Tapi sebenarnya, aku ikut tenggelam dalam senyap mereka. Sona mulai lebih banyak diam. Makan sedikit. Tak lagi membuat teh. Dia hanya berdiri lama di dapur, atau duduk di teras sendirian, menatap angin. Aku ingin bertanya, ingin menawarkan bahu, ingin bicara — tapi setiap kali kami saling melihat, hanya ada isyarat yang menahan. Karena kami tahu: Kalau aku mendekat, dia bisa runtuh. Dan kalau dia runtuh, aku tak yakin bisa tetap kuat. Malam itu, aku melihatnya duduk di ruang makan, sendirian. Tanpa cahaya terang. Hanya lampu kecil dan segelas air. “Aku nggak butuh diselamatkan,” katanya saat aku datang tanpa suara. “Aku cuma pengen... dilihat. Dianggap ada.” Aku tak menjawab. Karena aku tahu, sejak awal, aku selalu melihatnya. Dan mungkin... itulah masalahnya.Hari itu, aku berkemas lebih cepat dari biasanya. Bukan karena terburu-buru. Tapi karena aku takut, kalau aku terlalu lama berdiri di kamar ini, aku akan berubah pikiran. Kakakku sedang di kantor. Kak Arman ada di kamar, entah tidur atau hanya berpura-pura. Tak ada perpisahan. Tak ada penjelasan. Hanya koper kecil, jaket tipis, dan langkah pelan menuruni tangga. Aku sempat berhenti di depan dapur. Meja itu masih sama. Gelas-gelasnya juga. Dan kenangan yang tertinggal di sela percakapan yang tidak pernah selesai. --- Ibu menatapku lama saat aku tiba di rumahnya. “Bukan libur biasa, ya?” tanyanya, seperti tahu. Aku menggeleng. “Aku cuma… butuh tempat yang tidak terlalu banyak kenangan.” Ibu tidak bertanya lebih jauh. Hanya membuatkan teh manis, lalu duduk di sampingku tanpa kata. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa… diam itu cukup. --- Hari-hari di rumah Ibu berjalan lambat. Pagi diisi dengan menyapu teras. Siang bantu di toko. Malam duduk bersama
Bab 10: Jeda yang Tidak Diucapkan Sejak hari itu, tak banyak yang berubah. Piring di meja makan masih berkurang satu. Suara-suara di dalam rumah jadi lebih tenang—bukan damai, hanya... kosong. Kak Arman tetap pulang setiap malam, tepat waktu. Tapi ia tak lagi menanyakan apa aku sudah makan. Tak lagi duduk di dapur dengan dua gelas kopi. Ia seolah mengerti, bahwa batas-batas yang pernah kami abaikan kini sedang coba diperbaiki. Tapi diam itu menyiksa. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan. Seperti, "Kamu baik-baik saja?" Atau "Kenapa kamu terlihat lelah meski tidak berkata apa-apa?" Tapi aku takut. Takut kalau percakapan kecil akan membuka celah yang lebih dalam. Dan aku tahu, celah itu terlalu mudah terisi oleh rasa yang salah. --- Suatu malam, aku turun ke dapur. Hanya ingin mengambil air, tapi langkahku terhenti. Dia berdiri di sana, memunggungiku. Mengaduk sesuatu di panci kecil. "Belum tidur?" tanyanya, tanpa menoleh. Aku ragu menjawab. Sudah lama kami tidak berbicar
Pagi itu, suara TV sudah menyala sejak jam enam. Kak Arman duduk di ruang tamu, masih memakai pakaian tidur, matanya belum sepenuhnya bangun. Tapi ekspresinya tajam—bukan karena marah, tapi karena siaga. Sona keluar dari dapur dengan celemek masih terikat di pinggang. “Aku mau ke toko Ibu sebentar, nitip pesanan tetangga juga,” ucapnya datar. Tapi Kak Arman menoleh cepat. “Kenapa nggak besok aja? Hari ini kamu di rumah. Temenin aku.” Nadanya terdengar manis, tapi kaku. Seperti seseorang yang ingin terdengar lembut, tapi lupa caranya mencintai tanpa mengontrol. Sona terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Iya, besok aja.” Sepanjang hari, Kak Arman lebih sering di rumah. Ia mulai bertanya lebih sering, kadang soal masakan, kadang soal handphone Sona yang mulai jarang terlihat. “Aku lihat kamu sering keluar sendiri. Sekarang banyak laki-laki iseng di luar. Aku cuma jaga-jaga,” katanya saat makan malam. Sona tidak menjawab. Tapi dari cara dia mengunyah pelan dan me
Sudah hampir dua minggu Sona mulai jarang bicara. Dia tetap melakukan semua kewajibannya, tetap bangun pagi, tetap memasak, tetap menyapu halaman. Tapi tidak ada lagi kalimat-kalimat ringan yang dulu sering mengisi ruang makan. Dan Kak Arman mulai menyadarinya. “Makan bareng, Son,” katanya suatu malam. Sona hanya menoleh, lalu menjawab, “Nanti nyusul. Lagi lelah.” Itu bukan jawaban yang aneh. Tapi bagi seseorang yang terbiasa didengar tanpa diminta, jawaban sesingkat itu terasa seperti tamparan. “Sekarang kamu sering lelah, ya?” Arman bertanya lagi, kali ini dengan nada yang mulai berubah. Sona tidak menjawab. Ia hanya berlalu masuk ke kamar. Aku memperhatikan dari ruang tengah, pura-pura sibuk dengan layar ponsel. Tapi aku tahu, detik itu juga, sesuatu di dalam diri Kak Arman mulai retak—bukan karena curiga, tapi karena egonya terusik. Sona bukan lagi perempuan yang sama. Malamnya, aku mendengar suara mereka dari balik tembok. Tidak keras. Tapi cukup untuk membuatku tak bi
Aku mulai bangun lebih siang dari biasa. Bukan karena lelah fisik, tapi karena aku takut menghadapi pagi. Takut menghadapi tatapan mata yang kuhindari, tapi kucari. Tatapan Sona. Beberapa hari ini, aku mulai menjauh. Tak sarapan bersama. Tak duduk di ruang tengah terlalu lama. Bahkan sengaja menutup pintu kamar lebih sering. Aku pikir, dengan menarik diri, semuanya akan perlahan kembali normal. Bahwa jika aku berhenti hadir di hidupnya, dia akan kembali ke tempat yang seharusnya. Ke sisi Kak Arman. Ke rumah ini sebagai istri, bukan sebagai perempuan yang pernah duduk diam bersamaku di tengah sunyi. Tapi ternyata… aku yang patah duluan. Rasanya kosong. Bukan karena kehilangan, tapi karena menahan diri dari hal yang paling ingin kutanyakan: “Apa kamu juga sesak, seperti aku?” Sore itu, aku pulang lebih awal. Tidak sengaja. Dan kudapati Sona menangis pelan di ruang tamu, punggungnya membelakangi jendela. Tangannya menutupi wajah. Tubuhnya berguncang, tapi tak bersuara. Aku berdi
Beberapa minggu terakhir, Kak Arman mulai lebih sering pulang lebih awal. Tidak lagi ada perjalanan dinas, tidak lagi lembur sampai malam. Tapi rumah ini… tetap terasa kosong. Setiap sore, ia duduk di depan TV dengan mata lelah yang tak benar-benar melihat. Kadang memainkan ponsel, kadang tertidur di sofa. Sona menyajikan makanan seperti biasa, duduk di sebelahnya, menanyakan hal-hal kecil… yang tak pernah dijawab dengan utuh. Dan aku hanya memperhatikan dari jauh. Dari ruang tengah. Dari dapur. Dari lorong kamar. Selalu dari tempat yang tidak terlalu dekat, tapi juga tak pernah benar-benar jauh. “Dia nggak berubah,” bisik Sona padaku suatu malam, saat kami secara tidak sengaja bertemu di dapur. “Cuma... makin diam.” Aku tak tahu harus menjawab apa. Karena yang berubah justru kami. Kami yang semakin bisa membaca raut wajah masing-masing tanpa bicara. Kami yang mulai memahami kesepian bukan dari cerita, tapi dari sorot mata. Sona tertawa kecil, pahit. “Kadang, keh