Pagi itu, suara TV sudah menyala sejak jam enam.
Kak Arman duduk di ruang tamu, masih memakai pakaian tidur, matanya belum sepenuhnya bangun. Tapi ekspresinya tajam—bukan karena marah, tapi karena siaga. Sona keluar dari dapur dengan celemek masih terikat di pinggang. “Aku mau ke toko Ibu sebentar, nitip pesanan tetangga juga,” ucapnya datar. Tapi Kak Arman menoleh cepat. “Kenapa nggak besok aja? Hari ini kamu di rumah. Temenin aku.” Nadanya terdengar manis, tapi kaku. Seperti seseorang yang ingin terdengar lembut, tapi lupa caranya mencintai tanpa mengontrol. Sona terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Iya, besok aja.” Sepanjang hari, Kak Arman lebih sering di rumah. Ia mulai bertanya lebih sering, kadang soal masakan, kadang soal handphone Sona yang mulai jarang terlihat. “Aku lihat kamu sering keluar sendiri. Sekarang banyak laki-laki iseng di luar. Aku cuma jaga-jaga,” katanya saat makan malam. Sona tidak menjawab. Tapi dari cara dia mengunyah pelan dan menunduk dalam… aku tahu, itu bukan jaga-jaga. Itu pengawasan. Bukan dari cinta, tapi dari ego. Malamnya, aku mendengar Kak Arman menutup kamar mereka lebih keras dari biasanya. Dan tak lama, ada ketukan pelan di pintu kamarku. Sona berdiri di sana. Wajahnya tanpa rias, rambutnya diikat longgar. Matanya terlihat lelah, tapi suaranya tenang. “Aku cuma pengen duduk sebentar. Nggak usah bicara.” Aku mengangguk. Dia duduk di lantai, menyender ke dinding. Aku tetap di ranjang, memeluk bantal, menatap diam-diam dari atas. Kami tidak bicara. Dan dari sunyi itu, aku tahu: Dia datang bukan untuk mencari pelarian. Tapi karena dia tak tahu lagi, bagian mana dari dirinya yang masih bisa diselamatkan… tanpa dianggap melawan. Sejak malam itu, Sona tak pernah lagi bicara banyak. Tapi dia mulai sering muncul — bukan untuk menyapa, tapi untuk memastikan: aku masih ada. Dia hanya duduk di ruang tengah saat aku membaca. Kadang menyiram tanaman saat aku cuci motor. Hal-hal kecil, tanpa kata, tapi cukup untuk menyampaikan: “Kita tidak bisa dekat, tapi aku masih butuh tahu kamu belum pergi.” Sementara itu, Kak Arman mulai menandai perubahan-perubahan kecil. Sona jadi lebih diam. Lebih sering sendiri. Dan meski semua tetap tampak "baik-baik saja", aku bisa melihat… Kak Arman mulai curiga. Bukan karena dia tahu ada apa-apa. Tapi karena dia kehilangan kendali. Suatu malam, saat aku di ruang depan, dia duduk di sebelahku — mendadak, tanpa aba-aba. "Lo akhir-akhir ini sering di rumah, ya?" Aku hanya mengangguk. “Iya, Kak.” Dia tertawa kecil. “Bagus. Biar rumah ini tetap hidup.” Tapi di balik kalimat itu, aku merasa seperti sedang diuji. Dan sorot matanya... bukan sorot saudara. Itu tatapan seorang laki-laki yang mulai bertanya-tanya: Siapa yang paling dia percaya, tapi bisa jadi yang paling mengkhianati? Aku tidak berkata apa-apa. Tidak ingin menambah api pada bara yang belum menyala. Tapi malam itu, ketika aku kembali ke kamar, aku menemukan secarik kertas di bawah pintu. Tulisannya tangan Sona. Hanya satu kalimat, kecil, cepat, gelisah: “Kalau suatu hari aku pergi, kamu akan tetap diam, kan?” Dan aku menggenggam kertas itu erat. Karena aku tahu, diam di hadapan orang lain adalah keselamatan. Tapi diam di hadapan hati sendiri... adalah kehancuran pelan-pelan. Sejak surat kecil itu kutemukan di bawah pintu, aku tak bisa tidur nyenyak. Kata-kata Sona mengendap seperti racun yang manis: “Kalau suatu hari aku pergi, kamu akan tetap diam, kan?” Dan aku tahu, aku akan diam. Bukan karena tak peduli, tapi karena jika aku bersuara… semuanya akan pecah. Hari-hari berikutnya, Kak Arman makin sering pulang cepat. Makin banyak menanyakan keberadaan Sona. Dan mulai bicara dengan kalimat yang terdengar biasa, tapi rasanya seperti kawat berduri: “Aku cuma mau rumah ini tetap rapi.” “Jangan terlalu sering keluar. Nggak enak sama tetangga.” “Kalau kamu capek, bilang. Tapi jangan sampai lupa kamu istri siapa.” Sona tak pernah membantah. Tapi matanya kini selalu menyimpan sesuatu — seperti seseorang yang mulai menyusun jalan keluar, meski belum tahu pintunya ke mana. Sore itu, aku menemukannya di teras, duduk sendiri. Ada amplop coklat di pangkuannya. Aku tak bertanya. Tapi dia menoleh padaku dan berkata: “Aku ditawarin bantu Ibu di toko, katanya butuh orang. Cuma seminggu sekali.” Aku tahu itu bukan alasan ekonomi. Itu adalah bentuk napas kecil yang ia cari. Aku ingin bilang: pergilah. cari dirimu kembali. Tapi yang keluar hanya, “Kamu mau aku anter?” Dia menatapku lama. Lalu menggeleng. “Kalau kamu anter, aku makin susah ngelepas.” Dan sore itu, aku hanya menatap punggungnya saat ia masuk rumah lagi. Punggung seorang perempuan yang sedang bertahan… dengan cara paling sunyi yang bisa dia pilih.Hari itu, aku berkemas lebih cepat dari biasanya. Bukan karena terburu-buru. Tapi karena aku takut, kalau aku terlalu lama berdiri di kamar ini, aku akan berubah pikiran. Kakakku sedang di kantor. Kak Arman ada di kamar, entah tidur atau hanya berpura-pura. Tak ada perpisahan. Tak ada penjelasan. Hanya koper kecil, jaket tipis, dan langkah pelan menuruni tangga. Aku sempat berhenti di depan dapur. Meja itu masih sama. Gelas-gelasnya juga. Dan kenangan yang tertinggal di sela percakapan yang tidak pernah selesai. --- Ibu menatapku lama saat aku tiba di rumahnya. “Bukan libur biasa, ya?” tanyanya, seperti tahu. Aku menggeleng. “Aku cuma… butuh tempat yang tidak terlalu banyak kenangan.” Ibu tidak bertanya lebih jauh. Hanya membuatkan teh manis, lalu duduk di sampingku tanpa kata. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa… diam itu cukup. --- Hari-hari di rumah Ibu berjalan lambat. Pagi diisi dengan menyapu teras. Siang bantu di toko. Malam duduk bersama
Bab 10: Jeda yang Tidak Diucapkan Sejak hari itu, tak banyak yang berubah. Piring di meja makan masih berkurang satu. Suara-suara di dalam rumah jadi lebih tenang—bukan damai, hanya... kosong. Kak Arman tetap pulang setiap malam, tepat waktu. Tapi ia tak lagi menanyakan apa aku sudah makan. Tak lagi duduk di dapur dengan dua gelas kopi. Ia seolah mengerti, bahwa batas-batas yang pernah kami abaikan kini sedang coba diperbaiki. Tapi diam itu menyiksa. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan. Seperti, "Kamu baik-baik saja?" Atau "Kenapa kamu terlihat lelah meski tidak berkata apa-apa?" Tapi aku takut. Takut kalau percakapan kecil akan membuka celah yang lebih dalam. Dan aku tahu, celah itu terlalu mudah terisi oleh rasa yang salah. --- Suatu malam, aku turun ke dapur. Hanya ingin mengambil air, tapi langkahku terhenti. Dia berdiri di sana, memunggungiku. Mengaduk sesuatu di panci kecil. "Belum tidur?" tanyanya, tanpa menoleh. Aku ragu menjawab. Sudah lama kami tidak berbicar
Pagi itu, suara TV sudah menyala sejak jam enam. Kak Arman duduk di ruang tamu, masih memakai pakaian tidur, matanya belum sepenuhnya bangun. Tapi ekspresinya tajam—bukan karena marah, tapi karena siaga. Sona keluar dari dapur dengan celemek masih terikat di pinggang. “Aku mau ke toko Ibu sebentar, nitip pesanan tetangga juga,” ucapnya datar. Tapi Kak Arman menoleh cepat. “Kenapa nggak besok aja? Hari ini kamu di rumah. Temenin aku.” Nadanya terdengar manis, tapi kaku. Seperti seseorang yang ingin terdengar lembut, tapi lupa caranya mencintai tanpa mengontrol. Sona terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Iya, besok aja.” Sepanjang hari, Kak Arman lebih sering di rumah. Ia mulai bertanya lebih sering, kadang soal masakan, kadang soal handphone Sona yang mulai jarang terlihat. “Aku lihat kamu sering keluar sendiri. Sekarang banyak laki-laki iseng di luar. Aku cuma jaga-jaga,” katanya saat makan malam. Sona tidak menjawab. Tapi dari cara dia mengunyah pelan dan me
Sudah hampir dua minggu Sona mulai jarang bicara. Dia tetap melakukan semua kewajibannya, tetap bangun pagi, tetap memasak, tetap menyapu halaman. Tapi tidak ada lagi kalimat-kalimat ringan yang dulu sering mengisi ruang makan. Dan Kak Arman mulai menyadarinya. “Makan bareng, Son,” katanya suatu malam. Sona hanya menoleh, lalu menjawab, “Nanti nyusul. Lagi lelah.” Itu bukan jawaban yang aneh. Tapi bagi seseorang yang terbiasa didengar tanpa diminta, jawaban sesingkat itu terasa seperti tamparan. “Sekarang kamu sering lelah, ya?” Arman bertanya lagi, kali ini dengan nada yang mulai berubah. Sona tidak menjawab. Ia hanya berlalu masuk ke kamar. Aku memperhatikan dari ruang tengah, pura-pura sibuk dengan layar ponsel. Tapi aku tahu, detik itu juga, sesuatu di dalam diri Kak Arman mulai retak—bukan karena curiga, tapi karena egonya terusik. Sona bukan lagi perempuan yang sama. Malamnya, aku mendengar suara mereka dari balik tembok. Tidak keras. Tapi cukup untuk membuatku tak bi
Aku mulai bangun lebih siang dari biasa. Bukan karena lelah fisik, tapi karena aku takut menghadapi pagi. Takut menghadapi tatapan mata yang kuhindari, tapi kucari. Tatapan Sona. Beberapa hari ini, aku mulai menjauh. Tak sarapan bersama. Tak duduk di ruang tengah terlalu lama. Bahkan sengaja menutup pintu kamar lebih sering. Aku pikir, dengan menarik diri, semuanya akan perlahan kembali normal. Bahwa jika aku berhenti hadir di hidupnya, dia akan kembali ke tempat yang seharusnya. Ke sisi Kak Arman. Ke rumah ini sebagai istri, bukan sebagai perempuan yang pernah duduk diam bersamaku di tengah sunyi. Tapi ternyata… aku yang patah duluan. Rasanya kosong. Bukan karena kehilangan, tapi karena menahan diri dari hal yang paling ingin kutanyakan: “Apa kamu juga sesak, seperti aku?” Sore itu, aku pulang lebih awal. Tidak sengaja. Dan kudapati Sona menangis pelan di ruang tamu, punggungnya membelakangi jendela. Tangannya menutupi wajah. Tubuhnya berguncang, tapi tak bersuara. Aku berdi
Beberapa minggu terakhir, Kak Arman mulai lebih sering pulang lebih awal. Tidak lagi ada perjalanan dinas, tidak lagi lembur sampai malam. Tapi rumah ini… tetap terasa kosong. Setiap sore, ia duduk di depan TV dengan mata lelah yang tak benar-benar melihat. Kadang memainkan ponsel, kadang tertidur di sofa. Sona menyajikan makanan seperti biasa, duduk di sebelahnya, menanyakan hal-hal kecil… yang tak pernah dijawab dengan utuh. Dan aku hanya memperhatikan dari jauh. Dari ruang tengah. Dari dapur. Dari lorong kamar. Selalu dari tempat yang tidak terlalu dekat, tapi juga tak pernah benar-benar jauh. “Dia nggak berubah,” bisik Sona padaku suatu malam, saat kami secara tidak sengaja bertemu di dapur. “Cuma... makin diam.” Aku tak tahu harus menjawab apa. Karena yang berubah justru kami. Kami yang semakin bisa membaca raut wajah masing-masing tanpa bicara. Kami yang mulai memahami kesepian bukan dari cerita, tapi dari sorot mata. Sona tertawa kecil, pahit. “Kadang, keh