Sudah hampir dua minggu Sona mulai jarang bicara.
Dia tetap melakukan semua kewajibannya, tetap bangun pagi, tetap memasak, tetap menyapu halaman. Tapi tidak ada lagi kalimat-kalimat ringan yang dulu sering mengisi ruang makan. Dan Kak Arman mulai menyadarinya. “Makan bareng, Son,” katanya suatu malam. Sona hanya menoleh, lalu menjawab, “Nanti nyusul. Lagi lelah.” Itu bukan jawaban yang aneh. Tapi bagi seseorang yang terbiasa didengar tanpa diminta, jawaban sesingkat itu terasa seperti tamparan. “Sekarang kamu sering lelah, ya?” Arman bertanya lagi, kali ini dengan nada yang mulai berubah. Sona tidak menjawab. Ia hanya berlalu masuk ke kamar. Aku memperhatikan dari ruang tengah, pura-pura sibuk dengan layar ponsel. Tapi aku tahu, detik itu juga, sesuatu di dalam diri Kak Arman mulai retak—bukan karena curiga, tapi karena egonya terusik. Sona bukan lagi perempuan yang sama. Malamnya, aku mendengar suara mereka dari balik tembok. Tidak keras. Tapi cukup untuk membuatku tak bisa tidur. “Aku kerja, aku cari uang, aku pulang tepat waktu. Tapi kenapa kamu makin jauh?” Itu suara Kak Arman. Datarnya mengendur. Terdengar seperti seseorang yang mulai sadar… ada yang tidak bisa dibeli dengan rutinitas. Dan jawaban Sona, pelan. Hampir tak terdengar. “Karena aku lelah jadi istri yang kamu anggap akan selalu ada, bahkan saat kamu tidak pernah benar-benar hadir.” Lalu senyap. Aku tak tahu apakah pintu dibanting atau percakapan berakhir dengan hening. Tapi malam itu, aku merasa… Untuk pertama kalinya, bukan hanya aku dan Sona yang patah pelan-pelan. Tapi Kak Arman juga mulai merasakan: kehilangan yang ia anggap tak mungkin terjadi. Dan di antara kami bertiga… Yang tertinggal hanyalah lampu-lampu temaram yang menyala setengah hati, menyisakan bayangan luka yang tak seorang pun berani sentuh. Pagi itu hujan turun pelan, seperti biasa. Sona duduk di dapur, menyeduh teh tanpa terlalu memikirkan rasanya. Aku masuk perlahan, niat awalnya hanya ingin mengambil air. Tapi langkahku berhenti ketika melihat wajahnya — kosong, tapi tidak mati. Seperti seseorang yang masih hidup karena belum tahu harus ke mana kalau menyerah. Kami saling pandang sebentar. Lalu, tiba-tiba—lebih cepat dari biasanya—Kak Arman muncul. Ia tidak bicara pada Sona, tidak pula padaku. Hanya berdiri di dekat pintu dapur, menatap kami bergantian. "Aku titip mobil ya, ban belakang agak kempes," ucapnya padaku. Aku mengangguk pelan. "Siap, Kak." Dia diam sebentar. Lalu menatap ke arah Sona. "Kamu nggak perlu masak siang ini. Aku makan di luar." Suaranya tenang. Tapi caranya bicara... terdengar seperti luka yang dikemas jadi perintah. Sona tidak menjawab. Hanya mengangguk, lalu mengaduk tehnya tanpa niat. Aku ingin keluar, memberi ruang, tapi tubuhku tak bergerak. Ada sesuatu yang tertahan. Kak Arman menatap kami sekali lagi, lalu keluar. Tidak keras. Tidak kasar. Tapi langkahnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang ingin ia lempar tapi tak bisa. Begitu pintu tertutup, Sona menarik napas panjang. “Dia mulai berubah,” ucapnya lirih. “Bukan karena sadar… tapi karena takut kehilangan kekuasaannya.” Aku menoleh. Kata-katanya tak beraroma kemarahan. Tapi jujur. Sangat jujur. "Dan kamu?" tanyaku. Dia menatapku, lama. Lalu menjawab, "Aku juga berubah. Tapi bukan karena ingin pergi dari dia... Tapi karena aku mulai sadar, aku nggak pernah benar-benar tinggal." --- Kalimat itu membekas. Bukan hanya karena aku paham apa maksudnya—tapi karena aku juga merasa hal yang sama. Kami tinggal di rumah yang sama. Tapi tak ada yang benar-benar tinggal. Kami saling menunggu. Tapi tak tahu untuk apa. Dan lampu-lampu yang menyala setiap malam, hanya jadi penanda bahwa kami semua belum tidur—bukan karena nyaman… tapi karena hati kami belum selesai bicara. Beberapa hari terakhir, ada yang berubah dari Pak Arman. Dia mulai sering ada di rumah, dan... mulai memperhatikan. Tapi bukan perhatian yang hangat. Bukan perhatian yang datang karena rindu. Melainkan seperti seseorang yang baru sadar, bahwa apa yang ia anggap miliknya… sedang perlahan tak lagi tunduk. Pagi itu, Sona sedang menjemur pakaian ketika Pak Arman tiba-tiba datang membawakannya sarapan dari luar. "Masih inget roti kesukaan kamu?" katanya, mencoba tersenyum. Sona sempat kaget, tapi tetap menerima dengan sopan. “Makasih.” Tapi tidak ada kehangatan. Tidak ada percikan apa-apa. Bukan karena dia tak menghargai. Tapi karena hatinya sudah terlalu jauh berjalan sendiri. Sejak itu, Pak Arman mulai lebih sering "muncul" — mengajak bicara, mengomentari masakan, bahkan beberapa kali mengajaknya keluar rumah. Sona menolak dengan alasan sibuk, atau lelah. Tapi sorot mata Pak Arman mulai berubah: ada kecurigaan kecil, meski belum mengarah ke siapa pun. "Jangan terlalu sering ke rumah Ibu, Son. Nggak enak kalau orang lihat kamu kayak nggak betah di rumah sendiri," ucapnya suatu malam. Sona tidak menjawab. Ia hanya menunduk, lalu masuk ke kamar. Dan aku, yang mendengarnya dari ruang tengah… hanya bisa diam. Bukan karena tidak berani bicara. Tapi karena tahu: Perasaan yang kutahan, kini bukan hanya menyakitiku. Tapi mulai menyesakkan keadaan di sekeliling. Malam itu, aku keluar ke teras. Menatap langit gelap. Lalu mendengar suara langkah Sona mendekat. Ia berdiri di sebelahku, tapi tidak menoleh. “Aku capek,” ucapnya. “Bukan karena dia... Tapi karena dia baru mulai peduli setelah aku berhenti menunggu.” Aku tak menjawab. Dan dia menambahkan, lirih: “Perhatian yang datang karena takut kehilangan, bukan cinta. Itu cuma bentuk lain dari kepemilikan.” Lalu dia masuk ke dalam rumah lebih dulu. Dan aku tertinggal… bersama angin malam yang dingin, dan rasa yang makin sulit dijelaskan.Hari itu, aku berkemas lebih cepat dari biasanya. Bukan karena terburu-buru. Tapi karena aku takut, kalau aku terlalu lama berdiri di kamar ini, aku akan berubah pikiran. Kakakku sedang di kantor. Kak Arman ada di kamar, entah tidur atau hanya berpura-pura. Tak ada perpisahan. Tak ada penjelasan. Hanya koper kecil, jaket tipis, dan langkah pelan menuruni tangga. Aku sempat berhenti di depan dapur. Meja itu masih sama. Gelas-gelasnya juga. Dan kenangan yang tertinggal di sela percakapan yang tidak pernah selesai. --- Ibu menatapku lama saat aku tiba di rumahnya. “Bukan libur biasa, ya?” tanyanya, seperti tahu. Aku menggeleng. “Aku cuma… butuh tempat yang tidak terlalu banyak kenangan.” Ibu tidak bertanya lebih jauh. Hanya membuatkan teh manis, lalu duduk di sampingku tanpa kata. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa… diam itu cukup. --- Hari-hari di rumah Ibu berjalan lambat. Pagi diisi dengan menyapu teras. Siang bantu di toko. Malam duduk bersama
Bab 10: Jeda yang Tidak Diucapkan Sejak hari itu, tak banyak yang berubah. Piring di meja makan masih berkurang satu. Suara-suara di dalam rumah jadi lebih tenang—bukan damai, hanya... kosong. Kak Arman tetap pulang setiap malam, tepat waktu. Tapi ia tak lagi menanyakan apa aku sudah makan. Tak lagi duduk di dapur dengan dua gelas kopi. Ia seolah mengerti, bahwa batas-batas yang pernah kami abaikan kini sedang coba diperbaiki. Tapi diam itu menyiksa. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan. Seperti, "Kamu baik-baik saja?" Atau "Kenapa kamu terlihat lelah meski tidak berkata apa-apa?" Tapi aku takut. Takut kalau percakapan kecil akan membuka celah yang lebih dalam. Dan aku tahu, celah itu terlalu mudah terisi oleh rasa yang salah. --- Suatu malam, aku turun ke dapur. Hanya ingin mengambil air, tapi langkahku terhenti. Dia berdiri di sana, memunggungiku. Mengaduk sesuatu di panci kecil. "Belum tidur?" tanyanya, tanpa menoleh. Aku ragu menjawab. Sudah lama kami tidak berbicar
Pagi itu, suara TV sudah menyala sejak jam enam. Kak Arman duduk di ruang tamu, masih memakai pakaian tidur, matanya belum sepenuhnya bangun. Tapi ekspresinya tajam—bukan karena marah, tapi karena siaga. Sona keluar dari dapur dengan celemek masih terikat di pinggang. “Aku mau ke toko Ibu sebentar, nitip pesanan tetangga juga,” ucapnya datar. Tapi Kak Arman menoleh cepat. “Kenapa nggak besok aja? Hari ini kamu di rumah. Temenin aku.” Nadanya terdengar manis, tapi kaku. Seperti seseorang yang ingin terdengar lembut, tapi lupa caranya mencintai tanpa mengontrol. Sona terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Iya, besok aja.” Sepanjang hari, Kak Arman lebih sering di rumah. Ia mulai bertanya lebih sering, kadang soal masakan, kadang soal handphone Sona yang mulai jarang terlihat. “Aku lihat kamu sering keluar sendiri. Sekarang banyak laki-laki iseng di luar. Aku cuma jaga-jaga,” katanya saat makan malam. Sona tidak menjawab. Tapi dari cara dia mengunyah pelan dan me
Sudah hampir dua minggu Sona mulai jarang bicara. Dia tetap melakukan semua kewajibannya, tetap bangun pagi, tetap memasak, tetap menyapu halaman. Tapi tidak ada lagi kalimat-kalimat ringan yang dulu sering mengisi ruang makan. Dan Kak Arman mulai menyadarinya. “Makan bareng, Son,” katanya suatu malam. Sona hanya menoleh, lalu menjawab, “Nanti nyusul. Lagi lelah.” Itu bukan jawaban yang aneh. Tapi bagi seseorang yang terbiasa didengar tanpa diminta, jawaban sesingkat itu terasa seperti tamparan. “Sekarang kamu sering lelah, ya?” Arman bertanya lagi, kali ini dengan nada yang mulai berubah. Sona tidak menjawab. Ia hanya berlalu masuk ke kamar. Aku memperhatikan dari ruang tengah, pura-pura sibuk dengan layar ponsel. Tapi aku tahu, detik itu juga, sesuatu di dalam diri Kak Arman mulai retak—bukan karena curiga, tapi karena egonya terusik. Sona bukan lagi perempuan yang sama. Malamnya, aku mendengar suara mereka dari balik tembok. Tidak keras. Tapi cukup untuk membuatku tak bi
Aku mulai bangun lebih siang dari biasa. Bukan karena lelah fisik, tapi karena aku takut menghadapi pagi. Takut menghadapi tatapan mata yang kuhindari, tapi kucari. Tatapan Sona. Beberapa hari ini, aku mulai menjauh. Tak sarapan bersama. Tak duduk di ruang tengah terlalu lama. Bahkan sengaja menutup pintu kamar lebih sering. Aku pikir, dengan menarik diri, semuanya akan perlahan kembali normal. Bahwa jika aku berhenti hadir di hidupnya, dia akan kembali ke tempat yang seharusnya. Ke sisi Kak Arman. Ke rumah ini sebagai istri, bukan sebagai perempuan yang pernah duduk diam bersamaku di tengah sunyi. Tapi ternyata… aku yang patah duluan. Rasanya kosong. Bukan karena kehilangan, tapi karena menahan diri dari hal yang paling ingin kutanyakan: “Apa kamu juga sesak, seperti aku?” Sore itu, aku pulang lebih awal. Tidak sengaja. Dan kudapati Sona menangis pelan di ruang tamu, punggungnya membelakangi jendela. Tangannya menutupi wajah. Tubuhnya berguncang, tapi tak bersuara. Aku berdi
Beberapa minggu terakhir, Kak Arman mulai lebih sering pulang lebih awal. Tidak lagi ada perjalanan dinas, tidak lagi lembur sampai malam. Tapi rumah ini… tetap terasa kosong. Setiap sore, ia duduk di depan TV dengan mata lelah yang tak benar-benar melihat. Kadang memainkan ponsel, kadang tertidur di sofa. Sona menyajikan makanan seperti biasa, duduk di sebelahnya, menanyakan hal-hal kecil… yang tak pernah dijawab dengan utuh. Dan aku hanya memperhatikan dari jauh. Dari ruang tengah. Dari dapur. Dari lorong kamar. Selalu dari tempat yang tidak terlalu dekat, tapi juga tak pernah benar-benar jauh. “Dia nggak berubah,” bisik Sona padaku suatu malam, saat kami secara tidak sengaja bertemu di dapur. “Cuma... makin diam.” Aku tak tahu harus menjawab apa. Karena yang berubah justru kami. Kami yang semakin bisa membaca raut wajah masing-masing tanpa bicara. Kami yang mulai memahami kesepian bukan dari cerita, tapi dari sorot mata. Sona tertawa kecil, pahit. “Kadang, keh