Haruskah aku tumpahkan buah-buahan di meja? Tapi bagaimana caranya?
Aku terus mencari cara. Malam ini adalah kesempatan untuk membalas Mas Ipar. Mataku nanar memperhatikan satu-persatu cucu mama. Siapa di antara mereka yang paling aktif dan bisa kumanfaatkan?
Ajeng, anak sulung Mas Rasyid, sudah berusia 8 tahun. Dan terlalu pendiam, tidak mungkin bisa dimanfaatkan. Apalagi dia sudah mulai tahu mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Coret.
Aku terus memperhatikan cucu Mama yang lain. Dan terpaku kepada Wildan Anak kedua Mbak Tutik. Anak itu baru saja keluar dari kamarku, dengan wajah penuh coretan merah. Tangannya memegang lipstik milikku. Wildan berusia hampir empat tahun.
"Yaa Allah, Wildaaaan." Mbak Tutik berteriak. Yang lain seketika menoleh, lalu tertawa terbahak-bahak. Mbak Tutik langsung berdiri, bermaksud menangani Wildan.
"Biar aku saja, Mbak." Cegahku. "Mbak duduk aja."
"Beneran?" Tanya Mbak Tutik.
"Iyah." Aku mengangguk mantap.
"Makasih ya." Sahut Mbak Tutik.
"Ayo Wildan, ikut Tante." Ajakku pada Wildan. Aku membawa anak itu ke kamar lagi. Kubersihkan wajahnya dengan pembersih make up, sambil terus kubisikkan sesuatu di telinganya. Anak itu mengangguk.
"Baik, Tante." Ucapnya. Tidak sampai sepuluh menit, kami sudah keluar kamar. Wildan kubopong ke dapur untuk membilas wajahnya.
"Sana ke meja." Aku mendorong tubuh gempal anak itu agar berlari ke meja makan, di mana ada buah anggur kesukaannya.
Semua orang sedang sibuk mengobrol. Ketika Wildan mencampur semua buah yang siap santap di meja. Lalu menuangnya dengan air gelas mineral yang tadi sengaja kubuka dan kuletakkan di sampingnya.
"Wildan, jangan diberantakin lagi ya, Sayang." Aku pura-pura. Dalam hati aku berkata, "Teruskan, teruskan Anak Manis."
"Wildan sini, Sayang." Mbak Tutik memanggil. Wildan tidak peduli. Aku segera melangkah mendekatinya. Mengangkat tubuh anak itu turun dari kursi, dan menyuruhnya pergi ke mamanya. Lalu, tanganku bergerak cepat memisahkan kembali antara buah pir dengan yang lainnya. Airnya segera kubuang. Setelah selesai aku kembali duduk di tempatku semula.
Selang beberapa menit, kulihat Mama berdiri.
"Suamimu tidak pulang, Na." Katanya, seraya menyerahkan kembali ponselku.
"Iya, Ma." Sahutku. Nyesek dan kecewa. Pulang seminggu sekali saja masih sering dikorting.
"Apalah Arsen nie, semua kumpul dia seorang yang tidak pulang. Betah nian di Bogor, punya istri muda atau apa dia tu!" Itu suara si mulut lamis, kakak tepat di atas Mas Arsen.
"Hush Haris! Kalau ngomong tu dijaga!" Kali ini Mbak Tutik yang menimpali. Mungkin dia bermaksud menjaga perasaanku sebagai sesama wanita. Ah iya, aku belum menyebutkan nama Mas Iparku yang bermulut lamis itu ya. Namanya Harris Mustofa. Nama yang bagus bukan? Sayangnya orangnya tidak sebagus namanya. Itu menurutku.
"Iya ih, Harris. Demen banget bikin orang marah." Mama menimpali, seraya menaruh piring berisi buah ke atas karpet di tengah-tengah orang-orang itu. "Kasihan itu Helena. Nanti berpikir yang tidak-tidak dia." Mas Harris tertawa. Kulihat Mbak Tutik mengambil sepotong apel di depannya. Dilemparnya ke kepala Mas Haris. Pria itu berusaha menghindar.
"Sukurin!" Mendapat pembelaan dari Mbak Tutik dan Mama, aku jadi memiliki keberanian untuk menjulurkan lidahku pada Mas Harris yang menyebalkan itu. Membalas ejekannya selama ini. Kulihat Mas Harris memungut potongan apel yang tadi mengenai kepalanya. Lalu menggigitnya. Aku memperhatikan dengan seksama. Jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Antara takut dan rasa penasaran menunggu reaksi alergi yang bakal menyerang tubuh Mas Iparku itu. Separah apakah?
Mas Harris menghabiskan lumayan banyak buah potongnya, sebelum berdiri pindah ke meja makan. Mama mengambil panci kecil, menyendok nasi biryani lengkap dengan beberapa lauk untuk dimasukkan ke sana.
"Nyisain buat Arsen." Katanya. Ah, Mama memang sangat peduli. Bukan cuma untuk Mas Arsen, Tetapi juga untuk suami dan anak Mbak Romlah di rumah.
"Ayo langsung makan saja." Ajak Mama. "Nungguin Arsen ya percuma."
Aku merasa tidak enak hati dengan ucapan mama barusan. Mama pasti kecewa sama suamiku. Bahkan Mama belain membuat bebek peking sendiri demi putra bungsunya itu, karena dia sangat menyukainya.
"Takut dia gak mau makan kambing. Dia kan angot-angotan, Na." Begitu kata mama tadi siang saat membuat marinasi bebek dan ayam. Nasi biryani yang mama pesan menggunakan daging kambing.
Setelah beberapa orang mengambil makanan, aku ikutan menyendok nasi yang melingkar di tampah besar di meja ke piringku. Kuambil sepotong daging kambing. Kalau di Arab, kambingnya tidak dipotong-potong seperti ini, tetapi utuh satu ekor. Aku menyuap, sambil terus memperhatikan Mas Harris yang mulai merasa tidak nyaman. Sekali dua kali dia menggaruk beberapa bagian badannya. Di lehernya kulihat mulai muncul bercak merah. Jantungku terasa semakin kencang berdebar.
"Kamu kenapa, Harris?" Mama sepertinya mulai menangkap gelagat tidak baik yang tengah terjadi pada putra ketiganya.
"Gak tau nih, Ma, alergiku kok sepertinya kambuh." Sahut Mas Harris mulai terlihat kepayahan.
"Kamu alergi daging kambing?" Mas Ibnu, anak ketiga Mama bertanya.
"Tidaklah. Entah ini kenapa." Harris mulai tampak semakin kepayahan.
"Padahal gak makan pir kan? Mbak Tutik ikut bertanya. Mama selalu terbuka kepada anak-anaknya, sehingga mereka saling paham kondisi dan kabar satu sama lain.
"Kamu lihat lah tadi. Aku tak makan pir sama sekali." Sahut Mas Harris. Kali ini disertai tatapan mata tajamnya kepadaku. Bulu kudukku meremang. Apakah aku ketahuan?
***
Satu jam kemudian, kami selesai menikmati makan malam. Aku kenyang dengan nyaman meskipun tadi sempat ketakutan sebentar. Masa bodoh dengan Mas Arsen, toh dia juga gak bakal kelaparan di sana. Ugh…
Aku bergegas mencuci tanganku. Kulihat Mas Harris sudah melepas pakaiannya. Dada bidangnya cukup menggoda jika tidak sedang banyak bercak merahnya. Sama sih dengan dada Mas Arsen, bedanya dada Mas Harris ada sedikit bulu-bulu yang tumbuh di sana, sedang Mas Arsen tidak.
Mama sedang sibuk di dapur, membuatkan ramuan untuk mengatasi gatal dan bercak merah di tubuh Mas Harris. Kudengar, Mas Harris juga sudah menelepon seorang dokter untuk mengiriminya obat-obatan.
Aku berjalan ke belakang rumah.
"Di rumah ada pesta pun tidak pulang!" Aku masih menggerutu kesal sambil menyabun tangan.
"Istri muda." Tiba-tiba aku kepikiran ucapan Mas Harris satu jam yang lalu. "Mungkin kah?"
Aku menghembuskan napas sekali hentak. Kukebaskan tanganku yang basah. Lalu membalik tubuhku, berniat kembali bersama keluarga di dalam. Aku mencuci tanganku di wastafel belakang rumah, karena di dapur banyak yang antri.
"Emmhhh" saat aku membalik badan, wajahku langsung menabrak sesuatu, tepat setelah badanku membelakangi westafel. Tubuh tinggi besar telanjang dada sudah ada di depanku.
"Mas Harris?" Kapan dia datang? Tak ada suara tak apa, tahu-tahu sudah berdiri di sini.
"Apa yang kamu lakukan?" Tanyanya. Tubuh kami hanya berjarak sekitar tiga centi saja.
"Cuci tangan." Sahutku. Aku tidak bisa mundur karena belakang tubuhku sudah mentok di westafel. Aku hanya bisa memundurkan sedikit kepalaku agar jaraknya sedikit menjauh dari wajahnya. Sialnya, aku tetap bisa mencium napasnya yang memburu. Sial, sial, sial!
"Bukan itu yang kutanyakan." Ucapnya, lebih terdengar berbisik dan penuh tekanan. "Tapi buah pir."
Aku paham arah pembicaraan Mas Harris. "Kenapa aku? Kan Mas tahu buah-buahan tadi diminta Mama semua. Mama yang ngupas dan motong. Helen mah cuma nyeleseiin pir doang. Gak bercampur, gak apa." Sahutku. Aku mulai sedikit gentar karena Mas Harris belum juga mau mundur. Aku juga takut jika sampai ada yang melihat, mereka bisa salah paham.
"Ris." Itu suara Mama. Kami menoleh. Kesempatanku untuk merunduk, dan berlari dari hadapan Mas Harris.
"Ngapain kalian?" Tanya mama yang sudah di ambang pintu belakang.
"Cuci tangan, Ma. Di dapur ngantri." Sahutku. Lalu menerobos masuk lewat samping Mama. Kudengar Mama bicara dengan Mas Harris. Aku masuk ke kamarku. Membaringkan tubuh di atas kasur. Bayangan tajam tatapan Mas Harris saat di wastafel tadi, deru napasnya yang berbeda, membuat bulu kudukku kembali meremang. “Apakah dia akan membunuhku kali ini?"
Mas Harris mengejarku ke westafel. Benarkah dia tahu kalau aku mengaduk buah-buahan itu dengan pir? Kali ini dia pasti akan membunuhku. Bulu kudukku meremang membayangkan kematianku di tangan pria tampan yang mirip suamiku itu.-------Rasanya nyaman sekali bisa membaringkan tubuh di atas kasur. Seharian tadi sama sekali tidak bisa istirahat karena menyiapkan acara malam ini. Mbak Tutik, karena suaminya bekerja jadi baru bisa datang setelah jam lima sore. Begitu juga Mbak Sofia, istri Mas Rasyid, dan Mbak Aulia istri Mas Ibnu. Anak Mama hampir semuanya pekerja kantoran kecuali Mas Harris.Mas Harris memiliki banyak usaha. Menurut Mama, anak-anaknya yang paling telaten dan tekun memang cuma Mas Harris. Sehingga dia yang terlihat paling sukses. Berapa pun modal yang diberikan orang tua kepada Harris semua berwujud menjadi usaha. Berbeda dengan Arsen, yang selalu meminta modal usaha namun tidak pernah terlihat hasilnya. Sampai bosan yang memberikan modal.“Tapi dia jadi bangkrut setelah
Maju mundur, maju mundur. Aku terus menimbang. Serba salah. Kalau aku maju, artinya aku siap dengan segala kemungkinan yang akan dilakukan Mas Harris kepadaku. Kalau aku mundur, aku tidak enak sama Mama. Karena Mama yang menyuruhku membantu Mas Harris menutup gerbang. Aku memang selalu tidak sanggup menolak permintaan Mama, karena Mama sangat baik kepadaku.Jalanan depan rumah sudah mulai senyap. Motor maupun pedagang keliling sepertinya sudah pada istirahat. Dalam hati aku menyesali diri. Tahu mau ada acara kumpul-kumpul di rumah, kenapa tidak sejak pagi atau siang menyiram minyak ke roda pintu gerbang, yang beberapa hari ini seperti macet. Sangat seret saat didorong.Sekitar jarak tiga meter dari keberadaan Mas Harris, aku berhenti. Kulihat cahaya dari kamar Mama berubah redup, itu artinya Mama sudah mapan di atas pembaringannya, memberi peluang kepada Harris untuk bebuat semaunya tanpa ada gangguan. Tubuhku merinding, Mas Harris menatapku, seraya tersenyum miring seperti mengejek.
"Kamu hamil." Ulang Mas Harris. "Aku antar periksa ke dokter, tapi ganti pakianmu, jangan menjatuhkanku dengan pakaian murahanmu itu!" ------- Harusnya aku sakit hati dengan ucapan Mas Harris barusan. Tetapi aku masih dilenakan oleh berita kehamilanku. Apakah itu benar? Atau ini hanya jebakan agar aku masuk dalam perangkapnya, untuk dia membalas dendam padaku? Bercak merah di tubuhnya sudah hilang, mungkin dia sudah konsumsi obat pereda alergi dari dokter. Seharusnya dia sudah melupakan soal pir semalam, toh dia juga sudah sembuh. Sebelum Mas Harris keluar dari kamarnya, aku segera mengambil langkah seribu. Aku tidak mau kelemahanku saat ini dia jadikan kekuatan untuk membalasku. Ah, aku bingung sendiri, kenapa aku bisa terlibat perang lahir batin dengannya seperti ini? Aku memilih pintu belakang untuk melarikan diri, agar tidak ada suara gemerincing kunci. Pintu belakang hanya pakai slot, dan itu sangat mudah dibuka tanpa suara. Lalu melipir lewat samping kost-kostan yang khusus pe
Hatiku mempertanyakan, "Terbuat dari apa hati Mas Harris? Terkadang baik terkadang sadis.--------Kami sampai di rumah jam dua siang. Begitu mobil masuk ke halaman, aku langsung turun dan berjalan menuju teras depan. Kepalaku kembali sakit, padahal tadi sempat reda setelah meminum obat pemberian dokter. Mama sudah ada di rumah. Dia langsung menyambut kami dengan senyumnya yang lebar, memeluk dan memberiku ucapan selamat."Akhirnya kamu akan menjadi Ibu, Helena." Mama terlihat sangat bahagia. "Masuklah, Arsen sudah datang."Deg."Kapan dia datang, Ma?" Tanyaku hambar. Entah mengapa aku seperti tidak berharap dia datang. Entahlah. Rasanya aku tidak ingin melihat dia."Entah. Mama tanya juga tidak dijawab." Sahut Mama. Dasar anak durhaka, batinku mengumpat. Bisa-bisanya ditanya mamanya tidak dijawab!"Baik-baiklah kepadanya, sepertinya dia sedang marah." Bisik Mama pelan. Aku mendesah, seraya langsung melepas sepatuku, kemudian bergegas ke kamar. Kulihat Mas Arsen sedang berbaring tidak
Rasanya luruh sudah semua tulang di tubuhku. Dokter Intan sudah memastikan bahwa pendarahan yang kualami tadi siang sudah membawa serta calon bayi yang baru sehari kusadari ada dalam rahimku. Aku keguguran, setelah sempat merasakan bahagia atas kehadirannya di perutku, meskipun sangat sebentar. Bahkan ketika ayahnya juga belum menyentuhnya.. Ah, jika saja aku menyadarinya sejak awal, mungkin aku akan lebih bisa menjaganya, pikirku. "Selanjutnya apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Amell. Kami sedang di kamar berdua di rumahnya. Aku menggeleng. "Aku belum bisa berpikir sekarang." Sahutku."Ya sudah kamu istirahat saja kalau begitu. Besok kamu pikirkan lagi apa yang akan kamu lakukan." Ucap Amell tulus. Aku mengangguk. "Kamu tidak kembali ke kamarmu?" Tanyaku heran, karena melihat Amell menarik selimut dan bergelung di bawah selimutku."Tidak." Sahutnya."Kenapa?""Kamu sedang tidak waras. Gimana aku bisa tidur di kamarku kalau aku kepikiran kamu di sini." Sahutnya."Tenang saja. Aku t
Di rumah masih ada tiga nyawa lagi, tetapi rasanya begitu lengang. Hampa dirasakan oleh ketiga manusia yang tersisa itu. Padahal yang pergi hanya satu.Abiyah hanya bisa diam terpaku, sambil sesekali menyeka air matanya dengan tisu. Wanita yang dipanggil Mama itu masih berharap Helena akan kembali sekali lagi ke rumah itu. Dulu mereka punya ART, tetapi tidak ada yang bertahan lama. Paling lama satu tahun. Terlalu banyak drama. Kemudian, Helena hadir. Atas kesepakatan berdua, mereka tidak lagi mengambil pembantu. Abiyah mengerjakan semua pekerjaan rumah bersama Helena. Abiyah lebih sering tidak melakukan apa pun karena Helena begitu cekatan menyelesaikan semua pekerjaan rumah, selain memasak. Kalau memasak Helena kurang bisa, sehingga harus dilakukan berdua. Abiyah menghela napas berat."Mama sudah tua, Sen. Mama ingin melihat anak-anak Mama bahagia. Tapi kamu masih begini saja." Ucapnya pelan. Arsen diam. "Rumah besar ini ceria dan ramai sejak ada Helena. Sekarang bakal sepi lagi.""I
Sudah dua bulan sejak kejadian itu. Selama itu pula aku tinggal di rumah Amell. Aku sudah mengganti nomor kontakku. Atas saran Amell aku juga mengaktifkan kembali akun sosial mediaku. Selama ini Arsen sangat membatasi ruang gerakku. Dia tidak mengijinkanku mengenal dunia luar dengan bersosial media. Aku hanya diperbolehkan membuka situs berita online atau youtube asal tidak boros. Selain kedua itu tidak boleh. Terutama i*******m, twitter dan f******k. Takut tergoda pria lain, katanya. "Bersosial media rawan perselingkuhan." Begitu alasan Arsen. Dasar busuk! Toh nyatanya justru dia yang selingkuh! Menurutnya, sosial media juga yang menyebabkan hancurnya rumah tangganya dengan Sekar. Dari sanalah awal mula Sekar berkenalan dengan teman-temannya yang suka hura-hura dan tidak bisa diatur. Sekar ketularan. Namun hal itu dibantah oleh Mama. Sekar memang sudah ada bakat bebas sejak belum menikah dengan Arsen. Saat itu, meskipun keberatan, aku mengalah. Dengan syarat, dia juga menutup semua
PART 11. Helena, Di Mana Kamu?(POV Harris) PencarianHelena di mana kamu?Sudah dua bulan lebih dia menghilang tanpa jejak. Aku khawatir dia kenapa-napa. Nomor kontaknya sudah tidak aktif sehingga sulit sekali untuk melacak keberadaannya. Sekali aku pergi ke rumah orang tuanya di Bekasi, berpura-pura ada urusan di Bekasi sekalian mampir, hanya untuk mengetahui kabar Helena. Namun mereka justru menanyakan mengapa saya tidak ajak serta Helena dan Arsen.Aku merasa hidupku begitu hampa setelah dia hengkang dari rumah Mama dalam kondisi marah. Apalagi aku turut andil membuatnya terluka. Hatiku ikut sakit menyaksikannya terluka ketika itu. Wajah yang selalu tersenyum ceria kemudian berubah menjadi sendu dan berurai air mata itu, selalu menghantui hari dan malamku. Aku ingin bergerak dan merengkuhnya. Namun aku tidak memiliki daya untuk melakukan itu semua.Helena di mana kamu?Seminggu yang lalu, Mama memanggil semua anak-anaknya, untuk menyaksikan penandatanganan serah terima pembayaran