Bersama Mama dan Mbak Romlah, kami menyiapkan makanan pendamping untuk makan malam. Untuk makanan utamanya sendiri, Mama sudah memesan satu paket besar nasi biryani di restoran terkenal di daerah Condet. Mama yang masih memiliki darah Arab - Medan, memang sering mengajak kami untuk makan-makan menu Arab, Turkey dan sebagainya yang kuketahui sebagai menu yang berasal dari wilayah Timur Tengah. Aku sendiri tidak begitu paham. Tetapi aku sangat suka nasi biryani dan sambosa.
Mama mengaduk puding, aku membersihkan sayuran untuk tambahan lalapan, sementara Mbak Romlah, sedang marinasi paha ayam untuk digoreng nanti.
Mbak Romlah bukan ART kami, tetapi dia sering dipanggil oleh Mama untuk bantu-bantu ketika kami sedang sibuk seperti sekarang. Bagi Mama, keberadaan Mbak Romlah adalah suatu keberkahan. Dulu sebelum aku menjadi bagian dari keluarga ini, Mbak Romlah pernah ngekost di sini, di kamar kostan nomor delapan selama enam tahun. Dia pindah karena menikah dan suaminya mengajaknya pindah ke mess keluarga, yang disediakan oleh perusahaannya, di daerah Jakarta Utara.
Meskipun tinggal di mess yang sempit, hidup Mbak Romlah tampak bahagia. Ceritanya selalu menyenangkan. Tidak seperti aku yang tinggal di rumah besar namun gara-gara Mas Ipar, rasanya sungguh menjenuhkan. Apalagi LDRan dengan suami. Gak enak bangeeet rasanya. Tidak ada yang bisa memahami perasaanku.
Urusan sayuran selesai. Selanjutkan aku akan membersihkan buah-buahan. Mbak Romlah membawa buah pir singo yang sangat besar dua butir. Padahal Mama sudah mengatakan kepadamya untuk datang saja tanpa membawa apa-apa. Namun dia tetap merasa tidak enak jika datang dengan tangan kosong. Apalagi setiap kali pulang, Mama selalu membekalinya dengan banyak makanan, termasuk buah dan sejumlah uang.
Di daerah sini, Mama memang terkenal royal. Setiap Idul Adha tiba, Mama selalu menyembelih dua ekor kambing untuk dibagikan kepada orang yang ekonominya kurang. Seperti tukang sampah, tukang pulung, tukang kebun, dan beberapa tetangga yang dianggap kurang mampu. Termasuk para penghuni kontrakan. Begitu juga setiap Idul Fitri, Mama membagikan sejumlah parcel untuk mereka.
Punggungku terasa capek dari tadi menunduk membersihkan sayuran. Kebetulan di belakangku ada sandaran, maka aku nyaman menyandarkan punggungku di sana. Tanganku meraih kresek yang berisi banyak buah untuk kupindahkan ke keranjang. Ada jeruk Bali merah, jeruk murcot Thailand, apel envy, apel Pacific Queen, Pacific Rose, yang kesemuanya dibeli oleh Mas Ipar. Aku mulai mengupas pir singo dari Mbak Romlah.
"Helena!” baru beberapa gerakan tanganku menyentuh buah, suara Mas Ipar tiba-tiba mengagetkanku. Tubuh tinggi dan tegapnya sudah nongol di ambang pintu. “apa yang kamu lakukan?”
"Memangnya kenapa?" Aku celingukan tidak paham.
"Lihat punggungmu!" Bentaknya. "Yaa Salaaaam, itu kulkas Mama bisa lecet entar!
"Eh iya, Mas. Helen tidak liat-liat tadi. Ada kulkas sebelas juta ya." Aku nyengir, meskipun hati terasa nyesek. Kenapa pula ini punggung nyandar di kulkas sebelas juta Mama?
"Pindah, pindah!" Usirnya. Tangannya bergerak cepat, mengepas agar aku segera pindah. Aku pun menuruti perintahnya. Berharap si sialan ini segera pergi dari dapur. Agar aku bisa melanjutkan kerjaanku dengan tenang. "Itu bukan kulkas murahan. Aku beli bukan buat kamu pakai bersandar! Paham?"
"Iya, Mas, maaf." Kataku. Ngempet air mata.
"Eh apa pulak itu yang kamu kupas?" Tanyanya lagi
"Pir!" Sahutku pendek, tanpa menoleh, karena aku sedang berusaha keras menetralisir hatiku, dan agar air mata bertahan, tidak tumpah. Bisa habis aku kalau sampai menangis di depan dia. Kesenangan dia, peroleh bahan buat mengolokku lebih sadis. Tidak, aku tidak akan pernah memberinya kesempatan itu.
"Mama sudah kasih tau kamulah, itu buah jangan dicampur sama yang lain?" Lanjutnya.
"Nggak." Sahutku malas. Apa-apaan sih? Rasis amat, urusan buah aja harus dibeda-bedakan! Mentang-mentang ini pir bawaan Mbak Romlah yang cuma tukang bantu-bantu gitu?
"Pisah!" Perintahnya dengan nada tinggi. Aku yakin, kedua matanya pasti melotot kepadaku.
"Hah?" Memangnya apa salah buah singo ini, sehingga tidak boleh dicampur dengan buah bawaan dia? Semahal apa memangnya bawaan dia? Pir Singo juga mahal!
"Ada apa sih ini? Kalian ini beranteem mulu," Mama yang tadi pergi ke belakang rumah sebentar kembali masuk. Mungkin mendengar suara Mas Ipar yang keras.
"Helena, Ma. Ngupas pir." Sahut Mas Ipar. Suaranya lembut, beda sekali saat berbicara denganku tadi.
"Oh, itu." Mama sepertinya langsung paham. Entah ada bahasa qalbu apa antara keduanya mengenai hal ini. Mama mendekati rak setelah mencuci tangannya. Mengambil satu lagi wadah buah potong. Lalu berjalan ke arahku.
"Ini." Ucap Mama, seraya mengulurkan wadah tadi. "Masmu itu memang alergi buah pir. Makanya gak bisa kalau makan buah yang bercampur sama pir."
"A… apa, Ma?" Aku sedikit terkejut. Sudah hampir empat tahun tinggal bersamanya di sini, tetapi aku tidak pernah tahu jika Mas Iparku alergi pir? Ugh.. bodohnya aku.
"Kulitnya bisa gatal semua kalau makan buah pir. Sebab itu dia takut sekali." Lanjut Mama. Gustiiii. Aku sudah berburuk sangka rupanya.
***
Lepas maghrib, semua makanan sudah tertata rapi di meja makan. Anak-anak Mama datang semua komplit dengan pasangan dan anak-anak mereka. Rumah menjadi sangat ramai. Mama terlihat sangat bahagia. Mas Ipar dengan bangga menunjukkan kulkas sebelas jutanya pada Mbak Tutik, anak kedua Mama yang langsung ke dapur, dan membuka kulkas baru tersebut. Dia merasa takjub
"Kulkas sebelas juta buat apa, Ma?" Tanya Mbak Tutik ke Mama. "Aku beli seharga empat juta juga dah bagus."
"Ahh, payah kamu!" Mas Ipar langsung menyahut. "Beda kualitas lah. Kulkas sebelas juta janganlah kau bandingkan dengan empat juta. Apalagi dengan durian murahan. Jauuh kemana-mana."
Deg!
Lagi-lagi mulut lemesnya itu menyindirku. Ugh… Kenapa Mas Arsen belum pulang juga untuk menyudahi semua nyinyiran Mas Ipar saat ini? Kalau ada dia, aku akan lebih bisa bernapas tentunya. Baju longgar yang kukenakan rasanya tiba-tiba menjadi sempit. Aku melipir ke belakang. Mengambil segelas air dingin dan langsung menenggak habis.
"Mana suamimu, Len?" Tiba-tiba Mama sudah ada di sampingku.
“Ma…” gumamku. Aku sibuk dengan perasaanku yang terluka oleh perbuatan Mas Ipar, sehingga tidak menyadari ketika Mama menyusulku ke dapur.
"Mas Arsen belum ada kabar, Ma." Sahutku. Mama menoleh.
"Kamu kenapa?" Mama menatapku, mungkin karena mendengar suaraku yang serak.
"Tidak apa-apa kok, Ma." Sahutku.
"Kamu jangan masukkan hati sama ucapan-ucapan Masmu itu. Dia memang begitu orangnya." Lanjut Mama.
"Nggak kok, Ma." Bohongku. Beruntung saat itu juga, ponselku berbunyi. Jadi aku bisa lepas dari pertanyaan dan pandangan iba dari Mama.
"Sayang, aku tidak bisa pulang malam ini." Suara Mas Arsen suamiku mengabarkan.
"Kenapa?" Tanyaku. Semakin lemas rasanya tulang-tulang di tubuhku. Tidakkah ia bisa merasakan, betapa inginnya aku bersandar di bahunya?
"Mas masih banyak urusan ini." Jawabnya.
"Tapi, Mas."
"Sudahlah, berikan handphonenya sama Mama, biar aku bicara sendiri." Perintahnya. Hening beberapa saat, seiring air mataku yang menggelinding di pipi. Aku sesenggukan.
“Len? Halooo… Helena!” aku mendesah berat.
“Kamu kenapa sih, Len?”
“Ya sudah, sebentar, Helen panggilkan Mama,” balasku akhirnya. Buru-buru kuhapus air mataku, kemudian berjalan mencari Mama yang sudah kembali ke ruang tengah. Mereka sedang duduk di lantai beralas karpet. Minum teh sambil ngemil snack kering di toples. Kulihat istri Mas Rasyid, anak sulung Mama, sedang menyuapi batitanya. Diam-diam aku iri kepadanya. Mereka tujuh tahun menikah anaknya sudah 5. Sedangkan kami sudah tiga tahun lebih menikah belum ada tanda-tanda aku hamil.
"Apa katanya, Len?" Mama langsung menyambutku.
"Mas Arsen mau ngomong sendiri sama Mama." Sahutku seraya menyerahkan smartphoneku ke Mama.
Aku duduk di salah satu kursi meja makan, yang sebelumnya sudah kugeser lebih dulu menghadap orang-orang di lantai. Saat itulah aku melihat sesisir pisang di meja. Yang kemudian memberiku pencerahan. Sebuah ide untuk membalas perlakuan Mas Ipar kepadaku.
PART 40. Kekalahan Putri meraung, memprotes, kenapa ayahnya begitu tega mengotori cintanya yang tulus terhadap Harris. Dia hampir mendapatkan bossnya itu, setelah sekian panjang perjalanan yang penuh emosi dan kesabaran. Harris hampir saja menikahinya jika tidak karena ayahnya yang meminta syarat macam-macam. Dua ratus juta bagi Harris sangat ringan dan tidak akan menjadi masalah. Putri bisa mendapatkan lebih dari itu jika sudah menjadi istri Harris. Terbayang bagaimana dia dan Harun terus-menerus mengupayakan untuk menaklukkan hati Harris, selama dua tahun lebih, lamanya. Dan ketika semuanya sudah di ambang keberhasilan, justru ayahnya sendiri yang menghancurkan mimpinya dengan permintaan yang rendahan. Harga diri Putri sangat terluka. "Maafkan ayahmu, Putri. Dia tidak tahu." Kata ibunya seraya mengusap-usap rambut putrinya yang sedang bersandar di bahunya sambil menangis perih. Pagi itu, Harris langsung yang menghubungi Putri, memintanya bertemu di salah satu restoran favoritnya
PART 39. Menjadi Nyonya HarrisHelena mengerjap. Melawan silau dari lampu ruangan. Mencoba mengingat, apa yang terjadi."Kamu sudah sadar, Nyonya Harris?" Suara yang terasa begitu lekat dengan ingatannya terdengar tidak jauh darinya. Nyonya Harris, Siapakah?“Di mana aku?” gumamnya lirih.“Kamu ada di rumah sakit, Sayang. Kamu pingsan di hari pernikahan kita.” “Pernikahan kita?” Helena mengernyitkan keningnya, beberapa kali mengerjap dan berusaha keras menerna keadaan.“Saya terima nikahnya Helena Anastasya Binti Rahardi..” Oh… Helena mendesah. Ucapan Harris saat ijab qabul kembali terngiang. Kedua matanya mulai bisa menyesuaikan.“Mmm,” Pria di depannya mengangguk dengan wajah berbinar bahagia, "pernikahan kita, Sayang.""Siapa kamu?" Tanya Helena pelan, dan hampir tak terdengar. Ditatapnya sayu pria yang tengah membelai rambut, dan memeluk tubuhnya itu."Helena? Apa yang terjadi? Ada apa denganmu?" Pria itu gugup, jantungnya berdebar. Lalu dengan cepat dia memijit tombol cemas."Do
PART 38. Pernikahan HarrisTiga puluh menit perjalanan, kami sampai di sebuah gedung yang dipenuhi bunga warna putih di mana-mana. Mas Harris menarik tanganku masuk ke salah satu gedung yang tampak rapi dan bersih. Seorang wanita setengah baya langsung menyambutnya dengan ramah."Rias dia semaksimal mungkin." Mas Harris menyerahkanku kepada wanita tersebut. Wanita itu menatapnya dengan pandangan yang tak kumengerti."Jangan khawatir, secantik apa pun wanita yang hadir di gedung ini, tidak akan pernah ada yang dapat mengalihkan hatiku dari pengantin wanitaku." ucap Mas Harris, seraya melirikku angkuh.Aku kembali memejamkankedua mata. Akan ada berapa banyak lagi rasa sakit yang akan kuterima darinya? Harus kah dia berkata seperti itu di depanku? Yaa Tuhan, ini salahku. Mengapa aku masih mau ikut dia ke sini, hanya untuk dilecehkan seperti ini? Apa lagi yang bisa kuharapkan? Sekali lagi, aku membiarkan air mataku mengalir ke pipi."Lalu bagaimana dengan bajunya, Pak?" Tanya wanita itu.
PART 37. Ajakan TerakhirTiga hari aku di rumah Ibu di Bekasi. Selama itu pula aku lebih banyak di dalam kamar. Jika keluar, aku sudah pastikan, wajahku tertutup kosmetik secara sempurna, untuk menutupi bengap di mata akibat terlalu banyak menangis. Tiga hari begitu cepat, itu artinya empat hari lagi pernikahan Mas Harris akan terjadi. Ah, nyeri sekali membayangkan itu."Kamu ambil libur berapa hari, Na, kok masih di rumah?" Tanya Mama ketika aku baru keluar dari kamar siang ini."Ini mau berangkat, Ma." Sahutku. Walau aku belum tahu mau ke mana, tetapi aku tidak mau keluargaku tahu jika aku sudah keluar dari perusahaan, aku tetap harus berpura-pura berangkat kerja."Sana makan dulu." Kata Ibu."Iya, Ma." Aku berjalan ke meja makan. Ibu mengikutiku, membuka penutup makanan dan mengambilkan piring. Ibu selalu begitu, meskipun aku berusaha mencegah, Ibu tetap melakukannya. Ibu ikut duduk di kursi seberang meja."Kamu nggak ingin cerita apa-apa gitu, Na, sama Mama?" Tanya Mama. Aku menat
Part 36. Upaya MonicaPutri baru keluar dari rumahnya, ketika seorang wanita dewasa dengan penampilan rapi dan elegan muncul di depannya, serta menghalangi langkahnya.“Siapa ya?” sapa Putri.“Mau ke kantor?” balas wanita itu kalem. Putri hanya manatapnya penuh selidik.“Kenalkan, namaku Monica, kita berangkat bersama?” Wanita itu menawarkan, seraya mengulurkan tangannya. “Saya tidak bepergian dengan orang asing.” Balas Putri angkuh, tanpa menerima uluran tangan Monica.“Saya bisa pastikan, sebentar lagi saya bukan lagi orang asing, karena kita berada di perusahaan yang sama,” terang Monica. Sekali lagi, Putri menatapnya penasaran.“Tidak perlu khawatir, kita memang belum pernah bertemu, karena aku baru kemarin datang dari Singapura dan langsung ke kantor Mas Harris.”Mas Harris? Siapa wanita ini, dan mengapa memanggilnya dengan sebutan Mas? Putri semakin penasaran sekaligus curiga.“Saya mengetahui semua data karyawan di Harmoni. Maksudku, H&H Group. Dan kulihat kamu yang paling dek
Part 35. Mantan Yang KembaliSejenak kita tinggalkan Harris, Helena, dan Putri. Kita berpindah ke sebuah gedung mewah di salah satu bilangan elite Kota Jakarta Selatan.Monica menatap hampa halaman gedung yang dipenuhi rumput Jepang berwarna hijau. Sesekali ia mendesah berat. Hatinya sungguh tercabik setiap kali menatap kartu undangan yang tergeletak di samping secangkir cappuccino di atas meja. Ia sungguh tidak percaya, jika Harris yang ia perkirakan bakal mencari, mengejar dan memohon cintanya kembali, ternyata justru menyebar undangan pernikahan, dengan seorang gadis muda bernama Putri Ayuningtyas. Tidak, Monica tidak boleh membiarkan pernikahan mereka terjadi."Maaf membuatmu lama menunggu," seorang pria enam puluhan tahun muncul tidak jauh darinya."Apa kabar, Paman?" Sapa Monica datar."Apa yang membuatmu kembali ke sini, Keponakanku?" Pria yang dipanggil paman balik bertanya. Sekali lagi Monica mendesah. Matanya menatap hampa selembar kartu undangan yang tadi. Pria di depannya