Share

#6 Perjalanan Bersamamu

"Kamu hamil." Ulang Mas Harris. "Aku antar periksa ke dokter, tapi ganti pakianmu, jangan menjatuhkanku dengan pakaian murahanmu itu!"

-------

Harusnya aku sakit hati dengan ucapan Mas Harris barusan. Tetapi aku masih dilenakan oleh berita kehamilanku. Apakah itu benar? Atau ini hanya jebakan agar aku masuk dalam perangkapnya, untuk dia membalas dendam padaku? Bercak merah di tubuhnya sudah hilang, mungkin dia sudah konsumsi obat pereda alergi dari dokter. Seharusnya dia sudah melupakan soal pir semalam, toh dia juga sudah sembuh.

Sebelum Mas Harris keluar dari kamarnya, aku segera mengambil langkah seribu. Aku tidak mau kelemahanku saat ini dia jadikan kekuatan untuk membalasku. Ah, aku bingung sendiri, kenapa aku bisa terlibat perang lahir batin dengannya seperti ini? Aku memilih pintu belakang untuk melarikan diri, agar tidak ada suara gemerincing kunci. Pintu belakang hanya pakai slot, dan itu sangat mudah dibuka tanpa suara. Lalu melipir lewat samping kost-kostan yang khusus perempuan.

Aku berjalan keluar dari gang. Mengabaikan sakit kepala yang menyerang. Menyetop angkutan umum warna merah yang melintas di depanku. Klinik Salsabila tujuanku.

Di dalam angkutan umum, berkali-kali aku membuka nomor kontak Mas Arsen, yang sudah berganti nama menjadi, "Orang Asing". Antara ingin menelepon dan mengabari apa yang dikatakan Mas Harris, namun juga tidak ingin. Memangnya dia masih peduli padaku? Peduli perasaanku? Sepertinya tidak. Kalau peduli, dia pasti pulang semalam. Akhirnya aku memilih memasukkan kembali ponselku ke dalam saku baju.

Drrrt… Drrrttt… Baru berapa detik kukantongi ponselku sudah kembali bergetar. Mama.

"Iya, Ma."

"Kamu di mana?"

"Mmm mau ke klinik, Ma." Sahutku gugup.

"Naik apa? Kenapa tidak bareng Harris? Kamu kan lagi sakit. Kalo pingsan lagi gimana?" Mama langsung memberondongku dengan banyak pertanyaan.

"Helen baik-baik saja, Ma." Sahutku merasa tidak enak hati.

"Ke klinik mana?" Tanya Mama lagi. Duh, aku bingung. Kalau aku jawab, aku khawatir Harris disuruh menyusulku. Jika tidak kujawab, Mama pasti akan memarahiku. "Helena?"

"Ah, iy, iya Ma." Aku tergagap. "Klinik Salsabila Ma."

"Ya sudah, nanti biar Harris menyusul." Sahut Mama. "Kamu hati-hati."

"Tapi, Ma!" Klik. Sambungan terputus. Gustiii, bener kan, Harris lagi?

Aku turun dari angkutan umum tepat di depan klinik. Lumayan ramai karena memang sudah siang. Aku langsung ke bagian pendaftaran.

"Ada kartu berobatnya, Mbak?" Tanya petugas. Ah, aku tidak membawanya. Aku kabur begitu saja tadi. Tiba-tiba seseorang muncul di sampingku, menarik tubuhku mundur. Mas Harris!

"Dia sudah daftar, tinggal menunggu panggilan." Ucapnya kepada petugas.

"Oh yang Mas daftarkan barusan ya."

"Ya." Sahut Mas Harris. Lalu dia mendorong tubuhku dengan ujung jarinya, mengisyaratkan agar naik ke lantai atas. Aku mengikutinya.

Mas Harris berpenampilan sangat rapi. Dengan kemeja hijau, celana panjang abu-abu, dan lengkap dengan sarung tangan seperti biasanya. Entah kenapa pria itu memiliki banyak sekali koleksi sarung tangan. Kemana pun pergi dia selalu memakai sarung tangan.

"Nyonya Helena Anastasya!" Giliranku tiba. Aku suka ke klinik ini karena memang cepat. Aku melangkah ke kamar di mana petugas tadi meneriakkan namaku.

"Bapaknya tidak ikut masuk?" Tanyanya saat aku hampir masuk ke kamar.

"Tidak perlu." Sahutku. Perempuan ini pasti mengira Mas Harris suamiku.

"Silakan, Mbak." Sambut seorang dokter pria setengah baya. Aku duduk sesuai instruksinya. Menjawab serangkaian pertanyaan, lalu menyuruhku berbaring di ranjang pemeriksaan.

"Selamat ya, Mbak. Ini usianya sudah berjalan lima mingguan." Ucap dokter tersebut sambil menjalankan alat pemeriksaan USG.

"Alhamdulillah. Terima kasih Dokter " Sahutku. Air mataku meleleh. Aku menangis bahagia. Sudah lima minggu, mengapa aku tidak merasakannya?

Kudengar pintu terbuka. Seseorang masuk. 

"Silakan duduk, Pak." Asisten dokter mempersilakan. Dokter meninggalkanku, asistennya yang melanjutkan, membersihkan cairan di perutku.

"Selamat ya Pak, istri Bapak positif hamil." Kudengar ucapan dokter. Aku terhenyak. Apakah yang masuk barusan Mas Arsen? Atau Mas Harris? Aku merapikan pakaianku.

"Jadi gini, Pak." Lanjut dokter Rizal. "Kandungan istri Bapak sudah berjalan 5 minggu, tetapi kondisi rahimnya lemah, jadi harus benar-benar dijaga."

"Baik, Dokter." Itu beneran suara Mas Harris. Bagaimana bisa dia tiba-tiba jadi suamiku? Aku keluar dari balik tirai. Mas Harris berdiri dari duduknya. Matanya mengerjap menatapku, samar, samar sekali, aku bisa melihat bibirnya tersenyum. Senyum yang tidak bisa kuterjemahkan, namun aku tahu, itu bukan ejekan seperti biasanya, juga bukan karena dendam.

"Ada yang mau ditanyakan?" Dokter Rizal menatap wajah kami bergantian. Aku menggeleng. Mas Harris tersenyum kepadanya.

"Sudah cukup, Dok. Terima kasih." Katanya.

"Silakan." Sahut Dokter Rizal. Kami mengangguk bersamaan.

“Ohya,” saat kami baru hendak menarik gerendel pintu, Dokter Rizal kembali memanggil. Kami menoleh bersamaan.

“Ibunya jangan terlalu stress dan kecapek’an, itu bisa membahayakan si janin.” Lanjut Dokter Rizal. Kulihat Mas Harris mengangguk.

“Baik, Dok, saya berjanji akan menjaganya.” Ucapnya kemudian, membuatku terpana. Apa maksud ucapannya? Yang seharusnya menjagaku adalah Arsen, adiknya. Bukan dia!

Kami berjalan menyusuri lorong klinik yang terbilang lumayan besar ini. Menuju anak tangga yang akan mengantar kami ke lantai dasar. Saat berjalan, aku tidak bosan-bosannya menatap poto hasil USG di tanganku, sehingga aku tidak menyadari, ketika hampir sampai di tangga, seseorang tiba-tiba berlari dengan tergesa menuju atas.

“Hati-hati!” teriak Harris, bersamaan dengan tubuhku yang terhuyung karena hampir tertabrak orang tersebut. Dalam sekejap napasku menderu, dan ketika menyadari apa yang terjadi, aku sudah berada di dalam dekapannya. Sesaat mata kami beradu.

“Kenapa? Baru menyadari kalau aku lebih tampan dari suamimu?” ucapnya. 

“Huh sok polos!” Aku melapaskan diri dengan kasar dari pelukannya.

“Setidaknya aku sudah memenuhi janjiku ke Dokter tadi, bahwa aku akan menjaga kalian.” Aku berjalan menjauh tanpa menggubris ucapannya. Tetapi, hei…, bukankah itu tadi benar?Hatiku memprotes.

“Huh benar apanya? Dia aja selalu mencelakaiku!” Aku memutuskan.

***

"Kamu sangat meremehkanku!" Kami sudah ada di mobil ketika Mas Harris mengatakan itu. "Aku menyuruhmu berganti pakaian, tetapi kamu malah minggat begitu saja. Memang ya, ngomong sama orang miskin itu susah!"

Aku memilih diam. Tadinya aku hampir meminta maaf dan berterima kasih kepadanya untuk semua yang dia lakukan pagi ini. Tetapi dengan penghinaannya barusan aku tidak perlu lagi meminta maaf, apalagi berterima kasih. Aku hanya perlu memikirkan bagaimana agar mulut dia bisa bisu selamanya, biar sadar mulut lamisnya itu terlalu pedas untuk dipelihara.

"Aku melakukan ini juga karena perintah Mama." Ucapnya lagi. Aku masih diam. "Kalau tidak, mana sudi aku mengantarmu yang berpenampilan miskin seperti itu."

Gustii… padahal pakaian yang kukenakan juga tidak murah-murah amat menurutku. Ini termasuk mahal, karena untuk membeli ini aku perlu merengek dulu pada Mas Arsen.

"Buat apa beli baju seharga 500 ribu? Mending kamu tabung bisa untuk keperluan lainnya nanti!" Begitu Mas Arsen melarangku dulu. Namun aku terus merengek, dan dia hanya memberiku uang 300 ribu untuk membeli baju. Sisanya aku menabung dari sisa belanja yang dia kasih. 

Oh iya, tentu saja bagi Mas Harris ini adalah murahan. Semua baju Mas Harris tidak ada yang beli di pasaran. Semua bajunya adalah pesanan khusus dari desainer yang dia percaya. Aku tidak tahu harganya, tetapi pasti tidak ada yang seharga 500 ribu, seperti yang kupakai.

Ponsel Mas Harris berbunyi.

"Iya, Ma."

"Sudah, Ma"

"Positif."

"Lima Minggu."

"Baik, Ma." 

 "Oke."

Aku mengira-ngira obrolan itu. Mama pasti menanyakan hasil pemeriksaanku. Panggilan selesai. Mas Harris memutar mobilnya ke arah lain.

"Kenapa ke sini?" Tanyaku.

"Nanti juga tau!" Ketus sekali dia menjawab. Mobil meluncur dengan cepat ke arah Cibubur. Perasaanku mulai dihinggapi rasa was-was. Akan kah dia membawaku ke suatu tempat mengerikan? Masih kah dia ingin mengintrogasiku tentang pir semalam? Bulu kudukku kembali meremang.

Mobil belok ke sebuah minimarket khusus buah di daerah Cibubur. Ah, aku lega. Dia tidak akan membunuhku.

"Ngapain kita ke sini?" Tanyaku.

"Jalan saja bawel!" Bentaknya. Aku menghembuskan napas. Padahal maksud pertanyaanku adalah, di Pasar Rebo saja banyak buah, kalau cuma mau beli buah ngapain jauh-jauh ke Cibubur? Sekali lagi, aku menghela napas. Rasanya ingin sekali ada Arsen di sini, sehingga aku bisa menumpahkan rasa sesakku di dadanya. Ah, sedang apa pria itu di Bogor? Kenapa dia tidak mengabariku? "Istri muda" Ucapan Mas Haris semalam kembali terngiang.

"Kamu tidak turun?" Mas Harris mengejutkanku. Aku membuka pintu mobil, dan melangkah keluar. Kami masuk ke minimarket. Mas Harris inisiatif mengambil troli. Dan terus melangkah menuju buah-buahan.

"Mama nyuruh membeli buah. Kamu boleh ambil buah apa saja yang kamu inginkan." Ucapnya. Aku tersenyum samar. "Ingat, hanya buah tidak yang lainnya!"

Aku melangkah meninggalkan Mas Harris. Melihat-lihat buah apa yang paling mahal, yang sekira bisa membuat kantong pria yang sedang bersamaku ini terkuras lebih dalam. Toh kondisi dia sedang bangrut saat ini.

"Anggur Black Autum Rp. 112.000/pack" ini sekitar ½ kilo. Lumayan mahal, tetapi aku tidak perlu mangambil itu, Mas Harris pasti akan membeli itu.

"Tomat import jumbo Rp. 24.000/100gram." Aku ambil itu saja. Seorang pramuniaga mendekatiku. Aku meletakkan tomat di atas timbangan digital terdekat. Mbak Pramuniaga dengan cekatan memijit-mijit tombol di timbangan. Lalu menaruh tomat ke dalam kantong dan menempelkan struk yang keluar dari timbangan tadi. Beratnya empat ratus gram lebih sekian. Aku menaruh tomat ke dalam keranjang. Mas Harris mengangkat alisnya. Lalu dengan ujung jari telunjuk dan jempolnya ia menenteng tomat ke depan wajahnya. Aku menunggu reaksinya.

"Tomat bukan buah. Ini sayuran!" Tegasnya.

"Itu tomat buah, Pak. Bisa dimakan." Sebelum aku menyahut Mbak Pramuniaga sudah menjelaskan. Aku puas, menggerakkan alis dan mataku untuk menegaskan, bahwa Mas Harris tidak berhak menolak buah pilihanku. Mas Harris menggerakkan kedua bahunya. Kalah.

Aku berjalan lagi, tepat di samping Mas Harris aku melihat pir Xiang Li. Harganya murah, sebungkus hanya 37 ribu berisi 7 butir. Aku tidak suka buah pir, tetapi aku berharap bisa menjadikannya alat sekali lagi untuk mengerjai Mas Harris. Tanganku terjulur untuk meraih buah tersebut.

"Tidak yang itu." Has Harris mencengkeram pergelangan tanganku. 

"Ini buah juga." Jawabku berharap dia melepaskan cengkeramannya.

"Tapi aku bilang tidak." Dia melepaskan tanganku lalu mendorong trolinya menuju kasir. Aku mengikutinya.

"Berati Mas tidak konsisten dengan ucapan Mas tadi."

"Aku berhak menarik ucapanku lagi." Sahutnya. "Kapan pun!"

"Dasar kejam!" Aku berjalan menjauh. Kubiarkan Mas Harris berdiri di depan kasir sendirian. Aku berjalan menuju rak snack. Kuraih sebungkus mie lidi pedas, kemudian kembali ke Mas Harris. Kuletakkan camilan tersebut ke meja kasir. Petugas langsung memindainya untuk memasukkan harganya.

“Yang itu, jangan dimasukkan ke kantong,” Tiba-tiba Mas Harris berkata, seraya menunjuk sebungkus mie lidi pilihanku. Kami semua menatapnya.

“Mau dimakan langsung, Mbak?” tanya karyawan yang bertugas memasukkan belanjaan ke plastic kresek.

“Tidak!” Mas Harris langsung menyela sebelum aku menjawab. Petugas, menatap Mas Harris dan aku bergantian. Bingung.

“Jadi?”

“Itu buat nyemil kalian saja. Kalian makan bareng-bareng.” Balas Harris lagi.

“Eh kok gitu?” petugas menatapku, dengan tatapan tidak enak hati.

“Apaan sih?” aku menatap Mas Harris kesal.

“Kamu sedang hamil, Sayang, camilan ini harus diskip dulu, okey? Demi kesehatan kalian." Hah? Sayang? Sekali lagi aku dibuat terhenyak oleh Mas Harris, ia menatapku dengan senyuman yang tulus. Tuhan, andai dia adalah, Mas Arsen…

“Aiih… kalian so sweet,” Suara Mbak kasir menyadarkanku dari lamunan. Aku gugup. Buru-buru mengulas senyum kepadanya. Kemudian mengalihkan pandanganku kembali ke Mas Harris.

“Ah, iya, kamu benar, Sayang.” Ucapku, seraya dengan sengaja meletakkan tanganku di dada bawah bahu Mas Harris. Kemudian menurunkannya ke dada tengahnya dengan lembut. Setelah itu aku pamit dan duduk di kursi tunggu yang tersedia di deretan depan samping dinding kaca.

***

Satu jam kami di toko buah. Suara adzan dzuhur dari banyak masjid sudah terdengar. Kami masuk ke dalam mobil.

Mobil siap bergerak kembali. Dadaku terasa berdegup lebih kencang dari biasanya. Duduk di kursi samping Mas Harris tiba-tiba aku merasa canggung sekali, sementara Mas Harris, kulihat wajahnya hanya datar-datar saja.

Baru beberapa meter berjalan, lagi-lagi Mas Harris berbelok semaunya. Kali ini kami berhenti di Platinum Resto & Cafe. Sebuah tempat makan yang terjamin kebersihannya, serta enak makanannya, karena banyak pilihan menu dari berbagai negara.

"Di rumah tidak ada makanan. Kita makan dulu." Ucapnya. Aku menatapnya takjub. Terbuat dari apa hati orang ini sebenarnya? Kenapa terkadang baik terkadang sadis?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status