"Kamu hamil." Ulang Mas Harris. "Aku antar periksa ke dokter, tapi ganti pakianmu, jangan menjatuhkanku dengan pakaian murahanmu itu!"
-------
Harusnya aku sakit hati dengan ucapan Mas Harris barusan. Tetapi aku masih dilenakan oleh berita kehamilanku. Apakah itu benar? Atau ini hanya jebakan agar aku masuk dalam perangkapnya, untuk dia membalas dendam padaku? Bercak merah di tubuhnya sudah hilang, mungkin dia sudah konsumsi obat pereda alergi dari dokter. Seharusnya dia sudah melupakan soal pir semalam, toh dia juga sudah sembuh.
Sebelum Mas Harris keluar dari kamarnya, aku segera mengambil langkah seribu. Aku tidak mau kelemahanku saat ini dia jadikan kekuatan untuk membalasku. Ah, aku bingung sendiri, kenapa aku bisa terlibat perang lahir batin dengannya seperti ini? Aku memilih pintu belakang untuk melarikan diri, agar tidak ada suara gemerincing kunci. Pintu belakang hanya pakai slot, dan itu sangat mudah dibuka tanpa suara. Lalu melipir lewat samping kost-kostan yang khusus perempuan.
Aku berjalan keluar dari gang. Mengabaikan sakit kepala yang menyerang. Menyetop angkutan umum warna merah yang melintas di depanku. Klinik Salsabila tujuanku.
Di dalam angkutan umum, berkali-kali aku membuka nomor kontak Mas Arsen, yang sudah berganti nama menjadi, "Orang Asing". Antara ingin menelepon dan mengabari apa yang dikatakan Mas Harris, namun juga tidak ingin. Memangnya dia masih peduli padaku? Peduli perasaanku? Sepertinya tidak. Kalau peduli, dia pasti pulang semalam. Akhirnya aku memilih memasukkan kembali ponselku ke dalam saku baju.
Drrrt… Drrrttt… Baru berapa detik kukantongi ponselku sudah kembali bergetar. Mama.
"Iya, Ma."
"Kamu di mana?"
"Mmm mau ke klinik, Ma." Sahutku gugup.
"Naik apa? Kenapa tidak bareng Harris? Kamu kan lagi sakit. Kalo pingsan lagi gimana?" Mama langsung memberondongku dengan banyak pertanyaan.
"Helen baik-baik saja, Ma." Sahutku merasa tidak enak hati.
"Ke klinik mana?" Tanya Mama lagi. Duh, aku bingung. Kalau aku jawab, aku khawatir Harris disuruh menyusulku. Jika tidak kujawab, Mama pasti akan memarahiku. "Helena?"
"Ah, iy, iya Ma." Aku tergagap. "Klinik Salsabila Ma."
"Ya sudah, nanti biar Harris menyusul." Sahut Mama. "Kamu hati-hati."
"Tapi, Ma!" Klik. Sambungan terputus. Gustiii, bener kan, Harris lagi?
Aku turun dari angkutan umum tepat di depan klinik. Lumayan ramai karena memang sudah siang. Aku langsung ke bagian pendaftaran.
"Ada kartu berobatnya, Mbak?" Tanya petugas. Ah, aku tidak membawanya. Aku kabur begitu saja tadi. Tiba-tiba seseorang muncul di sampingku, menarik tubuhku mundur. Mas Harris!
"Dia sudah daftar, tinggal menunggu panggilan." Ucapnya kepada petugas.
"Oh yang Mas daftarkan barusan ya."
"Ya." Sahut Mas Harris. Lalu dia mendorong tubuhku dengan ujung jarinya, mengisyaratkan agar naik ke lantai atas. Aku mengikutinya.
Mas Harris berpenampilan sangat rapi. Dengan kemeja hijau, celana panjang abu-abu, dan lengkap dengan sarung tangan seperti biasanya. Entah kenapa pria itu memiliki banyak sekali koleksi sarung tangan. Kemana pun pergi dia selalu memakai sarung tangan.
"Nyonya Helena Anastasya!" Giliranku tiba. Aku suka ke klinik ini karena memang cepat. Aku melangkah ke kamar di mana petugas tadi meneriakkan namaku.
"Bapaknya tidak ikut masuk?" Tanyanya saat aku hampir masuk ke kamar.
"Tidak perlu." Sahutku. Perempuan ini pasti mengira Mas Harris suamiku.
"Silakan, Mbak." Sambut seorang dokter pria setengah baya. Aku duduk sesuai instruksinya. Menjawab serangkaian pertanyaan, lalu menyuruhku berbaring di ranjang pemeriksaan.
"Selamat ya, Mbak. Ini usianya sudah berjalan lima mingguan." Ucap dokter tersebut sambil menjalankan alat pemeriksaan USG.
"Alhamdulillah. Terima kasih Dokter " Sahutku. Air mataku meleleh. Aku menangis bahagia. Sudah lima minggu, mengapa aku tidak merasakannya?
Kudengar pintu terbuka. Seseorang masuk.
"Silakan duduk, Pak." Asisten dokter mempersilakan. Dokter meninggalkanku, asistennya yang melanjutkan, membersihkan cairan di perutku.
"Selamat ya Pak, istri Bapak positif hamil." Kudengar ucapan dokter. Aku terhenyak. Apakah yang masuk barusan Mas Arsen? Atau Mas Harris? Aku merapikan pakaianku.
"Jadi gini, Pak." Lanjut dokter Rizal. "Kandungan istri Bapak sudah berjalan 5 minggu, tetapi kondisi rahimnya lemah, jadi harus benar-benar dijaga."
"Baik, Dokter." Itu beneran suara Mas Harris. Bagaimana bisa dia tiba-tiba jadi suamiku? Aku keluar dari balik tirai. Mas Harris berdiri dari duduknya. Matanya mengerjap menatapku, samar, samar sekali, aku bisa melihat bibirnya tersenyum. Senyum yang tidak bisa kuterjemahkan, namun aku tahu, itu bukan ejekan seperti biasanya, juga bukan karena dendam.
"Ada yang mau ditanyakan?" Dokter Rizal menatap wajah kami bergantian. Aku menggeleng. Mas Harris tersenyum kepadanya.
"Sudah cukup, Dok. Terima kasih." Katanya.
"Silakan." Sahut Dokter Rizal. Kami mengangguk bersamaan.
“Ohya,” saat kami baru hendak menarik gerendel pintu, Dokter Rizal kembali memanggil. Kami menoleh bersamaan.
“Ibunya jangan terlalu stress dan kecapek’an, itu bisa membahayakan si janin.” Lanjut Dokter Rizal. Kulihat Mas Harris mengangguk.
“Baik, Dok, saya berjanji akan menjaganya.” Ucapnya kemudian, membuatku terpana. Apa maksud ucapannya? Yang seharusnya menjagaku adalah Arsen, adiknya. Bukan dia!
Kami berjalan menyusuri lorong klinik yang terbilang lumayan besar ini. Menuju anak tangga yang akan mengantar kami ke lantai dasar. Saat berjalan, aku tidak bosan-bosannya menatap poto hasil USG di tanganku, sehingga aku tidak menyadari, ketika hampir sampai di tangga, seseorang tiba-tiba berlari dengan tergesa menuju atas.
“Hati-hati!” teriak Harris, bersamaan dengan tubuhku yang terhuyung karena hampir tertabrak orang tersebut. Dalam sekejap napasku menderu, dan ketika menyadari apa yang terjadi, aku sudah berada di dalam dekapannya. Sesaat mata kami beradu.
“Kenapa? Baru menyadari kalau aku lebih tampan dari suamimu?” ucapnya.
“Huh sok polos!” Aku melapaskan diri dengan kasar dari pelukannya.
“Setidaknya aku sudah memenuhi janjiku ke Dokter tadi, bahwa aku akan menjaga kalian.” Aku berjalan menjauh tanpa menggubris ucapannya. Tetapi, hei…, bukankah itu tadi benar?Hatiku memprotes.
“Huh benar apanya? Dia aja selalu mencelakaiku!” Aku memutuskan.
***
"Kamu sangat meremehkanku!" Kami sudah ada di mobil ketika Mas Harris mengatakan itu. "Aku menyuruhmu berganti pakaian, tetapi kamu malah minggat begitu saja. Memang ya, ngomong sama orang miskin itu susah!"
Aku memilih diam. Tadinya aku hampir meminta maaf dan berterima kasih kepadanya untuk semua yang dia lakukan pagi ini. Tetapi dengan penghinaannya barusan aku tidak perlu lagi meminta maaf, apalagi berterima kasih. Aku hanya perlu memikirkan bagaimana agar mulut dia bisa bisu selamanya, biar sadar mulut lamisnya itu terlalu pedas untuk dipelihara.
"Aku melakukan ini juga karena perintah Mama." Ucapnya lagi. Aku masih diam. "Kalau tidak, mana sudi aku mengantarmu yang berpenampilan miskin seperti itu."
Gustii… padahal pakaian yang kukenakan juga tidak murah-murah amat menurutku. Ini termasuk mahal, karena untuk membeli ini aku perlu merengek dulu pada Mas Arsen.
"Buat apa beli baju seharga 500 ribu? Mending kamu tabung bisa untuk keperluan lainnya nanti!" Begitu Mas Arsen melarangku dulu. Namun aku terus merengek, dan dia hanya memberiku uang 300 ribu untuk membeli baju. Sisanya aku menabung dari sisa belanja yang dia kasih.
Oh iya, tentu saja bagi Mas Harris ini adalah murahan. Semua baju Mas Harris tidak ada yang beli di pasaran. Semua bajunya adalah pesanan khusus dari desainer yang dia percaya. Aku tidak tahu harganya, tetapi pasti tidak ada yang seharga 500 ribu, seperti yang kupakai.
Ponsel Mas Harris berbunyi.
"Iya, Ma."
"Sudah, Ma"
"Positif."
"Lima Minggu."
"Baik, Ma."
"Oke."
Aku mengira-ngira obrolan itu. Mama pasti menanyakan hasil pemeriksaanku. Panggilan selesai. Mas Harris memutar mobilnya ke arah lain.
"Kenapa ke sini?" Tanyaku.
"Nanti juga tau!" Ketus sekali dia menjawab. Mobil meluncur dengan cepat ke arah Cibubur. Perasaanku mulai dihinggapi rasa was-was. Akan kah dia membawaku ke suatu tempat mengerikan? Masih kah dia ingin mengintrogasiku tentang pir semalam? Bulu kudukku kembali meremang.
Mobil belok ke sebuah minimarket khusus buah di daerah Cibubur. Ah, aku lega. Dia tidak akan membunuhku.
"Ngapain kita ke sini?" Tanyaku.
"Jalan saja bawel!" Bentaknya. Aku menghembuskan napas. Padahal maksud pertanyaanku adalah, di Pasar Rebo saja banyak buah, kalau cuma mau beli buah ngapain jauh-jauh ke Cibubur? Sekali lagi, aku menghela napas. Rasanya ingin sekali ada Arsen di sini, sehingga aku bisa menumpahkan rasa sesakku di dadanya. Ah, sedang apa pria itu di Bogor? Kenapa dia tidak mengabariku? "Istri muda" Ucapan Mas Haris semalam kembali terngiang.
"Kamu tidak turun?" Mas Harris mengejutkanku. Aku membuka pintu mobil, dan melangkah keluar. Kami masuk ke minimarket. Mas Harris inisiatif mengambil troli. Dan terus melangkah menuju buah-buahan.
"Mama nyuruh membeli buah. Kamu boleh ambil buah apa saja yang kamu inginkan." Ucapnya. Aku tersenyum samar. "Ingat, hanya buah tidak yang lainnya!"
Aku melangkah meninggalkan Mas Harris. Melihat-lihat buah apa yang paling mahal, yang sekira bisa membuat kantong pria yang sedang bersamaku ini terkuras lebih dalam. Toh kondisi dia sedang bangrut saat ini.
"Anggur Black Autum Rp. 112.000/pack" ini sekitar ½ kilo. Lumayan mahal, tetapi aku tidak perlu mangambil itu, Mas Harris pasti akan membeli itu.
"Tomat import jumbo Rp. 24.000/100gram." Aku ambil itu saja. Seorang pramuniaga mendekatiku. Aku meletakkan tomat di atas timbangan digital terdekat. Mbak Pramuniaga dengan cekatan memijit-mijit tombol di timbangan. Lalu menaruh tomat ke dalam kantong dan menempelkan struk yang keluar dari timbangan tadi. Beratnya empat ratus gram lebih sekian. Aku menaruh tomat ke dalam keranjang. Mas Harris mengangkat alisnya. Lalu dengan ujung jari telunjuk dan jempolnya ia menenteng tomat ke depan wajahnya. Aku menunggu reaksinya.
"Tomat bukan buah. Ini sayuran!" Tegasnya.
"Itu tomat buah, Pak. Bisa dimakan." Sebelum aku menyahut Mbak Pramuniaga sudah menjelaskan. Aku puas, menggerakkan alis dan mataku untuk menegaskan, bahwa Mas Harris tidak berhak menolak buah pilihanku. Mas Harris menggerakkan kedua bahunya. Kalah.
Aku berjalan lagi, tepat di samping Mas Harris aku melihat pir Xiang Li. Harganya murah, sebungkus hanya 37 ribu berisi 7 butir. Aku tidak suka buah pir, tetapi aku berharap bisa menjadikannya alat sekali lagi untuk mengerjai Mas Harris. Tanganku terjulur untuk meraih buah tersebut.
"Tidak yang itu." Has Harris mencengkeram pergelangan tanganku.
"Ini buah juga." Jawabku berharap dia melepaskan cengkeramannya.
"Tapi aku bilang tidak." Dia melepaskan tanganku lalu mendorong trolinya menuju kasir. Aku mengikutinya.
"Berati Mas tidak konsisten dengan ucapan Mas tadi."
"Aku berhak menarik ucapanku lagi." Sahutnya. "Kapan pun!"
"Dasar kejam!" Aku berjalan menjauh. Kubiarkan Mas Harris berdiri di depan kasir sendirian. Aku berjalan menuju rak snack. Kuraih sebungkus mie lidi pedas, kemudian kembali ke Mas Harris. Kuletakkan camilan tersebut ke meja kasir. Petugas langsung memindainya untuk memasukkan harganya.
“Yang itu, jangan dimasukkan ke kantong,” Tiba-tiba Mas Harris berkata, seraya menunjuk sebungkus mie lidi pilihanku. Kami semua menatapnya.
“Mau dimakan langsung, Mbak?” tanya karyawan yang bertugas memasukkan belanjaan ke plastic kresek.
“Tidak!” Mas Harris langsung menyela sebelum aku menjawab. Petugas, menatap Mas Harris dan aku bergantian. Bingung.
“Jadi?”
“Itu buat nyemil kalian saja. Kalian makan bareng-bareng.” Balas Harris lagi.
“Eh kok gitu?” petugas menatapku, dengan tatapan tidak enak hati.
“Apaan sih?” aku menatap Mas Harris kesal.
“Kamu sedang hamil, Sayang, camilan ini harus diskip dulu, okey? Demi kesehatan kalian." Hah? Sayang? Sekali lagi aku dibuat terhenyak oleh Mas Harris, ia menatapku dengan senyuman yang tulus. Tuhan, andai dia adalah, Mas Arsen…
“Aiih… kalian so sweet,” Suara Mbak kasir menyadarkanku dari lamunan. Aku gugup. Buru-buru mengulas senyum kepadanya. Kemudian mengalihkan pandanganku kembali ke Mas Harris.
“Ah, iya, kamu benar, Sayang.” Ucapku, seraya dengan sengaja meletakkan tanganku di dada bawah bahu Mas Harris. Kemudian menurunkannya ke dada tengahnya dengan lembut. Setelah itu aku pamit dan duduk di kursi tunggu yang tersedia di deretan depan samping dinding kaca.
***
Satu jam kami di toko buah. Suara adzan dzuhur dari banyak masjid sudah terdengar. Kami masuk ke dalam mobil.
Mobil siap bergerak kembali. Dadaku terasa berdegup lebih kencang dari biasanya. Duduk di kursi samping Mas Harris tiba-tiba aku merasa canggung sekali, sementara Mas Harris, kulihat wajahnya hanya datar-datar saja.
Baru beberapa meter berjalan, lagi-lagi Mas Harris berbelok semaunya. Kali ini kami berhenti di Platinum Resto & Cafe. Sebuah tempat makan yang terjamin kebersihannya, serta enak makanannya, karena banyak pilihan menu dari berbagai negara.
"Di rumah tidak ada makanan. Kita makan dulu." Ucapnya. Aku menatapnya takjub. Terbuat dari apa hati orang ini sebenarnya? Kenapa terkadang baik terkadang sadis?
Hatiku mempertanyakan, "Terbuat dari apa hati Mas Harris? Terkadang baik terkadang sadis.--------Kami sampai di rumah jam dua siang. Begitu mobil masuk ke halaman, aku langsung turun dan berjalan menuju teras depan. Kepalaku kembali sakit, padahal tadi sempat reda setelah meminum obat pemberian dokter. Mama sudah ada di rumah. Dia langsung menyambut kami dengan senyumnya yang lebar, memeluk dan memberiku ucapan selamat."Akhirnya kamu akan menjadi Ibu, Helena." Mama terlihat sangat bahagia. "Masuklah, Arsen sudah datang."Deg."Kapan dia datang, Ma?" Tanyaku hambar. Entah mengapa aku seperti tidak berharap dia datang. Entahlah. Rasanya aku tidak ingin melihat dia."Entah. Mama tanya juga tidak dijawab." Sahut Mama. Dasar anak durhaka, batinku mengumpat. Bisa-bisanya ditanya mamanya tidak dijawab!"Baik-baiklah kepadanya, sepertinya dia sedang marah." Bisik Mama pelan. Aku mendesah, seraya langsung melepas sepatuku, kemudian bergegas ke kamar. Kulihat Mas Arsen sedang berbaring tidak
Rasanya luruh sudah semua tulang di tubuhku. Dokter Intan sudah memastikan bahwa pendarahan yang kualami tadi siang sudah membawa serta calon bayi yang baru sehari kusadari ada dalam rahimku. Aku keguguran, setelah sempat merasakan bahagia atas kehadirannya di perutku, meskipun sangat sebentar. Bahkan ketika ayahnya juga belum menyentuhnya.. Ah, jika saja aku menyadarinya sejak awal, mungkin aku akan lebih bisa menjaganya, pikirku. "Selanjutnya apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Amell. Kami sedang di kamar berdua di rumahnya. Aku menggeleng. "Aku belum bisa berpikir sekarang." Sahutku."Ya sudah kamu istirahat saja kalau begitu. Besok kamu pikirkan lagi apa yang akan kamu lakukan." Ucap Amell tulus. Aku mengangguk. "Kamu tidak kembali ke kamarmu?" Tanyaku heran, karena melihat Amell menarik selimut dan bergelung di bawah selimutku."Tidak." Sahutnya."Kenapa?""Kamu sedang tidak waras. Gimana aku bisa tidur di kamarku kalau aku kepikiran kamu di sini." Sahutnya."Tenang saja. Aku t
Di rumah masih ada tiga nyawa lagi, tetapi rasanya begitu lengang. Hampa dirasakan oleh ketiga manusia yang tersisa itu. Padahal yang pergi hanya satu.Abiyah hanya bisa diam terpaku, sambil sesekali menyeka air matanya dengan tisu. Wanita yang dipanggil Mama itu masih berharap Helena akan kembali sekali lagi ke rumah itu. Dulu mereka punya ART, tetapi tidak ada yang bertahan lama. Paling lama satu tahun. Terlalu banyak drama. Kemudian, Helena hadir. Atas kesepakatan berdua, mereka tidak lagi mengambil pembantu. Abiyah mengerjakan semua pekerjaan rumah bersama Helena. Abiyah lebih sering tidak melakukan apa pun karena Helena begitu cekatan menyelesaikan semua pekerjaan rumah, selain memasak. Kalau memasak Helena kurang bisa, sehingga harus dilakukan berdua. Abiyah menghela napas berat."Mama sudah tua, Sen. Mama ingin melihat anak-anak Mama bahagia. Tapi kamu masih begini saja." Ucapnya pelan. Arsen diam. "Rumah besar ini ceria dan ramai sejak ada Helena. Sekarang bakal sepi lagi.""I
Sudah dua bulan sejak kejadian itu. Selama itu pula aku tinggal di rumah Amell. Aku sudah mengganti nomor kontakku. Atas saran Amell aku juga mengaktifkan kembali akun sosial mediaku. Selama ini Arsen sangat membatasi ruang gerakku. Dia tidak mengijinkanku mengenal dunia luar dengan bersosial media. Aku hanya diperbolehkan membuka situs berita online atau youtube asal tidak boros. Selain kedua itu tidak boleh. Terutama i*******m, twitter dan f******k. Takut tergoda pria lain, katanya. "Bersosial media rawan perselingkuhan." Begitu alasan Arsen. Dasar busuk! Toh nyatanya justru dia yang selingkuh! Menurutnya, sosial media juga yang menyebabkan hancurnya rumah tangganya dengan Sekar. Dari sanalah awal mula Sekar berkenalan dengan teman-temannya yang suka hura-hura dan tidak bisa diatur. Sekar ketularan. Namun hal itu dibantah oleh Mama. Sekar memang sudah ada bakat bebas sejak belum menikah dengan Arsen. Saat itu, meskipun keberatan, aku mengalah. Dengan syarat, dia juga menutup semua
PART 11. Helena, Di Mana Kamu?(POV Harris) PencarianHelena di mana kamu?Sudah dua bulan lebih dia menghilang tanpa jejak. Aku khawatir dia kenapa-napa. Nomor kontaknya sudah tidak aktif sehingga sulit sekali untuk melacak keberadaannya. Sekali aku pergi ke rumah orang tuanya di Bekasi, berpura-pura ada urusan di Bekasi sekalian mampir, hanya untuk mengetahui kabar Helena. Namun mereka justru menanyakan mengapa saya tidak ajak serta Helena dan Arsen.Aku merasa hidupku begitu hampa setelah dia hengkang dari rumah Mama dalam kondisi marah. Apalagi aku turut andil membuatnya terluka. Hatiku ikut sakit menyaksikannya terluka ketika itu. Wajah yang selalu tersenyum ceria kemudian berubah menjadi sendu dan berurai air mata itu, selalu menghantui hari dan malamku. Aku ingin bergerak dan merengkuhnya. Namun aku tidak memiliki daya untuk melakukan itu semua.Helena di mana kamu?Seminggu yang lalu, Mama memanggil semua anak-anaknya, untuk menyaksikan penandatanganan serah terima pembayaran
Dimas merasa bingung, kenapa tiba-tiba Harris ingin pergi ke Jakarta Pusat. Padahal agenda dia hari ini adalah pergi ke Bogor untuk urusan bisnis. Biasanya Harris tidak pernah meleset dari jadwal yang sudah dibuat. Dia type orang yang selalu tepat waktu. Dia bisa datang lebih awal ketika ada janji, tetapi, juga akan segera meninggalkan lokasi jika lawannya terlambat beberapa menit saja. Namun hari ini? Ada apa dengan Harris? Dia melakukan sesuatu yang berlawanan dengan prinsipnya.Dimas hanya bisa mengikuti saja apa yang diinginkan boss sekaligus temannya itu. Dimas yang pendiam dan penurut selalu mematuhi apapun yang diperintahkan Harris kepadanya tanpa banyak tanya, meskipun dia penasaran. Mungkin sebab itulah dulunya dia menjadi sasaran empuk anak-anak badung di sekolahan mereka. Untung ada Harris yang sejak kecil sudah diberi pelatihan bela diri oleh ayahnya, sehingga dia bisa langsung bertindak ketika melihat teman sekelasnya dianiaya oleh teman lainnya.Harris menyandarkan kepal
PART 13. Pertemuan Hari ini adalah tahun keduaku bekerja sebagai pramuniaga di H&H Mall, di Jakarta Selatan. Yah, akhirnya aku memang diterima bekerja di H&H Group, tapi sesuai dugaan, tidak mungkin di bagian telemarketing. Aku diterima sebagai pramuniaga, Saudara! Dugaanku tidak akan diterima sebagai telemarketing saat melamar dulu itu benar, karena ada si sepupu HRD. Posisi telemarketing sejak awal memang sudah untuk dia. Membuka lowongan kerja dan mendatangkan pelamar lainnya hanyalah ritual, agar semua terlihat natural. Dan hal semacam itu adalah sesuatu yang lumrah terjadi di mana-mana. bukan kah begitu? Kita yang tidak memiliki koneksi akan selalu tersingkir. Kalau diterima, itu berati suatu keberuntungan. Atau takdir Tuhan untuk kita mulai dari sana, sedang berjalan. Seperti takdirku hari ini. Dua tahun lalu meskipun kecewa karena tidak diterima sebagai telemarketing, aku masih merasa beruntung, karena diterima sebagai pramuniaga di bagian elektronik di Mall bergengsi ini. S
PART 14. Dekapan Mas iparPelukan Mas Harris kurasakan semakin erat. Hati kecilku mengingatkan, ini berdosa. Tetapi aku menikmatinya. Aku menikmati rengkuhan ini. Aku rindu seseorang mendekapku. Aku haus pelukan setelah dua tahun tidak lagi kurasakan."Kamu pasti mengalami masa berat selama ini." Ucapnya. Aku mengangguk. Dengan air mata yang masih terus berjatuhan. Jas hitam yang Mas Harris pakai basah oleh air mataku. Dua puluhan menit kami berdiri dalam posisi itu. Perlahan Mas Harris melepaskan dekapannya."Kenapa Mas melakukan ini?" Tanyaku. Mataku bergerak mengitari area matanya. Dia sudah tidak mengenakan masker kainnya. Entah kapan dia melepasnya."Aku merindukanmu." Sahutnya. Sama seperti yang kulakukan, kedua matanya juga menelanjangi wajahku. Rindu macam apa yang berada di balik ucapannya?"Mas tidak menyuruhku duduk?" Kataku mencairkan suasana. Pria itu tersenyum. Jantungku terasa berhenti berdetak. Senyumnya masih manis seperti dulu. Aku menghitung maju. Jika mereka selis