"Turunkan! Nggak sopan banget tau'!" Devan menurunkan tubuh Kanaya karena gadis itu memukuli punggungnya. Wajah gadis itu terlihat kesal. Namun justru itu membuat Devan senang. Ia memang suka sekali menggoda Kanaya. Sebenarnya bukan hanya karena ingin menjahili, tapi ia tidak ingin melihat wanitanya terlalu sibuk dengan perjahitan dan tidak memperhatikan kesehatannya. Ia tidak ingin Kanaya terlalu capek, karena ia lihat, Kanaya menguap beberapa kali dan terlihat juga melenturkan otot-ototnya yang kaku mungkin karena terlalu lama duduk di kursi. "Cepat mandi, bau sekali! Apa perlu aku yang memandikan?" "Enak saja!" Kanaya melepaskan tubuhnya dari Devan dan mencium aroma tubuhnya sendiri. Namun tidak bau sama sekali menurutnya, karena ia selalu memakai deodorant dan parfum yang membuatnya tetap segar walau seharian berkeringat. "Tidak bau." "Itu menurutmu. Tapi menurutku itu sangat bau!" Devan menutup hidungnya, "Sepertinya kamu ingin aku yang meman
Devan terbangun dan mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang diyakini sebagai ruangan rumah sakit. Ia merasakan kepalanya sakit dan menyentuhnya. Terdapat perban di kepalanya. Ia panik saat teringat ia baru saja mengalami kecelakaan atas keteledorannya. Ia melepas selang infus dan turun dari ranjang. Ia mencari keberadaan Kanaya. Ia khawatir terjadi hal buruk pada istrinya. Terlebih ialah yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi. "Di mana istriku? Ke mana kalian membawa istriku?" teriak Devan seperti orang kesetanan berlari ke sana ke mari. Ia sungguh tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika terjadi hal buruk pada Kanaya. Ia menerutuki kebodohannya sendiri yang terlalu panik dan mengambil alih kendali mobil di saat dirinya tidak bisa mengendalikan diri. "Sabar, Pak. Istri Bapak sedang ditangani oleh dokter. Silakan tunggu di sana," pinta seorang suster. Devan berada di depan ruang UGD. Tak berselang lama, pintu terbuka. Devan segera menghampiri do
"Maafkan kata-kataku, aku hanya tidak mau kamu kelelahan karena masih sakit. Jangan bersedih lagi. " Devan mengusap air mata Kanaya dan menenangkannya. "Aku keluar dulu. Tolong jaga Kanaya," ucapnya pada Resti dan Mili. Kedua gadis itu hanya mengangguk patuh. "Jangan khawatir, Ay, kamu pasti bisa menyelesaikannya tepat waktu. Nanti kita akan membantumu. Yang penting sekarang pikirkan dulu kesehatanmu," ujar Resti. "Benar, Aya, jangan sedih lagi, ya!" Mili memeluk Kanaya begitu pun Resti. "Ngomong-ngomong, ini tuh ruangan VVIP loh, kok suami kamu itu bisa memasukkanmu ke ruangan mahal begini ya, Ay," celetuk Mili. "Benar juga loh!" sahut Resti. Kanaya juga baru menyadari hal itu setelah Mili mengatakannya. Sejak bangun, ia tidak menyadari jika dirinya berada di ruangan kelas mahal di rumah sakit ini. Ia semakin bingung dengan laki-laki yang mengaku tukang ojek itu. *** "Aku benar-benar tidak lapar, kalian makan saja dulu." Kanaya menolak makanan yang
Devan duduk di samping Kanaya yang juga duduk di tempat tidurnya, menunggu kata yang akan keluar dari mulut wanitanya itu. "Terima kasih untuk semuanya. Aku tidak bisa membalas semua kebaikanmu. Dan juga, maafkan aku atas sikapku padamu tadi. Aku tidak berniat bersikap kasar. Aku hanya takut tidak bisa mengikuti acara itu," ujar Kanaya. "Aku tidak memintamu membalas semuanya. Cukup dengan melihatmu tidak bersedih dan kembali ceria lagi, itu sudah cukup bagiku." Devan memegang tangan Kanaya dan gadis itu menatapnya. "Semua yang berurusan denganmu adalah tanggung jawabku, jadi tidak perlu mengkhawatirkan apa pun." "Terima kasih sekali lagi, tapi ..., apa ini tidak terlalu berlebihan?" Devan menggeleng dan tersenyum, "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" "Ruangan ini, bukankah sangat mahal? Kenapa tidak menempatkanku di ruangan umum saja? Bagaimana dengan semua biaya rumah sakit nanti?" Devan baru sadar jika ia terlalu mencolok dengan menempat
"Hei! Nglamun terus, Bro!" Sebuah tepukan di bahu membuat Alex kaget. "Apaan sih, Jon! Bikin kaget orang aja!" Jono dan Joni tertawa melihat ekspresi Alex. Kedua kembar itu ikut duduk di samping Alex. Jarang-jarang mereka bisa duduk bertiga setelah Alex dekat dengan Cintia. Karena gadis itu selalu tidak ingin diganggu saat bersama Alex, termasuk kedua sahabat Alex. "Heh, tumben nggak dikintilin Cintia." Jono celingukan melihat kanan dan kiri, karena khawatir ada Cintia tiba-tiba. "Lo nggak nengokin Aya? Eh lupa, mana berani ya, 'kan? Nanti dimarahin lagi sama Cintia." "Nengokin Aya? Memangnya dia kenapa?" tanya Alex penasaran dengan ucapan teman baiknya. "Memangnya lo nggak tahu kalau Aya kecelakaan dan dirawat di rumah sakit?" Alex kaget dan menatap tajam Jono, "Aya berada di rumah sakit? Kenapa aku tidak tahu? Aku harus menjenguknya sekarang!" Alex bangkit dari tempat duduknya. "Nggak takut Cintia marah-marah lagi, lo Lex?" tanya Joni. "
Alex bercedih, "Aku tidak butuh ijin dari siapa pun. Lagi pula, aku yang lebih dulu mengenal Aya, bukan kamu. Jadi aku tidak butuh ijin dari siapa pun untuk berada di sini!" "Apa kamu begitu ingin menemui istri orang? Sepertinya jaman sekarang memang lebih banyak anak muda yang suka mengganggu rumah tangga orang," sinis Devan. "Tidak perlu menyamakan rumah tangga kalian dengan rumah tangga orang pada umumnya. Kalian hanya orang yang tidak saling kenal, berbeda denganku dan Aya. Kami sudah lama bersama. Lebih baik kamu saja yang pergi, aku yakin kamu tidak akan mampu membayar biaya rumah sakit ini. Dengan pekerjaanmu sebagai tukang ojek, harusnya kamu sadar, jika biaya ruangan ini sangat mahal. Tidak mungkin kamu membayarnya dengan uang recehan dari hasil ojekmu itu." Kanaya menggeleng mendengar ucapan Alex yang terkesan menyombongkan diri. Ia seperti tidak mengenali Alex lagi. Ia bukanlah Alex yang ia kenal dulu. Alex yang selalu rendah hati dan tidak sombong.
Degh! Bagaimana bisa? Bukankah kemarin baik-baik saja? Apakah ada orang yang sengaja melakukan itu pada bajunya? Tapi siapa? Kanaya terburu-buru pergi ke ruangan tempat baju miliknya. Ia tidak sempat melihat Devan yang juga mengikutinya. Tentu saja Devan akan menjadi orang pertama yang mencari tahu siapa yang sudah berani membuat istrinya kesulitan. Kanaya memegang potongan kain tenun troso yang berserakan di lantai. Itu adalah potongan kain dari baju yang sudah ia persiapkan. Ia menghela napas panjang. Kecewa? Tentu. Ia sudah menghabiskan waktunya berhari-hari agar bisa mendapatkan hasil yang ia inginkan. Tapi disaat ia sudah berhasil, semuanya seperti sia-sia. 'Siapa yang tega melakukan ini?' Devan melihat raut wajah Kanaya yang nampak sedih dan lemah. Ia merasa kasihan padanya. Ia tahu betul bagaimana Kanaya melakukan pekerjaan yang sangat melelahkan itu. 'Kur*ngajar! Siapa yang berani membuat istriku bersedih!' "Ya ampun, kok bisa, Pak? Kerjaan si
"Jadi benar, Mama memang ada di acara ini. Apa dia sudah berkenalan dengan menantunya?" Devan tertawa sendiri. Kanaya turun dari panggung dan berkenalan dengan beberapa tamu yang hadir. Diantaranya adalah beberapa designer yang sudah ia ketahui akan hadir di sana. "Sangat cantik saat dilihat lebih dekat," ucap seorang laki-laki yang hadir. Kanaya hanya tersenyum ramah dan sopan. Namun saat laki-laki itu menyentuh bahunya, Kanaya menepisnya dengan kasar. "Tolong jaga sikap anda! Saya akan sopan jika anda sopan!" tegas Kanaya. Sontak beberapa orang menatap Kanaya. Laki-laki itu merasa malu dengan bentakan Kanaya. Namun beberapa orang justru suka dengan sikap tegas dan berani dari gadis itu. Bagitu pun Bu Herlin yang tersenyum dan mendekatinya. 'Gadis yang tegas.' Kanaya meminta maaf kepada pengunjung lain yang merasa terganggu. "Sangat bagus! Seorang gadis memang harus bertindak tegas meski terlihat sepele." Bu Herlin mengulurkan tangannya. "Bu He