"Ini baju almarhum ayahku dan Anda bisa tidur di kamar Ayah, itu disana." Aya memberikan baju ganti kepada Devan dan juga menunjukkan kamar sang ayah untuk tidur.
"Terima kasih, dan maaf jika aku terpaksa menikahimu. Aku tidak ingin kamu dibawa ke kantor polisi gara-gara aku."
"Tidak apa-apa, lagi pula semua sudah terjadi. Dan ini bukan sepenuhnya salah Anda. Saya hanya tidak percaya tiba-tiba bisa menikah." Kanaya tersenyum kecut.
"Bisakah kita menggunakan bahasa santai saja, jangan 'Saya' dan 'Anda'.""Maaf, tapi kita memang tidak saling mengenal, bukan? Tapi ya sudahlah mari kenalan, namaku Kanaya dan sering dipanggil Aya." Kanaya mengulurkan tangannya.
"Ya, dan bahkan aku sudah menyebutkan namamu dalam ijab qabul tadi," kekeh Devan. "Namaku Devandra, panggil saja Devan." Mereka saling berjabat tangan.
"Lucu sekali ya kita, sudah menikah baru kenalan," ucap Kanaya tertawa. "Jika kau keberatan berada di sini, atau merasa tertekan dengan pernikahan ini, kita bisa membatalkannya, lagian kita belum terdaftar di KUA."
"Lalu bagaimana denganmu? Bukankah itu akan membuatmu digunjing warga di sini?"
"Aah, entahlah!" Aya merebahkan tubuhnya di sandaran kursi. "Aku sama sekali tidak terpikirkan untuk menikah. Aku baru menginjak dua puluh satu tahun dan masih kuliah. Apa kata teman-temanku jika tahu aku sudah menikah?"
"Kamu tenang saja, kita bisa menyembunyikan pernikahan ini pada teman-temanmu," ujar Devan.
"Oke! Ya sudahlah aku mau tidur, besok aku ada kelas. Tolong nanti tutup dan kunci pintunya!" Aya meninggalkan Devan yang masih duduk di kursi tamu.
Sesampainya di kamar, Kanaya terduduk di sudut ranjang dan termenung memikirkan nasibnya. Dia berada di situasi yang sulit. "Apa yang akan aku katakan pada teman-temanku, terutama pada Alex, jika ia tahu tentang pernikahan ini?" lirihnya.
Alex adalah lelaki yang sedang dekat dengannya. Dia laki-laki baik yang menyayangi Kanaya. Bahkan saat ayahnya meninggal, Alexlah yang banyak menghiburnya.
Kini, Ia tidak tahu harus menjelaskan apa pada Alex tentang pernikahan grebekan ini. Ia takut Alex tidak percaya padanya. Meski selama ini Kanaya belum menerima Alex, tetapi ia sadar jika hatinya menyukai Alex.
Kanaya dan Alex memang sudah dekat sejak lama, tapi Kanaya belum juga memberikan jawaban atas pernyataan cinta Alex. Dan meski mereka sedang dekat, Kanaya tidak pernah mau jika Alex mengantarkannya ketika pulang, karena takut dianggap buruk oleh tetangganya. Tetangganya selalu menganggap Kanaya seperti ibunya, yang mudah dibawa laki-laki kaya.
Apa lagi sang ayah selalu berpesan agar dirinya tidak pacaran, karena jodohnya akan datang dengan sendiri. "Ingat, Aya! Fokuslah belajar agar mendapatkan nilai yang bagus, agar tidak direndahkan orang. Jangan pacar-pacaran! Kelak jodohmu akan datang dengan sendirinya," begitulah ucapan pak Ali kepada Kanaya kala itu.
Dulu saat pak Ali Hasan ayahnya masih hidup, ia selalu diantar jemput oleh sang ayah. Namun setelah kepergian sang ayah, Kanaya berangkat kuliah menggunakan jasa tukang ojek ataupun angkutan.
Kalau saja kemarin dia mau diantar oleh Alex, pasti dia tidak harus kehujanan dan berteduh di pos ronda yang menyebabkan ia digrebek bersama Devan. Namun apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur.
"Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku menutupi pernikahan ini? Tapi sampai kapan? Kalau aku mengakhiri pernikahan ini, apa kata orang-orang nanti." Kanaya menatap foto sang ayah yang berada di samping tempat tidurnya. Dia begitu merindukan sosok sang ayah untuk saat ini.
"Ayah, tolong aku, Yah. Apa yang harus aku lakukan? Aku masih ingin menjadi anak Ayah, aku benar benar merasa sendiri tanpa Ayah. Kenapa Ayah tidak mau menjawabku?" Gadis itu meneteskan air mata setiap menatap foto sang ayah.
Ia telah melalui banyak hal bersama sang ayah. Sejak kecil ia hanya hidup berdua dengan ayahnya, saat ibu yang seharusnya menjaga, malah pergi meninggalkan dirinya dan sang ayah, hanya karena ayahnya tidak mampu memberikan banyak uang padanya.
Selama ini, hanya ayahnyalah yang menemani dirinya. Banyak kenangan indah yang tidak bisa dilupakan begitu saja.
Ayahnya telah berjuang sekuat tenaga untuk menyekolahkan dan membiayai seluruh hidupnya. Kini, Kanaya merasa sepi saat pelindungnya telah tiada. Dia selalu merasakan kerinduan dan kesedihan. Meski gadis itu tidak pernah sekalipun menampakkan kesedihan dalam dirinya, karena ia memang selalu tampak ceria, dan pandai menutupi kesedihannya. Ia berusaha kuat untuk dirinya sendiri.
***
Kokok ayam membangunkan insan yang masih terlelap. Perlahan-lahan, Kanaya bangun dari tidur dan menuju ke kamar mandi dengan handuk di pundaknya. Namun ia lupa kalau di rumahnya ada orang lain. Karena baru bangun, ia lupa jika ia telah menjadi seorang istri tadi malam.
Dengan masih menguap dan sedikit membuka mata, Kanaya membuka kamar mandi lalu menutupnya. Namun ia kaget saat mendengar seseorang sedang menyiram air. Sontak ia membelalakkan matanya saat ia melihat laki-laki yang bertelanjang dada dengan memakai celana kolor sambil mengguyur air ke tubuh.
"Haaaah!" teriak Kanaya yang membuat kaget Devan. Ia menoleh dan melihat Kanaya berada di dalam kamar mandi bersamanya. Kanaya yang hendak keluar, malah terpeleset. Devan menangkap tubuh ramping itu meski tubuhnya masih basah akibat siraman air saat ia mandi.
Kamar mandi yang sempit itu menjadi hening. Mereka saling menatap untuk beberapa saat. Degub jantung berpacu seiring dengan tetesan air dari tubuh Devan. "Maaf!" Devan melepaskan tubuh Kanaya dan Kanaya pun segera keluar dari kamar mandi. Ia baru ingat kalau ada Devan sekarang di dalam rumahnya.
Kanaya menghembuskan napas kasar seraya berusaha menetralkan detak jantungnya, "Aduh!" Kanaya menepuk jidatnya. "Kenapa aku bisa lupa kalau ada pria itu di sini? Lagian rajin amat pagi-pagi sudah di kamar mandi saja! Benar-benar sudah tidak aman, di rumah sendiri tapi was-was, " gumamnya kesal.
Tiba-tiba kamar mandi dibuka dari dalam dan Devan memunculkan kepalanya. "Apa aku boleh meminjam handuk?"
Aya membelalakkan matanya, ia lupa belum mencarikan handuk untuk Devan. Terpaksa ia memberikan handuk kesayangannya yang berwarna merah muda. Devan menerima handuk itu. Setelah beberapa menit, Devan keluar dengan pakaian lengkap. Ia juga membawa kembali handuk Kanaya.
Kanaya mencari handuk lain dan bergegas mandi setelah itu."Silakan, hanya ada ini di rumah!" Aya memberikan piring berisi nasi goreng buatannya kepada Devan dan berusaha melupakan kejadian di kamar mandi.
Devan menerima piring berisi nasi goreng buatan Kanaya lalu memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya, "Lumayan enak," gumamnya.
"Kenapa?"
"Masakanmu enak juga, apa kamu terbiasa memasak sendiri?" Tanya Devan sambil memasukkan nasi goreng lagi ke dalam mulutnya.
"Ya, siapa lagi yang memasak kalau bukan aku sendiri?" Devan hanya tersenyum dengan jawaban Kanaya.
"Apa kamu akan berangkat kuliah?"
"Hmm," jawab Kanaya.
"Bareng aku saja sekalian aku mau ngojek," ajak Devan.
"Tidak usah, aku biasa pergi sendiri," tolak Kanaya.
"Tapi akan terlihat aneh oleh tetanggamu jika kita pergi sendiri-sendiri."
Kanaya terlihat memikirkan ucapan Devan. Lebih baik dia ikut bareng saja dengan Devan. Lumayan untuk memghemat uang bensin. Semalam ia mendengar jika laki-laki itu adalah seorang tukang ojek, saat ditanya pamannya. "Baiklah, tapi tidak perlu sampai kampus juga!"
"Iya, aku mengerti. Ini ambillah!" Devan mengeluarkan uang pecahan seratus ribu sebanyak sepuluh lembar."Uang sebanyak ini untuk apa?"
"Anggap saja itu uang saku untukmu, bukankah sekarang ini aku suamimu? Sudah kewajibanku memberikan uang padamu."
"Apa?! Apa kau menganggap serius pernikahan ini? Tidak tidak! Aku tidak mau mengambil uangmu!" bentak Kanaya. Tentu ia tidak mau menerima uang itu. Ia khawatir jika laki-laki yang sudah menikahinya itu minta yang aneh-aneh.Apa lagi saat mengingat kejadian di kamar mandi tadi. Ia masih ingat saat tatapan Devan seperti orang yang ingin melahapnya. Tubuh kekar yang menangkap tubuhnya, bagaimana jika tadi ia tidak bisa keluar dari kamar mandi. Membayangkannya saja, Kanaya merasa ngeri.
Ia pernah menonton sebuah film tentang seorang laki-laki yang memberikan uang pada perempuan lalu meminta balasan berupa tidur bersama. Ia tidak ingin jika itu terjadi, karena ia masih ingin menggapai mimpinya. Meski ia tahu mereka sudah menikah, tapi mereka tidak saling mengenal. Lagi pula ia heran tukang ojek bisa punya uang sebanyak itu.
"Baiklah kalau kamu tidak mau, nanti kubelikan sembako saja untuk persediaanku selama di sini." Devan memasukkan kembali uang itu ke dalam dompetnya.
Saat subuh tadi, ia melihat kondisi dapur Kanaya sebelum gadis itu bangun. Ia membuka kulkas dan tidak ada apa-apa di dalamnya. Begitu pun dengan lemari yang berada di samping kulkas. Hanya ada beras yang tinggal sejumput dan mie instan dua biji.Dia tidak melihat apa pun lagi di sana. Hanya ada nasi sisa yang mungkin dimasak Kanaya pagi ini. Itu pun tidak menggunakan telur dan yang lainnya.
"Ya, terserah!"
Kanaya memang tidak pernah memusingkan tentang makanan, karena ia bisa makan apapun. Tapi "apapun" ini tetap makanan ya, bukan yang lain.
Selama ini, ia menjahit di rumahnya dengan jahit milik almarhum ayahnya. Ia sudah menguasai banyak pola jahitan dan sudah banyak yang datang ke rumahnya. Terlebih para pelanggan ayahnya yang kini beralih menjadi pelanggannya. Dan dari hasil menjahit inilah, ia bisa menyambung hidup dan juga untuk biaya kuliahnya.
-----------------Kanaya turun dari motor Devan yang berhenti di depan kampus. Untung tidak ada yang melihat dirinya. Padahal tadi ia sudah berpesan agar menurunkan di tempat yang agak jauh, tapi Devan malah menurunkannya di depan kampus.
Dengan kesal Kanaya berlari kecil memasuki kampus, tanpa menghiraukan Devan.
Brukk!
"Aduh!" Kanaya terjatuh karena menabrak seseorang.
Tujuh bulan kemudian. Di rumah sakit, Kanaya baru saja dipindahkan ke ruang rawat setelah menjalani proses operasi caesar. Sebelumnya, ia ingin menjalani persalinan normal. Namun, dokter tidak memperbolehkan karena kondisi Kanaya yang mulai lemah saat mendekati persalinan. Akhirnya operasi caesar pun dilakukan."Terima kasih, Sayang, terima kasih sudah berjuang untuk mereka. Terima kasih karena sudah menjadi ibu untuk anak-anak kita. Terima kasih karena kamu menjadi istriku." Devan mengecup pucuk kepala istrinya dengan lembut dan senyum manisnya. Tangannya masih setia menggenggam tangan sang istri.Sepasang bayi kembar didorong di box bayi dan seluruh keluarga menunggu dengan penuh kebahagiaan. Devan senantiasa berada di samping sang istri yang tampak masih lelah."Silakan diadzani dulu bayinya, Pak." Dua orang perawat menyerahkan bayi kembar itu kepada Devan.Devan pun melepaskan tangan Kanaya setelah menerima bayi itu, lalu mulai mengadzaninya satu per satu. Hatinya tak kuasa menah
"Aya! Kamu kenapa, Sayang?" Bu Herlin menghampiri Kanaya yang berada di kamar mandi dapur. Menantunya itul tampak lemas dan pucat. "Bi, bantu bawa Aya ke kamarnya."Dengan bantuan Bi Karti, Bu Herlin membawa menantunya ke kamar. Sampai di sana, dia semakin terkejut melihat Devan yang juga tampak lemas dan tiduran di ranjang. "Istriku kenapa, Ma?" Dengan tubuh yang lemas, Devan mendekati istrinya yang kini dibaringkan di sampingnya. "Kamu kenapa, Sayang?Kanaya memegang perutnya, sementara Bu Herlin memijat kepala menantunya itu. "Aya muntah di kamar mandi," jawab Bu Herlin. "Kamu sakit juga, Dev?" "Kepalaku pusing, Ma, tapi aku lebih khawatir sama Aya. Biar kutelepon Aldo agar memeriksanya." Devan mengambil ponsel dan melakukan panggilan pada Aldo. "Apa? Lalu kamu tidak bisa ke sini? Ya sudah, tolong suruh Dokter Maria kemari untuk memeriksa istriku.""Gimana, Dev?""Aldo sedang mengurusi istrinya yang juga sakit, Ma. Sama seperti Aya, Resti juga muntah-muntah parah dan harus dirawa
Hari ini Kanaya akan menghadiri pernikahan Tini, setelah mendapatkan undangan yang diberikan Resti dua hari yang lalu. Kanaya sudah bersiap dan sedang menunggu Resti dan Mili. Tak lama kemudian, kedua sahabatnya itu datang bersama pasangannya masing-masing.Setelah ijab kabul yang dilaksanakan berbarengan dengan Mili, Resti akan ikut suaminya ke Jakarta, begitupun Mili yang akan ikut di mana suaminya tinggal. Namun, sebelum itu mereka akan menghabiskan beberapa hari lagi untuk menikmati suasana di kampung mereka. Seperti hari ini, ketiga pasangan itu sudah berada di salah satu gedung yang sedang diadakannya pesta pernikahan Tini dan Pak Iyan, dosen Kanaya dulu. Mereka tidak menyangka jika Pak Iyan yang sikapnya kadang lemah lembut seperti perempuan itu akhirnya menikah. Dan yang tidak disangka juga, Tini, yang dulu selalu mengutamakan ketampanan untuk menjadi pasangannya, kini menjatuhkan pilihan pada Pak Iyan."Hai, Aya, Mas Ganteng, selamat datang!" sapa Tini, setelah melihat kedat
Kanaya dan Devan mengajak semua tamunya untuk masuk. Mereka duduk bersantai di belakang rumah, yang mana ada dua gazebo yang baru saja dipesan oleh Devan dari meubel Pak Karman. Tempatnya yang rindang, membuat mereka betah berlama-lama di sana. Terlebih ada banyak mangga yang sudah tua dan ada yang sudah masak dari pohonnya. Kemarin setelah menghabiskan waktu di gazebo yang disediakan warga, Devan mempunyai inisiatif untuk membuat gazebo juga di belakang rumah sang istri. Kapan-kapan ia akan mengajak seluruh keluarganya untuk ke sini, sambil membuat tenda dan bermalam di belakang rumah. Sudah lama sekali tidak melakukan kegiatan seperti itu. Tidak masalah meski harus kemah di belakang rumah karena suasananya sudah seperti di hutan, banyak pohon yang rindang. "Ayo ambil lagi! Itu yang atas ada yang sudah masak, My Sweety. Aku mau yang di atas yang warnanya sudah kuning." Mili berteriak pada sang kekasih yang kini naik ke atas pohon mangga. Andre mengambil beberapa mangga muda serta
"Aku hanya bercanda, Sayang. Aku tahu tidak akan ada yang bisa menandingi pesonaku," kata Devan dengan percaya dirinya."Jadi, kamu mau memberinya pekerjaan?""Iya. Nanti akan kuminta Andre untuk menanyakan posisi yang masih membutuhkan karyawan di kantor cabang yang ada di sini." Kanaya pun tersenyum bahagia.Mereka menikmati jajanan yang tadi dibawanya, ditemani angin sepoi-sepoi dan lucunya Mira yang sesekali merebut makanan Kanaya."Kali ini biar aku yang menggendongnya. Setelah ini kita langsung istirahat," tegas Devan saat melihat istrinya lelah. Dengan membawa payung, Devan menggendong Mira dan menggandeng istrinya. Sungguh pemandangan yang membuat banyak orang merasa iri pada Kanaya. Memiliki suami yang tampan dan juga kaya, serta perhatian dan penuh kasih."Waduh, jadi ngerepotin Nak Devan. Sini Mira, sama Nenek." Bu Sumi langsung menyambut Mira yang berada di gendongan Devan dan Devan pun menyerahkan balita itu setelah sampai di rumah Bu Sumi."Nggak ngerepotin kok, Bu," sa
Cintia menatap Devan, yang membuat laki-laki juga menoleh. "Aku minta maaf karena membuatmu digerebek warga. Aku juga minta maaf atas kesalahan yang telah kulakukan pada Aya selama ini."Cintia menangkupkan kedua tangannya, membuat Kanaya memegang tangan itu. "Suamiku sudah memaafkanmu, iya, kan, Honey?" Kanaya lagi-lagi tersenyum, Devan hanya mengangguk."Papa, ayo kita pulang!" Anak kecil berusia dua tahun itu menarik lengan papanya."Iya, Sayang. Sebentar, ya.""Hai, anak manis, siapa namamu?" Kanaya menanyai anaknya Alex."Namaku Altaf, Tante," jawabnya dengan lancar. Meski baru dua tahun, anak itu sudah pandai berbicara dengan lancarnya. Hal itu membuat Kanaya senang karena dia memang sangat menyukai anak kecil."Oh ya, Altaf, Tante ada jajanan, kamu mau nggak?" Kanaya mengambil plastik berisi jajanan miliknya, memberikan pada Altaf.Anak kecil itu memilih-milih dan akhirnya mengambil klepon."Terima kasih, Tante.""Sama-sama, Sayang." Kanaya tersenyum ramah dan mengusap kepala A