"Damkar?" Wafa memanggil Bakar lagi. Lelaki itu kembali masuk ke ruang perawatan. Dia berdiri di depan pintu. "Ya, Bos?" bisiknya. Wafa menoleh. "Ingat nggak dimana ketemu Nadia?" Bakar menggeleng. "Kecuali saat wawancara," katanya. "Darimana kamu dapatkan CV nya?" "Anggita," jawab Bakar singkat. Wafa diam, mengangguk pelan lalu memintanya menanyakan pada si sekretarisnya, Anggita. Apakah mengenal Nadia secara pribadi atau direkomendasikan oleh seseorang. Dia juga berpesan pada Bakar agar menelusuri semua orang yang memiliki hubungan kerja atau bersinggungan secara intens dengan Qalesya. Bakar mengerti maksud Wafa. Dia pun pamit keluar dengan wajah serius. Langkahnya tegap, meninggalkan Ria di lorong rumah sakit. Suasana kamar rawat malam itu masih temaram. Mesin infus menetes perlahan, sementara Qale tidur dengan wajah pucat, bibirnya kering. Wafa duduk di sisi ranjang, tangannya tak pernah lepas menggenggam jemari istrinya. Ia menatap wajah Qale lama sekali. “Ke
Suasana toko Anak Lipat masih riuh ketika Hasan akhirnya memberanikan diri menghampiri meja kasir. Tatapannya sempat jatuh ke arah Nadia yang duduk manis di pojok ruangan. Senyum tipis gadis itu seolah bukan sekadar ramah, tapi penuh arti—seakan memperingatkan, “Jangan macam-macam, Om. Aku tahu apa yang kulakukan.”"H-hai." Hasan membalas Nadia.Ria semringah dari meja kasir. "Halo, Om. Duduk dulu, aku panggilkan Kak Qale," katanya masih tersenyum lebar.Hasan mengangguk. "Ok, makasih," balasnya, duduk di kursi sudut kasir.Qalesya muncul, langsung menghampiri ayahnya. Disusul Wafa yang menyalami sang mertua. "Ayah sakit?" ucap Qale kuatir meliat wajah pucat Hasan.Hasan menggeleng pelan. “Lesa…” suaranya terdengar serak. Ia menatap putrinya dengan mata berkaca. “Kamu baik-baik saja?”Qale sempat bingung. “Baik. Kenapa?” jawabnya, mencoba tersenyum meski ada keraguan.Hasan mendekat, suaranya makin pelan. “Hati-hati, Nak. Pandailah jaga diri. Kadang … orang terdekat justru bisa jadi
Pagi itu, langit Jakarta cerah, tapi hiruk-pikuk di ruang konferensi UMKM terasa lebih panas daripada teriknya matahari. Qalesya melangkah masuk, tas kecil di pundak, wajahnya tersenyum ringan namun tegang di baliknya.Di sampingnya, kursi roda Wafa berjalan tenang, pakaian rapi dan sikap elegan membuat semua mata tak bisa lepas dari sosoknya. Saat mereka memasuki ruangan, beberapa wartawan mulai mengangkat kamera, memotret setiap langkah Qale, tapi sorot mata tetap tertuju pada Wafa.“Selamat pagi, Pak Wafa, Mbak Qalesya,” sapa seorang panitia. “Kami senang Anda ikut hadir.”Wafa membalas dengan senyum tipis. “Pagi. Titip istriku selama press conference, ya”Seketika, beberapa wartawan berbisik, lalu mengangkat kamera lebih tinggi. Telepon genggam mulai merekam. Beberapa reporter menuliskan catatan : “Siapa Qalesya? Ada hubungan apa dengan pewaris keluarga Ambrasta?”Di sisi lain, seorang wanita elegan muncul, menatap Wafa dengan heran. “Fa?” panggilnya. Wajahnya datar tapi mata meng
"Damkar," sebut Wafa setelah gadis itu menjauh."Ya?" Wafa menunjuk ke arah pintu keluar. "Tadi, aku ketemu dimana, ya?" katanya bingung.Bakar melihat wajah gadis itu di CV, dia meneliti tapi memorinya tidak mengingat apapun. "Entah. Emang mukanya agak pasaran, sih, bos. Mungkin kumpulan Rohingya," jawabnya.Wafa mendelik, sementara Bakar merapikan file gadis tadi. "Rohingya?""Rombongan healing banyak gaya," balas Bakar sambil tertawa. Wafa yang biasanya tak terpancing, ikut tertawa kecil dan menepuk Bakar menggunakan map di hadapannya.Sebelum pergi, Wafa menanyakan soal renovasi toko sang istri. Dia berencana mampir ke sana.Renovasi kecil di toko Anak Lipat rampung. Bagian depan yang dulunya sederhana kini tampak segar. Dua meja kayu berukuran mungil berjejer di sisi kanan, dilengkapi kursi rotan bercat putih. Pot tanaman hijau ditata di sudut-sudut, memberi kesan teduh. Dinding yang sebelumnya kusam kini dilapisi cat pastel, dengan etalase kaca baru yang memajang produk UMKM Q
Tatapan Lea menusuk seperti belati. Bibirnya melengkung sinis, kata-katanya meluncur tanpa ampun.“Tukang pamer! Kamu nggak pantas hamil.”Winda terperangah, tak percaya anak yang dibanggakan besannya bisa mengucap doa keburukan seperti itu.“Lea!” suaranya tegas, penuh kekecewaan. “Apa pantas seorang kakak berkata begitu pada adik sendiri? Kamu bukan Tuhan." Winda menunjuk wajah Lea.Qale diam, kedua tangannya bertaut di atas meja. Wafa menepuk pahanya pelan, matanya redup menahan amarah. Winda lalu beralih berdiri di belakang Qale.“Jangan dengar kata-katanya, Nak,” bisik Winda menenangkan.Tatapan penuh kasih itu membuat hati Qale sedikit luluh. Untuk pertama kalinya, ia merasa Winda benar-benar seperti sang mama, membelanya."Apa kabarmu, Kak?" tanya Qale lembut, seperti biasanya."Basa basi, mau apa ke sini?" sambar Lea, masih arogan. "Cuma jenguk, syukur kalau sehat. Jaga diri, jangan sampe panen di sini, nggak ada ayah yang belain," kata Qale berdiri. Walau bagaimanapun, dia
Qalesya menggeleng pelan, tersenyum tipis. "Nggak apa-apa," jawabnya singkat.Wafa tau ada sesuatu yang dipikirkan oleh istrinya. Tapi dia menghargai Qale, tak ingin mengungkit jika bukan keinginan sendiri. Keduanya lantas pulang setelah memastikan semua barang dan perlengkapan Anak Lipat sudah dikemas rapi.Dua orang pekerja yang bertugas mengangkut semua itu pun sedang menuju parkiran yang sama dengan mereka.30 menit berlalu, mereka tiba di kediaman Winda. Wajah Qale menegang kala melihat betapa luas rumah ini. Mulai fasad depan sampai gaya bangunan itu sendiri.Rumah bercat putih, kokoh berdiri di antara pepohonan rimbun di halaman depan. Tampak gazebo di sudut pelataran, dengan kolam ikan di bawahnya. Luasnya mungkin 2 kali lipat dengan rumah klasik keluarga ibunya di Kampung. Qalesya merasa kerdil. "Qaleeeeee," sapa Winda riang berlari kecil menyongsong mobil Wafa. Dia membuka pintunya, menyilakan sang menantu turun. "Ayo, masuk," katanya semringah."I-iya," gagapnya pasrah.D