Asih berjalan menghampiri Wini. "Jadi sejak tadi kamu sengaja mengawasiku?" cetus Asih menjatuhkan tatapan kesal pada Wini.
Wanita dengan bibir penceng itu hanya terdiam dengan membalas tatapan takut pada Asih.
Asih mendengus barat, ia terlihat lega. "Untung saja kamu struk dan tidak bisa bicara. Karena kalau saja kamu mengadu sama Mas Tejo, aku tidak akan tinggal diam. Camkan itu!" ancam Asih dengan nada penuh penekanan.
"Asih, ada apa?"
Tejo tiba-tiba muncul dari ruang tamu. "Loh, kenapa pas bunganya pecah?" seloroh Tejo melihat pecahan pas bunga di bawah kursi roda Wini.
"Aku nggak tahu, Mas, tadi aku dengar ada suara benda pecah jadi aku ke sini untuk melihatnya. Eh, ternyata pas bunga Mas Tejo yang pecah," adu Asih.
"Kamu yang mecahin pas bungaku ya, Win?" seloroh Tejo memberikan penekanan pada ucapannya. Sorot matanya nampak kesal melihat pada Wini.
Wini membalas tatapan Tejo. Lagi, Ia hanya memasang wajah datar kepa
"Bukalah bajumu!" titah Mbah Datuk pada Asih yang terduduk pada bibir ranjang yang terbuat dari bambu yang dilapisi oleh tikar yang terbuat dari daun pandan."Semua, Mbah?" tanya Asih dengan wajah takut."Iya, semuanya, Neng!" sahut lelaki tua itu terlihat sudah tidak sabar.Perlahan Asih membuka satu persatu kancing baju yang ia kenakan. Kini terlihat dua gunung yang sangat menantang khas anak gadis yang belum pernah sekali disusui.Gairah Mbah Datuk semakin menggelegak. Melihat gunungan putih mulus Asih yang semakin menantang untuk di rem*snya."Neng, celananya dibuka semua, ya!" titah Mbah Datuk, lelaki itu berpura-pura untuk setenang mungkin. Ia pun ikut melucuti baju yang ia kenakan hingga menyisakan celana pendek yang masih tertinggal.Kini Asih sudah menganggalkan semua benang yang menutupi tubuhnya. Kemudian ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang dengan kak
Pernikahan megah juragan kelapa dengan Asih akhirnya dilaksanakan. Gadis muda itu sama sekali tidak percaya dengan ucapan ibunya jika kekayaan juragan Tejo adalah hasil dari sebuah pesugihan. Ribuan tamu undangan datang memenuhi gedung besar yang telah Tejo sewa untuk menggelar pernikahan keduanya.Pukul jam 11 malam acara megah itu baru selesai. Beberapa tamu undangan sudah kembali pulang. Begitu juga dengan Tejo dan Lastri yang kini sudah berada di dalam kamar pengantin. Taburan bunga mawar merah memenuhi ranjang besar yang berada di lantai atas rumah Tejo. Aroma yang khas menyeruak memenuhi sudut ruangan.Lelaki yang bertelanjang dada itu sudah bersiap-siap berada di atas ranjang untuk melakukan pertempuran besar. Ia menyadarkan tubuhnya pada ujung ranjang melihat ke arah Asih yang baru keluar dari dalam kamar mandi."Ayolah Asih!" seru Tejo dengan tatapan tidak sabar. Melihat tubuh sintal Asih semakin membuat nafsu T
Lelaki itu beranjak pergi setelah berdecak kesal pada Asih yang membangkang. Sejenak Asih mematung melihat Tejo yang semakin aneh. Baru kemarin pesta pernikahan mereka digelar. Tapi lelaki itu sudah benar-benar berubah."Jadi apa?" Asih terlihat berpikir. "Jadi onde-onde, bergitu!" imbuhnya dengan terkekeh. Menertawakan ucapan suaminya yang sudah pergi.Asih membersihkan setiap ruangan yang berada di rumah Tejo. Mulai dari lantai atas hingga lantai bawah. Hanya satu ruangan yang berada di rumah bawah yang belum terjamah oleh Asih. Kamar yang berada di samping kamar Wini."Memangnya di dalam kamar ini ada apa, sih?" gerutu Asih dengan wajah berpikir. "Kenapa tidak boleh di buka sama sekali!" Wajah Asih berpikir sesaat.Sesuatu seperti menarik diri Asih untuk mencari tahu apa yang ada di dalam kamar itu. Asih meletakan satu tangannya pada gagang pintu dan siap untuk membukanya."Ja
Hos! Hos! Hos!Nafas Asih hampir terputus. Sejenak ia terdiam dengan wajah yang masih terlihat sangat ketakutan. Peluh membasahi wajah Asih yang menegang.Wanita yang duduk di kursi roda itu menjatuhkan tatapan intens kepada Asih."Ka-kamu baik-baik saja?" tanya Wini dengan suara terbata.Asih tidak bergeming, sesaat ia melihat pada pintu kamar kosong yang sudah tertutup kembali. Kemudian mengalihkan tatapannya kepada Wini.Perlahan Asih bangkit, mengacuhkan Wini. Wanita itu berjalan menaiki anak tangga dengan satu tangan yang memegangi bagian pinggangnya yang serasa hampir mau patah."Sial, rumah ini memang benar-benar angker. Tapi siapa wanita yang berbeda di dalam lukisan itu," pikir Asih mencoba menerawang.Wanita itu berjalan terseok-seok masuk ke dalam kamarnya. Lalu membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Sesaat Asih menghela nafas panjang untuk meregangkan persendiannya yang hampir patah."Jika aku tau kamar itu adalah k
Cahaya sinar matahari begitu lembut masuk melalui celah-celah jendela kamar Asih. Sinarnya yang terasa begitu hangat menyapu pori-pori kulit wanita yang meringkuk di samping pintu kamar. Perlahan Asih membuka netranya, bangkit dengan tangan yang memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Sepertinya sebuah benda keras sudah menghantam kepalanya semalam, membuat Asih tidak sadarkan diri."Aduh ...!" lirih Asih berjalan terseok-seok menuju rajang. Lalu membaringkan tubuhnya di atas pembaringan.Beberapa saat Asih memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Netranya masih terpejam, namun benaknya mencoba untuk mengingat-ingat kejadian semalam yang ia alami. Asih melirik pada jendela kaca yang berada di samping ranjang. Tidak ada apapun, semuanya aman. Tirai yang semalam berterbangan oleh angin kencang juga masih rapi pada tempatnya.Asih mendengus berat, "Apa ya semalam itu, kenapa sama persis dengan yang terjadi di kamar koso
Sudah beberapa hari semenjak kejadian malam itu, Asih tidak pernah lagi melihat Wini di rumah Tejo. Wanita lumpuh yang kerap kali bersantai di depan layar televisi itu tiba-tiba menghilang dan tidak pernah muncul lagi. Bahkan, di tempat-tempat favorit Wini pun, wanita itu tidak pernah muncul lagi."Aku akan pergi malam ini, jaga rumah baik-baik!" tutur Tejo sekilas melihat pada Asih yang sedang sibuk menyuapkan makanan ke dalam mulutnya."Iya Mas," balas Asih mengangguk lembut. "Oh, iya Mas, sepertinya sudah beberapa hari ini aku tidak melihat Mbak Wini. Kemana ya, Mas, dia?" seloroh Asih menatap lekat pada Tejo yang terlihat begitu santai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya."Iya, beberapa hari yang lalu aku membawa Wini berobat dan kata dokter Wini harus ditinggal di sana untuk mempercepat proses kesembuhannya," tutur Tejo."Berobat? Di mana, Mas?" celetuk Asih."Jauh dari sin
Wini sudah mengemasi semua baju-baju miliknya ke dalam koper. Ia sudah menghubungi seseorang untuk menjemputnya tanpa sepengetahuan Tejo. Ini adalah kesempatan Wini meninggalkan rumah Tejo saat Tejo sedang tidak ada di rumah.Malam semakin merangkak naik. Asih sudah mengurung dirinya di kamar sejak tadi sore. Karena hujan turun cukup deras sepanjang hari. Sungguh ini adalah waktu yang tepat sekali untuk Wini kabur. Wini menarik kopernya menuju pintu kamar. Langkah Wini terkejut saat melihat Tejo tiba-tiba muncul di balik pintu kamarnya yang terbuka.Wajah Wini mendadak pucat. Tejo menampakan seringainya di depan Wini, berjalan masuk ke dalam kamar."Mas!" lirih Wini, bibirnya bergetar ketakutan. Wini menarik beberapa langkah kakinya ke belakang."Aku tahu, kamu akan menjadi benalu di rumah ini, Win!" sergah Tejo, tersenyum sinis.Tubuh Wini bergetar hebat, dadanya bergemuruh. Tan
Tejo sudah kembali, Asih menatap lelaki berkumis tebal itu berjalan melewatinya. Wajahnya terlihat kesal, menghempaskan tubuhnya duduk pada bangku yang berada di depan ruangan televisi cukup kasar."Ada apa, Mas?" tanya Asih."Tidak ada apa-apa," balas Tejo datar. Wajahnya terlihat berpikir keras. Satu tangannya memijat keningnya beberapa kali.Tok! Tok!"Tuan!""Ada apa?" tanya Tejo menatap pada lelaki yang berdiri di ambang pintu dengan wajah takut. Kedua tangannya meremas ujung baju yang ia kenakan."Itu Tuan, para pelanggan komplain," tutur lekaki itu dengan wajah takut."Complain kenapa?" cetus Tejo. Wajahnya perlahan memerah."Kelapa yang kita kirim busuk semua, Tuan!""Apa? Bagaimana bisa!" Tejo menaikan nada suaranya. "Memangnya sebelum dikirim kalian tidak memeriksanya dulu!" decih Tejo,