Home / Horor / PETI KE-13 / Gangguan

Share

Gangguan

Author: Suchwita
last update Last Updated: 2025-06-23 12:26:40

Setelah beberapa menit dalam keheningan yang menggigit, Reza merangkak perlahan keluar dari dapur. Tangannya gemetar saat meraba-raba dinding untuk berdiri. Lentera yang tadi dibawanya terjatuh, kacanya pecah, menyebarkan minyak dan bara kecil yang segera padam.

Ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Tapi langkahnya terganggu saat melewati lorong sempit menuju tangga belakang lorong yang dulu selalu ditutup oleh sang kakek. Tapi sekarang pintunya terbuka. Sedikit.

Di balik celah pintu itu, udara seperti berubah. Ruangan terasa lebih lembab. Bau tanah basah, logam berkarat, dan dupa terbakar menyeruak begitu kuat hingga membuat Reza hampir muntah.

Namun sesuatu menariknya. Sebuah getaran aneh dari balik pintu itu. Seperti bisikan yang tidak keluar sebagai suara, tapi terasa langsung di dalam kepala.

"Kau belum melihat semuanya, Reza."

Dengan langkah berat, ia menyentuh gagang pintu.

Saat itu juga, suara gemeretak terdengar dari dalam seperti benda besar yang diseret di atas lantai batu. Pintu mendadak membuka dengan sendirinya. Udara dingin menyergap wajah Reza.

Lorong menurun tampak di depannya. Gelap. Tapi di ujungnya, samar-samar terlihat cahaya kehijauan… dan suara.

Tangisan.

Seorang perempuan.

Lirih. Seolah meratap sejak lama.

"Reza..."

Suaranya terdengar dari bawah.

"Bantu aku keluar..."

Langkah kakinya nyaris melangkah, namun sesuatu dalam dirinya menjerit agar ia mundur. Nalurinya menolak, tapi rasa penasaran yang sudah bercampur takut itu lebih kuat.

Ia turun satu anak tangga.

Tangisan berhenti.

Tiba-tiba semua lampu rumah padam.

Gelap total.

Hanya tersisa satu hal suara napas.

Bukan napasnya.

Tapi sesuatu yang berdiri di balik punggungnya.

Pelan-pelan, Reza membalikkan badan.

Tak ada siapa-siapa.

Namun saat ia menoleh ke arah tangga, ia melihat sesuatu muncul dari kegelapan bawah tanah.

Satu tangan.

Pucat. Kurus. Kukunya panjang dan hitam.

Disusul satu wajah yang penuh luka jahitan seperti pernah dipotong dan disatukan lagi asal-asalan.

Perempuan itu merangkak naik.

"Kau yang membukakan petiku... Reza... Maka kau juga harus membawaku... hidup..."

Reza menjerit. Ia berlari naik, membanting pintu lorong dan menahan napas sekuat tenaga. Tubuhnya limbung, punggungnya basah oleh keringat dan entah cairan apa yang menetes dari tangannya yang gemetar.

Tapi sebelum ia sempat menjauh dari pintu itu...

Ketukan datang dari baliknya.

Pelan. Teratur.

Tiga kali.

Tok... Tok... Tok...

Disusul suara serak...

"Satu peti dibuka... satu jiwa bebas... Dua belas lagi, Reza... Dua belas lagi..."

•••

Matahari sudah tinggi saat Reza terbangun. Cahaya pagi menyusup dari sela-sela jendela, memantul di lantai kayu yang retak, menandakan bahwa malam yang panjang itu akhirnya berlalu. Tapi tubuh Reza terasa lemas, seperti baru pulih dari demam tinggi. Kepalanya berat, tengkuknya dingin, dan di dadanya masih terpatri perasaan tidak enak seperti ada sesuatu yang menempel, enggan pergi.

Ia memandang jam dinding. Pukul 10.04 pagi.

Perutnya keroncongan. Sudah dua hari ia tak makan layak. Dengan langkah gontai, Reza berjalan ke dapur. Cahaya dari jendela dapur masuk samar, membuat ruangan itu tampak lebih hidup walau tetap terasa asing.

Ia membuka lemari gantung, mencari apa pun yang bisa ia makan.

Satu bungkus mi instan tersisa, sedikit kusut dan berdebu, tapi masih dalam masa kedaluwarsa. Reza tersenyum miris. “Minimal ini masih bisa dipercaya,” gumamnya.

Air ia rebus di panci kecil. Suara mendidih pelan memberikan ketenangan yang aneh. Untuk pertama kalinya sejak ia datang ke rumah itu, tak ada ketukan, tak ada bayangan, tak ada cermin yang retak. Hanya dapur tua dan aroma mie yang mulai tercium.

Ia menuang bumbu ke mangkuk, lalu duduk di kursi rotan yang semalam bergerak sendiri.

Tapi kini kursi itu diam. Tak bergerak sedikit pun.

Ia mencoba menenangkan pikirannya, mencoba berpikir logis. Mungkin semua kejadian tadi malam hanyalah efek stres, kelelahan, atau… warisan trauma keluarga yang belum ia mengerti.

Saat mie selesai dimasak, ia tuang perlahan. Uap panas naik, menenangkan wajahnya.

Namun, ketika ia akan menyendokkan mie ke mulut—

sendoknya menabrak sesuatu di dasar mangkuk.

Ia berhenti.

Mata Reza membelalak.

Di dalam mangkuknya, terselip sebuah potongan kecil cermin retak.

Tepat di antara mi dan kuah panas.

Ia menyentuhnya dengan ujung sendok. Potongan itu kecil, tapi tajam. Dan di permukaannya yang kotor oleh kuah, ia melihat bayangannya. .

tersenyum.

Padahal wajah Reza sendiri saat ini sedang datar.

Mangkuk itu langsung ia lempar ke wastafel. Mi tumpah, kuah berceceran ke lantai. Pecahan kecil cermin ikut terpental, namun tidak pecah. Potongan itu berdiri tegak di lantai dan dalam pantulannya, bayangan Reza tidak ikut bergerak.

Bayangan itu hanya berdiri di sana… menatapnya… diam… tapi sadar.

Reza terpaku. Tangga yang tadi ia naiki kini tidak ada. Hanya lantai kayu gelap yang menyambung ke semua sisi tanpa celah. Loteng itu menjadi kotak tertutup. Senyap. Hampa.

Dan di hadapannya, cermin raksasa yang menggantung dari langit-langit mulai bergetar pelan, seperti dihembus angin dari dalam.

Reza menelan ludah. Ia mundur, tapi cermin itu seperti mengundangnya semakin dekat.

Di permukaan cermin, bayangan dirinya yang lain kini berdiri. Sosok itu menyentuh permukaan kaca dari sisi dalam. Mulutnya bergerak pelan, membentuk kata-kata tanpa suara.

"Aku sudah di sini. Tinggal kau yang pergi."

Permukaan cermin bergelombang seperti air. Tangan bayangan itu perlahan menembus ke luar lembut, namun dingin terasa hingga tulang. Reza terpaku. Seluruh tubuhnya lumpuh. Ia tak mampu bergerak. Ia ingin berteriak, tapi suara seolah ditelan dinding loteng.

Dari atas loteng, tiba-tiba terdengar suara detakan jam. Padahal Reza yakin tidak ada jam di sana. Detiknya berdetak cepat. Semakin cepat.

Seiring itu, ruangan mulai berubah. Dinding bergeser. Udara menghitam. Bau besi dan darah memenuhi hidungnya. Cermin kini memantulkan ruang lain sebuah tempat gelap dengan deretan peti tua dan suara-suara tangisan yang menggema dari dalamnya.

Itu bukan lagi loteng.

Itu dunia dari balik peti ke-13.

Bayangan Reza terus menarik, memanggil, dan mendorong batas antara nyata dan tidak nyata.

Reza menutup matanya rapat-rapat.

"Aku bukan kau… Kau bukan aku…"

Tiba-tiba lantai di bawahnya bergetar. Loteng bergemuruh. Angin tersedot dari segala arah menuju cermin yang kini terbuka lebar.

Reza membanting dirinya ke arah tiang kayu, berpegangan sekuat mungkin. Suara-suara berputar di sekelilingnya. Ratusan bisikan samar-samar terdengar jelas di telinga, seakan berasal dari dalam cermin.

"Buka.…"

"Buka…"

"Kau sudah menyatu dengan kami…"

Dengan segenap tenaga, Reza meraih kain putih yang sempat jatuh. Ia lemparkan kembali ke arah cermin.

"Tutup mulutmu!" teriaknya.

Begitu kain menyentuh permukaan cermin, semuanya berhenti. Gelombang lenyap. Bayangan menghilang. Cermin tak lagi memantulkan apa pun. Hanya bidang kosong, tak bergambar, seperti kaca mati.

Loteng menjadi sunyi kembali. Lantai tak lagi berguncang. Udara kembali dingin dan diam.

Lalu terdengar bunyi berderit pelan.

Tangga yang tadi menghilang perlahan muncul kembali, seolah baru saja ditarik turun dari langit-langit. Reza menatap ke bawah. Cahaya dari lantai dasar tampak mengundangnya pulang.

Dengan langkah gemetar, ia turun anak tangga satu per satu. Saat akhirnya menginjak lantai rumah, perasaannya tidak sepenuhnya lega.

Seluruh rumah tampak berbeda.

Foto-foto di dinding memudar. Tanaman layu. Cat dinding terkelupas. Udara menjadi lembap dan berat. Seolah waktu di dalam rumah bergerak sendiri, tanpa mengikuti dunia luar.

Atau mungkin, pikir Reza, yang turun dari loteng bukan lagi dirinya yang sama.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PETI KE-13   Gangguan

    Setelah beberapa menit dalam keheningan yang menggigit, Reza merangkak perlahan keluar dari dapur. Tangannya gemetar saat meraba-raba dinding untuk berdiri. Lentera yang tadi dibawanya terjatuh, kacanya pecah, menyebarkan minyak dan bara kecil yang segera padam.Ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Tapi langkahnya terganggu saat melewati lorong sempit menuju tangga belakang lorong yang dulu selalu ditutup oleh sang kakek. Tapi sekarang pintunya terbuka. Sedikit.Di balik celah pintu itu, udara seperti berubah. Ruangan terasa lebih lembab. Bau tanah basah, logam berkarat, dan dupa terbakar menyeruak begitu kuat hingga membuat Reza hampir muntah.Namun sesuatu menariknya. Sebuah getaran aneh dari balik pintu itu. Seperti bisikan yang tidak keluar sebagai suara, tapi terasa langsung di dalam kepala."Kau belum melihat semuanya, Reza."Dengan langkah berat, ia menyentuh gagang pintu.Saat itu juga, suara gemeretak terdengar dari dalam seperti benda besar yang diseret di atas lantai ba

  • PETI KE-13   Giliranmu

    Pagi menjelang dengan langit kelabu, seakan malam masih enggan pergi dari rumah tua itu. Reza duduk diam di tepi ranjang, tubuhnya menggigil. Matanya merah, kantuk tak pernah datang sejak teror malam itu. Ia tidak berani memejamkan mata. Setiap kerlingan membuat bayangan perempuan bermata kosong kembali muncul.Udara dingin, meski jendela telah tertutup rapat. Tapi ia tahu, hawa dari bawah tanah belum pergi.Di meja kecil di sebelah ranjangnya, tergeletak sesuatu yang tak ia sadari sebelumnya, sebuah amplop tua bersegel merah, warnanya hampir pudar. Di bagian depan tertulis namanya dengan tulisan tangan yang familiar.Untuk Reza,Bila aku sudah tiada.Tangannya gemetar saat membuka amplop itu. Di dalamnya, selembar kertas tipis dengan tulisan tangan sang kakek:"Reza, cucuku...Bila kau membaca ini, berarti aku sudah gagal menjaga peti itu lebih lama.Aku tahu ini tidak adil. Tapi darah kita, garis kita… memang telah diikat pada peti ke-13 sejak dahulu.Jangan pernah membukanya, aku m

  • PETI KE-13   Tanda yang tak hilang

    Pagi datang tanpa suara. Hujan sudah berhenti, namun langit masih menggantung kelabu. Reza terbangun dengan tubuh lengket keringat. Matanya sembab, lehernya kaku, dan mimpi semalam… terlalu nyata untuk disebut mimpi.Ia duduk perlahan, menarik napas panjang. Suasana kamar sunyi, hanya terdengar suara ranting-ranting basah yang digerakkan angin di luar.Tiba-tiba, rasa panas itu kembali muncul.Reza menoleh ke dadanya. Luka merah melingkar itu… masih ada. Lebih jelas dari semalam. Kulitnya tampak seperti dibakar, tapi anehnya tidak terasa perih. Hanya hangat dan berdenyut pelan, seperti memiliki detaknya sendiri.Ia menyentuhnya pelan, mencoba mengingat apakah mungkin ia tertidur di atas benda panas. Tapi tak ada penjelasan masuk akal. Ini bukan luka biasa. Luka itu seperti simbol. Bukan luka yang terjadi secara kebetulan.Lalu ia melihat cermin.Dan jantungnya berhenti sejenak.Di lehernya, di bawah telinga kiri… ada tanda lain. Seperti jari-jari tangan. Lima garis samar membiru seper

  • PETI KE-13   Peti mati di ruang bawa tanah

    Reza tidak bisa tidur setelah kejadian tadi malam. Meskipun Pak Margo berusaha menjelaskan semuanya dengan nada datar, perasaan aneh tak kunjung hilang. Pintu yang tertutup sendiri. Suara dari dalam ruang bawah tanah. Dan pernyataan Pak Margo… bahwa tidak semua yang berjalan adalah manusia.Pagi harinya, Reza mencoba bersikap biasa. Ia membantu membersihkan aula rumah duka yang penuh bunga layu dan aroma dupa sisa prosesi kemarin. Tapi pikirannya tak pernah lepas dari ruang bawah tanah.Saat Pak Margo pergi sebentar untuk membeli perlengkapan, Reza berdiri lama di depan pintu kayu besar yang tadi malam sempat terbuka sendiri.“Jangan buka peti itu, apa pun yang terjadi…”Kata-kata itu terngiang di kepalanya. Tapi rasa ingin tahu menenggelamkan rasa takut.Ia memutar kunci pintu yang tidak terkunci. Perlahan ia mendorong daun pintu. Bunyi engsel tua kembali menggerung rendah. Tangga kayu menurun tajam ke dalam kegelapan.Reza menyalakan senter ponselnya dan turun perlahan. Udara di baw

  • PETI KE-13   warisan yang tak diinginkan

    Hari itu mendung menggantung di atas Jakarta, ketika Reza menerima telepon yang mengubah seluruh hidupnya."Mas Reza, maaf mengganggu. Saya dari Kantor Notaris Bu Ratri. Ini mengenai warisan dari almarhum kakek Anda, Pak Harjo."Reza mengerutkan kening. Ia menghentikan aktivitasnya di bengkel motor kecil miliknya. "Warisan? Kakek saya? Maksudnya, Pak Harjo meninggal, Bu?""Benar, Mas. Beliau wafat tiga hari yang lalu di Tamanrasa. Kami sudah berusaha menghubungi keluarga lainnya, tapi sesuai surat wasiat, hanya Anda yang ditunjuk sebagai ahli waris utama. Kami mohon Mas Reza datang ke Tamanrasa secepatnya."Telepon terputus, menyisakan Reza dalam diam. Tamanrasa. Nama kota kecil itu asing dan aneh di telinganya. Ia bahkan sudah lama tak mendengar kabar apapun dari kakeknya. Ibunya, anak satu-satunya Pak Harjo telah meninggal sepuluh tahun lalu, dan sejak itu hubungan mereka terputus begitu saja.Reza memandangi langit yang mulai gelap. Di benaknya, tidak ada rasa kehilangan. Ia bahkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status