Pagi menjelang dengan langit kelabu, seakan malam masih enggan pergi dari rumah tua itu. Reza duduk diam di tepi ranjang, tubuhnya menggigil. Matanya merah, kantuk tak pernah datang sejak teror malam itu. Ia tidak berani memejamkan mata. Setiap kerlingan membuat bayangan perempuan bermata kosong kembali muncul.
Udara dingin, meski jendela telah tertutup rapat. Tapi ia tahu, hawa dari bawah tanah belum pergi.
Di meja kecil di sebelah ranjangnya, tergeletak sesuatu yang tak ia sadari sebelumnya, sebuah amplop tua bersegel merah, warnanya hampir pudar. Di bagian depan tertulis namanya dengan tulisan tangan yang familiar.
Untuk Reza,
Bila aku sudah tiada.
Tangannya gemetar saat membuka amplop itu. Di dalamnya, selembar kertas tipis dengan tulisan tangan sang kakek:
"Reza, cucuku...
Bila kau membaca ini, berarti aku sudah gagal menjaga peti itu lebih lama.
Aku tahu ini tidak adil. Tapi darah kita, garis kita… memang telah diikat pada peti ke-13 sejak dahulu.
Jangan pernah membukanya, aku mohon karena itu adalah penjara terakhir.
Tapi jika segel sudah pecah, maka satu-satunya cara untuk menghentikan bencana adalah dengan menyelesaikan tugas yang belum selesai.
Akan datang ‘mereka’ yang satu per satu membawa dosa, dendam, dan kematian.
Tapi kamu bukan sembarang cucu. Kamu adalah penerusku.
Di ruang kerja lamaku, tersembunyi catatan-catatan penting. Buka laci bawah meja.
Di sana, kebenaran akan menyakitimu, tapi juga akan menyelamatkanmu.
Dan Reza…
Jangan percaya siapa pun di luar sana.
Termasuk orang-orang yang mengaku tahu peti itu.
— Kakek"
Reza mematung. Jantungnya berdebar cepat.
‘Jangan percaya siapa pun di luar sana.’
Kata-kata itu menempel kuat di kepalanya.
Tiba-tiba... terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya,
Tiga ketukan.
Perlahan, lalu sunyi.
Reza bangkit. Jendela kamarnya menghadap ke halaman depan tapi tak ada siapa pun di sana. Namun ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras lebih memaksa.
Ia melirik surat kakeknya lagi.
Jangan percaya siapa pun...
Ketukan berhenti.
Tapi dari luar... suara seseorang terdengar memanggil pelan.
“Reza… buka, aku tahu kamu di dalam. Aku sahabat kakekmu dulu... dan aku tahu apa yang kau lakukan.”
Kalimat itu membuat bulu kuduk Reza berdiri. Ia tidak mengenal suara itu. Dalam surat wasiat kakek, tidak pernah disebutkan ada sahabat, atau seseorang lain yang terlibat dalam penjagaan peti. Dan yang paling mengganggu bagaimana orang asing itu bisa tahu bahwa peti telah dibuka?
Reza melangkah pelan menuju ruang tamu, tapi tak langsung membuka pintu. Ia berdiri di belakang gorden tebal, mengintip lewat celah sempit.
Hampa.
Halaman rumah kosong, hanya pepohonan tua yang bergoyang perlahan ditiup angin. Tak ada siapa pun di depan pintu. Tidak ada kendaraan, tidak ada jejak kaki di jalanan tanah basah.
Namun, bekas tiga jejak berlumpur tampak jelas di atas anak tangga depan. Seolah seseorang sempat berdiri di sana, menatap ke dalam sebelum menghilang.
Reza mundur perlahan. Perasaannya tidak enak. Ia teringat isi surat kakek.
“Di ruang kerja lamaku, tersembunyi catatan-catatan penting.”
Ia segera menuju ruang kerja yang letaknya di ujung lorong rumah. Pintu kayu tua itu sudah berderit sejak lama, dan ketika ia membukanya, aroma debu dan kayu lapuk menyambutnya.
Ruangan itu tampak seperti perpustakaan kecil. Tumpukan buku tua, bingkai foto hitam putih, dan sebuah meja besar dengan kursi berlapis kulit yang sudah retak di sana-sini.
Reza mendekat. Ia mencari laci bawah, seperti yang disebutkan dalam surat.
Tarikannya seret. Tapi dengan tenaga ekstra, ia berhasil membukanya.
Dan di dalamnya tersimpan sebuah buku lusuh dengan sampul kulit hitam, terkunci dengan pengait kuno. Di sampingnya, tergenggam kunci besi kecil berkarat.
Tanpa pikir panjang, Reza memasukkan kunci itu ke dalam lubang pengait. Klik. Kunci terbuka.
Buku itu berisi tulisan tangan bukan tulisan modern, tapi seperti jurnal yang dibuat bertahun-tahun lalu. Halaman pertamanya sudah menguning. Ia membaca.
"Catatan Penjaga – Dimulai tahun 1966"
Hari pertama, aku melihat mereka. Wujud-wujud itu. Mereka yang terkurung dalam peti ke-13 bukanlah arwah biasa. Mereka adalah ‘yang dibuang’.
Mereka tidak bisa mati. Tapi juga tidak bisa hidup. Mereka haus... dendam... dan hanya bisa dihentikan oleh darah yang sama.
Kutukan ini telah diwariskan pada keluargaku sejak zaman kakek buyutku. Dan kini... kelak akan turun padamu, Reza. Bila kamu membaca ini, berarti waktumu telah tiba.
Reza menutup buku itu cepat-cepat. Tangan dan tubuhnya gemetar. Ia terhuyung ke belakang, duduk di lantai berdebu.
Peti ke-13 bukan sekadar pusaka. Bukan pula sekadar warisan keluarga.
Itu adalah penjara untuk makhluk-makhluk purba yang tak mengenal kematian.
Dan kini mereka bebas.
Lalu terdengar lagi.
Ketukan.
Tapi bukan dari pintu depan.
Kali ini... dari ruang bawah tanah.
Empat ketukan.
Pelan. Teratur.
Dari balik lantai.
Reza membeku.
Suara serak terdengar samar dari balik kayu tua lantai bawahnya. Suara yang dingin dan kasar, seperti gesekan batu.
“Kamu... sudah membukanya. Sekarang gantian... kami yang akan membukamu...”
Reza menutup mulutnya sendiri, menahan teriakan.
Ruang kerja terasa sempit. Buku di tangannya berat seperti batu. Dan ia tahu tidak ada jalan kembali.
Reza menutup jurnal tua itu cepat-cepat. Tangan dan tubuhnya masih gemetar.
Ia terhuyung ke belakang, duduk di lantai berdebu dengan napas terengah. Dada sesak, seolah udara di ruangan ikut berubah menjadi dingin dan berat.
Peti itu bukan sekadar benda tua. Bukan pusaka.
Itu penjara.
Penjara bagi sesuatu yang lebih tua dari umur dunia itu sendiri.
Ia bangkit dengan susah payah dan berjalan keluar dari ruang kerja. Lorong menuju kamar tampak lebih gelap dari biasanya. Lampu gantung bergoyang pelan, meskipun semua jendela tertutup.
Saat melintas di depan cermin besar peninggalan kakeknya, Reza menoleh tanpa sadar.
Dan terdiam.
Bayangan dirinya di cermin sedang tersenyum.
Bukan senyum gugup. Bukan senyum lega.
Melainkan senyum licik yang menakutkan, dengan mata memicing dan bibir mengangkat ke satu sisi… seolah mengejek dirinya sendiri.
Reza berhenti. Jantungnya seolah berhenti berdetak satu detik.
Wajahnya yang asli yang sedang menatap ke cermin tak sedang tersenyum. Ia ketakutan. Ia pucat. Tapi pantulan itu... tersenyum. Bahkan nyaris tertawa.
Ia menoleh cepat ke belakang tak ada siapa pun.
Saat kembali menatap cermin, pantulan itu sudah kembali normal.
Namun satu hal membuat Reza tak bisa tidur malam itu.
Ia tak merasa sedang melihat dirinya sendiri.
••••
Malam turun dengan lambat, seperti selimut hitam yang enggan menutupi langit. Hujan mulai turun, rintik-rintik kecil menghantam atap rumah kayu tua itu. Reza berbaring di ranjang warisan kakeknya, tapi matanya enggan terpejam.
Gambaran cermin siang tadi tak mau lepas dari pikirannya.
Senyuman itu.
Senyuman yang bukan miliknya.
Ia mencoba menenangkan diri. Menyalakan lampu tidur, membuka jendela sedikit agar udara segar masuk. Tapi semua itu tidak membantu. Justru membuatnya merasa semakin diawasi.
Jam menunjukkan pukul 01:43 saat suara "klek!" terdengar dari luar kamarnya.
Seperti suara pintu tua yang dibuka perlahan.
Reza menahan napas.
Ia duduk pelan-pelan di ranjang, memicingkan mata ke arah pintu kamar yang tidak sepenuhnya tertutup. Ruang luar gelap, namun ia bisa melihat bayangan seseorang berdiri diam di ujung lorong.
Sosok itu tak bergerak.
Tak bersuara.
Hanya berdiri di tengah kegelapan.
"Siapa... siapa itu?" gumam Reza dengan suara serak. Tidak ada jawaban.
Dengan langkah pelan, ia turun dari ranjang. Mengambil senter kecil di laci, menyalakannya, dan mengarahkan ke lorong.
Kosong.
Tak ada siapa pun.
Tapi saat ia berbalik kembali ke kamar, cerminnya sudah tidak memantulkan apa pun.
Bukan gelap.
Bukan bayangan.
Tapi benar-benar kosong, seperti kaca mati yang tidak mengenali dunia di hadapannya.
Dan kemudian, dengan perlahan, bayangan muncul sendiri dari dalam cermin.
Bukan dirinya.
Bukan Reza.
Makhluk itu memakai wajahnya. Tapi lebih pucat, mata menghitam seperti arang, dan senyuman itu—senyuman yang ia lihat siang tadi—masih di sana.
Lalu sosok itu mengangkat tangan, dan menggerakkan jari-jari ke arah Reza. Memanggil.
Mengajak masuk.
Reza tersentak mundur, menabrak ranjang. Cermin itu bergemuruh, permukaannya bergetar seperti air yang baru dilempar batu.
Dan tiba-tiba... cermin itu retak.
Garis halus menjalar dari tengah, membentuk pola tak wajar mirip simbol yang sama seperti yang tertera di jurnal kakeknya.
Retakan itu bukan hanya pecah. Tapi seperti membuka sesuatu.
Sesaat sebelum Reza menjerit, ia melihatnya:
Bayangan lain muncul di belakangnya. Lebih tinggi. Lebih gelap.
Tapi kali ini, tidak hanya di cermin.
Ia bisa merasakannya... bernapas di tengkuknya.
Jantung Reza berpacu begitu kencang, seolah ingin keluar dari dadanya. Tangannya gemetar saat mencoba membuka laci untuk mencari sesuatu apa pun yang bisa ia gunakan untuk membela diri. Tapi yang ada hanya koran lama, buku catatan tua, dan sepucuk surat yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Kertasnya kuning kusam, ditulis dengan tulisan tangan rapi yang ia kenali.
Tulisannya kakeknya.
"Jangan percayai bayanganmu sendiri. Ketika ia tersenyum sebelum kamu tersenyum… itu artinya batas dunia sudah retak.
Dan mereka akan masuk."
Reza menelan ludah. Ia mencabut surat itu, tapi belum sempat membacanya lebih jauh, cermin di hadapannya mulai berbunyi.
Ketukan.
Pelan. Teratur. Dari dalam.
Tok. Tok. Tok.
Reza menatap lekat-lekat. Ia tahu itu bukan pantulan suara dari luar. Cermin itu… seperti benda hidup yang memanggilnya. Setiap ketukan seolah beresonansi ke dalam tulangnya.
Tok. Tok. Tok.
Tiga kali. Diam.
Lalu kembali lagi. Lebih keras.
Tok! Tok! TOK!
Dan akhirnya, cermin itu retak sepenuhnya—membentuk pola seperti akar pohon kering yang menyebar ke seluruh permukaan. Cahaya dari balik retakan muncul samar, seperti ada dunia lain yang menyala dari dalam kaca.
Cermin itu bukan hanya pecah. Tapi seolah menjadi portal.
Reza terpaku. Tak bisa lari. Tak bisa berpaling.
Lalu… ia melihat sosok itu keluar.
Bukan lewat pintu.
Bukan lewat retakan.
Tapi muncul di balik punggungnya sendiri.
Bayangan Reza yang semula berada di cermin, kini berdiri di kamar, menghadap ke arahnya… dengan senyum yang terlalu lebar, terlalu panjang, terlalu… tidak manusiawi.
“Aku adalah kamu... yang kamu sembunyikan,” bisik sosok itu tanpa membuka mulut. Suaranya menggema langsung ke dalam kepala Reza, seperti suara mimpi buruk.
Reza jatuh terduduk, membentur dinding. Ia mencoba berteriak, tapi suaranya tercekat.
Lampu kamar tiba-tiba padam. Seluruh ruangan berubah pekat. Hanya tersisa cahaya redup dari cermin yang berpendar dengan warna kehijauan seperti api kuno. Sosok itu menghilang sesaat—dan Reza mengira semuanya berakhir.
Tapi tiba-tiba…
Sesuatu menyentuh bahunya.
Lambat. Dingin. Kasar.
Seperti jari-jari yang sudah lama membusuk.
Reza menoleh—dan tidak ada siapa pun. Tapi ia mendengar bisikan...
dari dinding... dari lantai… dari langit-langit.
Bisikan yang sama berulang-ulang:
“Peti ke-13… sudah dibuka…”
“Penjaganya telah mati…”
“Giliranmu…”
Reza menutup telinga. Ia berlari ke luar kamar, tapi seluruh rumah seperti berubah bentuk. Lorong yang ia kenal kini tampak lebih panjang dan penuh bayangan. Lukisan-lukisan di dinding tampak memutar wajahnya sendiri ke arah Reza, dengan mata yang memicing seperti mengenal siapa dirinya sebenarnya.
Dan di ujung lorong itu di ruang tamu peti tua itu telah berpindah tempat.
Kini berada tepat di tengah ruangan, terbuka sebagian dan dari dalamnya, asap gelap terus keluar perlahan, seperti napas dari mulut sesuatu yang belum sepenuhnya bangkit.
Dan entah kenapa… Reza tahu.
Peti itu belum selesai.
Belum semuanya keluar.