Hujan mulai turun, perlahan tapi menusuk. Rintiknya jatuh di tanah berlumpur dan di wajah Yu Zhen yang masih mematung, menatap sosok yang seharusnya telah lama mati dalam benaknya: Shen Lie, murid utama yang dahulu dielu-elukan oleh para tetua Sekte Seribu Embun, tempat Yu Zhen dulu dibesarkan—dan dikhianati.
"Kenapa...?" gumam Yu Zhen. Tawa dingin Shen Lie menggema di antara derik ranting dan gemuruh petir. "Karena aku muak dipaksa memanggil bajingan rendahan sepertimu 'junior murid.' Kau bahkan tak layak membersihkan debu sepatuku. Tapi karena sesepuh itu, kau mendapat tempat di sekte kita. Kau pikir aku akan membiarkannya begitu saja?" Yu Zhen mengepalkan tangan. Hujan tak lagi terasa. Yang ia rasakan hanyalah amarah—namun juga luka lama yang kembali membara. --- Tiga tahun lalu Di pelataran belakang sekte, di balik dapur dan tungku air panas, seorang remaja kurus berdiri dengan tali kayu bakar menggelayut di punggungnya. Kulit tangannya lecet, bajunya sobek di beberapa bagian. "Hei, si pengisi bak mandi!" Tawa meledak. Beberapa murid mengenakan jubah putih bersih bertepuk tangan. Salah satunya menendang keranjang kayu yang dibawa si pemuda. Yu Zhen—masih remaja kala itu—hanya menunduk, merapikan kayu satu per satu. "Kau tahu kenapa kau tak pernah ikut latihan? Karena tak ada bakat kultivasi yang mengalir di nadimu!" seru salah satu dari mereka. Namun malamnya, di dalam gua tersembunyi di utara pegunungan sekte, ia duduk bersila di hadapan seorang lelaki tua berjenggot putih panjang. Tatapan lelaki itu tajam, tapi suaranya tenang. "Bakat bisa ditekan. Tapi kemauan tak bisa. Jangan tunjukkan siapa dirimu, Yu Zhen. Belajarlah. Bertumbuh dalam bayangan." Itulah perintah Sesepuh Langit Retak, yang secara rahasia melatih Yu Zhen teknik tingkat tinggi yang bahkan tak diajarkan kepada murid-murid utama. “Karena suatu hari, dunia akan memburumu. Maka kau harus siap.” --- Kembali ke masa kini Yu Zhen berdiri tegak meski hujan membasahi tubuhnya. Di belakang Shen Lie, tampak seorang pria berjubah hitam dengan tudung menutupi wajahnya. Ia memegang tongkat hitam dari tulang. Aura kematian menyelubunginya. "Siapa itu?" tanya Yu Zhen, matanya menyipit. Shen Lie menoleh dan tersenyum tipis. “Ah, kau akan tertarik. Kenalkan, ini Hei Mo, penjejak jiwa dari Sekte Mayat Abadi. Ia punya keahlian mencium jejak seseorang hanya dari sisa darah di tanah. Dan dia sedang memburumu.” Hei Mo mengangguk pelan. “Kau terkontaminasi oleh Inti Kegelapan. Aroma jiwamu bisa kurasakan dari dua benua jauhnya.” Yu Zhen menggertakkan gigi. "Jadi kini kalian bergabung dengan sekte sesat hanya untuk mengejarku?" Shen Lie tertawa. “Kau naif sekali. Dunia ini bukan soal benar dan salah. Tapi kekuasaan. Dan mereka yang punya kekuatan adalah yang punya kemampuan menulis sejarah.” Saat Shen Lie mengangkat tangannya untuk memberi aba-aba serangan, tiba-tiba sebuah anak panah bersinar menembus hujan dan menancap di tanah hanya beberapa langkah dari kaki Yu Zhen. Shen Lie dan Hei Mo refleks mundur. Dari balik kabut hutan, muncul seorang perempuan mengenakan jubah hijau tua, tubuhnya ramping dan lentur. Rambutnya diikat tinggi, dan di punggungnya tergantung busur besar berukir. “Yu Zhen, kau sungguh bodoh berjalan sendirian.” Yu Zhen menoleh cepat. “Lin Ya?!” Perempuan itu tersenyum tipis. “Tak kusangka kau masih ingat aku.” Lin Ya—murid dari Sekte Hutan Seribu Daun. Ia adalah satu dari sedikit orang yang dulu memperlakukan Yu Zhen sebagai manusia. Mereka pernah diam-diam berbagi roti saat jam latihan, dan saling mengobati luka akibat latihan keras. Namun setelah kehancuran sekte, Lin Ya menghilang. Shen Lie mendengus. “Kalian ingin bermain drama reuni di medan perang? Lucu.” Ia memberi isyarat. Puluhan pasukan bersenjata dari sekte bayaran mulai mengepung mereka. Yu Zhen menoleh ke Lin Ya. “Kenapa kau membantu?” “Karena aku juga kehilangan semuanya. Dan aku tidak bisa duduk diam sementara kau diburu dunia.” Ia menarik busurnya, dan dalam sekejap, tiga anak panah berpendar cahaya melesat. Tiga musuh roboh. Yu Zhen mengangkat tangan, memanggil energi hitam dari tanah. Aura mengalir dari telapak tangannya, membentuk bilah hitam menyerupai pedang. Tubuhnya kini berdiri gagah, aura gelap menyelubunginya seperti sayap iblis yang tersembunyi. “Shen Lie,” katanya pelan, “ini baru permulaan.” Shen Lie tertawa. “Dan ini adalah medan ujianmu yang pertama.” Ia menatap Hei Mo. “Uji kekuatan barumu, Penjejak Jiwa.” Hei Mo mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Awan di atas mereka berputar, dan dari dalam tanah mulai muncul tangan-tangan mayat yang membusuk, berusaha menarik Yu Zhen dan Lin Ya ke dalam. Lin Ya berteriak, “Itu teknik pemanggilan tulang! Jangan sampai kau terjebak terlalu lama!” Yu Zhen mengerang, lalu menginjak tanah. Gelombang energi gelap terpancar, menghancurkan tangan-tangan busuk itu. Namun satu dari mereka sempat mencengkeram pergelangan kakinya. “Kau bukan manusia biasa lagi …” bisik suara dari bawah tanah. “Kau adalah gerbang bagi kegelapan yang lebih besar.” Yu Zhen melepaskan teriakan, memotong tangan itu. Tapi gema suara itu masih tertinggal di telinganya. > Gerbang …? Apa maksudnya? Tepat saat itu, langit terbelah. Cahaya keemasan turun dari langit, menembus awan dan menghantam tanah di tengah pertempuran. Semua berhenti. Bahkan mayat-mayat itu diam. Seseorang turun perlahan dari langit, melayang dalam jubah bercahaya. Di dadanya, tergantung lambang Langit Penjaga. “Yu Zhen dari Dunia Bawah. Kau telah melampaui batas.” Pemuda itu menoleh ke Lin Ya. “Mereka mulai datang …” Lin Ya menarik satu anak panah terakhir, menatap langit. “Kau harus bertahan.” Dan dari langit, sosok itu mengangkat tombaknya. “Hari ini, kau akan diuji oleh Langit.” Petir menggelegar. Sosok berjubah emas turun dari langit, bagaikan dewa perang yang turun dari langit-langit surga. Langkahnya ringan, tapi tanah di bawahnya retak setiap kali ia berpijak. Di punggungnya tersemat sepasang sayap cahaya, dan tombaknya memancarkan aura penindasan. “Yu Zhen dari Dunia Bawah,” suaranya berat dan menggema. “Kau dituduh membangkitkan energi terlarang dan membinasakan satu sekte besar. Atas nama Surga, aku—Qian Lei, Pemburu Ketiga dari Langit Penjaga—akan menghukummu.” Yu Zhen mundur selangkah. Aura yang terpancar dari lelaki itu begitu besar, bahkan tanah di sekitarnya mulai gersang. Lin Ya menoleh padanya. “Dia bukan lawan yang bisa kita hadapi sekarang!” “Tidak,” gumam Yu Zhen, mata gelapnya menatap tajam. “Aku tidak akan lari lagi.” Sementara itu, Shen Lie hanya tersenyum dari kejauhan. “Tampaknya pertunjukan ini akan lebih menarik dari yang kukira.” Qian Lei mengangkat tombaknya. Awan di langit berputar membentuk pusaran. Cahaya putih turun, menyelimuti tubuhnya. “Bersiaplah menerima penghakiman.” --- Flash Back Beberapa tahun lalu ... Di sebuah malam berkabut di pelataran Sekte Seribu Embun, Yu Zhen duduk bersila, darah menetes dari pelipisnya. Sesepuh Langit Retak berdiri di dekatnya, wajahnya keras tapi sorot matanya menyiratkan kebanggaan. “Jiwa kuat tidak terbentuk dari kemudahan. Tapi dari luka dan pilihan. Kau sudah mulai membentuk jati dirimu, Yu Zhen.” Yu Zhen mendongak, suaranya serak. “Tapi ... kenapa tak seorang pun melihatku?” Sesepuh itu tersenyum samar. “Karena mereka buta oleh kesombongan. Tapi dunia akan melihatmu suatu hari nanti. Dan ketika saat itu tiba, Surga pun akan gemetar.” --- Now Qian Lei menebaskan tombaknya. Udara di sekelilingnya meledak, membentuk gelombang energi yang melesat cepat ke arah Yu Zhen. Lin Ya menarik busurnya, menembakkan tiga panah berturut-turut, namun semuanya terbakar dalam sekejap. Yu Zhen mencabut bilah hitam dari balik jubahnya. Ia menghentakkan kaki ke tanah, dan formasi pelindung muncul di sekelilingnya. Tebasan cahaya Qian Lei menghantamnya, dan benturan dahsyat membuat tanah di bawah mereka meledak. Debu tebal menyelimuti hutan. Lin Ya tersungkur, darah menetes dari bibirnya. “Kita tak bisa menahan serangan seperti itu lagi.” Tiba-tiba, Qian Lei muncul di hadapan Yu Zhen. Ia menatap lurus ke mata sang pemuda, dan berkata, “Kekuatanmu telah berubah. Kau bukan sekadar murid sekte rendahan.” Yu Zhen menyeringai. “Dan kau bukan hakim yang layak menentukan hidup matiku.” Ia memukul tanah. Aura hitam memancar dari tubuhnya, membentuk bayangan besar di belakang punggungnya—sebuah siluet naga gelap bermahkota, menggeram pelan. “Formasi Jiwa Kegelapan...” gumam Qian Lei. Ia menyipitkan mata. “Kau telah membuka segelnya?” Yu Zhen melompat dan melancarkan tebasan dari udara. Serangan itu menghantam tombak Qian Lei. Keduanya terpental mundur, meninggalkan jejak dalam tanah. Pertempuran berlangsung cepat—terlalu cepat untuk diikuti mata manusia biasa. Bayangan mereka saling bertabrakan, dentingan senjata menggema bertalu-talu di tengah hujan deras yang mulai turun lagi. Lin Ya berteriak, “Kau harus pergi dari sini! Ini belum waktunya untuk melawan Langit!” Tapi Yu Zhen tidak menjawab. Ia berdiri, napasnya berat. Qian Lei juga mundur selangkah. Ia menatap tombaknya yang kini tergores. “Menarik,” katanya lirih. “Kau telah menyerap sebagian kekuatan dari Sumber Kegelapan. Tapi itu hanya separuh. Di mana separuh lainnya?” Yu Zhen tidak menjawab, tapi matanya menyiratkan kegelisahan. Bahkan ia sendiri belum tahu apa maksudnya. Tiba-tiba, Hei Mo dari kejauhan tertawa dingin. “Sumber itu masih tersembunyi. Dan aku tahu di mana tempatnya.” Qian Lei menoleh tajam. “Hei Mo, kau tak punya hak mencampuri urusan Surga.” “Dan kau tak berhak mencemari tanah dengan darah mereka!” bentak Lin Ya, menembakkan panah berkilau ke arah Hei Mo. Tapi panah itu lenyap sebelum mencapai sasarannya. Kabut gelap menelannya hidup-hidup. Qian Lei menghela napas. “Aku akan kembali, Yu Zhen. Tapi jangan kira kau bisa bersembunyi lebih lama. Langit Penjaga tak pernah melupakan buruannya.” Dengan sekali hentakan kaki, tubuh Qian Lei melesat ke langit dan menghilang dalam cahaya. Hei Mo juga menghilang dalam kabut gelap, bersama para pengikutnya. Hening menyelimuti tempat itu. Yu Zhen jatuh berlutut. “Aku ternyata belum cukup kuat.” Lin Ya meraih lengannya. “Kau sudah melakukan lebih dari cukup. Tapi sekarang kita harus bergerak.” Yu Zhen menatap langit yang perlahan cerah, lalu berkata lirih, “Aku akan menemukan bagian yang hilang, apa pun artinya itu.” --- Di tempat lain ... Sebuah gunung tertutup salju. Di dalam gua besar berlapis es, seorang lelaki tua duduk di singgasana batu. Matanya terpejam. Tiba-tiba, ia membuka matanya. “Sumber telah terbangun. Tapi separuhnya masih bersamaku.” Ia berdiri perlahan. Salju di sekelilingnya mencair dalam radius puluhan meter. Aura luar biasa memancar dari tubuhnya. “Saatnya Yu Zhen mengenal siapa dirinya sebenarnya.”Lindu Aji sedikit bingung dengan pertanyaan yang diajukan Putri Liani. Dia tidak pernah menyangka kalau akan terjebak dalam sebuah permainan perasaan. Kalau dia menolak, bisa dipastikan Putri Liani akan langsung jatuh sakit. Tapi kalau menerima, masih ada dua orang gadis yang setia menunggunya, Andini dan Anggun.Lama dia berpikir hingga suara Putri Liani mengejutkannya."Lindu, kok malah melamun?""Eh, iya.""Iya apa?"Aku mencintaimu."Putri Liani tersenyum bahagia mendengar jawaban dari pemuda idamannya tersebut."Aku juga mencintaimu, Lindu.""Liani, bisakah kau melepaskan pelukanmu? Aku sulit bernafas."Putri Liani langsung melepaskan pelukannya dan menatap wajah Lindu Aji dengan tatapan tajam."Aku akan mengatakannya pada ayahku secepatnya." Seusai berucap, Putri Liani lalu berlari keluar dari kamarnya.Lindu Aji hanya bisa menepuk jidatnya. Dia tidak menyangka keputusan yang dia
Cucu angkat Ki Damarjati tersebut langsung melayang tinggi, dan kemudian mendarat di sebuah lapangan yang berada di dalam bangunan seperti benteng tersebut.Kedatangan seseorang yang bisa melayang dan mendarat dengan ringan di markas mereka membuat ratusan penghuni di dalam benteng tersebut terkejut sekaligus terheran heran.Seketika mereka bergerak mengepung pemuda tersebut. Lindu Aji hanya tersenyum sinis melihat ratusan orang yang sedang memandangnya penuh kebencian.Pada dasarnya mereka heran, bagaimana bisa sosok berparas tampan itu memasuki markas mereka dengan begitu mudah, sebab sebelumnya tentu banyak jebakan yang menanti. Apa mungkin berbagai jebakan itu bisa dilewatinya?"Siapa kau dan apa urusanmu datang kesini!? Apa kau tidak tahu jika orang asing yang sudah masuk tempat ini tidak akan bisa keluar lagi?" Sosok berkepala gundul dan memiliki cambang lebat mencoba mengintimidasi Lindu Aji."Apa perlu kujawab pertanyaan tolol sep
"Iya, Tuan Putri, Aku Bejo." Melihat kondisi Putri Liani, Lindu Aji merasa terenyuh dan iba. Dia yang biasanya ceria, saat ini hanya bisa menatap sedih dengan situasi putri Raja Wijaya Kusuma tersebut."Ayah, aku mohon ijinkan Bejo tinggal di sini untuk sementara waktu," pinta Putri LianiRaja Wijaya Kusuma bingung mendengar permintaan anaknya. Dia takut permintaan itu akan membuat Lindu Aji tersinggung. Apalagi dia juga tahu kalau Lindu Aji adalah Cucu Ki Damarjati yang bisa membuat kerajaannya menjadi abu kalau dia berani mengganggu pemuda tersebut."Secara pribadi ayah tidak masalah, Putriku. Tetapi kita tidak boleh memaksa Lindu untuk tinggal di sini. Semuanya tergantung Lindu saja, biar dia yang memutuskan.""Lindu itu siapa, Ayah?"Raja Wijaya Kusuma menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. "Lindu itu ya Bejo ini, Putriku," jawabnya."Lindu itu nama asliku, Tuan Putri, sedangkan Bejo itu nama samaran saja," sah
Sebuah kewajaran jika Putri Liani meragukan nama BEJO yang disebutkan pendekar muda pahlawannya tersebut. Secara tampang, sangatlah pantas pendekar yang telah menyelamatkannya itu lebih pantas menjadi seorang pangeran. Lindu Aji kemudian mendatangi lelaki tinggi besar yang meminta berguru kepadanya. "Nama Paman siapa?" "Namaku Prapta, Pendekar." "Panggil saja namaku Bejo. Aku risih kalau di panggil pendekar,” kata Lindu Aji. Lelaki bernama Prapta itu mengangguk. Lindu Aji merasa geli juga dipanggil Bejo. Namun demi menutupi jati dirinya, dia pun bersikap biasa saja. "Begini, Paman Prapta, aku sudah meminta kepada mereka untuk menjadikan Paman sebagai prajurit. Aku juga sudah menjamin bahwa Paman tidak akan kembali berbuat jahat. Sekiranya nanti aku mendapat laporan kalau Paman berulah lagi, maka aku akan memastikan daging Paman menjadi makanan Harimau." "Paman berjanji."
Setelah melalui perjalanan selama 3 hari tanpa ada kendala, rombongan Senopati Wage sudah memasuki kadipaten Sukorame.Informasi tentang Adipati Witono yang dipenjara oleh seorang pendekar muda menyebar dengan cepat. Para pedagang dari luar yang sebelumnya enggan berdagang karena penerapan pajak besar, akhirnya kembali berdagang di kadipaten yang terkenal sebagai sentra perdagangan tersebut.Kedatangan rombongan Senopati Wage yang terkenal sebagai panglima perang andalan kerajaan Pamenang sontak menjadi perhatian warga. Mereka tentunya bertanya-tanya, ada hal apakah sehingga pejabat kerajaan yang terkenal tersebut sampai datang ke kota mereka? Karena biasanya yang datang hanya pejabat rendah.Kasak kusuk pun terjadi, banyak yang mengaitkannya dengan kejadian 7 hari lalu dengan dipenjaranya Adipati Witono dan pejabat Sora oleh seorang pemuda.Lindu Aji yang mendapat kabar kedatangan Senopati Wage langsung bergegas menuju pintu gerbang untuk menyamb
Pemilik warung makan tersenyum lebar melihat Lindu Aji masuk melewati pintu. "Mau makan di sini atau dibungkus seperti kemarin?""Makan di sini saja, Paman, tolong buatkan satu porsi ayam panggang," balas Lindu Aji seraya mengedarkan pandangannya. Tidak terlihat satupun pengunjung di dalam warung tersebut."Siap ... ditunggu sebentar, ya!""Santai saja, Paman. Aku juga tidak terburu-buru," balas Lindu Aji, kemudian bersiul sekenanya. Simponi tidak beraturan dia keluarkan dari bibirnya yang sedikit dikerucutkan.Tak berapa lama, pesanan ayam panggang sudah terhidang di mejanya. Bau khas ayam panggang langsung membuat perutnya keroncongan. Tanpa pikir panjang lagi dia langsung menyantap makanan di depannya.Di saat dirinya sedang menikmati makannya, suaea derap derai kaki kuda terdengar membelah jalanan di depan warung. Lindu Aji langsung menolehkan kepalanya untuk melihat siapa yang sedang lewat. Tanpa sengaja sekilas matanya melihat lamb