Langit retak. Cahaya keemasan menembus kehampaan, menghancurkan setiap lapisan ruang yang dilewatinya. Tubuh Yu Zhen terangkat, terperangkap dalam tarikan paksa kekuatan surgawi.
Tubuhnya bergetar hebat, seolah daging dan tulangnya ditarik ke arah berbeda. Di balik sorotan cahaya, ia melihat kilatan petir ungu dan pusaran angin surgawi yang memutar ruang dan waktu. Seketika, semuanya menjadi putih. Udara segar menghantam wajahnya. Angin gunung meniup rambut hitam legam yang tergerai panjang hingga melewati bahu. Mata Yu Zhen perlahan terbuka—hitam pekat, namun dalam, seakan menyimpan malam yang tak berujung. Di wajahnya yang tampan namun penuh luka, tampak bekas darah kering di pelipis dan dagu. Tubuhnya kurus berotot, seperti hasil dari kerja keras bertahun-tahun dalam kesunyian. Pemuda itu kini terbaring di tengah padang rumput luas. Tapi ini bukan tempat yang ia kenal. Di cakrawala, bangunan menjulang tinggi seperti istana para dewa. Pilar-pilar dari cahaya, tangga-tangga yang melayang, dan suara musik surgawi samar-samar terdengar di kejauhan. Ia menggeram pelan, berusaha bangkit. “Di mana aku sekarang?” Suaranya serak, tapi penuh tekad. “Kau telah dipindahkan ke ranah langit—Wilayah Penantian Keabadian,” Suara dingin itu bergema dari angkasa. Seorang wanita muncul di langit, mengenakan jubah putih bersih dengan lengan menjuntai. Rambutnya perak keemasan, matanya seperti kristal es. Yu Zhen menatapnya tajam. “Siapa kau?” “Aku adalah Duta Langit. Kau telah menyentuh Inti Kegelapan. Maka, sesuai hukum surgawi, kau telah dicap sebagai Anomali.” Ia menelan ludah. “Aku tidak peduli dengan hukum kalian. Aku tidak pernah meminta kekuatan ini.” Duta Langit menatapnya dingin. “Langit tidak menunggu permintaan. Begitu keseimbangan terganggu, kami bertindak.” Ia mengangkat tangan. Cahaya membentuk pedang suci di udara. “Dan sekarang, kau akan diuji. Jika gagal, jiwamu akan dihapus dari tiga dunia.” Yu Zhen mencabut belati pendek dari pinggang—senjata satu-satunya yang tersisa padanya. Tubuhnya masih lemah setelah menyatu dengan Inti Kegelapan, tapi semangatnya menyala. Pandangannya tajam, tubuhnya condong ke depan dalam posisi bertahan. Serangan pertama datang seperti kilat. Pedang suci menyambar dari atas, membelah udara dan menciptakan retakan di tanah. Yu Zhen menghindar ke kiri, meluncur dengan cepat. Tapi pedang itu mengejar, melengkung, dan memutar di udara. “Teknik penuntun! Ini bukan ujian, ini pembunuhan!” teriaknya. Ia melompat tinggi, memutar tubuh, dan melepaskan teknik defensif: Perisai Bayangan. Sebuah kabut hitam membungkus tubuhnya. Pedang suci menabraknya dan terpental—tak sepenuhnya hancur, tapi cukup membuat waktu. Yu Zhen terjatuh, lututnya menghantam tanah. Tubuhnya bergetar. Tapi matanya menyala. “Aku tidak akan mati sebelum membalaskan dendam itu.” Tiba-tiba, tanah di sekelilingnya bersinar dengan pola segel kuno. Duta Langit turun perlahan, menginjak udara. “Kau telah melepaskan kekuatan terlarang. Tapi menariknya, Langit tidak bisa membaca nasibmu.” Ia menatap Yu Zhen dengan ekspresi yang lebih lembut namun curiga. “Biasanya, kami bisa melihat akhir dari seorang manusia. Tapi kau seperti kabut. Jalanmu tidak terlihat.” Pemuda itu terdiam. Ia tahu mengapa: karena dalam gua itu, sang guru memberinya bukan hanya teknik bela diri, tapi juga Segel Penutup Takdir—mantra kuno yang memutus akses langit terhadap masa depan pemiliknya. Yu Zhen tersenyum samar. “Kalau kalian tak bisa melihat jalan hidupku kenapa tidak membiarkanku memilihnya sendiri?” Duta Langit tampak terguncang sesaat. Tapi ia cepat menguasai diri. “Pilihanmu bisa menghancurkan dunia. Atau menyelamatkannya. Karena itulah kami akan mengirim para Penjaga Langit untuk mengawasi atau menghabisimu.” Seketika, awan bergemuruh. Tiga sosok muncul di langit. Masing-masing mengenakan jubah keemasan dengan simbol langit di dada. Wajah mereka tertutup topeng naga putih. “Kami adalah Tiga Langit Penjaga. Jika kau menolak naik ke dunia atas dan menyerahkan kekuatanmu, maka kami akan mengejarmu ke ujung dunia.” Yu Zhen berdiri. “Aku tidak akan menyerahkan apa pun. Dunia bawah butuh keadilan. Sekte kami dibantai. Guru-guruku, murid-murid yang tak bersalah, mereka semua dibakar hidup-hidup. Tapi Langit tidak turun menolong.” Ia menggertakkan gigi. “Dan sekarang kalian baru muncul hanya karena aku menjadi ancaman bagi keseimbangan kalian?” Duta Langit memandangnya tanpa ekspresi. “Keputusan telah dibuat. Sekarang larilah, Yu Zhen! Dunia bawah akan menjadi medan ujian terakhirmu.” Awan membuka celah. Cahaya menyinari tubuh Yu Zhen, menariknya kembali ke dunia manusia. Tapi sebelum ia menghilang, Duta Langit berkata, “Satu per satu, kami akan mengirim para Penjaga Langit ke bawah. Kau akan diburu oleh semua dunia.” Dalam sekejap, tubuh Yu Zhen kembali terlempar ke langit dunia bawah. Ia mendarat di sebuah hutan gelap, tersungkur di tanah yang basah oleh hujan. Ia bangkit perlahan. Matanya menyala merah. Aura gelap perlahan keluar dari tubuhnya. “Kalau ini jalan yang kupilih, maka aku akan melawan mereka semua.” Di kejauhan, terdengar derap kaki kuda. Jumlahnya lebih dari jari kaki dan tangan. Yu Zhen memicingkan mata. Dari balik pepohonan, muncul bendera dengan simbol yang sangat ia kenal. Lambang Sekte Darah Iblis. Sekte yang menghancurkan rumahnya. Namun, tak hanya itu … Di tengah mereka, berdiri seorang pemuda tampan berambut putih, mengenakan baju perang merah kehitaman. Matanya menatap Yu Zhen tajam, penuh kebencian. “Yu Zhen, ternyata kau masih hidup.” Pemuda itu terkejut. Dia mengenal suara yang memasuki gendang telinganya.. “Kau murid utama Sekte, Shen Lie?!” Senyum dingin muncul di bibir pemuda itu. “Aku yang membocorkan lokasi sektemu. Semua ini dimulai dariku.”Kabut hitam itu menggulung seperti pusaran badai, membawa hawa kematian yang menggigit hingga ke tulang. Yu Zhen menahan napas, tubuhnya kaku menghadapi energi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Lian Fei berdiri di sampingnya, wajahnya pucat, tatapannya terpaku pada sosok raksasa berzirah hitam yang melangkah mendekat dengan langkah berat. "Itu... bukan manusia biasa," gumam Lian Fei. "Dia disebut Penjaga Neraka," jawab Yu Zhen pelan, suara sang Guru tua dari masa latihannya bergema dalam pikirannya. "Dibangkitkan hanya ketika rahasia terdalam sekte hendak diungkap." Penjaga itu mengangkat pedang besar seukuran tubuh manusia dewasa. Ujungnya menyala merah seperti besi yang baru ditarik dari kobaran api. Setiap langkahnya menggetarkan bumi. Yu Zhen menelan ludah. Energi dari gulungan pusaka di tangannya masih berdenyut. Tapi ia belum tahu cara memakainya. Ia hanya merasakan resonansi kuat antara pusaka itu dan tubuhnya sendiri. "Kita tak bisa melawan makhluk itu secara
Yu Zhen memilih berisitirahat di atas bukit untuk menghabiskan malam yang tak lama lagi akan berganti gelap. Sedang Lian Fei memilih turun untuk mencari hewan buruan sebagai pengisi perut. Suasana pegunungan mulai berubah. Kabut tipis turun perlahan, menyelimuti rerimbunan pohon pinus dan jalan setapak berbatu yang kini mulai tampak licin oleh embun. Aroma tanah basah dan getah kayu menusuk hidung, mengingatkan Yu Zhen pada malam-malam kelam di Sekte Bayangan Senja—saat ia harus bangun paling awal dan tidur paling akhir. Dulu, ia dianggap tak lebih dari pelayan, hanya anak yatim piatu yang ditemukan di depan gerbang sekte. Tapi kini, ia adalah pembawa nyala dendam yang tak akan padam sebelum seluruh darah penghianat tertumpah.Di saat Yu Zhen terbuai oleh lamunan masa lalu, Lian Fei mendekat dari sisi lain, langkahnya ringan namun waspada. "Aku menemukan bekas jejak kaki di sebelah timur," ucapnya pelan, "Berat langkahnya menunjukkan seseorang membawa beban, mungkin terluka atau se
Tubuh Yu Zhen melayang jatuh, angin mendesir tajam di telinganya. Ia sempat mencondongkan tubuh ke samping, mengerahkan teknik ringan tubuh yang diajarkan Mo Jian. Kedua telapak tangannya menempel pada dinding lubang, memperlambat laju jatuhnya. Meski tubuhnya tergores batu-batu runcing, ia berhasil memiringkan arah jatuh dan mendarat di sela-sela tombak kayu, bahunya menghantam keras salah satu batang, tapi itu lebih baik daripada tertusuk lurus. Duk! Suara keras bergema, diikuti suara napas tertahan dari atas. Lian Fei menatap lubang itu dari atas dengan cemas. "Yu Zhen! Kau masih hidup?!" "Masih! Tapi aku tak bisa keluar dengan mudah!" seru Yu Zhen, merintih sambil menekan luka di sisi perutnya. Tombak kayu telah merobek sebagian pakaiannya, dan darah mulai merembes. Lian Fei mengikat tali panjang di tombaknya dan menurunkannya ke dalam. "Cepat! Pegang ini! Aku akan menarikmu keluar!" Yu Zhen menatap sekeliling. Lubang itu terlalu sempit untuk menghindar jika ada serangan dar
Hutan timur diliputi kabut tebal, embun menggantung di pucuk dedaunan, dan tanah basah menyerap setiap jejak kaki. Di antara lebatnya pepohonan dan semak belukar, Yu Zhen melangkah dengan kehati-hatian seorang pemburu. Di punggungnya, sebilah pedang warisan sesepuh sekte tersembunyi dalam sarung kayu tua. Tubuhnya tinggi dan ramping, dengan sorot mata setajam elang. Rambut hitamnya terikat longgar ke belakang, menyisakan beberapa helai yang menempel di kening karena peluh.Sejak kaburnya ia dari reruntuhan sekte Gunung Kelam, Yu Zhen tidak pernah benar-benar berhenti. Ia berpindah dari satu lembah ke lembah lain, menghindari perhatian dan menyusun siasat balas dendam. Tapi pagi itu, ia merasa sesuatu berbeda. Udara berbau logam, hawa di sekitarnya menekan, dan langkah kuda samar-samar terdengar dari utara."Mereka menemukanku... lebih cepat dari yang kuduga," gumamnya, menggenggam erat gagang pedangnya.Di kejauhan, suara nyaring peluit membelah kesunyian. Seekor burung hitam beterban
Hujan mulai turun, perlahan tapi menusuk. Rintiknya jatuh di tanah berlumpur dan di wajah Yu Zhen yang masih mematung, menatap sosok yang seharusnya telah lama mati dalam benaknya: Shen Lie, murid utama yang dahulu dielu-elukan oleh para tetua Sekte Seribu Embun, tempat Yu Zhen dulu dibesarkan—dan dikhianati."Kenapa...?" gumam Yu Zhen.Tawa dingin Shen Lie menggema di antara derik ranting dan gemuruh petir. "Karena aku muak dipaksa memanggil bajingan rendahan sepertimu 'junior murid.' Kau bahkan tak layak membersihkan debu sepatuku. Tapi karena sesepuh itu, kau mendapat tempat di sekte kita. Kau pikir aku akan membiarkannya begitu saja?"Yu Zhen mengepalkan tangan. Hujan tak lagi terasa. Yang ia rasakan hanyalah amarah—namun juga luka lama yang kembali membara.---Tiga tahun laluDi pelataran belakang sekte, di balik dapur dan tungku air panas, seorang remaja kurus berdiri dengan tali kayu bakar menggelayut di punggungnya. Kulit tangannya lecet, bajunya sobek di beberapa bagian."He
Langit retak. Cahaya keemasan menembus kehampaan, menghancurkan setiap lapisan ruang yang dilewatinya. Tubuh Yu Zhen terangkat, terperangkap dalam tarikan paksa kekuatan surgawi.Tubuhnya bergetar hebat, seolah daging dan tulangnya ditarik ke arah berbeda. Di balik sorotan cahaya, ia melihat kilatan petir ungu dan pusaran angin surgawi yang memutar ruang dan waktu. Seketika, semuanya menjadi putih.Udara segar menghantam wajahnya. Angin gunung meniup rambut hitam legam yang tergerai panjang hingga melewati bahu. Mata Yu Zhen perlahan terbuka—hitam pekat, namun dalam, seakan menyimpan malam yang tak berujung. Di wajahnya yang tampan namun penuh luka, tampak bekas darah kering di pelipis dan dagu. Tubuhnya kurus berotot, seperti hasil dari kerja keras bertahun-tahun dalam kesunyian.Pemuda itu kini terbaring di tengah padang rumput luas. Tapi ini bukan tempat yang ia kenal.Di cakrawala, bangunan menjulang tinggi seperti istana para dewa. Pilar-pilar dari cahaya, tangga-tangga yang mela