Share

08

Suara burung yang sedang berkicau di pagi hari membuat seorang wanita terbangun dari tidurnya. Dia membuka matanya perlahan-lahan.

"Queen, anda sudah bangun?"

Alina menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Setelah diingat-ingat dia tertidur karena kelelahan bertarung dengan macan milik klan sora. Setelah di obati oleh penyihir dia langsung tidur karena tubuhnya sangat lelah. Meskipun belum sembuh total, tubuhnya hari ini terasa lebih segar daripada kemarin.

"Bagaimana dengan keadaan Yang Mulia?"

"Yang Mulia baik-baik saja, Queen."

"Baguslah. Berarti aku tidak perlu menggantikan pekerjaannya."

Alina meminta Marisa membantunya membersihkan diri karena dia ingin berjalan-jalan sebentar di hutan. Marisa melarang Alina dengan alasan tubuhnya belum pulih. Alina tetap meyakinkan Marisa jika tubuhnya sudah sembuh.

"Aku bisa menyembuhkan tubuhku sendiri, apa kau meragukan Queen dari kerajaan ini?"

Marisa membungkuk mendengar pernyataan Alina. Kekuatan Queen dari kerajaan ini memang tidak bisa di ragukan. Keluarganya memegang kendali dari setengah kesatria kerajaan. Sang adik— Alvino, dia bertanggung jawab untuk keamanan seluruh kerajaan. Seluruh keluarganya memiliki peran penting di dalam kerajaan. Bukankah sudah jelas sekuat apa Queen mereka jika di lihat dari latar belakang keluarganya.

***

De'lewis, siapa yang tidak mengenal keluarga bangsawan itu, keluarga yang di akui banyak orang sebagai jenderal kerajaan. Keluarga yang Kekuatanya di akui oleh kerajaan hingga saat ini. Tidak hanya itu, prestasi mereka di bidang militer tidak perlu di ragukan, bahkan dari generasi ke generasi prestasi itu semakin mengagumkan. Nama De'lewis di berikan raja terdahulu sebagai hadiah karena kemenangan mereka dalam setiap peperangan, sekaligus karena nama mereka terkenal di dalam peperangan. Kekuatan mereka yang bisa menghancurkan sebuah kerajaan membuat kerajaan musuh segan mencari masalah dengan kerajaan Dharmaraja, mereka yang tidak ingin kerajaanya musnah oleh jenderal kerajaan itu akhirnya memilih berdamai dan terbentuklah lima kerajaan besar. Prestasi mereka yang secara tidak langsung menyatukan sekaligus menundukkan kelima kerajaan besar tentu saja membuat keluarga mereka di segani, bahkan kelima kerajaan besar juga sangat menghormati mereka.

"Lihat bukankah dia Marquise De'lewis?"

"Anak tertua dari keluarga De'lewis maksudmu?"

"Aku kira mereka sudah menjadi reruntuhan sejarah karena terlalu lama menempati posisi petinggi kerajaan."

"Tutup mulutmu!" Salah satu Nyonya bangsawan berbisik memperingatinya, "mereka bisa menghancurkan keluargamu sampai tujuh turunan!"

"Betul! Kau tidak dengar beritanya? Keluarga mereka bahkan tidak mengeluarkan ekspresi saat membunuh orang. Kau akan melihat ekspresi dingin mereka ketika kau di bunuh."

Arise terus berjalan dengan gaun berwarna biru tua yang menjuntai ke lantai. Dia sebenarnya ingin sekali merobek mulut para nyonya bangsawan itu, tetapi Alrico menahanya.

"Biarkan saja, lagipula itu menguntungkan untuk kita. Setelah ini tidak akan ada yang berani mengusik lagi."

Arise mendengus. Sebenarnya apa yang di pikirkan oleh adik tampanya ini? Dia tidak seperti Alina yang sabar, atau seperti Albren yang tidak pernah peduli apalagi seperti Alrico yang berpikir dua kali sebelum bertindak. Dia sama seperti Alvino yang akan langsung naik pitam jika keluarga mereka di hina orang.

"Di depan sana ada kepala keluarga Mada, keluarga mereka pedagang yang sukses. Jika Kakak bisa bekerja sama denganya, kita akan sangat di untungkan."

"Apa keuntunganya untuk kita?"

"Kita bisa dengan mudah menjual permata kita dengan bantuanya."

Arise berjalan menghampiri kepala keluarga Mada. Dia laki-laki yang sepertinya seumuran dengan Arise. Saat laki-laki itu ingin berbalik, Arise menjatuhkan dirinya yang membuat minuman di tanganya tumpah mengenai tuxedo yang di gunakan laki-laki itu.

"Astaga! Maafkan saya tuan, ini semua karena kecerobohan saya."

Arise berakting terkejut yang terlihat sungguhan di mata semua orang. Alrico tercengang melihat akting kakaknya yang sangat natural. Arise mengambil sapu tanganya dan membantu laki-laki itu membersihkan tuxedo yang terkena minuman.

"Biar saya bantu, Tuan."

"Terimakasih Nyonya Marquise."

"Anda tahu nama saya?" tanya Arise tidak percaya— kaliini sungguhan bukan akting.

"Tentu saja saya tahu. Siapa yang tidak tahu Nyonya Marquise, kepala keluarga dari keluarga yang terkenal dalam peperangan."

Arise tertawa mendengar tanggapan orang-orang tentang keluarganya. Mereka akhirnya berbincang-bincang berdua dan mengabaikan Alrico yang sejak tadi masih tidak percaya jika kakaknya pintar menarik perhatian seorang laki-laki. Padahal sejak sepuluh tahun yang lalu kakaknya berkata jika tidak akan pernah berdekatan dengan laki-laki.

"Dewa benar-benar mudah membolak balikkan perasaan seseorang."

Alrico berjalan menjauhi kedua orang itu. Dia berjalan menuju balkon ruangan. Malam ini mereka dapat undangan pesta dari perancang baju ternama dari kerajaan ini. Tujuan dari sebuah pesta tentunya untuk memperkenalkan model pakaian baru yang dia rancang. Sebenarnya Alrico tidak tertarik tetapi kakaknya memaksa dia untuk ikut, dan seperti inilah nasibnya sekarang.

Alrico menatap langit yang di penuhi bintang. Dia teringat kejadian saat kakak keduanya dinyatakan meninggal. Saat itu dia benar-benar takut bahkan hampir membunuh Cyril saking takutnya. Dia masih di hantui dengan kematian orang tuanya. Saat itu dia melihat jasad orang tuanya yang di bawa pulang bersama dengan Alina dan Alvino. Saat itu dia sedang menemani Albren bermain, dia yang melihat Alvino bersama Alina terkejut— adiknya itu tiba-tiba menghilang saat bermain bersama mereka.

"Kau darimana saja? Kau membuat aku khawatir, dasar-" Alrico terdiam melihat wajah dan pakaian milik Alina dan Alvino yang berantakan.

"Kenapa Kakak kembali? Apakah kalian tidak jadi berpergian? Lalu dimana yang lain?"

"Itu apa, Kak?" tanya Albren yang saat itu berumur sepuluh tahun. Laki-laki itu berjalan memghampiri peti putih yang baru saja di keluarkan dari lingkaran sihir.

Albren membuka peti itu dengan wajah penasaran. Saat peti itu terbuka, dia langsung terduduk melihat isi dari peti itu. Meskipun wajahnya tidak bisa di kenali, dia masih bisa mengenali perhiasan di lengan yang orang dia dalam peti itu gunakan.

"Ibu!"

Albren berteriak kencang. Alrico segera menghampiri adiknya dan berusaha menenagkanya. Tanpa di beritahu oleh siapapun Alrico sudah tahu apa yang terjadi, kedua orang tuanya tewa di perjalanan menuju kerajaan Orion, hanya kakaknya yang selamat— setidaknya masih ada yang selamat.

Saat itu mereka masih anak-anak berumur belasan tahu. Mereka hanya tahu belajar dan bermain, mereka tidak pernah berpikir akan di tinggalkan oleh orang tuanya secepat ini. Sejak saat itu dirinya mulai belajar menjadi kakak laki-laki yang baik untuk kedua adiknya sekaligus pelindung untuk kedua kakaknya. Tentu saja saat mendengar kabar tentang Alina dia sangat marah, amat sangat marah, tetapi dia harus mengendalikan emosinya karena harus menenangkan adik kecilnya yang lepas kendali.

"Aku sampai tidak sadar jika kalian juga bertambah kuat. Aku benar-benar saudara yang buruk sampai mengabaikan saudaranya sendiri."

"Tidak. Kau saudara laki-laki paling baik yang pernah aku punya. Kau sudah bekerja keras, Alrico. Jangan hanya memperhatikan kami, tapi perhatikan juga dirimu."

Arise datang dari belakang Alrico dan langsung merangkul pundak laki-laki itu. Sejujurnya Arise ingin mengtakan jika Alrico adalah saudara paling baik yang dia punya. Laki-laki itu selalu berusaha melakukan tugasnya dengan baik, bahkan dia berhasil menjadi kakak laki-laki yang baik untuk Alvino dan Albren. Tapi rasa gengsi membuat dia mengurungkan niatnya.

"Dan kau berhasil menjadi pelindung untuk ku dan Alina. Sungguh, kau Adik paling baik. Aku sangat bersyukur memiliki Adik sepertimu, Alrico. Dan terimakasih karena memberi aku dan Alina kesempatan utnuk menjadi Kakakmu." batin Arise sambil menatap Adiknya lembut. Alrico tidak menyadari tatapan kakaknya karena sibuk memandangi langit malam.

"Terimakasih."

Alrico menoleh, "Untuk?"

"Untuk semuanya. Terimakasih karena sudah bekerja keras, Alrico." Arise memeluk adiknya dengan erat. Dia tidak bisa membayangkan jika kehilangan salah satu dari keempat adiknya. Bahkan saat kejadian Alina waktu itu Arise hampir menangis jika tidak melihat kejanggalan dari tubuh Alina.

"Lagipula si brengsek Cyril itu terlalu tentang saat kematian Alina. Pasti dia sudah tahu jika Alina masih hidup." Arise mendengus, dia tidak akan tahu kejanggalan di tubuh Alina jika tidak melihat Cyril yang terlalu tenang.

TBC.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status