Share

5. Ceraikanlah Dia

Pukul 7:30 malam. Agnes berada di mansion utama keluarga Rodgers untuk makan malam bersama ayah dan ibu mertuanya. Di meja makan yang panjang dan luas, dia berhadapan langsung dengan Tuan Allan Edric Rodgers dan Nyonya Titiana Rodgers, orang tua Aaron.

Ada sebulat tekad kuat di wajah cantik Agnes saat memberanikan diri datang ke sini, bahwa ia tak mau lagi dianggap payah oleh mereka. Karena rencana kedatangannya hari ini adalah untuk membuat ayah dan ibu mertuanya itu luluh dan tidak memusuhinya lagi.

Diam-diam, Agnes mengetik pesan di ponselnya sambil tersenyum penuh arti.

"Jadi, kenapa kau datang ke sini, Agnes?" Titiana akhirnya bertanya. Nada bicaranya terdengar malas sebagaimana lirikannya pada Agnes. "Kalau kau sampai berani ke sini, artinya kau punya sesuatu untuk dipamerkan. Iya, 'kan?"

Agnes tetap tersenyum, berusaha tak mempermasalahkan sikap tak ramah yang memang selalu ia dapatkan dari sang ibu mertua.

"Kenapa Ibu berpikir begitu? Tidak bisakah menantu kalian ini ikut makan malam bersama ayah dan ibu mertuanya?" balas Agnes, pura-pura ramah.

Allan mendengkus. Sambil fokus memotong steak-nya, dia berkata, "Kudengar kau baru saja memenangkan piala penghargaan di salah satu acara penghargaan stasiun televisi." Allan memiringkan kepala berpikir, "Mmm, apa namanya?"

"Seleb Award, Yah!" Agnes bersemangat. "Ayah tau itu? Wah! Tidak kusangka ayah mertua memperhatikan karierku!"

"Astaga ..., siapa yang memperhatikanmu, Agnes?" Titiana menyahut sambil merotasikan mata kesal. "Seorang wartawan datang ke kantor untuk mewawancarai suamiku karena penghargaan tidak pentingmu itu. Konyol sekali, bukan? Itu wartawan suruhanmu, ya? Untuk apa? Untuk memamerkan betapa tidak bergunanya kau sebagai menantu keluarga Rodgers?"

Titiana memandang Agnes dengan tatapan paling mencemooh yang belum pernah Agnes dapatkan dari siapa pun seumur hidupnya.

"Aku heran kenapa Aaron tak kunjung menceraikan wanita tak berguna sepertimu, yang hanya mementingkan karier tanpa memikirkan pewaris bagi suaminya sendiri. Tidakkah kau merasa berdosa karena masih menikmati kekayaan di keluarga ini?"

Titiana mendengkus. "Kau bahkan sudah tua, Agnes. Umurmu 32 tahun, 'kan? Sementara Aaron kami sudah 34 tahun. Mau sampai kapan kau menunda kehamilan, huh? Sampai kau jadi nenek-nenek? Atau sampai kami meninggal? Agar kau bisa menguasai kekayaan keluarga Rodgers nantinya. Begitu, 'kan?"

Di bawah meja, Agnes diam-diam mengepalkan kedua tangan menahan emosi. Selama dua tahun menikah dengan Aaron, belum pernah sekalipun ia dihargai oleh sang ibu mertua. Agnes benar-benar membencinya. Dia juga membenci Allan yang hanya diam seolah apa yang dikatakan Titiana adalah apa yang memang ingin ia katakan pada Agnes.

Mungkin inilah risiko yang harus Agnes terima karena setuju menikah dengan Aaron di saat tak ada rasa cinta-kasih sedikitpun di antara mereka. Namun, kalau bukan karena wasiat terakhir kakeknya dan kakek Aaron, dia juga enggan berada di keluarga konglomerat ini!

Agnes menunduk, sekuat mungkin dihalaunya kedua mata yang mulai berkaca-kaca. Lalu, wanita itu menarik napas dalam-dalam seraya mendongak. Dia tersenyum lebar.

"Kebetulan sekali, Bu. Sebenarnya, kedatangan kami ke sini adalah untuk mengakhiri kekhawatiran ayah dan ibu mertua mengenai pewaris."

Allan menoleh bingung. "'Kami'?"

Tepat di detik itu, Aaron datang memasuki ruang makan dengan masih mengenakan setelan kerja. Dia mendekati Agnes dengan langkah panjang.

"Ada apa? Kenapa mengirimku pesan agar pulang dari kantor dan langsung ke sini?" bisik Aaron sebelum kemudian beralih menatap Allan dan Titiana. "Kaliankah yang menyuruh kami ke sini? Untuk apa?"

Agnes tidak membiarkan siapa pun menjawab pertanyaan itu. Ia langsung berdiri dan bergerak cepat memeluk lengan Aaron agar mendekat padanya. Aaron tentu tersentak kaget, tapi Agnes mengabaikan, tidak pula melepaskan cekalannya. Dengan senyum yang semakin lebar, wanita itu pun berkata,

"Ayah, ibu. Sebentar lagi ... pewaris untuk keluarga Rodgers akan lahir!"

Semua orang mengerjap kaget, sementara Agnes justru meletakkan sebuah testpack di atas meja yang sontak diraih heboh oleh Titiana.

"K-kau ...?" Titiana membekap mulut syok.

Agnes mengangguk. Kepalanya bersandar di lengan Aaron sambil sebelah tangan mengusap lembut perutnya sendiri.

"Iya, Bu. Aku ... hamil!"

***

"Aw! Lepaskan, Aaron! Kau mau meremukkan tanganku, hah?!" amuk Agnes seraya menyentak paksa tangannya dari cengkeraman Aaron.

Tiba di kamar mereka, Aaron akhirnya melepaskan tangan Agnes setelah menarik istrinya itu sejak keluar dari mobil masing-masing. Ya, keduanya baru saja pulang terpisah dari mansion utama.

"Apa maksud perkataanmu di depan ayah dan ibu tadi, hah? Dan, testpack siapa ini?" Aaron mengangkat benda kecil bergaris dua merah yang telah membuatnya geger di mansion keluarga tadi.

"Siapa lagi? Tentu saja milik istri mudamu," balas Agnes sambil bersedekap angkuh. "Kau pikir sungguhan aku yang hamil? Cih! Tidak sudi!"

Aaron menahan napas. Testpack dalam genggamannya sontak ia tatap lamat-lamat dengan ekspresi syok.

"Ja-jadi ... Rihanna akhirnya hamil?"

"Ya. Kenapa? Kau tidak senang?"

Aaron tidak menjawab. Dia hanya diam menatap benda itu tanpa suara.

"Yah, terserah saja. Aku tidak peduli mau kau senang atau tidak, yang penting rencanaku sudah berjalan dengan baik."

Sambil berkata demikian, Agnes melangkah ke lemari besar di kamar mereka dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana.

"Hei, lihat, Aaron! Tidakkah aku seperti wanita hamil sekarang?!"

Aaron akhirnya mendongak setelah mendengar suara antusias sang istri. Namun, dia kemudian mengernyit. Merasa aneh melihat sebuah perut silikon khas ibu hamil terpasang di tubuh wanita itu.

"Kau sedang apa?" tanyanya datar.

"Apa lagi? Tentu saja mempersiapkan rencana selanjutnya! Ayah dan ibu tahu kalau aku hamil, jadi aku harus totalitas, 'kan?" Agnes mengibaskan rambut sambil mengelus-elus perut palsunya. "Duh, tidak kusangka kemampuan aktingku akan berguna di situasi seperti ini!"

"Jangan gila, Agnes!" Suara Aaron menajam. "Kesepakatan kita tidak seperti ini! Kau tidak pernah berkata akan pura-pura hamil di depan ayah dan ibuku!"

"Oh, ya? Yah, sekarang kau sudah tahu, 'kan? Aku akan pura-pura hamil mengikuti kehamilan Rihanna, dan akan pura-pura melahirkan ketika dia melahirkan. Jadi, anaknya nanti akan terlihat seperti anakmu dan anakku. Bukankah itu sempurna?"

"Dasar gila." Hanya itu reaksi Aaron. Entah apa yang membuat sang istri sampai mendapat ide sekonyol itu.

Namun, Agnes justru mendengkus. "Memangnya kau mau apa, Aaron? Mengatakan pada ayah dan ibumu bahwa kau dan Rihanna telah menikah? Bahwa kalian sebentar lagi memiliki anak? Lalu, Rihanna akan terus terjebak selamanya denganmu, begitu? Wanita muda itu harus menyerahkan seluruh hidupnya untukmu? Begitukah?"

Agnes tersenyum sinis. "Kau memang suamiku, Aaron, dan aku tahu aku gila. Tapi, Rihanna adalah adikku. Aku tidak akan membiarkannya terjebak terlalu lama dengan pria beristri sepertimu. Kau tahu berapa banyak mimpi-mimpi yang ingin wanita malang itu wujudkan dalam hidupnya? Dan kau ingin merenggutnya begitu saja? Iya?"

Aaron tertegun. Sesuatu seperti menghantam keras ulu hatinya, membuatnya menahan napas tak mampu bergerak.

Tiba-tiba, wajah sayu yang telah menemaninya selama tiga bulan terakhir terlintas di kepala pria itu. Wajah cantik yang kerap bersemu malu ketika memanggilnya 'mas', ketika tersenyum lembut, atau ketika mendesah di malam-malam panas mereka. Wajah yang juga sering terlihat murung ketika berdiri di depan jendela kamar, menatap mendung dan dunia luar, sementara ia terkurung sendirian di rumah pinggiran kota.

Rihanna Halim, seorang wanita muda yang memiliki ambisi hidup dan tekad kuat dalam hidupnya. Selama tiga bulan ini, benarkah Aaron telah merenggut seluruh ambisi wanita itu?

Aaron membuang muka. Wajahnya pias dan penuh penyesalan.

"Ya, kau benar. Aku ... tidak seharusnya menjebak Rihanna terlalu lama," gumamnya.

Agnes sontak tersenyum puas. Perlahan, dia pun berjalan mendekati Aaron. Disentuhnya lengan sang suami dengan gerakan lembut dan intens.

"Tepat sekali, Suamiku. Rihanna adalah wanita baik-baik. Dia pantas mendapatkan nasib yang baik pula."

Aaron semakin membuang muka dari Agnes dengan kedua rahang mengetat kuat.

Agnes berjinjit memegangi rahang kokoh itu. Lalu, dia berbisik lirih, "Jadi, setelah anak kita lahir nanti, kau ceraikanlah dia demi kebaikan Rihanna sendiri, lalu biarkan dia pergi. Mengerti, Sayang?"

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status