"Huda tunggu! Kamu mau ke mana?" tanya Rindi yang tampak kuyu.Namun, meski begitu, Huda sama sekali tak kasihan padanya. Sudah terlalu sering ia meminta wanita itu untuk tidak bersikap dan mengambil keputusan gegabah. Tapi nyatanya semua itu tak diindahkan. Untung saja dia punya teman yang ITE hingga bisa melacak keberadaan istrinya yang hilang. Dan lebih beruntung lagi, Naira tak menon aktifkan ponselnya, hingga syarat lokasi bis dicapai."Apa lagi? Sebaiknya kamu diam saja, oke!" ucap Huda yang bersiap pergi.Kali ini Huda akan memilih diam. Dia sudah bisa merasakan kebencian berlebih yang Rindi tujukan untuk Naira. Padahal mereka dulu bersepakat, dengan siapa pun Huda menikah, Rindu tak boleh cemburu berlebih apalagi menyakitinya. "Apa kamu tau sesuatu tentang Naira?" tanya Rindi yang penasaran dengan memegang lengan Huda. "Kamu tak perlu tau. Diamlah jika ingin kita tetap bersama." Ucapan Huda menekan dan dingin. Ia lalu menepis tangan wanita itu, sebelum akhirnya bergega
Rindi menatap ke jendela luar dengan mata penuh kebencian. Dari sorot yang tak fokus pada tujuan itu, tampak satu dua orang lalu lalang mengenakan pakaian keamanan. Menjaga kompleks mereka tinggal dari pencurian dan sejenisnya. Meski begitu, tetap saja tak ada kemanan di hatinya. Naira sudah merenggut perhatian dan cinta Huda darinya. Angka pada jam dinding sudah menunjukkan 02.10, tapi rasa kantuk belum juga datang. "Sial, insomniaku sampai kambuh gara-gara ini!" dengkusnya kesal sambil menghempas tirai jendela yang dipegang.Ia menyesal kenapa tak dari dulu saja menyingkirkan suaminya yang tua bangka dan hidup bahagia di kota. Dengan begitu ia tak perlu meihat pernikahan Huda dengan wanita lain. Matanya beralih pada benda di nakas, kala benda berbentuk pipih itu berdering. "Huda?" gumamnya heran. "Apa dia sudah menemukan Naira dan menasehatiku agar berbagi tempat dengan nyaman dengan perempuan jalang itu? Enak saja. Tidak bisa! Merekalah yang harusnya bercerai."Rindi pun mengk
"Kamu tak apa, Nai?" tanya Anggara setelah Naira terlihat lebih tenang.Wanita itu terhenyak. Pelukan Anggara terlalu nyaman untuk mengusir rasa takut yang baru saja singgah."Am, ya, Bos. Maaf." Naira menarik tubuh seketika. Dua pipinya bersemu malu karena sikap konyolnya sendiri.Anggara pun sama. Ia tiba-tiba merasa canggung karena wanita di depannya memeluk dengan erat. Jujur saja, dadanya berdentum kencang karena itu.'Bodoh sekali kamu, Ga! Sudah tau wanita itu lagi kesusahan. Malah mikir yang enggak-enggak. Apa kamu omes?' rutuknya dalam hati. Untuk menenangkan diri, lelaki itu biasa memaki dirinya sendiri."Ah, ya. Tak apa, Nai. Santai aja." Lelaki dengan senyum pipit itu menggaruk kepala tak gatal."Em. Sebenarnya ... suamiku, em suami saya ....""Gak usah formal, Nai. Lagian kita di luar kantor." Anggara memotong ucapan Naira."Ah, ya. Ga. Aku ....""Ehem." Anggara berdehem. Naira sontak mendongak, melihat wajah bosnya yang rupawan tengah menatap ke langit-langit.Dahi wani
"Naira!"Huda berlari ketika melihat sang istri dimasukkan ke mobil oleh seorang pria. Apa pria itu akan menculiknya? Atau jangan-jangan malah selingkuhan Naira.Sepersekian detik, kakinya mencapai mobil sebelum pintu di tutup."Bos!!" Naira tiba-tiba berteriak kencang."Bos?"Mata Huda memicing, ia yang sudah di depan pintu mobil sontak menoleh, dn melihat wajah Anggara dengan melebarkan mata. Dugaanya benar, bahwa Naira bekerja pada mantan pacarnya dulu. Namun, ia sadar itu bukan salah istri, sebab dari awal Naira sudah bercerita. Huda saja yang tidak perhatian.Huda tersentak hebat, kala seseorang menancapkan pisau di perutnya. Darah menitik deras di lantai parkiran.Mata Naira melebar, kala sadar bahwa yang ditusuk pisau adalah suaminya. Sementara Dana berlari tunggang langgang, dia memaki diri sendiri karena salah sasaran. Padahal sudah jelas-jelas yang ia tuju adalah Naira, tapi kenapa tiba-tiba Huda berdiri di depannya? Gawat jika berita ini sampai ke telinga Rindi, wanita i
"Gimana perasaanmu, Nai?" Anggara melirik pada wanita di sampingnya.Naira mengulum senyum meski matanya masih basah karena menangis."Sudah mendingan, Bos," sahutnya singkat.Wanita berparas ayu itu, masih memikirkan kondisi Huda. Ia hanya tak habis pikir jika kejadiannya akan seperti ini. Jika Rindi tahu, bahwa Huda yang tertusuk, apakah dia akan menyesal telah berbuat jahat pada istri sh Huda?"Kalau begitu berhentilah menangis, Nai." Anggara mengucap pelan. Sedang Naira yang mendengar itu, berkali-kali mengusap matanya kasar. Ia malu terus saja menangis di hadapan pria itu."Ya, maaf." Ucapan maaf meluncur dari mulut Naira. Ia tahu bahwa terlalu banyak merepotkan Anggara. Bisa jadi pria itu jug muak melihat tangisnya."Kupikir ... kamu dulu akan sangat bahagia hidup dengan Huda. Itu kenapa aku tak berani mendekatimu lagi." Anggara tiba-tiba menyebut bagaimana masa lalunya dulu. Ia menyesal melepaskan Naira begitu saja. Hanya karena Huda memintanya menjauh, dan mengatakan Naira sa
"Bukti?" Anggara mengernyitkan kening. Dia masih merasa ambigu pada pernyataan polisi."Ya, bukti. Kita perlu bukti untuk memproses tuduhan." Polisi menjelaskan lebih lanjut."Eum, bisa jadi ada bukti dari CCTV. Tapi itu tidak bisa menunjukkan wajah pelaku, karena ditutup masker dan memakai topi." Lelaki itu tampak psimis. Ia mendesah, apa iya ada harapan untuk menangkap pelaku yang dicurigainya."Apa Bapak mencurigai seseorang?" tanya polisi."Ya. Dia sebelumnya memasukkan racun ke minuman teman saya juga." CEO itu menjawab mantap."Jadi ada kejadian lain?" tanya petugas lagi. Anggara mengangguk."Berarti bisa jadi saling terkait kasusnya." Polisi menggumam. "Baiklah, kita akan coba selidiki."Jadi laporan saya akan diproses?" tanya Anggara lagi."Ya, tentu saja." Polisi menjawab mantap. "Silakan isi terlebih dahulu." Polisi memberikan sebuah buku tamu dan bolpoin.Lalu lelaki berseragam di depan Anggara mengajukan beberapa pertanyaan pada tamunya. Anggara menyebutkan semua yang dita
Wajah Rindi memucat pasi. Cepat ia seka keringat sebiji jagung menitik di pelipis. Apa polisi tahu, bahwa ia yang meminta Dana membunuh Naira? Gawat.Begitu pun Dana, ia berusaha mengendalikan diri meski tubuhnya bergetar karena merasa dicurigai. Sepasang matanya melirik pada Rindi yang juga sedang memerhatikan ekspresi lelaki tersebut."Em, maaf, Pak! Kebetulan saya ada di tempat kejadian. Saya dan seorang pria yang membawa istri Pak Huda, membawa Pak Huda yang tertusuk ke UGD." Hamdan cepat menyahut. Fokus polisi pun mengarah pada Hamdan. Polisi memperhatikan penampilannya dari atas hingga bawah. Lelaki tua yang kini membersamai dua orang lain yang tengah menunggui pasien."Nama Bapak siapa?" Satu polisi bertanya."Saya Hamdan." Cepat pria itu menjawab."Lalu ada siapa lagi?" tanya polisi lagi."Hanya saya, Ibu Naira yang berada dalam mobil dan teman prianya. Juga em, Pak Huda sebagai korban." Hamdan kembali menyahut. Tanpa ada beban di wajahnya.Polisi lalu melirik dua orang lain.
Naira celingukan. Mencari sosok seseorang. Padahal tak sampai setengah jam ia menuntaskan kewajibannya mengganti sholat, tapi temannya sudah pergi saja.Sementara Anggara yang tengah mengetik sesuatu dengan laptopnya, melirik sebentar pada wanita itu. Ia tahu, bahwa yang dicari pegawainya itu adalah Rena."Cari Rena?" tanya Anggara tanpa melihat pada Naira."Iya, Bos. Apa dia balik ke kantor?" tanya Naira polos."Huum. Dia kan harus kerja, Nai. Kamu juga harus cepat sembuh agar bisa kerja." Lagi, pria itu menjawab tanpa melihat pada pegawainya. Tangan pria itu sibuk menari di atas keyword. Naira menautkan dua alis. Benar juga yang bosnya katakan. Padahal dia mau minta tolong untuk melakukan rencananya."Trus, Bos gak kerja?" Wanita yang tampak lebih segar itu bertanya."Kamu lihat kan aku sedang bekerja sekarang." Anggara menegaskan. "Tapi kenapa gak di kantor?" tanya Naira tak mengerti."Karena aku lagi jagain kamu, Nai. Aku tahu Mas Danu pasti sangat sibuk sekarang. Istrinya juga