"Gimana perasaanmu, Nai?" Anggara melirik pada wanita di sampingnya.Naira mengulum senyum meski matanya masih basah karena menangis."Sudah mendingan, Bos," sahutnya singkat.Wanita berparas ayu itu, masih memikirkan kondisi Huda. Ia hanya tak habis pikir jika kejadiannya akan seperti ini. Jika Rindi tahu, bahwa Huda yang tertusuk, apakah dia akan menyesal telah berbuat jahat pada istri sh Huda?"Kalau begitu berhentilah menangis, Nai." Anggara mengucap pelan. Sedang Naira yang mendengar itu, berkali-kali mengusap matanya kasar. Ia malu terus saja menangis di hadapan pria itu."Ya, maaf." Ucapan maaf meluncur dari mulut Naira. Ia tahu bahwa terlalu banyak merepotkan Anggara. Bisa jadi pria itu jug muak melihat tangisnya."Kupikir ... kamu dulu akan sangat bahagia hidup dengan Huda. Itu kenapa aku tak berani mendekatimu lagi." Anggara tiba-tiba menyebut bagaimana masa lalunya dulu. Ia menyesal melepaskan Naira begitu saja. Hanya karena Huda memintanya menjauh, dan mengatakan Naira sa
"Bukti?" Anggara mengernyitkan kening. Dia masih merasa ambigu pada pernyataan polisi."Ya, bukti. Kita perlu bukti untuk memproses tuduhan." Polisi menjelaskan lebih lanjut."Eum, bisa jadi ada bukti dari CCTV. Tapi itu tidak bisa menunjukkan wajah pelaku, karena ditutup masker dan memakai topi." Lelaki itu tampak psimis. Ia mendesah, apa iya ada harapan untuk menangkap pelaku yang dicurigainya."Apa Bapak mencurigai seseorang?" tanya polisi."Ya. Dia sebelumnya memasukkan racun ke minuman teman saya juga." CEO itu menjawab mantap."Jadi ada kejadian lain?" tanya petugas lagi. Anggara mengangguk."Berarti bisa jadi saling terkait kasusnya." Polisi menggumam. "Baiklah, kita akan coba selidiki."Jadi laporan saya akan diproses?" tanya Anggara lagi."Ya, tentu saja." Polisi menjawab mantap. "Silakan isi terlebih dahulu." Polisi memberikan sebuah buku tamu dan bolpoin.Lalu lelaki berseragam di depan Anggara mengajukan beberapa pertanyaan pada tamunya. Anggara menyebutkan semua yang dita
Wajah Rindi memucat pasi. Cepat ia seka keringat sebiji jagung menitik di pelipis. Apa polisi tahu, bahwa ia yang meminta Dana membunuh Naira? Gawat.Begitu pun Dana, ia berusaha mengendalikan diri meski tubuhnya bergetar karena merasa dicurigai. Sepasang matanya melirik pada Rindi yang juga sedang memerhatikan ekspresi lelaki tersebut."Em, maaf, Pak! Kebetulan saya ada di tempat kejadian. Saya dan seorang pria yang membawa istri Pak Huda, membawa Pak Huda yang tertusuk ke UGD." Hamdan cepat menyahut. Fokus polisi pun mengarah pada Hamdan. Polisi memperhatikan penampilannya dari atas hingga bawah. Lelaki tua yang kini membersamai dua orang lain yang tengah menunggui pasien."Nama Bapak siapa?" Satu polisi bertanya."Saya Hamdan." Cepat pria itu menjawab."Lalu ada siapa lagi?" tanya polisi lagi."Hanya saya, Ibu Naira yang berada dalam mobil dan teman prianya. Juga em, Pak Huda sebagai korban." Hamdan kembali menyahut. Tanpa ada beban di wajahnya.Polisi lalu melirik dua orang lain.
Naira celingukan. Mencari sosok seseorang. Padahal tak sampai setengah jam ia menuntaskan kewajibannya mengganti sholat, tapi temannya sudah pergi saja.Sementara Anggara yang tengah mengetik sesuatu dengan laptopnya, melirik sebentar pada wanita itu. Ia tahu, bahwa yang dicari pegawainya itu adalah Rena."Cari Rena?" tanya Anggara tanpa melihat pada Naira."Iya, Bos. Apa dia balik ke kantor?" tanya Naira polos."Huum. Dia kan harus kerja, Nai. Kamu juga harus cepat sembuh agar bisa kerja." Lagi, pria itu menjawab tanpa melihat pada pegawainya. Tangan pria itu sibuk menari di atas keyword. Naira menautkan dua alis. Benar juga yang bosnya katakan. Padahal dia mau minta tolong untuk melakukan rencananya."Trus, Bos gak kerja?" Wanita yang tampak lebih segar itu bertanya."Kamu lihat kan aku sedang bekerja sekarang." Anggara menegaskan. "Tapi kenapa gak di kantor?" tanya Naira tak mengerti."Karena aku lagi jagain kamu, Nai. Aku tahu Mas Danu pasti sangat sibuk sekarang. Istrinya juga
"Walaiakumsalam." Naira menjawab salam, dari kehadiran temennya. Mata Anggara melebar melihat seseorang yang datang."Si-siaapa, Nai?" tanya Anggara menunjuk perempuan yang berdiri persis di depan pintu."Temen aku, Bos." Naira meringis."Aku gak disuruh masuk?" tanya Sinta yang merasa dianggurin."Eh, ya. Ayuk masuk!" seru Naira dari atas dipan. Yang membuat tamu itu akhirnya tanpa ragu mendekat. Ia melihat malu-malu pada pria tampan yang kini sedang memperhatikannya."Nai, dia siapa?" tanya Sinta berbisik kala sudah dekat pada Naira."Bosku," jawab Naira. "Kenapa di sini? Jagain kamu? Atau kamu jangan-jangan udah jalin hubungan sama dia?" cerocos Sinta. Sambil beberapa kali melirik pada Anggara yang kembali sibuk dengan pekerjaan."Ehem. Saya mendengar." Anggara berdehem. Lalu tersenyum bangga tanpa melihat pada dua wanita di seberangnya. Dia memang tampan, dan Anggara sadar itu. Tak heran banyak wanita yang baru mengenalnya gagal fokus kala berhadapan dengan pria itu."Oh, ya." S
"Rindi pasti sudah gila! Kenapa dia berani lapor polisi? Padahal dia otak pembunuhan Naira!" Dana memukul setir mobil berkali-kali karena kesal. Lalu meletakkannya di mulut sambil memikirkan banyak kemungkinan. Rindi sangat bodoh. Apa dia mau menyerahkan diri? Tidak mungkin. Wanita itu ular berbisa yang tidak mau menagalami kerugian dalam hidupnya. "Atau ... jangan-jangan ...." Teebersit sesuatu dalam kepala Dana. Bahwa Rindi telah curang dan licik. Wanita itu bisa saja hanya melaporkannya sebagai pembunuh sedang dia hanya melaporkan diri sebagai korban dan saksi."Argh! Sial!" teriak Dana lagi. Ia pun teringat sesuatu. Ia segera menepikan mobil. Diraihnya ponsel dalam kantong dan di matikannya. Lalu ke luar mobil dan mencegat taksi untuk mengantarkannya pergi."Polisi pasti akan melacak nomor ponselku dan nomor mobil. Sial! Semua ini gara-gara Rindi. Lihat saja nanti, aku pasti bisa membunuhmu," ucap Dana selagi menunggu mobil taksi yang mau berhenti.____________"Kamu mau ke ma
"Bosmu dingin?" tanya Sinta. Iya, sih ke Sinta dingin, tapi dia melihat dengan jelas bagaimana cara Anggara memandang Naira. Lelaki itu seperti tengah dimabuk cinta. Apa ini yang namanya mencintai dalam diam."Huum." Naira mengangguk. Tak begitu peduli pada ocehan Sinta."Tapi kenapa kamu terus tampak kesal? Apa kamu berpikir harusnya Anggara bosmu itu untuk tidak membebankan hutang? Tapi kan kalian orang lain dan bukan siapa-siapa. Jadi bukankah wajar jika dia menyebutnya hutang? Atau jangan-jangan kamu maunya Anggara bersikap manis karena kamu jatuh cinta padanya?" Panjang lebar Sinta bicara, tepat di kalimat terakhir membuat Naira merasa tertohok dan menoleh pada wanita itu.'Apa benar begitu? Apa sebenarnya aku jatuh cinta padanya?' batin Naira bertanya-tanya."Ah, gak mungkin!" Naira menggeleng cepat. Anggara tahu persis bahwa dia wanita beristri, dan lagi dalam kekacauan seperti ini setidaknya dia mengatakan alasannya dulu saat mereka masih pacaran, bukan pergi begitu saja, tanp
Naira menjatuhkan benda-benda dalam dekapan kala tubuhnya menabrak seseorang yang berada di depan pintu kamar."Ah, Bos. Buat kaget saja," gerutunya pelan.Wanita itu pun berjongkok untuk membereskan. Tangannya bergerak memungut benda-benda berserakan. Anggara yang sedari tadi menatap kesibukan Naira tanpa berbuat apa pun, turut berjongkok. Namun, bukannya ikut membereskan, lelaki itu justru terus menatap serius ke wajah Naira. Wanita itu jadi tak enak sendiri, tapi berusaha tenang dan menyelesaikan pekerjaannya. 'Ck. Dasar si Bos!'Ia hanya melirik sekilas pada Anggara yang menatapnya entah. Tatapan itu sama berarti saat dulu mereka masih bersama, seolah Anggara tengah memasang badan dan mengatakan dia rela berbuat apapun untuk wanita itu. Yah, tapi itu dulu, sebelum Anggara benar-benar kecewa dan meninggalnya."Nai," panggil lelaki itu pelan.Naira tak menghiraukannya dan tetap saja bergerak. Merasa wanita itu tak merespon, Anngara memberanikan diri memegang lengannya hingga Naira