Share

PLAYGIRL'S POTION
PLAYGIRL'S POTION
Penulis: Natalie Bern

01. Duo Basthard

Sebuah tas ransel berisi beberapa helai pakaian, perlengkapan kamar mandi dan tentu saja dompet serta map transparan berisi persyaratan administratif untuk mengikuti sebuah seleksi bertengger manis di punggung seorang gadis berusia delapan belasan.

Di depan rumahnya, seorang laki-laki sebayanya telah menunggu di atas sepeda motor matic.

"Bu, aku berangkat." pamitnya setelah mencium punggung tangan ibunya.

"Ya, hati-hati." Balas sang ibu sambil mengelus kepala anak gadis satu-satunya. "Bas, tolong awasi dia, ya."

"Siap, Tante." jawab laki-laki teman si gadis.

"Assalaamu 'alaikum." ucap salam si gadis dan temannya.

"Wa 'alaikum salam." jawab sang ibu.

Gadis yang mengenakana jaket denim itu pun kemudian mengenakan helm dan naik ke jok belakang sepeda motor matic temannya. Di ceruk antara kemudi dan jog sepeda motor teronggok sebuah tas ransel si pengemudi alias teman si gadis.

Pengemudi itu menganggukkan kepala penuh hormat pada ibu si gadis.

Sang ibu melambaikan tangannya mengiringi kepergian putrinya. Dan sang putri membalas lambaian tangan ibunya.

Hari masih cukup pagi, baru sekitar pukul lima. Dan sengaja mereka berangkat pagi untuk menghindari teriknya matahari siang kota berjuluk kota ledre, serta demi menghindari macetnya ruas jalan menuju pertigaan kota wingko. Dengan begitu juga mereka bisa berkendara dengan santai menuju kota yang DULUNYA terkenal dengan hawa sejuk, entah kini seperti apa.

Dua remaja beda gender itu memilih rute kota asal seorang kiyai besar yang terkenal dengan jargonnya "Gitu aja kok repot', karena memang rute itu lebih dekat jika dibandingkan harus lewat Surabaya. Apalagi mereka mengendarai sepeda motor, mana bisa lewat tol?

Dan bagian terfavoritnya adalah ketika melewati daerah Kasembon, Ngantang, Pujon hingga Kota Batu, hawanya itu lo suejuk ... suejuk .... Berdasarkan perkiraan, mereka akan melewati wilayah itu antara pukul 7.30 hingga 8.30 an saat kabut sudah menyingkir dari area pegunungan itu.

.

.

"Whuuuu ... ini keren, Bas." seru Thalia penuh semangat sambil merentangkan kedua tangannya.

"Norak, tahu?" ledek Bastian.

"Fakta ini, Bas. Fakta."

"Iya, tapi nggak perlu segitunya kali."

"Ya habis gimana? Aku baru pertama kali lewat sini. Sumpah ini keren."

"Ya ... ya ...."

"Nanti sarapan di mana?"

"Payung."

"Payung apaan?"

"Ada lah pokoknya nanti sebelum Batu, ada tempat nongkrong, nanti kita makan di sana." jelas singkat Bastian.

"Tempatnya enak, nggak?"

"Dijamin."

"Haalaaaal." seru keduanya kompak penuh semangat.

Syuuuuut ..., tiba-tiba Bastian mengerem mendadak. Membuat Thalia kelabakan saat posisi bokongnya bergesar beberapa senti ke depan. Sudahlah jog sepeda motor itu licin, ditambah Thalia memang tak berpegangan. Peluk pinggang, seperti orang pacaran? Yang benar saja? Pantang bagi Thalia. Dan inilah akibatnya, nempel ... emp ... uk.

Bugh!

"Adaw. Sakit, Non!" protes Bastian

"Sialan, kamu, Bas! Nyetir yang bener, donk. Mau cari kesempatan dalam kesengajaan ya?" maki Thalia sambil meninju punggung Bastian.

"Suudzon 'aja, sih. Itu ada kucing nyeberang. Lagian salah sendiri nggak mau pegangan." Bastian menghentikan laju sepeda motornya.

"Bukan mahram."

"Belagu!"

Di depan mereka seekor kucing sempat reflek menghentikan langkah kaki-kaki kecilnya saat sepeda motor Bastian tiba-tiba muncul. Kucing itu menoleh pada Bastian dan Thalia dengan mata menyipit, seperti sedang mengolok, waspada atau entah apa. Badannya berotot kekar dengan beberapa luka lecet bekas pertarungan. Sepertinya seekor penguasa wilayah. Ia menggondol sebujur ikan lele sebesar lengan Thalia.

"Lagian cuma kucing, sampai segitunya ngerem. Cepat jalan!"

Setelah kucing itu lewat, Bastian kembali melajukan sepeda motornya.

"Sembarangan. Entar kuwalat baru tahu bulat."

"Tahu rasa!"

"Rasa stroberi apa coklat?"

"Rasa pete."

Begitulah, tak pernah sejoli sahabat itu melewatkan perdebatan dalam setiap pertemuan mereka. Namanya juga teman akrab dari orok.

.

.

"Kok berhenti?" tanya Thalia heran.

"Katanya mau sarapan?" sanggah Bastian.

"Katanya di payung?"

"Ya ini Payung." Bastian menegaskan.

"Mana payungnya?"

"Tempat ini namanya Payung."

"Hah?" Thalia masih berpikir.

Payung yang Thalia bayangkan adalah sebuah tempat—kafe, rest area atau apa pun—yang memiliki meja-meja  dengan payung besar. Sedangkan tempatnya berada saat ini adalah rest area, bukan seperti rest area di jalan tol melainkan deretan kedai-kedai bambu lesehan di satu sisi jalan yang berupa lereng pegunungan.

Tapi tak disangkal, tempat ini memang bagus. Di sisi kanan jalan berupa bukit dengan barisan pohon-pohon pinus. Dan di sisi kiri warung-warung berderet di sepanjang jalan. Di balik kedai, tampak pemandangan di bawah pegunungan berupa pemukiman, vila-vila dan hotel-hotel.

Thalia mengikuti Bastian memasuki salah satu kedai. Sengaja Bastian memilih tempat paling dalam, atau tepatnya paling tepi dari kedai itu agar mereka bisa menikmati pemandangan luas yang terhampar di bawah—pemandangan Kota Batu.

Dan tak lupa, SELFIE. Kegiatan yang seolah wajib bagi setiap pengguna ponsel dalam setiap travelling.

Beberapa jepretan telah tersimpan dalam ponsel Thalia dan Bastian, baik di dalam maupun di luar kedai. Berbagai objek mereka abadikan—diri mereka sendiri, pemandangan spektakuler, pohon-pohon, awan-awan, makanan, minuman, bahkan kerikil nyempil pun tak ketinggalan.

Berbagai pose juga mereka lakukan—berdiri, duduk, jongkok, merentangkan tangan, rebahan, menunduk, mendongak, pura-pura terjun bebas, mengedipkan mata, makan, minum, mengupil ..., eh ...?"

Dipilih ... dipilih ... dipilih ... semua foto dipilih dan diposting. Akun medsos mereka pun menampilkan foto yang sebagian kecil aesthetic sisanya ... astaghfirullah ....

Perut kenyang, hati pun senang.

Lanjut ke Kota Malang, tarik, Bang.

"Kayanya nanti malam nginap di sini enak deh." seloroh Bastian ketika mereka melewati jalanan Kota Batu yang di kiri-kanannya banyak hotel dan vila, bukan pohon cemara. Pohon cemaranya sudah lewat tadi di Pujon.

"Excuse me?" sahut Thalia dengan penekanan.

"Kenapa?"

"Ooh ... nggak apa-apa, cuma nggak jelas aja dengarnya." kilah Thalia kemudian.

"Pasti suudzon lagi, 'ni."

"Nggak."

.

.

Setelah perjalanan etape kedua, jjiahh memangnya Tour de France, di mana mereka harus bermacet-macet ria di sekitar Dinoyo dan Sumbersari, sampailah kedua sahabat Basthard—Bastian Thalia absurd—di komplek kampus universitas negeri yang identik dengan lambang Ganesha.

Dan di sinilah dua orang sahabat sekampung, se-TK, se-SD, se-SMP, se-SMA sedang duduk-duduk di sebuah gazebo di dalam komplek kampus tersebut. Dan kesan ndeso pun tak bisa disembunyikan. Biarlah, nantinya juga mereka bisa menyesuaikan diri. Dan apakah sejoli Basthard akan berlanjut sekampus, sefakultas? Kita lihat saja nasib mereka dalam beberapa hari ke depan.

Bastian mengeluarkan ponsel dari salah satu kantong ranselnya. Waktu menunjukkan pukul 09.36 WIB di layar ponsel. Bastian mencari sebuah nama dalam daftar kontaknya, lalu menelepon nama itu.

"Yo, Bas." sapa suara di seberang.

"Yo, Dhim. Aku sudah di kampusmu." jawab Bastian.

"Di mana tepatnya?"

"Sebentar, ini di mana ya? Ya, Lia, ini di mana?"

"Aku juga nggak tahu."

"Nggak tahu ini, Dhim."

"Di sekitar kamu, kamu lihat apa?"

"Oh ini, ada lapangan besar, di dekatnya ada gedung yang tinggi."

"Oh, rektorat. Oke, kamu tunggu aja di sana. Aku paling sekitar sepuluh menit sampai di tempat kamu. Aku lagi nggak di kampus soalnya, jadi agak lama."

"Oke, Dhim."

.

.

Setelah melewati ruas jalan di depan perpustakaan besar kampus dan hasilnya nihil, Dhimas memutar balik sepeda motornya, lalu melewati jalan di sisi lain lapangan di depan rektorat. Dan di sinilah duo Bhasthard telah menunggu.

"Hei, Bastian." sapa Dhimas sambil melepas helm.

"Hei, Dhimas."

Kedua teman yang sudah setahun tak bersua itu saling berjabat tangan.

"Oh ya, Dhim, kenalin ini temanku."

Dhimas dan Thalia saling mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dan berkenalan.

"Dhimas."

"Thalia."

Serasa terhipnotis, teman Bastian yang berambut gondrong itu memelototi, bukan, melainkan menatap terpesona pada sosok gadis berkulit sawo matang dengan rambut lurus yang diikat longgar di bawah tengkuknya.

"Sudah, lepas!" suara Bastian membuyarkan keterpesonaan Dhimas. "Bukan mahram."

"Apaan, sih." protes Dhimas.

Sedangkan Thalia tersenyum canggung.

"Ya sudah, kita ke kantin sekarang."

"Nggak usah, Dhim. Kita sudah sarapan, kok." Bastian pura-pura menolak.

"Beneran, 'ni? Bagus lah, berarti aku nggak perlu nraktir kamu."

"Sialan!"

"Kamu sendiri yang nolak. Yuk lah, cepetan! Aku belum sarapan."

Ketiga orang itu kemudian meninggalkan posisi mereka semula di depan Widyaloka. Bastian dan Thalia berboncengan, mengekori Dhimas menuju parkiran Fakultas Ekonomi. Lalu ketiganya berjalan menuju kantin.

_______

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ar_key
mantab ... ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status