Hari berikutnya, semua kembali seperti semula. Lyra dengan kesibukan yang tidak pernah selesai dan Brian masih dengan hobinya membawa wanita di sela pekerjaannya. Lyra hanya diam saja, tidak peduli dengan kegiatan pria itu sepeti sebelumnya. Selama Brian tidak menganggu pekerjaannya dengan menyuruh wanita yang datang dan mengaku memiliki anak dari pria itu. Hal biasa, yang sudah diatasi oleh pihak keamanan. Lyra menggeleng, ngeri juga dengan hobi pria itu.
“Lyra, nanti malam kamu ikut saya ke London.”
Lyra lekas mendongak saat mendengar suara yang sudah akrab dengan telinganya. Dia menatap Brian dengan bingung. “Maaf?”
Pria itu sangat panjang umur, pikir Lyra. Baru saja dipikirkan, tahu-tahu sudah muncul di depannya, bahkan dia tidak sadar sejak kapan Brian keluar dari ruangannya.
Brian yang sudah berdiri di depan meja Lyra, menatap wanita itu dengan tajam. apa sejak kejadian beberapa hari lalu, fungsi telinga wanita itu bermasalah? Sudah jelas sekali dia mengajak sang asisten ke London.
“Kamu dengar baik-baik. Nanti malam kita harus segera ke London,” ulangnya dengan nada penuh penegasan. Tatapannya yang tajam seakan menegaskan dia tidak suka mengulang kalimatnya berkali-kali.
Namun, Lyra masih bertahan dengan ketidakpahamannya. “Kita? Saya ikut, Pak?”
Brian memutar bola matanya malas. “Iyalah. Di sana kita harus mengunjungi pesta perusahaan Global Inxo. Kamu mau membiarkan saya sendiri di sana?”
Lyra menggaruk bawah telinganya dengan pelan. Pertanyaannya, sejak kapan sang atasan mengajaknya ke pesta perusahaan rekan bisnisnya. Padahal sebelum ini, Brian lebih suka membawa wanitanya ke san. Namun, Lyra pun kali ini hanya mampu menganguk, tidak ingin memperpanjang pertanyaannya. Takut-takut sang atasan tidak dalam mood yang baik.
Brian berdecak puas melihat anggukan tersebut. “Setelah pulang dari kantor, kamu langsung ke apartemen saya.”
“Hah!” Lyra memekik, lagi dia dibuat terkejut dengan perintah pria itu. “Untuk apa, Pak?”
“Ya, kita segera bersiap di sana.”
“Tap—“
Brian memajukan wajahnya, menatap wanita itu dengan intens. Dia mengamati sikap Lyra yang beberapa hari ini selalu menghindarinya. Lebih tepatnya, sejak kejadian di klub itu, Lyra seakan tidak ingin berlama-lama dengannya. Brian berdecak, merasa tersinggung dengan sikap wanita itu. Maka alih-alih mengajak wanita-wanita golongan atas ke pesta itu, dia memilih mengajak Lyra. Memaksa wanita itu berada di sampingnya. Brian sampai tidak mengerti dengan keinginan dirinya.
“Saya tidak menerima penolakan apa pun,” tegasnya tak main-main.
Lyra mengangguk. Meneguk ludahnya susah payah. Kedekatan mereka terlalu asing untuknya. Lyra menunduk dengan gelisah. Dia baru bisa bernapas lega saat Brian memundurkan wajahnya dan berdiri tegak kembali.
“Good girl!”
Setelah menyelesaikan urusannya, Brian melangkah masuk kembali ke ruangannya yang berada tepat di depan meja Lyra. Langkahnya sangat tegap dan mantap. Dia tak berhenti merutuk tingkahnya barusan.
Brian duduk di kursi kebesarannya. Dari dalam sini, dia bisa melihat aktivitas Lyra yang kembali menatap layar komputernya. Wanita itu sesekali membenarkan letak kacamatanya, menghapus titik peluh di dahinya.
Brian makin mengerutkan keningnya dalam, merasa aneh dengan pikirannya saat ini. Dia jadi membayangkan berpeluh bersama dengan Lyra yang berada di bawahnya. Menatap wajah wanita itu yang terpuaskan oleh miliknya yang mengeras.
‘Shit!’ makinya dalam hati.
Brian mengacak rambutnya dengan kesal. Bagaimana dia bisa berpikir nakal dengan asisten yang di bawah standarnya. Tidak. Brian menggeleng kuat, menghapus imajinasi liar dalam otaknya. Hanya karena melihat wajah polos Lyra waktu itu, sudah berhasil memperngaruhi pikirannya sebesar ini.
Brian memutuskan kembali menyibukkan diri, berkutat dengan pekerjaannya. Mengalihkan pikiranya yang tidak terkendali.
-oOo-
Seperti yang sudah dieperintahkan, selepas jam kerja selesai, Lyra menungu sang atasan di mejanya. Sesekali dia mendongak, melihat pintu ruangan di depannya yang tak kunjung terbuka. Ada helaan napas lelah yang keluar dari mulutnya. Dia melihat jam dinding, sudah satu jam berlalu dan sepertinya Brian lupa dengan perintahnya sendiri.
Mau tak mau, Lyra harus turun tangan. Dia berniat masuk dan mengingatkan pria itu, tapi sudah didahului oleh Brian yang keluar dengan penampilan berantakan. Lyra tidak bisa mengabaikan penampilan pria itu yang tampak kacau. Rambutnya yang berantakan, kemeja yang sudah digulung sampai siku, dasi yang tersampir di bahu. Eh, apakah baru saja terjadi gempa?
“Pak?” panggil Lyra tanpa sadar.
Brian mendongak, mengangkat sebelah alisnya dengan tatapan bertanya.
“Di dalam ada gempa? Atau Bapak sedang BDSM dengan wanita di dalam?” tanya Lyra dengan wajah bodoh.
Brian mendelik tajam. “Maksudnya?”
Lyra menunjuk penampilan pria itu dengan ringisan kecil. “Penampilan Bapak sangat berantakan,” jawabnya jujur.
Brian tidak bisa menyudahi delikan kesalnya pada wanita itu. Memangnya dia pikir siapa penyebab penampilannya berantakan seperti ini? Semua karena ulah Lyra yang masuk ke dalam fantasinya.
Di dalam tadi, bukannya bekerja sesuai niatannya, Brian malah bolak-balik ke kamar mandi. Menuntaskan hasratnya yang tiba-tiba datang hanya karena tak sengaja menatap sang asisten. Brian mendesis, sampai lemas dirinya di kamar mandi, tapi belum juga merasa puas. Seakan hanya Lyra yag bisa memuskan miliknya di bawah sana. Sialan, semakin lama rasanya dia bisa gila.
“Cepat. Kita ke apartemen saya lebih dulu!” perintahnya dan melangkah lebih dulu dengan tergesa.
Lyra mengangguk. Sedikit kesusahan menyamai langkah lebar Brian yang berada di depannya. Beberapa karyawan lainnya menatap aneh pemandangan itu. Meski tidak berdampingan, sangat jarang sekali atasan dan asisten itu pulang bersama. Meski hanya segelintir karyawan yang menangkap pemandangan tersebut. Lantaran sudah banyak yang pulang di sore ini.
Selama di perjalanan, Lyra tak berhenti memainkan ponselnya. Bukan bermaian game atau mengecek pekerjaan seperti biasa. Kali ini dia berusaha meminta bantuan tetangga flatnya untuk menyiapkan beberapa potong pakaian untuk dibawanya malam ini. Karena Lyra pun tak bisa pulang, maka dia harus menggunakan jasa pengiriman barang paling cepat.
Brian yang berada di kursi belakang, menatap kegiatan wanita itu dengan kening berkerut. Penasaran pada Lyra yang tampak resah dan berkali-kali menghubungi seseorang.
“Sebenarnya kamu sedang apa? Berisik sekali,” dengus Brian. Niatnya mau bertanya, malah terkesan menegur.
Lyra meringis. Membalik badannya sedikit untuk meminta maaf. “Maaf, Pak. Saya sedang meminta bantuan teman untuk mengirimkan pakaian.”
“Untuk apa?”
“Untuk pakaian ganti nanti malam.” Lyra menjawab seadanya. Memang benar, saat ini di tidak membawa pakaian ganti satupun. Hanya pakaian yang melekat di tubuhnya saat ini. Apalagi untuk pesat nanti, dia tidak memiliki gaun. Lyra benar-benar merasa sial saat ini.
“Tidak usah,” kata Brian dengan lantang yang berhasil menghentikan lamunan Lyra.
Kali ini Lyra menatap pria itu dengan bingung. “Loh, kenapa, Pak?”
“Saya sudah menyiapkan semuanya. Pakaian dan gaun yang bisa kamu pakai nanti.”
“Serius, Pak?” Lyra menatap Brian dengan tatapan membulat, kaget dengan kebaikan pria itu yang bisa dikatakan sang jarang. Dia tersenyum lebar yang membuat Brian tertegun sesaat. Terpesona dengan senyum polo situ.
“Hum,” Brian memberikan anggukan pelan sebagai jawaban. “Lagian, saya tidak mau kamu mempermalukan saya di sana dengan pakaian kampungan itu.” Dia menunjuk pakaian kantor Lyra yang benar-benar kuno dan kedodoran. Penampilan nerd wanita itu sangat sempurna dengan pakaian yang tidak menarik sama sekali, menyakitkan mata.
Lyra menyurutkan senyumnya perlahan. wajahnya yang tadi berseri, tampak murung sesaat. Dia tersenyum kecut, tapi tetap berterima kasih karena kebaikan pria itu.
“Thanks, Sir.”
Brian mengalihkan perhatiannya ke jalanan. Menghindari wajah Lyra yang mungkin tersinggung dengan ucapannya barusan. Dia sengaja mengatakan kalimat kejam itu agar wanita itu tak salah paham dengan bantuannya.
To be continued ...
Brian sesekali menatap sang asisten yang duduk bersebrangan dengannya. Sejak tadi wanita itu memasang aksi bungkam seribu kata. Bahkan wajahnya kembali datar, tidak ada ekspresi apa pun. Mereka tidak terlibat dalam satu obrolan, kecuali masalah jadwal di London nanti.Brian mendengus, sampai kapan dia akan terus memperhatikan eskpresi Lyra. Hanya karena pernah melihat wanita itu bersemu dan menangis dalam satu malam, Brian selalu dibuat penasaran setelahnya. Apalagi gairahnya selalu tersulut pada wanita yang tidak akan ditidurinya.“Sorry, Sir. Apa ada yang bisa saya bantu?”Sebuah suara dari seorang pramugari cantik menyapa gendang telinganya. Brian mengalihkan perhatian, menatap penampilan pramugari tersebut dari atas ke bawah. Dia sedikit tidak asing dengan wajah wanita itu.Dia memberikan senyum miring saat melihat tatapan penuh arti dari sang pramugari. Tanpa diucapkan, dia tahu wanita itu berusaha menggodanya. Apalagi dengan dua
Lyra bangun dengan tubuhnya yang terasa segar. Rasanya ini pertama kali baginya bisa tidur nyenyak tanpa bayangan pekerjaan kantor yang menghantui setiap saat. Lyra tersenyum, menatap langit-langit kamar, tapi sesaat kemudian dahinya mengerut samar. Lyra seakan tersadar ini bukan kamarnya, terlalu besar dan bersih. Dengan gerakan cepat, Lyra merubah posisinya menjadi duduk. Dia mengucek matanya berkali-kali, memastikan tempatnya saat ini. Iya, ini bukan tempatnya.Dia berusaha menggali ingatannya yang sempat blank sehabis bangun tidur. Hingga ingatannya terakhir kali berhenti di pesawat sebelum take off.“Holly shit! Jangan bilang aku ketiduran?” Lyra menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Jika benar dirinya tertidur, jelas ada yang membantunya ke kamar ini. Dalam artian menggendongnya. Lyra makin memaki dirinya sendiri. Jika benar ada yang menggendongnya, maka siapa?Siapapun itu, dia berharap bukan Brian. Sungguh, rasanya
Lyra tak hentinya menatap pergelangan tangannya yang dipegang erat dan punggung pria yang berjalan di depannya dengan kening berkerut. Ribuan tanda tanya bersarang di otaknya. Apalagi dengan keputusan sang atasan yang dinilainya terlalu gegabah, sulit dimengerti.Pasalnya kerja sama ini bernilai besar, terlalu besar hingga sayang sekali dilewatkan. Dan seorang Brian, malah memutuskan semua sepihak dengan enteng padahal keberhasilan tinggal di depan mata. Mereka hanya tinggal tanda tangan dan semua sepakat.Lyra menggeleng, semakin tidak bisa membaca jalan pikiran pria itu. Memang, pria sangat rumit.“Apa pun pertanyaan yang berada di otak kecilmu itu, tidak akan saya jawab,” kata Brian yang sudah berhenti dan berhadapan dengan Lyra. Dia sejak tadi memperhatikan bagaimana kening Lyra yang terus berkerut dan menggangu pemandangannya.Lyra hampir memutar bola matanya, tapi ditahan sekuat tenaga. Sebagai gantinya, dia tersenyum sopan, berusaha tid
Brian memandang jam di pergelangan tangannya. Sudah dua jam dan wanita itu belum juga keluar. Padahal dirinya sendiri tidak butuh waktu lama untuk mempersiapkan diri.“Dia sedang dandan atau tenggelam?” dumelnya dengan nada kesal. Malam ini sesuai dengan tujuan kemari, mereka akan menghadiri sebuah pesta besar relasi bisnisnya. Brian memang tidak pernah melewatkan satupun undangan dari relasinya, karena saat itu dia bisa mengenal orang baru sekaligus membangun koneksi. Di beberapa kesempatan, dia juga mendapatkan teman ranjang. Namun, kali ini sepertinya hasrat untuk melakukan hal terssebut tidak ada sedikit pun.Brian berusaha bersabar, sedikit lagi. Sambil menunggu Lyra keluar, dia menyibukkan diri dengan ponselnya. Menghubungi karyawannya yang bertugas menghadle pekerjaannya selama di London. Meski tidak berada di sana, dia tidak pernah sedetik pun lepas tangan terhadap perkembangan perusahaan dan masalah sekecil apa pun.Sampai lima belas menit k
“Sir, maksud Anda tadi apa?”Lyra langsung menutut penjelasan dari sikap Brian selama di pesta tadi. Selama di pest, Brian merangkul pinggangnya dengan posesif, sama sekali tak terlepas walau hanya sedetik. Lyra harus menahan perasaan risihnya mendapatkan tatapan orang-orang padanya.Beberapa wanita memberikan tatapan iri dan penuh penilaian. Mungkin mereka cukup asing dengan wajahnya yang mengalami banyak perubahan. Sedangkan para pria memberikan tatapan mesum yang membuarnya muak. Beruntung Brian memberikan teguran meski secara tidak langsung. Lyra yakin, beberapa hari lagi gossip tentangnya dan Brian akan muncul di majalah gossip. Memang, semua hal tentang pebisnis muda itu sangat menarik khalayak yang haus berita.“Sir?”“Apa?” Brian membalikkan tubuhnya hingga bisa berhadapan dengan Lyra. Alisnya sedikit terangkat memperhatikan wajah Lyra yang tampa kesal. “Wajahmu jelek sekali.”Lyra hampir mend
Brian mengernyit bingung dengan sikap Lyra yang tampak murung. Bahkan berkali-kali perempuan itu tampak tak fokus di ruang rapat tadi. Tatapannya selalu kosong, ditegur sekali hanya mengangguk pelan dan kembali melanjutkan kesalahan yang sama. Kali ini Brian tidak tinggal diam. Dia terusik dnegan ekspresi perempuan itu. Sabarnya yang tipis, hilang sejak beberapa menit yang lalu. Konsentrasinya ikut buyar dengan penasarannya yang makin besar.“Kita lanjutkan di rapat selanjutnya.” Brian menutup rapat dengan tatapan dingin yang membuat para karyawan tak dapat membantah. Memang siapa yang berani membantah seorang atasan sepertinya? Meski terkenal diktator, tapi Brian selalu menghargai usaha bawahannya dengan kesejahteraan yang lumayan cukup.Semua merasa puas dan terjamin. Tanpa banyak kata, satu persatu keluar dari ruang rapat. Wajah mereka menujukkan gurat lega, memang siapa yang suka dengan rapat panjang yang menguras otak. Apalagi denga
Satu hal yang paling Lyra takutkan sekarang adalah kesepian. Dia benci sepi. Bagaimana sepi kembali membawa bayang-bayang masa lalu yangs berusaha dilupakannya. Namun keramaian pun tidak bisa membantu banyak. Pulang dari kantor, dia memilih mencari taksi. Merenung selama di perjalanan sampai si sopir menyebutkan angka kargo. Lyra tesadar. Dia meminta maaf dan segera turun setelah membayar. Jarak jalan raya ke apartemen harus melewati satu gang yang lumayan sepi. Apalagi dia pulang larut untuk menyelesaikan pekerjaannya. Akibat terlalu lama menghindar dari sang atasan, dia harus menuai akibatnya sendiri. Berkali-kali Lyra melirik ke belakang, seakan memastikan tidak ada yang mengikutinya. Tatapannya selalu waspada, meski dengan tubuh yang bergetar. Berita kebebasan ayahnya benar-benar mengganggu konsentrasinya. Bahka seharian ini dirinya banyak melamun. Hidup tenangnya sudah berakhir. Lyra seperti kembali masuk ke dalam kegelapan yang mencekam, menakut
Sudah lama Brian tidak menginjakkan kakinya kemari. Terhitung sudah beberapa minggu sejak kejadian Lyra waktu itu. Perempuan itu berhasil memenuhi pikirannya sampai Brian tidak mampu mengalihkan tentang Lyra sedetik pun. Semua tentang Lyra terasa menarik baginya.Malam ini dia kembali ke klub atas undangan salah satu kawannya. Apalagi saat ini Brian sedang kesal. Sudah berkali-kali dia menghubungi Lyra, tapi tidak ada satupun yang dibalas. Panggilannya pun sepertinya diabaikan. Brian merasa ada yang aneh dengan tingkah Lyra yang tidak biasa. Meski perempuan itu sering menjaga jarak dengannya, kali ini Lyra bahkan terang-terangan menghindarinya.Terlalu pusing memikirkan satu perempuan, di sinilah Brian berada. Duduk bersama kedua kawannya yang lain. Di paha mereka masing-masing terdapat wanita yang sejak tadi tak berhenti menggodanya dengan sentuhan seringan kapas yang terasa menggelitik. Brian sengaja membiarkan tingkah wanita itu. Melihat sejauh mana tingkah wa