Share

Thans, Sir!

Hari berikutnya, semua kembali seperti semula. Lyra dengan kesibukan yang tidak pernah selesai dan Brian masih dengan hobinya membawa wanita di sela pekerjaannya. Lyra hanya diam saja, tidak peduli dengan kegiatan pria itu sepeti sebelumnya. Selama Brian tidak menganggu pekerjaannya dengan menyuruh wanita yang datang dan mengaku memiliki anak dari pria itu. Hal biasa, yang sudah diatasi oleh pihak keamanan. Lyra menggeleng, ngeri juga dengan hobi pria itu.

“Lyra, nanti malam kamu ikut saya ke London.”

Lyra lekas mendongak saat mendengar suara yang sudah akrab dengan telinganya. Dia menatap Brian dengan bingung. “Maaf?”

Pria itu sangat panjang umur, pikir Lyra. Baru saja dipikirkan, tahu-tahu sudah muncul di depannya, bahkan dia tidak sadar sejak kapan Brian keluar dari ruangannya.

Brian yang sudah berdiri di depan meja Lyra, menatap wanita itu dengan tajam. apa sejak kejadian beberapa hari lalu, fungsi telinga wanita itu bermasalah? Sudah jelas sekali dia mengajak sang asisten ke London.

“Kamu dengar baik-baik. Nanti malam kita harus segera ke London,” ulangnya dengan nada penuh penegasan. Tatapannya yang tajam seakan menegaskan dia tidak suka mengulang kalimatnya berkali-kali.

Namun, Lyra masih bertahan dengan ketidakpahamannya. “Kita? Saya ikut, Pak?”

 Brian memutar bola matanya malas. “Iyalah. Di sana kita harus mengunjungi pesta perusahaan Global Inxo. Kamu mau membiarkan saya sendiri di sana?”

Lyra menggaruk bawah telinganya dengan pelan. Pertanyaannya, sejak kapan sang atasan mengajaknya ke pesta perusahaan rekan bisnisnya. Padahal sebelum ini, Brian lebih suka membawa wanitanya ke san. Namun, Lyra pun kali ini hanya mampu menganguk, tidak ingin memperpanjang pertanyaannya. Takut-takut sang atasan tidak dalam mood yang baik.

Brian berdecak puas melihat anggukan tersebut. “Setelah pulang dari kantor, kamu langsung ke apartemen saya.”

“Hah!” Lyra memekik, lagi dia dibuat terkejut dengan perintah pria itu. “Untuk apa, Pak?”

“Ya, kita segera bersiap di sana.”

“Tap—“

Brian memajukan wajahnya, menatap wanita itu dengan intens. Dia mengamati sikap Lyra yang beberapa hari ini selalu menghindarinya. Lebih tepatnya, sejak kejadian di klub itu, Lyra seakan tidak ingin berlama-lama dengannya. Brian berdecak, merasa tersinggung dengan sikap wanita itu. Maka alih-alih mengajak wanita-wanita golongan atas ke pesta itu, dia memilih mengajak Lyra. Memaksa wanita itu berada di sampingnya. Brian sampai tidak mengerti dengan keinginan dirinya.

“Saya tidak menerima penolakan apa pun,” tegasnya tak main-main.

Lyra mengangguk. Meneguk ludahnya susah payah. Kedekatan mereka terlalu asing untuknya. Lyra menunduk dengan gelisah. Dia baru bisa bernapas lega saat Brian memundurkan wajahnya dan berdiri tegak kembali.

Good girl!”

Setelah menyelesaikan urusannya, Brian melangkah masuk kembali ke ruangannya yang berada tepat di depan meja Lyra. Langkahnya sangat tegap dan mantap. Dia tak berhenti merutuk tingkahnya barusan.

Brian duduk di kursi kebesarannya. Dari dalam sini, dia bisa melihat aktivitas Lyra yang kembali menatap layar komputernya. Wanita itu sesekali membenarkan letak kacamatanya, menghapus titik peluh di dahinya.  

Brian makin mengerutkan keningnya dalam, merasa aneh dengan pikirannya saat ini. Dia jadi membayangkan berpeluh bersama dengan Lyra yang berada di bawahnya. Menatap wajah wanita itu yang terpuaskan oleh miliknya yang mengeras.  

Shit!’ makinya dalam hati.

Brian mengacak rambutnya dengan kesal. Bagaimana dia bisa berpikir nakal dengan asisten yang di bawah standarnya. Tidak. Brian menggeleng kuat, menghapus imajinasi liar dalam otaknya. Hanya karena melihat wajah polos Lyra waktu itu, sudah berhasil memperngaruhi pikirannya sebesar ini.

Brian memutuskan kembali menyibukkan diri, berkutat dengan pekerjaannya. Mengalihkan pikiranya yang tidak terkendali.

-oOo-

Seperti yang sudah dieperintahkan, selepas jam kerja selesai, Lyra menungu sang atasan di mejanya. Sesekali dia mendongak, melihat pintu ruangan di depannya yang tak kunjung terbuka. Ada helaan napas lelah yang keluar dari mulutnya. Dia melihat jam dinding, sudah satu jam berlalu dan sepertinya Brian lupa dengan perintahnya sendiri.

Mau tak mau, Lyra harus turun tangan. Dia berniat masuk dan mengingatkan pria itu, tapi sudah didahului oleh Brian yang keluar dengan penampilan berantakan. Lyra tidak bisa mengabaikan penampilan pria itu yang tampak kacau. Rambutnya yang berantakan, kemeja yang sudah digulung sampai siku, dasi yang tersampir di bahu. Eh, apakah baru saja terjadi gempa?

“Pak?” panggil Lyra tanpa sadar.

Brian mendongak, mengangkat sebelah alisnya dengan tatapan bertanya.

“Di dalam ada gempa? Atau Bapak sedang BDSM dengan wanita di dalam?” tanya Lyra dengan wajah bodoh.

 Brian mendelik tajam. “Maksudnya?”

Lyra menunjuk penampilan pria itu dengan ringisan kecil. “Penampilan Bapak sangat berantakan,” jawabnya jujur.

Brian tidak bisa menyudahi delikan kesalnya pada wanita itu. Memangnya dia pikir siapa penyebab penampilannya berantakan seperti ini? Semua karena ulah Lyra yang masuk ke dalam fantasinya.

Di dalam tadi, bukannya bekerja sesuai niatannya, Brian malah bolak-balik ke kamar mandi. Menuntaskan hasratnya yang tiba-tiba datang hanya karena tak sengaja menatap sang asisten. Brian mendesis, sampai lemas dirinya di kamar mandi, tapi belum juga merasa puas. Seakan hanya Lyra yag bisa memuskan miliknya di bawah sana. Sialan, semakin lama rasanya dia bisa gila.

“Cepat. Kita ke apartemen saya lebih dulu!” perintahnya dan melangkah lebih dulu dengan tergesa.

Lyra mengangguk. Sedikit kesusahan menyamai langkah lebar Brian yang berada di depannya. Beberapa karyawan lainnya menatap aneh pemandangan itu. Meski tidak berdampingan, sangat jarang sekali atasan dan asisten itu pulang bersama. Meski hanya segelintir karyawan yang menangkap pemandangan tersebut. Lantaran sudah banyak yang pulang di sore ini.

Selama di perjalanan, Lyra tak berhenti memainkan ponselnya. Bukan bermaian game atau mengecek pekerjaan seperti biasa. Kali ini dia berusaha meminta bantuan tetangga flatnya untuk menyiapkan beberapa potong pakaian untuk dibawanya malam ini. Karena Lyra pun tak bisa pulang, maka dia harus menggunakan jasa pengiriman barang paling cepat.

Brian yang berada di kursi belakang, menatap kegiatan wanita itu dengan kening berkerut. Penasaran pada Lyra yang tampak resah dan berkali-kali menghubungi seseorang.

“Sebenarnya kamu sedang apa? Berisik sekali,” dengus Brian. Niatnya mau bertanya, malah terkesan menegur.

Lyra meringis. Membalik badannya sedikit untuk meminta maaf. “Maaf, Pak. Saya sedang meminta bantuan teman untuk mengirimkan pakaian.”

“Untuk apa?”

“Untuk pakaian ganti nanti malam.” Lyra menjawab seadanya. Memang benar, saat ini di tidak membawa pakaian ganti satupun. Hanya pakaian yang melekat di tubuhnya saat ini. Apalagi untuk pesat nanti, dia tidak memiliki gaun. Lyra benar-benar merasa sial saat ini.

“Tidak usah,” kata Brian dengan lantang yang berhasil menghentikan lamunan Lyra.

Kali ini Lyra menatap pria itu dengan bingung. “Loh, kenapa, Pak?”

“Saya sudah menyiapkan semuanya. Pakaian dan gaun yang bisa kamu pakai nanti.”

“Serius, Pak?” Lyra menatap Brian dengan tatapan membulat, kaget dengan kebaikan pria itu yang bisa dikatakan sang jarang. Dia tersenyum lebar yang membuat Brian tertegun sesaat. Terpesona dengan senyum polo situ.

“Hum,” Brian memberikan anggukan pelan sebagai jawaban. “Lagian, saya tidak mau kamu mempermalukan saya di sana dengan pakaian kampungan itu.” Dia menunjuk pakaian kantor Lyra yang benar-benar kuno dan kedodoran. Penampilan nerd wanita itu sangat sempurna dengan pakaian yang tidak menarik sama sekali, menyakitkan mata.

Lyra menyurutkan senyumnya perlahan. wajahnya yang tadi berseri, tampak murung sesaat. Dia tersenyum kecut, tapi tetap berterima kasih karena kebaikan pria itu.

“Thanks, Sir.”

Brian mengalihkan perhatiannya ke jalanan. Menghindari wajah Lyra yang mungkin tersinggung dengan ucapannya barusan. Dia sengaja mengatakan kalimat kejam itu agar wanita itu tak salah paham dengan bantuannya.

To be continued ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status