Share

Kissing

Lyra tak hentinya menatap pergelangan tangannya yang dipegang erat dan punggung pria yang berjalan di depannya dengan kening berkerut. Ribuan tanda tanya bersarang di otaknya. Apalagi dengan keputusan sang atasan yang dinilainya terlalu gegabah, sulit dimengerti.

Pasalnya kerja sama ini bernilai besar, terlalu besar hingga sayang sekali dilewatkan. Dan seorang Brian, malah memutuskan semua sepihak dengan enteng padahal keberhasilan tinggal di depan mata. Mereka hanya tinggal tanda tangan dan semua sepakat.

Lyra menggeleng, semakin tidak bisa membaca jalan pikiran pria itu. Memang, pria sangat rumit.

“Apa pun pertanyaan yang berada di otak kecilmu itu, tidak akan saya jawab,” kata Brian yang sudah berhenti dan berhadapan dengan Lyra. Dia sejak tadi memperhatikan bagaimana kening Lyra yang terus berkerut dan menggangu pemandangannya.

Lyra hampir memutar bola matanya, tapi ditahan sekuat tenaga. Sebagai gantinya, dia tersenyum sopan, berusaha tidak terpengaruh dengan semua keputusan pria tersebut.

“Tidak ada yang mau saya tanyakan.”

Brian menarik sebelah alisnya ke atas, sangsi dengan ucapan sang asisten. “Kamu tidak penasaran dengan sikap saya di dalam tadi?”

Lyra memberikan senyum seraya menggeleng pelan. “Anda sudah melarang saya bertanya. Artinya saya tidak perlu penasaran berlebihan,” katanya dengan santai.

Brian hampir mengumpat pelan. Dia memandang tajam wanita yang selalu bersikap tenang tersebut. Sikap tenang yang malah membuat dirinya gusar. Brian tidak suka ketenangan Lyra, yang membuat wanita itu berbeda di matanya.

“Sir?”

“Apa?” sentak Brian yang tidak dalam mood yang baik.

Lyra meringis dalam hati. Sepertinya saat ini dia memang harus banyak diam, ketimbang kena semprot terus. Namun, untuk satu ini Lyra harus bicara. Dia mulai risih juga terlalu lama dalam keadaan ini.

“Tangan saya, Sir. Kapan dilepas?” tanyanya, mengangkat tangan yang masih dicekal pria itu dengan erat.

Shit!” umpatnya pelan. Dia segera melepaskan cekalannya. Berdehem pelan untuk menghilangkan rasa gugup dan. Bisa-bisanya salah tingkahnya dia lupa melepaskan tangan Lyra. “Sorry.”

Lyra hanya mengangguk, seakan kejadian barusan tidak terlalu penting. “Jadi, kita kembali ke hotel?”

“Ya.”

“Hmm, baiklah.”

Brian kembali memandang Lyra lama, seakan tengah mempertimbangkan sesuatu. “Kamu tidak mau jalan-jalan?”

“Hah?” Lyra memberikan tatapan bertanyanya, seakan tidak yakin dengan ajakan pria tersebut.

“Saya hanya bertanya. Apa kamu tidak mau jalan-jalan?”

“Oh, tidak.”

Lagi, Brian meringis kecil. Kenapa sangat sulit berkata jujur dan mengajak wanita itu jalan-jalan. Padahal niatnya hanya membunuh waktu yang masih panjang.

“Kamu temani saya jalan-jalan. Saya bosan di hotel terus,” katanya tanpa menatap Lyra. Brian langsung melengos dan berjalan lebih dulu dengan langkah cepat. Dalam hati dia tidak berhenti mengutuk Lyra yang tidak peka dan dirinya yang terasa sangat murahan. Baru pertama kali ini dia merasa sangat malu berhadapan dengan wanita.

'Come on, Brian. What are you fucking doing!'

Sementara Lyra di belakangnya hanya mengikuti saja. Dia mengedikkan bahu, tidak ambil pusing dengan mood swing sang atasan. Dugaannya mungkin mood pria itu buruk lantaran tidak menuntaskan hasrat seksualnya. Karena bila diingat, Lyra jarang melihat pria itu make out dengan wanita beberapa hari terakhir. Entahlah, dia tidak mau ambil pusing. Bukan urusannya. Lyra hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan semua urusan di sini dan kembali ke rumahnya. Rasanya lelah menghabiskan waktu terlalu lama dengan sang atasan yang tidak dalam suasana hati baik.

Mereka berjalan-jalan, dalam artian yang sebenarnya. Hanya berjalan kaki, menikmati pemandangan jalanan kota London yang masih hijau. Restoran tadi memang dekat dengan Central Park di mana keadaannya sudah ramai. Beberapa orang hilir mudik di depan mereka. Beberapa pasangan tampak bergandengan, seakan mengolok keadaan mereka yang berjalan berjauhan.

Rumput-rumput yang hijau mengingatkan Lyra pada beberapa film romantis yang ditontonnya Minggu lalu. Sepasang kekasih yang berseda gurau di atas hamparan rumput hijau, hampir seperti padang ilalang.

Tanpa sadar Lyra tersenyum tipis. Dia menunduk, menyembunyikan senyum yang terbit karena hayalannya.

Hal sekecil itu masih bisa tertangkap Brian. Dia menghentikan langkahnya, berbalik agar bisa menatap Lyra yang masih menunduk.

Karena terlalu fokus dengan hayalannya, Lyra tidak sadar Brian sudah berhenti. Dia tetap melangkah sampai membentur sesuatu yang keras.

“Shhh ....”

Lyra meraba keningnya, tatapannya naik dan bertemu dengan wajah dingin sang atasan. Rasanya Lyra ingin tenggelam. Dia kira Brian pasti marah padanya.

Saat Lyra akan mundur untuk menciptakan jarak, pinggangnya malah ditarik paksa oleh Brian. Lyra melotot, spontan kedua tangannya berada di dada pria itu, menahan jarak agar tak terlalu dekat.

Sir?” panggilnya dengan suara pelan

Brian tahu wanita itu tak nyaman dengan kedekatannya. Namun, Brian pun sudah muak dengan rasa penasarannya yang semakin menjadi. Ditatapnya wajah wanita itu dengan intens. Mencari setidaknya satu hal menarik yang bisa menjadi alasan terkuatnya. Namun, menurutnya tidak ada satupun hal yang menarik dari wajah dengan kaca mata bingkai tebal itu. Wajah polos yang bahkan tidak ada polesan make up sedikitpun.

Lyra jelas berbeda dengan wanita yang berada di sekitarnya. Bisa dikatakan, wanita itu jauh dari kriterianya. Namun, hanya Lyra yang sampai ini tidak terpikat padanya. Atau, bisa jadi sebenarnya wanita itu memendam perasaan padanya.

Brian tersenyum miring dengan pikirannya. Dia makin menarik tubuh ramping itu mendekat, menghilangkan sekat yang menggangu.

“Lyra,” panggilnya pelan, sengaja melambat waktu untuk menikmati setiap ekspresi Lyra yang masih terbelalak kaget karena aksinya.

“Sir, jangan seperti ini.” Lyra berusaha melepaskan rengkuhan di pinggangnya. Dia memberontak kecil yang tidak membuahkan hasil apa pun. regkuhan itu terlalu kuat dan dekat. Bahkan dari jarak ini dia bisa mendengar deru napas dan aroma musk pria itu. Ini sudah zona bahaya, pikirnya.

“Sebenarnya aku penasaran, kenapa wanita seperti kamu malah membuatku tertarik,” kata Brian tanpa sadar.

“Hah?” Lyra berhenti memberontak. Dia membalas tatapan Brian dengan kernyitan tak paham.

“Bahkan kamu tidak terlalu cantik, tidak ada yang menarik sedikit pun dari kamu. Tapi, kenapa rasa penasaranku semakin besar saja.”

Lyra tidak paham apakah pria itu sedang memuji atau merendahkannya. Dua-duanya terdengar sama saja di telinganya. Lyra menarik napas panjang, berusaha mencari susunan kata yang sopan. “Jika begitu, jangan pernah penasaran pada saya, Sir. Karena saya pun tidak tertarik pada Anda.”

Kalah telak. Brian merasa ditolak bahkan sebelum mengutarakan sebuah ajakan. Dia tersenyum miring. Baru mengutarakan rasa penasarannya saja, Lyra sudah berani menolaknya. Hal yang sangat melukai egonya.

“Oh, ya? Apa benar kamu tidak tertarik?” tanyanya dengan senyum meremehkan. Menurut Brian, tidak ada yang bisa menampik pesonanya, tak terkecuali wanita di depannya ini. Jika Lyra menampik, maka Brian akan berusaha membuat wanita itu tertekuk lutut sekarang juga.

Lyra mengangguk yakin. Hal yang salah karena saat itu dia langsung merasakan sebuah benda kenyal menyentuh bibirnya. Tidak hanya sampai di situ, bibirnya bahkan dilumat dengan pelan, dengan tubuh yang merekat erat. Lyra melotot, tidak siap dengan serangan tiba-tiba itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status