Lyra bangun dengan tubuhnya yang terasa segar. Rasanya ini pertama kali baginya bisa tidur nyenyak tanpa bayangan pekerjaan kantor yang menghantui setiap saat. Lyra tersenyum, menatap langit-langit kamar, tapi sesaat kemudian dahinya mengerut samar. Lyra seakan tersadar ini bukan kamarnya, terlalu besar dan bersih. Dengan gerakan cepat, Lyra merubah posisinya menjadi duduk. Dia mengucek matanya berkali-kali, memastikan tempatnya saat ini. Iya, ini bukan tempatnya.
Dia berusaha menggali ingatannya yang sempat blank sehabis bangun tidur. Hingga ingatannya terakhir kali berhenti di pesawat sebelum take off.
“Holly shit! Jangan bilang aku ketiduran?” Lyra menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Jika benar dirinya tertidur, jelas ada yang membantunya ke kamar ini. Dalam artian menggendongnya. Lyra makin memaki dirinya sendiri. Jika benar ada yang menggendongnya, maka siapa?
Siapapun itu, dia berharap bukan Brian. Sungguh, rasanya dia tidak punya wajah bila bertemu dengan sang atasan. Terhitung dua kali dia menyusahkan pria itu. Lyra memukul kepalanya berkali-kali. Memaki sifatnya yang terlalu kebo.
“Sudah selesai melamunnya?”
Lyra terlonjak kaget. Dia meraba dadanya, mengelusnya perlahan. Hampir saja dia mendelik kesal karena ulah pria itu. Namun, kalimatnya harus tertelan kembali. Lyra tidak mau dipecat begitu saja.
Dengan pelan, Lyra menoleh ke sumber suara. Matanya hampir keluar sangking kagetnya melihat pemadangan yang tersaji. Bagaimana bisa pria dengan tenang berdiri hanya memakai handuk yang tersampir di pinggangnya, menutupi asetnya yang menyembul di sana.
Lyra merasakan pipinya memanas. Dia mengalihkan perhatian, berdehem pelan untuk melegakan tenggorokannya.
“Ini kamar Bapak?” tanyanya, sekadar memastikan.
Brian yang baru selesai membersihkan diri memberikan deheman. Dia melangkah santai melewati Lyra yang masih terpaku di atas ranjang. Entah sengaja atau tidak, Brian seakan tidak memperdulikan Lyra yang makin salah tingkah. Dia menuju lemari, membukanya dan mengambil beberapa setelan jas untuk dipakainya pada pertemuan nanti siang.
Sedangkan ada sisa waktu sekitar tiga jam untuk sekadar bersantai. Brian kembali menoleh pada Lyra yang masih memalingkan wajahnya. Dia tersenyum geli, tiba-tiba memiliki ide untuk mengusili wanita polos itu.
Tanpa menimbulkan suara, Brian menghampiri ranjang, berdiri di sampingnya dengan jarak sangat dekat dengan wanita itu. Brian mencondongkan wajahnya, meniup pelan telinga wanita itu hingga si empunya terlonjak kaget.
Lyra hampir saja meloncat. Dia menatap tajam pada pria yang berdiri dengan wajah tak berdosanya. “Pak!” sentak Lyra kelepasan.
“Hum?”
“Anda sedang apa?” tanya Lyra. Kedua tanganya secara spontan menutup telinga, takut-takut pria itu kembali menggodanya.
Brian memberikan cebikan bibir. Masih dengan posisinya yang menunduk, tatapannya sangat intens. “Ternyata kamu tanpa kacamata kuda itu tidak terlalu buruk,” ujarnya santai.
Spontan Lyra meraba matanya. Ah, ya dia melupakan kacamatanya. Kedua netranya mencari di mana benda itu berada dan siapa yang meletakkannya. Dia kembali menatap Brian, memicing curiga pada pria itu. “Bapak taruh di mana kacamata saya?”
“Matamu normal, kan?” tanya Brian yang tak menggubris pertanyaan Lyra sebelumnya.
Lyra mengatupkan bibirnya rapat. Memasang ekspresi seakan enggan menjawab. Dia memang tidak memiliki masalah penglihatan. Kacamata itu hanya kacamata radiasi yang sangat nyaman dipakai. Dia sudah terbiasa dengan kacamatanya, jadi terasa aneh saat tidak menggunakan benda itu.
Brian yang melihat aksi wanita itu mengulum senyum. Dia kembali menegakkan tubuh, kedua tangannya saling terlipat di depan dada. Dia semakin merasa tertantang dengan sikap Lyra yang tidak sedikit pun melembut padanya. Wanita itu hanya memasang wajah formal yang sungguh membosankan.
“Jam 10 kita akan menghadiri rapat sebentar. Kamu masih punya waktu untuk membersihkan diri dan sarapan.”
“Hah? Rapat? Bukannya kita ke sini untuk menghadiri pesta?” tanya Lyra dengan wajah bingungnya. Seingatnya, pria itu tidak memiliki jadwal bertemu dengan klien di sini selain menghadiri pesta.
“Saya sengaja mengatur sendiri, kebelutan Mr. Pong juga berada di lokasi yang sama dengan kita,” jelasnya yang membuat Lyra mengangguk. “Dan selama di sini, saya tidak akan memberikan kacamata kudamu,” lanjutnya dengan senyum miring.
Lyra hampir menganga lebar mendengar ucapan pria itu. “Tapi—“
“Menurut! Saya bos kamu. Jadi, kamu dilarang protes,” tekannya dengan sikap bossy.
Lyra kembali mengatupkan bibirnya rapat. Menelan kembali kalimatnya. Dengan gerakan cepat, dia segera turun dari ranjang. Masuk ke kamar mandi tanpa menoleh lagi ke arah pria itu. dia sangat kesal dengan sikap pria itu yang sekarang suka semena-mena padanya.
***
Mr. Pong adalah salah satu dari ratusan kliennya. Lelaki tua dengan perut buncitnya. Tatapannya yang nakal tidak sedikit pun berpaling dari Lyra. Padahal sejak tadi Brian sudah memberikan lirikan tajam pada pria tua itu. Namun, tak sedikit pun digubris.
Lama-lama Brian merasa panas juga. Berkas yang sejak tadi dibacanya, dilemparkan dengan kasar sampai menarik perhatian orang di sana, tak terkecuali Mr Pong yang kaget dengan aksi tersebut.
“Sepertinya kita tidak bisa melanjutkan kerja sama ini,” putus Brian denga nada dingin.
Semua orang kembali terkejut. Mereka menatap Brian dengan lipatan di keningnya.
“Kenapa?” tanya Mr. Pong. Raut wajahnya cukup tersinggung dengan keputusan yang terlalu mengagetkan ini. Padahal ini kerja sama besar yang sudah mereka siapkan jauh hari. Hari ini hanya pembahasan final sebelum menuju tanda tangan kontrak. Namun, Brian malah sangat mudah membatalkannya.
Brian masih memasang wajah tenang, melipat kedua tangannya di depan dada. “Saya merasa tidak perlu bekerja sama dengan lelaki yang hanya bisa main-main. Apalagi sejak tadi Anda terus menatap asisten saya sampai dia risih,” jelasnya.
Mr. Pong tertawa rendah. “Anda bercanda?” tanyanya dengan senyum mengejek. “Reputasi kita dengan wanita sama-sama buruk. Bukan hal baru untuk menggoda bahkan meniduri wanita manapun, terutama asisten Anda yang mungkin pernah Anda cicipi,” ujarnya, mengejek Brian yang terlalu naïf.
Brian berdiri, dengan gerakan cepat meraih kerah kemeja lelaki buncit itu dan menariknya. Tatapannya nyalang, dadanya bergemuruh emosi mendengar kalimat penghinaan tadi.
“Kita memang memiliki reputasi buruk dengan wanita, tapi jelas kita berbeda. Saya tidak perlu melakukan usaha keras untuk membuat mereka mengangkang. Tapi Anda? Bahkan asisten saya menahan ekspresi muak sejak tadi,” katanya penuh penekanan. Brian tersenyum miring melihat wajah lelaki itu yang makin memerah.
Ingin sekali Brian melayangkan satu pukulan sekadar memberi pelajaran untuk lelaki tua itu. Dia sudah sangat geram dengan sikap kurang ajarnya, apalagi dengan tatapan yang terasa melecehkan Lyra. Brian tidak terima ada lelaki yang menatap Lyra seperti itu.
“Pak, lepasin Mr. Pong,” bisik Lyra degan suara bergetar. Dia jelas ketakutan melihat perdebatan di depannya itu. Dia meraih lengan kemeja Brian, menariknya sedikit agar pria itu lekas sadar. Apalagi beberapa pengunjung restoran menatap ke arah meja mereka penuh minat.
Brian yang mendengar suara Lyra, segera melepaskan cengkramannya dengan kasar. Dia merapikan penampilannya sendiri, sedang tatapannya masih tajam pada sang lawan.
“Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Kerja sama ini batal,” putus Brian final.
Detik berikutnya, dia meraih lengan Lyra, menyeret wanita itu pergi dari sana. Langkahnya sangat mantap, berjalan dan meninggalkan tempat tersebut. Bahkan dia mengabaikan tatapan tajam mantan kliennya itu.
Biarlah dia kehilangan ribuan dollar. Brian merasa tidak rugi sama sekali. Perasaan marahnya cukup mahal sampai melayangkan dollar dengan mudah. Dam ini semua karena wanita yang sejak tadi berada dalam genggamannya.
Lyra tak hentinya menatap pergelangan tangannya yang dipegang erat dan punggung pria yang berjalan di depannya dengan kening berkerut. Ribuan tanda tanya bersarang di otaknya. Apalagi dengan keputusan sang atasan yang dinilainya terlalu gegabah, sulit dimengerti.Pasalnya kerja sama ini bernilai besar, terlalu besar hingga sayang sekali dilewatkan. Dan seorang Brian, malah memutuskan semua sepihak dengan enteng padahal keberhasilan tinggal di depan mata. Mereka hanya tinggal tanda tangan dan semua sepakat.Lyra menggeleng, semakin tidak bisa membaca jalan pikiran pria itu. Memang, pria sangat rumit.“Apa pun pertanyaan yang berada di otak kecilmu itu, tidak akan saya jawab,” kata Brian yang sudah berhenti dan berhadapan dengan Lyra. Dia sejak tadi memperhatikan bagaimana kening Lyra yang terus berkerut dan menggangu pemandangannya.Lyra hampir memutar bola matanya, tapi ditahan sekuat tenaga. Sebagai gantinya, dia tersenyum sopan, berusaha tid
Brian memandang jam di pergelangan tangannya. Sudah dua jam dan wanita itu belum juga keluar. Padahal dirinya sendiri tidak butuh waktu lama untuk mempersiapkan diri.“Dia sedang dandan atau tenggelam?” dumelnya dengan nada kesal. Malam ini sesuai dengan tujuan kemari, mereka akan menghadiri sebuah pesta besar relasi bisnisnya. Brian memang tidak pernah melewatkan satupun undangan dari relasinya, karena saat itu dia bisa mengenal orang baru sekaligus membangun koneksi. Di beberapa kesempatan, dia juga mendapatkan teman ranjang. Namun, kali ini sepertinya hasrat untuk melakukan hal terssebut tidak ada sedikit pun.Brian berusaha bersabar, sedikit lagi. Sambil menunggu Lyra keluar, dia menyibukkan diri dengan ponselnya. Menghubungi karyawannya yang bertugas menghadle pekerjaannya selama di London. Meski tidak berada di sana, dia tidak pernah sedetik pun lepas tangan terhadap perkembangan perusahaan dan masalah sekecil apa pun.Sampai lima belas menit k
“Sir, maksud Anda tadi apa?”Lyra langsung menutut penjelasan dari sikap Brian selama di pesta tadi. Selama di pest, Brian merangkul pinggangnya dengan posesif, sama sekali tak terlepas walau hanya sedetik. Lyra harus menahan perasaan risihnya mendapatkan tatapan orang-orang padanya.Beberapa wanita memberikan tatapan iri dan penuh penilaian. Mungkin mereka cukup asing dengan wajahnya yang mengalami banyak perubahan. Sedangkan para pria memberikan tatapan mesum yang membuarnya muak. Beruntung Brian memberikan teguran meski secara tidak langsung. Lyra yakin, beberapa hari lagi gossip tentangnya dan Brian akan muncul di majalah gossip. Memang, semua hal tentang pebisnis muda itu sangat menarik khalayak yang haus berita.“Sir?”“Apa?” Brian membalikkan tubuhnya hingga bisa berhadapan dengan Lyra. Alisnya sedikit terangkat memperhatikan wajah Lyra yang tampa kesal. “Wajahmu jelek sekali.”Lyra hampir mend
Brian mengernyit bingung dengan sikap Lyra yang tampak murung. Bahkan berkali-kali perempuan itu tampak tak fokus di ruang rapat tadi. Tatapannya selalu kosong, ditegur sekali hanya mengangguk pelan dan kembali melanjutkan kesalahan yang sama. Kali ini Brian tidak tinggal diam. Dia terusik dnegan ekspresi perempuan itu. Sabarnya yang tipis, hilang sejak beberapa menit yang lalu. Konsentrasinya ikut buyar dengan penasarannya yang makin besar.“Kita lanjutkan di rapat selanjutnya.” Brian menutup rapat dengan tatapan dingin yang membuat para karyawan tak dapat membantah. Memang siapa yang berani membantah seorang atasan sepertinya? Meski terkenal diktator, tapi Brian selalu menghargai usaha bawahannya dengan kesejahteraan yang lumayan cukup.Semua merasa puas dan terjamin. Tanpa banyak kata, satu persatu keluar dari ruang rapat. Wajah mereka menujukkan gurat lega, memang siapa yang suka dengan rapat panjang yang menguras otak. Apalagi denga
Satu hal yang paling Lyra takutkan sekarang adalah kesepian. Dia benci sepi. Bagaimana sepi kembali membawa bayang-bayang masa lalu yangs berusaha dilupakannya. Namun keramaian pun tidak bisa membantu banyak. Pulang dari kantor, dia memilih mencari taksi. Merenung selama di perjalanan sampai si sopir menyebutkan angka kargo. Lyra tesadar. Dia meminta maaf dan segera turun setelah membayar. Jarak jalan raya ke apartemen harus melewati satu gang yang lumayan sepi. Apalagi dia pulang larut untuk menyelesaikan pekerjaannya. Akibat terlalu lama menghindar dari sang atasan, dia harus menuai akibatnya sendiri. Berkali-kali Lyra melirik ke belakang, seakan memastikan tidak ada yang mengikutinya. Tatapannya selalu waspada, meski dengan tubuh yang bergetar. Berita kebebasan ayahnya benar-benar mengganggu konsentrasinya. Bahka seharian ini dirinya banyak melamun. Hidup tenangnya sudah berakhir. Lyra seperti kembali masuk ke dalam kegelapan yang mencekam, menakut
Sudah lama Brian tidak menginjakkan kakinya kemari. Terhitung sudah beberapa minggu sejak kejadian Lyra waktu itu. Perempuan itu berhasil memenuhi pikirannya sampai Brian tidak mampu mengalihkan tentang Lyra sedetik pun. Semua tentang Lyra terasa menarik baginya.Malam ini dia kembali ke klub atas undangan salah satu kawannya. Apalagi saat ini Brian sedang kesal. Sudah berkali-kali dia menghubungi Lyra, tapi tidak ada satupun yang dibalas. Panggilannya pun sepertinya diabaikan. Brian merasa ada yang aneh dengan tingkah Lyra yang tidak biasa. Meski perempuan itu sering menjaga jarak dengannya, kali ini Lyra bahkan terang-terangan menghindarinya.Terlalu pusing memikirkan satu perempuan, di sinilah Brian berada. Duduk bersama kedua kawannya yang lain. Di paha mereka masing-masing terdapat wanita yang sejak tadi tak berhenti menggodanya dengan sentuhan seringan kapas yang terasa menggelitik. Brian sengaja membiarkan tingkah wanita itu. Melihat sejauh mana tingkah wa
Lyra merasa seseorang tengah mengawasinya. Dia menoleh dan mendapati tatapan intens dari sang atasan yang tak lain adalah Brian. Tarikan napas terdengar. Dia berusaha bersikap tenang, pura-pura tidak menyadari meski makin lama dia tak tahan juga. Beberapa hari ini dia berhasil menjaga jarak. Meminimalisir kebersamaan mereka dan bersikap formal layaknya atasan dan bawahan seperti sebelumnya. Meski berkali-kali Brian selalu berusaha mendekatinya, Lyra dengan cepat akan menghindar dengan ribuan alasan yang dibuatnya sendiri. Lyra merasa berdekatan dengan Brian adalah sebuah kesalahan. Pria itu hanya akan memberikan masalah baru pada hatinya. Cukup masalah dengan sang ayah yang menyita pikirannya saat ini. Lyra tidak ingin menambah beban hidupnya dengan hal yang menyangkut hati. Dia sadar, Brian bukan pria yang tepat untuk menjadi pemilik hatinya. Semakin lama Lyra lumayan risih juga. Tatapan itu seakan tak berpaling. Bisik-bisik dari karyawan lain mulai terdenga
Entah berapa lama dirinya membiarkan Brian menguasai. Memberikan cumbuan menggoda, melemahkan syarafnya. Bahkan Lyra sampai mengerang, terhanyut dengan permainan lidah yang sangat luar biasa.Sekarang dia tahu alasan kenapa banyak wanita yang jatuh pada pesona seorang Brian. Pria itu terlalu lihai dan ahli memainkan birahi lawan. Lyra bahkan tanpa sadar mendesah, membuat pria itu tersenyum di sela ciumannya.Brian yakin Lyra sudah hanyut. Dia ingin melanjutkan permainannya ke tahap berikutnya. Tangannya yang sejak tadi menahan tengkuk perempuan itu, mulai berpindah. Menjalar dengan sapuan seringan kapas, memberikan rangsangan yang membuat tubuh perempuan itu makin sensitif.Sampai kedua tangannya berhenti di depan dada, Brian tidak langsung meraba. Dia menekan kepalanya makin ke depan, memperdalam ciumannya dan semakin mengacaukan pikiran perempuan itu. Bahkan mungkin Lyra tidak sadar sejak tadi kedua tangannya meremas rambut Brian dengan gemas, melampiaskan gej