Brian sesekali menatap sang asisten yang duduk bersebrangan dengannya. Sejak tadi wanita itu memasang aksi bungkam seribu kata. Bahkan wajahnya kembali datar, tidak ada ekspresi apa pun. Mereka tidak terlibat dalam satu obrolan, kecuali masalah jadwal di London nanti.
Brian mendengus, sampai kapan dia akan terus memperhatikan eskpresi Lyra. Hanya karena pernah melihat wanita itu bersemu dan menangis dalam satu malam, Brian selalu dibuat penasaran setelahnya. Apalagi gairahnya selalu tersulut pada wanita yang tidak akan ditidurinya.
“Sorry, Sir. Apa ada yang bisa saya bantu?”
Sebuah suara dari seorang pramugari cantik menyapa gendang telinganya. Brian mengalihkan perhatian, menatap penampilan pramugari tersebut dari atas ke bawah. Dia sedikit tidak asing dengan wajah wanita itu.
Dia memberikan senyum miring saat melihat tatapan penuh arti dari sang pramugari. Tanpa diucapkan, dia tahu wanita itu berusaha menggodanya. Apalagi dengan dua kancing yang sengaja terbuka dan memperlihatkan dadanya yang menyembul.
Brian memejamkan matanya sesaat, mencari gairah yang mungkin tersulut dengan pemandangan tersebut. Namun alih-alih tergoda, dia bahkan merasa tak berminat sedikit pun. Matanya kembali terbuka, menatap malas sang pramuari yang masih mencondongkan tubuhnya.
“Pergilah!” usir Brian yang merasa keberadaan wanita itu tidak berguna.
Sesaat, pramugari tersebut memasang wajah kecewa. Kesempatan untuk melakukan seks dengan pria mapan itu kandas tak tersisa. Padahal sebelumnya dia sudah menyiapkan penampilan terbaik untuk menggoda pria itu. Apalagi dari yang didengarnya, pria itu tidak pernah menolak ajakan dari wanita mana pun. Dia sempat berpikir, apa dirinya kurang menarik?
“Maaf?” Pramugari tersebut rupanya tak kunjung mengerti. Dia masih berusaha mendapatkan Brian di atas ranjangnya.
“Apa kamu tuli, hah! Saya bilang pergi!” bentak Brian yang memang tidak memiliki kesabaran banyak. Dia menatap wanita itu tajam, penuh arogansi yang membuat sang lawan menciut.
“Maa—maaf, Sir!” Dengan sedikit membungkuk, pramugari tersebut lekas pergi dari sana. Dia menahan rasa malu mendapat tatapan mengejek dari rekan kerjanya. Sialan, padahal dia adalah wanita tercantik di kabin tersebut.
Lyra yang sejak tadi menonton pemandangan itu, menaikkan sebelah alisnya. Kebingungan dengan sikap sang atasan yang sedang temperamental. Dia juga cukup kaget mendapati Brian yang menolak ajakan pramugari cantik itu. Tidak biasanya pria itu bersikap kasar pada wanita mana pun.
Meski Lyra cukup geli dengan sikap murahan wanita itu. Bagaimana bisa dengan suka rela menyodorkan tubuh pada pria buaya. Dia menggeleng, berharap dirinya tidak akan serendah itu.
“Kenapa dengan ekspresimu itu?” tegur Brian pada Lyra. Dia merasa terganggu dengan ekspresi Lyra yang sejak tadi menatapnya. Antara jijik, geli, dan risih. Entahlah. Ketiganya adalah eskpresi yang tidak ingin Brian dapatkan. Apalagi dari wanita seperti Lyra.
“Tidak ada apa-apa, Pak.” Lyra meminta maaf lewat tatapannya. Meringis karena kepergok pria itu.
“Lain kali jangan menatap saya seperti itu.”
“Iya, Pak. Maaf. Saya hanya cukup kaget Bapak menolak ajakan wanita tadi,” katanya jujur. Terpaksa, lagi pula dia tidak pandai menyembunyikan rasa penasarannya.
Terdengar dengusan kasar dari bibir pria iti. “Saya juga pemilih untuk meniduri wanita. Kamu kira saya mau tidur dengan wanita yang sering digilir pilotnya.”
“Hah?” Lyra kaget, bibirnya sampai terbuka. “Maksudnya?” tanyanya masih tak paham.
Brian sedikit menyerong, menatap Lyra yang memasang wajah menggemaskan, menurutnya. “Wanita tadi terkenal suka merayu pilotnya. Jadi, kamu pikir sendiri apa saya masih mau pada lubang longgar yang dimasuki banyak pria,” jelasnya frontal.
Lyra mendadak merasa panas di wajahnya. Dia segera mengalihkan pandangan, merasa malu sendiri dengan jawaban pria itu.
Brian yang melihatnya tersenyum miring. Dia menangkap Lyra yang tampak malu-malu. Ah, ternyata wanita itu bisa berekspresi seperti itu juga.
***
Tiba di bandara, sebuah mobil Ferarri sudah stand by menjemputnya menuju hotel yang sudah di booking sore tadi. Brian berdiri, melirik Lyra yang malah terlelap pulas. Ini kedua kalinya dia melihat wajah polos tersebut. Dengan penuh pertimbangan, akhirnya dia memutuskan menggendong Lyra, lagi. Padahal dia bisa menyuruh beberapa anak buahnya atau siapa pun yang bisa membawa wanita itu. Namun, dia malah turun tangan sendiri, seakan tidak membiarkan ada tangan lain yang menyentuh wanita itu.
Brian sepertinya memang harus memeriksakan diri setelah ini. Bagaimana bisa dia menggendong sang asisten sampai dua kali tanpa berakhir pada kegiatan panas. Padahal dia paling tidak suka direpotkan oleh siapapun. Pada jalang-jalagnya saja, Brian enggan menanggapi sikap manjanya.
Bahkan di dalam mobil, Brian memangku Lyra seperti koala. Membiarkan kepala wanita itu bersandar nyaman di bahunya. Sementara dirinya menikmati deru napas yang menerpa lehernya. Menggelitik, memberikan rangsangan yang membuat pikirannya kacau. Brian mati-matian menahan napas, berusaha meredakan gairah yang sangat mudah tersulut. Sialan, dia merasa sangat murahan saat ini.
Tiba di hotel yang sudah mereka pesan, Brian kembali menggendong Lyra, menyembunyikan wajah wanita itu dalam dekapannya. Beberapa karyawan yang melihat ke arah mereka jelas menaruh penasaran. Berusaha mengintip wajah Lyra yang gagal. Brian semakin mengeratkan gendongannya, tidak membiarkan satu orang pun menatap wajah polos wanita itu.
“Kalian cukup berjaga di sini,” perintah Brian dingin. Dia memberi tanda agar beberapa pengawal itu tak perlu mengikutinya masuk. Cukup sampai di depan hotel.
“Baik, Sir.”
Brian masuk ke dalam lift yang membawanya ke private room. Bahkan meski dia sudah memesankan satu kamar khusus untuk wanita itu, Brian malah membawanya ke kamar pribadinya. Membaringkan Lyra dengan hati-hati di sana.
Brian menyibak rambut wanita itu, menyingkirkannya ke tepi agar tak menghalangi wajahnya.
“Sebenarnya kamu cantik,” gumam Brian tanpa sadar.
Tangannya terulur, mengelus pipi Lyra dengan gerakan sangat lembut, tidak ingin membangunkan si empunya. Tatapannya yang setajam elang, seakan intens menatap wajah lelah itu.
Entah dorongan dari mana, perlahan kepalanya menunduk. Pelan tapi pasti, bibirnya mendarat di kening wanita itu. Mencium di sana beberapa lama, Brian seakan tidak puas. Dia sedikit mengangkat kepala, kali ini tatapannya jatuh pada bibir Lyra yang sedikit terbuka.
Bilang dirinya cabul karena mencuri ciuman wanita yang sedang tidak sadarkan diri. Namun, peduli setan, Brian butuh sesuatu yang bisa meyakinkan perasaannya. Maka dari itu, alih-alih hanya menempelkan, Brian malah sedikit melumat bibir bawah wanita itu. Melumat dengan pelan sampai dia merasa semakin ketagihan. Rasanya berbeda, manis dan bikin candu.
Brian hampir kehilangan fungsi otaknya. Karena keinginan terbesarnya malah mencumbu makin intim dan merobek semua kain yang menjaddi penghalang mereka. Namun, dia segea sadar. menjauhkan kepalanya dengan napas yang memburu.
Dia langsung menegakkan tubuh dan bergegas pergi dari sana. Bisa gawat bila wanita itu bangun dan malah memergokinya seperti tadi. Brian bisa diduga sedang melakukan pelecehan.
Lyra bangun dengan tubuhnya yang terasa segar. Rasanya ini pertama kali baginya bisa tidur nyenyak tanpa bayangan pekerjaan kantor yang menghantui setiap saat. Lyra tersenyum, menatap langit-langit kamar, tapi sesaat kemudian dahinya mengerut samar. Lyra seakan tersadar ini bukan kamarnya, terlalu besar dan bersih. Dengan gerakan cepat, Lyra merubah posisinya menjadi duduk. Dia mengucek matanya berkali-kali, memastikan tempatnya saat ini. Iya, ini bukan tempatnya.Dia berusaha menggali ingatannya yang sempat blank sehabis bangun tidur. Hingga ingatannya terakhir kali berhenti di pesawat sebelum take off.“Holly shit! Jangan bilang aku ketiduran?” Lyra menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Jika benar dirinya tertidur, jelas ada yang membantunya ke kamar ini. Dalam artian menggendongnya. Lyra makin memaki dirinya sendiri. Jika benar ada yang menggendongnya, maka siapa?Siapapun itu, dia berharap bukan Brian. Sungguh, rasanya
Lyra tak hentinya menatap pergelangan tangannya yang dipegang erat dan punggung pria yang berjalan di depannya dengan kening berkerut. Ribuan tanda tanya bersarang di otaknya. Apalagi dengan keputusan sang atasan yang dinilainya terlalu gegabah, sulit dimengerti.Pasalnya kerja sama ini bernilai besar, terlalu besar hingga sayang sekali dilewatkan. Dan seorang Brian, malah memutuskan semua sepihak dengan enteng padahal keberhasilan tinggal di depan mata. Mereka hanya tinggal tanda tangan dan semua sepakat.Lyra menggeleng, semakin tidak bisa membaca jalan pikiran pria itu. Memang, pria sangat rumit.“Apa pun pertanyaan yang berada di otak kecilmu itu, tidak akan saya jawab,” kata Brian yang sudah berhenti dan berhadapan dengan Lyra. Dia sejak tadi memperhatikan bagaimana kening Lyra yang terus berkerut dan menggangu pemandangannya.Lyra hampir memutar bola matanya, tapi ditahan sekuat tenaga. Sebagai gantinya, dia tersenyum sopan, berusaha tid
Brian memandang jam di pergelangan tangannya. Sudah dua jam dan wanita itu belum juga keluar. Padahal dirinya sendiri tidak butuh waktu lama untuk mempersiapkan diri.“Dia sedang dandan atau tenggelam?” dumelnya dengan nada kesal. Malam ini sesuai dengan tujuan kemari, mereka akan menghadiri sebuah pesta besar relasi bisnisnya. Brian memang tidak pernah melewatkan satupun undangan dari relasinya, karena saat itu dia bisa mengenal orang baru sekaligus membangun koneksi. Di beberapa kesempatan, dia juga mendapatkan teman ranjang. Namun, kali ini sepertinya hasrat untuk melakukan hal terssebut tidak ada sedikit pun.Brian berusaha bersabar, sedikit lagi. Sambil menunggu Lyra keluar, dia menyibukkan diri dengan ponselnya. Menghubungi karyawannya yang bertugas menghadle pekerjaannya selama di London. Meski tidak berada di sana, dia tidak pernah sedetik pun lepas tangan terhadap perkembangan perusahaan dan masalah sekecil apa pun.Sampai lima belas menit k
“Sir, maksud Anda tadi apa?”Lyra langsung menutut penjelasan dari sikap Brian selama di pesta tadi. Selama di pest, Brian merangkul pinggangnya dengan posesif, sama sekali tak terlepas walau hanya sedetik. Lyra harus menahan perasaan risihnya mendapatkan tatapan orang-orang padanya.Beberapa wanita memberikan tatapan iri dan penuh penilaian. Mungkin mereka cukup asing dengan wajahnya yang mengalami banyak perubahan. Sedangkan para pria memberikan tatapan mesum yang membuarnya muak. Beruntung Brian memberikan teguran meski secara tidak langsung. Lyra yakin, beberapa hari lagi gossip tentangnya dan Brian akan muncul di majalah gossip. Memang, semua hal tentang pebisnis muda itu sangat menarik khalayak yang haus berita.“Sir?”“Apa?” Brian membalikkan tubuhnya hingga bisa berhadapan dengan Lyra. Alisnya sedikit terangkat memperhatikan wajah Lyra yang tampa kesal. “Wajahmu jelek sekali.”Lyra hampir mend
Brian mengernyit bingung dengan sikap Lyra yang tampak murung. Bahkan berkali-kali perempuan itu tampak tak fokus di ruang rapat tadi. Tatapannya selalu kosong, ditegur sekali hanya mengangguk pelan dan kembali melanjutkan kesalahan yang sama. Kali ini Brian tidak tinggal diam. Dia terusik dnegan ekspresi perempuan itu. Sabarnya yang tipis, hilang sejak beberapa menit yang lalu. Konsentrasinya ikut buyar dengan penasarannya yang makin besar.“Kita lanjutkan di rapat selanjutnya.” Brian menutup rapat dengan tatapan dingin yang membuat para karyawan tak dapat membantah. Memang siapa yang berani membantah seorang atasan sepertinya? Meski terkenal diktator, tapi Brian selalu menghargai usaha bawahannya dengan kesejahteraan yang lumayan cukup.Semua merasa puas dan terjamin. Tanpa banyak kata, satu persatu keluar dari ruang rapat. Wajah mereka menujukkan gurat lega, memang siapa yang suka dengan rapat panjang yang menguras otak. Apalagi denga
Satu hal yang paling Lyra takutkan sekarang adalah kesepian. Dia benci sepi. Bagaimana sepi kembali membawa bayang-bayang masa lalu yangs berusaha dilupakannya. Namun keramaian pun tidak bisa membantu banyak. Pulang dari kantor, dia memilih mencari taksi. Merenung selama di perjalanan sampai si sopir menyebutkan angka kargo. Lyra tesadar. Dia meminta maaf dan segera turun setelah membayar. Jarak jalan raya ke apartemen harus melewati satu gang yang lumayan sepi. Apalagi dia pulang larut untuk menyelesaikan pekerjaannya. Akibat terlalu lama menghindar dari sang atasan, dia harus menuai akibatnya sendiri. Berkali-kali Lyra melirik ke belakang, seakan memastikan tidak ada yang mengikutinya. Tatapannya selalu waspada, meski dengan tubuh yang bergetar. Berita kebebasan ayahnya benar-benar mengganggu konsentrasinya. Bahka seharian ini dirinya banyak melamun. Hidup tenangnya sudah berakhir. Lyra seperti kembali masuk ke dalam kegelapan yang mencekam, menakut
Sudah lama Brian tidak menginjakkan kakinya kemari. Terhitung sudah beberapa minggu sejak kejadian Lyra waktu itu. Perempuan itu berhasil memenuhi pikirannya sampai Brian tidak mampu mengalihkan tentang Lyra sedetik pun. Semua tentang Lyra terasa menarik baginya.Malam ini dia kembali ke klub atas undangan salah satu kawannya. Apalagi saat ini Brian sedang kesal. Sudah berkali-kali dia menghubungi Lyra, tapi tidak ada satupun yang dibalas. Panggilannya pun sepertinya diabaikan. Brian merasa ada yang aneh dengan tingkah Lyra yang tidak biasa. Meski perempuan itu sering menjaga jarak dengannya, kali ini Lyra bahkan terang-terangan menghindarinya.Terlalu pusing memikirkan satu perempuan, di sinilah Brian berada. Duduk bersama kedua kawannya yang lain. Di paha mereka masing-masing terdapat wanita yang sejak tadi tak berhenti menggodanya dengan sentuhan seringan kapas yang terasa menggelitik. Brian sengaja membiarkan tingkah wanita itu. Melihat sejauh mana tingkah wa
Lyra merasa seseorang tengah mengawasinya. Dia menoleh dan mendapati tatapan intens dari sang atasan yang tak lain adalah Brian. Tarikan napas terdengar. Dia berusaha bersikap tenang, pura-pura tidak menyadari meski makin lama dia tak tahan juga. Beberapa hari ini dia berhasil menjaga jarak. Meminimalisir kebersamaan mereka dan bersikap formal layaknya atasan dan bawahan seperti sebelumnya. Meski berkali-kali Brian selalu berusaha mendekatinya, Lyra dengan cepat akan menghindar dengan ribuan alasan yang dibuatnya sendiri. Lyra merasa berdekatan dengan Brian adalah sebuah kesalahan. Pria itu hanya akan memberikan masalah baru pada hatinya. Cukup masalah dengan sang ayah yang menyita pikirannya saat ini. Lyra tidak ingin menambah beban hidupnya dengan hal yang menyangkut hati. Dia sadar, Brian bukan pria yang tepat untuk menjadi pemilik hatinya. Semakin lama Lyra lumayan risih juga. Tatapan itu seakan tak berpaling. Bisik-bisik dari karyawan lain mulai terdenga