Share

KAMU TEGA, MAS!

Motor berhenti di sebuah rumah kecil berpagar ungu muda. Aku memarkirkan motorku di depan rumah. 

Kemudian berjalan ke arah pintu seraya mengetuk pintu sembari mengucapkan salam dengan suara parau. 

Baru saja ingin melakukan ketukan untuk kedua kalinya. Tiba-tiba terdengar suara motor memasuki kawasan rumah. Yang tak lain adalah Khadijah. 

Ternyata dia baru pulang, aku kira sedang berada di rumah. Cepat-cepat aku menyeka air mata yang masih mengucur deras. 

"Eh, kamu di sini rupanya. Aku baru saja dari tempat Ibumu. Ada apa kemari," tanya Khadijah ketika turun dari motornya. 

"Ada hal yang ingin aku bicarakan padamu, Khad." 

Khadijah menatapku dengan lekat, seolah tahu masalah apa yang sedang aku hadapi. Hingga akhirnya ia menyuruhku masuk. 

Teh hangat disuguhkan di depan mata, ia menyuruhku untuk meminumnya terlebih dahulu agar hati bisa lebih tenang. 

Setelah sudah cukup tenang, aku pun mulai menceritakan semua kejadian yang hari ini aku saksikan depan mata kepalaku sendiri. 

Terlihat raut wajah Khadijah  memerah karena mendengar ceritaku. Matanya seperti ingin keluar dari tempat bersemayam. 

Sambil mengisak tangis aku mengakhiri cerita. 

Brak!!! 

Meja dipukul kuat, hingga membuat gelas ku terjatuh dan pecah. 

"Ini sudah tak bisa di biarkan, suamimu itu sudah keterlaluan. Laki-laki macam apa dia yang sama sekali tak tahu malu. Sudah lah menyusahkan tak tahu diri pula itu." Suara Khadijah begitu meninggi. Amarahnya kian menjadi. Terlebih aku kembali mengatakan bahwa Mas Andre kerap sering melakukan vcs dengan beberapa wanita, apabila aku tak dapat memuaskannya. 

"Kamu mau kemana, Khad," ujarku saat Khadijah bangkit dari tempat duduknya.

"Aku mau jumpai suamimu, memberikannya sebuah tamparan agar dia sadar atas kesalahannya. Kamu juga, kenapa sudah tahu dia  selingkuh malah diam saja. Lihat sekarang ia semakin menjadi!" 

"Aku hanya mengira bahwa dia tak melakukannya secara nyata. Mungkin hanya sebuah fantasi untuk mendapatkan kepuasan. Karena aku paham, aku sendiri bukan istri yang bisa memuaskannya." 

"Aku tak tahu apa yang ada dipikiran kamu Rani, sehingga saat kamu diperlakukan seperti itu, kamu masih bisa memaafkannya." 

Khadijah membuang wajahnya, aku tahu dia pasti kesal dengan sikapku. Bukan tak ingin marah atau apa, aku hanya tidak mau Zain nantinya berpisah dengan Papinya. 

"Maafkan aku Khad. Tapi aku mohon untuk tidak melakukan apapun pada Mas Andre. Aku yakin dia pasti ...." ucapanku terputus ketika Khadijah kembali membentak dengan berkata. 

"Apa? Kamu yakin apa! Yakin dia pasti berubah? Tidak akan! Suamimu itu tidak akan berubah sampai kamu sendiri yang memberinya pelajaran." 

Aku terdiam, terpaut pada tangis dan kebingungan. Apa yang haru aku lakukan? Sementara Mas Andre hanya bisa menikmati kepuasannya. 

Apa yang Khadijah katakan itu benar, Mas Andre tidak akan berubah sampai aku yang memberinya pelajarannya agar dia tahu dimana letak kesalahannya. 

Jika dibiarkan terus menerus ia akan semakin menjadi, selama ini aku hanya bisa diam, tak berani melawan dengan apa yang telah ia perbuat padaku. Bahkan aku hanya bisa menurutinya. Sekalipun ia melakukan vcs pada wanita lain di saat kami sedang melakukan sebuah hubungan. 

Teringat akan tisu-tisu yang berserakan di lantai, semua itu harus aku bersihkan setelah Mas Andre selesai melakukan vcs dengan beberapa wanita. Penyakit hipersex yang ia miliki semakin menjadi. 

Terlebih ia tak akan puas bila tak memukul  pasangannya sebelum berhubungan. Itulah yang mengakibatkan tubuhku selalu terluka. 

Jika hanya sekedar memar itu belum mampu membuat Mas Andre puas, setidaknya ada sebagian anggota tubuh yang berdarah. Baru Mas Andre mau melakukan hubungan denganku. 

Paling tidak enam sampai tujuh kali baru bisa membuat Mas Andre berhenti dari permainan. 

"Kenapa hanya diam?" 

"Aku tak tahu harus melakukan apa, Khad. Saat ini aku masih butuh ketenangan. Mungkin setelah beberapa hari baru bisa mengambil sebuah keputusan," ujarku dengan nada memelas. 

"Ya sudah, gini saja. Untuk sementara waktu, kamu tinggal  di rumahku ini. Jika kamu sudah mengambil keputusan, segera kabari aku." 

"Kamu mau kemana?" tanyaku. 

"Tidak kemana-kemana. Aku akan selalu berada disampingmu. Menemanimu sampai masalah ini selesai. Kamu yang sabar ya, Ran. Suamimu pasti akan mendapat balasan dari semua perbuatan yang ia lakukan padamu." Khadijah mendekap seraya mengelus halus pundakku. 

"Terima kasih ya, Khad. Kamu memang sahabat terbaik yang pernah aku punya." 

"Oh ya, Zain gimana?" 

"Zain sudah aman, Khad. Aku tadi menyuruh Pak Arbi untuk menitipkannya sejenak pada Ibu. Karena aku tahu, jika Zain tahu Papinya seperti itu. Ia pasti tak akan memaafkannya, nanti juga aku akan meminta Ibu untuk menjaga Zain beberapa hari ke depan, tanpa membicarakan masalah ini." 

"Mengapa kamu tak bicara saja pada Ibu. Bukankah Ibumu juga tahu masalahmu? Ia tadi cerita padaku." 

"Aku tak ingin Ibu kecewa untuk kedua kalinya atas perlakuan Mas Andre. Aku juga tak ingin membuat jantung Ibu kambuh karena masalah keluargaku." 

"Baiklah, itu semua keputusanmu. Aku hanya dapat menghargainya," ucap Khadijah.

****

Malam datang begitu cepat, aku masih termenung di teras Rumah Khadijah. Memikirkan nasib yang saat ini menimpa.

Bagaimana keadaan Zain sekarang ya, apa dia baik-baik saja di rumah Ibu? Bagaimana juga dengan Mas Andre? Apakah dia masih bersama wanita itu. Ini semua salahku, andai malam itu aku menuruti kemauannya. Pastilah dia tak akan mencari kepuasan pada wanita lain.

Aku menyeka air mata yang tiba-tiba datang membasahi pipi. Dalam kesepian yang hening ponsel berdering. Panggilan itu dari Ibu, aku mengangkatnya.

"Assalamualaikum, Nduk. Kamu dimana sekarang? Zain kok tiba-tiba kamu titipkan sama Ibu. Ada apa, Nak. Kamu berantem ya sama suamimu." 

"Gak kok, Bu. Rani cuman lagi ingin sendiri. Maafin Rani ya Bu sudah buat Ibu susah," ujarku pada Ibu di seberang telpon. 

"Iya, Nak gak apa-apa. Ibu senang kok Zain bisa di sini. Cuman dari tadi dia nanyak, Mami kemana. Kok gak jemput-jemput Zain. Orang Pak Arbi bilang nanti di jemput."

"Jangan bilang sama Zain masalah ini ya Bu. Aku gak mau dia membenci Papinya. Ya sudah Bu, Rani mau istirahat. Makasih banyak ya Bu sudah mau bantu Rani. Tolong jagain Zain ya Bu," pintaku mengakhiri pembicaraan.

"Ia, Nak. Ibu gak akan bilang sama Zain. Kamu yang sabar, ya. Ibu akan selalu doakan kamu."

"Makasih banyak ya, Bu. Aku pamit dulu, assalamualaikum," ujarku menutup pembicaraan.

"Waalaikumsalam," jawab Ibu kemudian mematikan panggilannya.

Aku masih terdiam, menatap jalan yang sepi. Teringat dengan kejadian siang tadi. Pemandangan yang membuat hati remuk bak dihancurkan oleh ribuan batu. 

Terlebih kata-kata Mas Andre yang tak ingin menatapku lagi. Mengapa ia sekejam itu, apa salahku sehingga dia tega mengkhianati janjinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status