Share

SIAPA WANITA ITU?

Aku memarkirkan motor honda di depan Coffe Qito. Kemudian masuk ke dalamnya. Namun sebelum itu, aku mengabari khadijah kalau sudah sampai di tempat lokasi. 

Terlihat khadijah melambaikan tangan padaku ketika pintu di buka. Aku tersenyum kepadanya, sembari berjalan menuju meja yang di pesan. 

"Kamu sudah lama menunggu di sini," tanyaku saat di depannya. 

"Lumayan juga sih, makanya itu tadi aku suruh kamu kemari," ujarnya. 

"Aku pesan minuman dulu ya, kamu mau pesan apa?" tanyaku sekali lagi. 

"Tidak usah pesan lagi, aku sudah memesannya duluan." 

"Owh ... ya sudah, ngomong-ngomong ada apa ini? Tumben ngajak ketemu, biasanya kamu sibuk." 

"Lagi libur kerja, minggu besok aku harus pergi ke surabaya, biasalah ... urusan masalah kerja. Makanya itu, takut nanti gak bisa ketemu sama kamu. Jadinya aku ajak ketemuan sekarang aja deh," ucapnya. 

"Owalah, aku kira ada apa tadi." 

"Gak ada apa-apa kok, cuman kangen sama kamu aja. Oh ya, Zain mana? Masih sekolah ya," tanya Khadijah. 

"Ia masih lah, Khad. Baru jam berapa ini? Baru aja pergi tadi dia. Kan ini hari senin." 

"Oh ia, lupa aku. Anak kamu itu udahlah tampan, baik, bijak lagi. Terlebih dia itu sangat dewasa, beda jauh pemikirannya sama umur dia yang sekarang. Kalau sudah bicara … seperti anak usia dua puluhan ke atas," puji Khadijah. 

Bisa di bilang, Khadijah begitu akrab dengan putraku satu itu. Selain Zain yang juga sudah menganggap Khadijah bagaikan Bundanya sendiri. Ia juga sangat ramah padanya. Aku bangga mempunyai putra seperti Zain. 

"Ya, begitu lah Khad. Kamu sendiri kan tahu ... putraku satu itu sedikit berbeda dengan anak yang lain. Di kala semua anak seusianya lebih suka bermain pada teman-temannya, tapi hal itu tidak untuk Zain. Ia malah lebih senang menghabiskan waktunya bersamaku atau terkadang menghabiskan waktu liburnya untuk mempelajari sesuatu yang ia tak pernah tahu." 

"Dia sangat berbeda, entah mirip siapa sifatnya, mirip Ayahnya tidak. O iya, aku hampir lupa ... suamimu itu bagaimana? Apa masih sama saja seperti dulu? Atau sudah berubah," tanya Khadijah seketika. 

Aku hanya bisa terdiam. Bagaimana mungkin aku mengatakan padanya bahwa Mas Andre tidak ada berubah sama sekali. Malah lebih parah, terlebih penyakitnya semakin menjadi-jadi. 

"Kok diam? Apa dia masih sama seperti dulu? Ran ... aku ini sahabat kamu. Jika kamu mencoba bohong padaku. Sama saja kamu meragukan kepercayaanku. Aku tahu ... kamu menjaga aib suamimu, tapi sampai kapan kamu akan bertahan pada penderitaan ini? Zain juga sudah besar, apa kamu masih mau terus-menerus di perlakukan seperti ini. Lihat tubuh kamu ... seperti apa kamu menutupinya dariku. Aku bisa melihatnya, memar-memar itu selalu kamu rasakan saat berhubungan dengannya kan? Kamu itu manusia Ran, bukan binatang yang seenaknya diperlakukan semaunya. Menyuruh dengan segala cara agar dia puas. Itu sudah keterlaluan. Pelacur sekalipun tak ingin di perlakukan setiap hari seperti itu." Kali ini Khadijah benar-benar marah. Ia seakan sudah tidak tahan dengan perlakuan Mas Andre padaku. 

"Lalu aku harus bagaimana lagi, Khad. Aku tak ingin mengecewakan Ibu dan Ayah. Lagi pula, dengan aku bercerai pada Mas Andre itu akan membuat sebuah kebencian yang mendalam pada anakku Zain. Bagaimana jika dia nantinya trauma? Apakah itu tidak merugikan banyak orang?" 

"Dia tidak akan trauma, karena aku yakin ... dia paham alasan kamu bercerai. Bukankah dia sendiri juga menginginkan kamu berpisah dengan suamimu. Anakmu memang masih dikatakan dibawah umur. Tapi cara dia berpikir layaknya orang dewasa seperti usiaku. Percaya lah padaku, Ran." 

Sejenak aku terdiam, masih belum bisa mengambil keputusan sedalam ini. Bukan karena aku masih mencintainya, tapi aku takut Ibu dan Ayah akan kecewa. Di sisi lain, aku juga tak ingin membuat Zain membenci Papinya. Lantas ... jalan apa yang harus diambil. Apakah dengan berpisah, akan membuat Mas Andre berubah? Bagaimana jika nantinya dia akan melampiaskan semua itu pada wanita lain? 

"Apalagi yang kamu pikirkan? Ibu dan Ayahmu? Urusan mereka, biar aku yang tangani. Aku yakin ... mereka pasti akan sepemikiran denganku. Menyuruhmu untuk bercerai pada suamimu yang berpenyakitan lain itu," ujar Khadijah. 

"Khadijah... maaf, untuk saat ini aku belum bisa mengambil keputusan. Bercerai tak semudah yang kamu bayangkan, semua itu harus dipikirkan matang-matang. Aku yakin, suatu saat nanti ... Mas Andre akan berubah. Penyakitnya juga akan hilang berjalan waktu. Intinya aku harus sabar. Benar-benar sabar menghadapinya. Inilah ujianku menjadi seorang istri, jika melihat suami ada kekurangan maka kita harus menutupi dengan kelebihan yang dimiliki. Bukan dengan meninggalkannya." 

"Ia, aku tahu itu. Tapi sudah lima belas tahun kamu menderita seperti ini. Terlebih caciannya padamu. Apa kamu masih mau bertahan?" 

Aku mengangguk, meyakinkan Khadijah bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. 

"Terserah Kamu lah, Ran. Aku hanya bisa memberikan solusi. Yang pasti ... jika kamu ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan untuk bercerita. Aku siap mendengarkan keluh kesahmu dan jika kamu nantinya mau bercerai maka kabari aku. Temanmu ini ... akan menjadi saksi di pengadilan nanti." Khadijah menepuk pelan pundakku. Dialah penguat hidup saat ini. Tempat dimana semua kesah terceritakan. 

Aku meneguk segelas jus mangga. Lalu melahap beberapa cake, sembari memikirkan usulan Khadijah tadi. 

"Khad, sepertinya aku gak bisa lama-lama. Soalnya aku juga mau belanja. Belum lagi masak, bersihkan rumah, cuci pakaian. Masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan," ujarku membentangkan semua tugas harian itu. 

"Banyak sekali pekerjaanmu, apa kamu tidak mencari asisten saja? Biar lebih cepat semua pekerjaan rumah," usul Khadijah. 

Sebenarnya aku juga sudah lama memikirkan hal itu, tapi Mas Andre yang selalu melarangnya. 

"Bukan aku tidak mau, Khad. Tapi tidak sanggup membayar gajinya," ujarku memberi alasan. 

"Berapakah gaji satu asisten rumah tangga itu? Sepertinya tak sampai gaji satu bulan suamimu, Ran. Apa perlu aku yang membayarkan nya? Agar kamu bisa lebih ringan dengan pekerjaan Rumah." 

"Tak usah, Khad. Aku tak ingin merepotkanmu. Insya allah nanti aku akan cari asisten kok. Tenang saja," ucapku. 

****

Aku berjalan menuju area parkir, setelah pertemuanku dan Khadijah selesai. 

Baru saja motor ingin meluncur pergi dari coffe tersebut. Tak sengaja mataku melihat seorang pria berjalan mesra dengan wanita di sebelahnya, perlahan aku mengamati. Tampak pria itu seperti Mas Andre, lalu ... siapakah wanita yang bersamanya?

Aku mengurungkan niatku untuk ke pasar, dengan cepat ku parkirkan lagi motor honda di tempatnya. 

Kemudian berlari kecil mengikuti laki-laki yang aku sempat lihat masuk ke dalam coffe tersebut. 

Namun, betapa terkejutnya aku, ketika melihat dari kedekatan bahwa ternyata ... laki-laki itu benar-benar Mas Andre. 

Lantas siapa wanita yang bersamanya? Apa mungkin klien atau sekretarisnya? Tapi ... setahuku, sekretarisnya bukan wanita itu. Atau mungkin Mas Andre punya sekretaris baru? 

 Kalau ternyata itu kliennya. Mengapa mereka terlihat akrab sekali. Seperti sudah lama kenal, aku masih terus memantau mereka. Mencoba menutupi wajah dengan masker supaya tak terlihat. Ingin sekali aku mendengar apa yang mereka bicarakan. 

Tampak Mas Andre begitu mesra dengan wanita tersebut. Apa jangan-jangan … ah, tidak-tidak. Aku harus berpikiran positife terhadap suamiku sendiri. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status