Profesor Gani baru saja memasuki halaman rumahnya, melewati pria tua yang diberinya jabatan sebagai pengurus taman yang membungkuk-bungkukkan badannya di samping pagar dan memarkirkan mobil dengan wajah sumringah. Ia telah melewati satu lagi hari yang menyenangkan, damai tanpa gangguan yang diciptakan oleh anak yang sudah beberapa hari tak dilihatnya, baik di kampus ataupun di rumah.Tapi Profesor Gani sama sekali tak mengkhawatirkan hal itu. Tak terlihatnya Neta di manapun hanya berarti satu hal: Neta sedang menghindarinya. Dan orang yang tidak ingin melihat apalagi berbicara kepadanya bukan masalah bagi Profesor Gani. Sepanjang Neta tidak memproduksi masalah yang bisa merongrong reputasinya, Profesor Gani tak akan peduli keberadaannya.Ia kemudian memasuki pintu utama rumahnya, melewati ruang tamu yang tampak mewah dengan sofa hitam putih seharga belasan juta, melewati ruang keluarga tempat istrinya, wanita memukau itu, sedang asyik membaca majalah ditemani oleh televi
"Ibu tinggal dulu ya, mau ganti baju sekaligus siapkan makanan. Nak Neta istirahat saja, kan capek sudah menyetir. Ibu sama Bapak juga mau ucapkan terima kasih karena sudah diantar pulang.”Tidak sanggup mengatakan apapun, Neta hanya bisa mengangguk. Setelah menangis sampai nyaris lupa diri di makam Lavi, tepatnya di pelukan orang tua Lavi yang menganggap Neta histeris karena begitu kehilangan, Neta tidak mampu menolak ketika mereka mengajak, lebih tepat dikatakan memaksa Neta berkunjung ke rumah mereka. Karena tidak bisa berbohong tentang tanggal pasti akan datang, padahal sudah bertekad tidak akan muncul lagi, Neta akhirnya menawarkan diri untuk mengantar orang tua Lavi pulang sekalian mampir. Tawaran yang diterima mereka dengan senang hati.“Kalau Nak Neta mau tidur, bisa gunakan kamarnya Lavi karena lagi kosong.”Kepala ibu Lavi tiba-tiba terlihat di di sekat antara ruang tamu dan ruang keluarga, membuat Neta sempat terlonjak karena kaget. Ia pun mengangguk lagi
Terjerembab ke lantai dengan perut lebih dulu karena dorongan mendadak yang tak pernah diduga sebelumnya, AKBP Neco baru akan bangkit guna mencerna keadaan dan mencari tahu apa yang menimpanya ketika serangan lain datang tanpa sopan santun: sesosok tubuh menindih punggungnya menggunakan satu lutut dan sebuah mulut menggigit lengan kirinya yang tertarik menyakitkan ke belakang dengan niat yang tidak ditutup-tutupi untuk mengoyaknya. Ia tidak tahu siapa yang telah lancang memperlakukannya seperti ini atau alasan sinting apa yang mendasari pelakunya, tapi ia harus secepatnya melepaskan diri sebelum kulit lengannya putus dan menampakkan dagingnya yang berlemak.Sakil yang tidak kalah terkejutnya menyaksikan peristiwa mencengangkan yang dialami atasannya bereaksi cepat dengan menahan tubuh wanita yang hampir berusia setengah baya itu agar tidak melakukan hal yang lebih brutal kepada AKBP Neco, menginjak punggungnya dengan sepatu berhak tinggi dan kecil yang dikenakan wanita itu mi
“Kenalin, Ta. Ini Ana.”Tita mengernyit, tidak langsung merespons perkenalan yang dilakukan oleh Kala. Kalau Tita tidak salah dengar, kemarin mereka sepakat untuk bertemu dengan Neta untuk mewawancarainya sekaligus mencari tahu bukti yang dapat membebaskan Fatih, kenapa sekarang Kala malah mengenalkannya dengan wanita bernama Ana ini? Di mana Neta? Namun, melihat Kala menunggu tanggapannya, begitu juga dengan wanita berkacamata yang baru dikenalkan sebagai Ana itu, Tita memilih menyimpan pertanyaannya untuk nanti.“Gue Tita, reporter media online Suara Ryha. Gue juga alumni sini loh.”Raut terkejut sempat tercetak di wajah Ana, entah karena Tita mengaku sebagai reporter atau karena Tita bilang ia alumni Universitas Ryha. Tapi ia tetap menyambut uluran tangan Tita dan menjabatnya.“Gue Ana.”Tita mengangguk kemudian menatap Kala.“Kayaknya lebih baik kita makan dulu deh, supaya lebih enak ngobrolnya nanti. Ka, tolong pesenin dua mangkok lagi ya buat lo
Ibad memanjang-manjangkan leher sambil melirik ke ruangan Tim II yang terletak persis di depan ruangan Tim I tempatnya bersemayam. Melalui kaca yang terpasang vertikal di kedua pintu ruangan yang terbuat dari kayu, Ibad bisa mengamati situasi di dalam ruangan incarannya dari kursinya tanpa harus berdiri mencurigakan di pintu. Untung saja posisi lemari tempat penyimpanan barang bukti yang terletak persis di belakang meja milik Sakil bisa kelihatan jelas dari lokasi Ibad memantau, sehingga ia bisa memastikan bahwa si pemilik meja tidak berada di sana. Namun, meskipun Sakil tidak ada, Ibad tetap harus mewaspadai kemungkinan anggota tim Sakil, Wira yang terobsesi dengan Inspektur Kansuke Yamato dari Kepolisian Nagano di komik Detective Conan sehingga setia dengan kunciran rambut panjangnya. Walaupun kepintarannya, seperti yang dilihat Ibad selama ini, jauh di bawah tokoh rekaan Aoyama Gosho itu. Beruntung Wira tidak secara mendetail meniru karakter favoritnya yang memiliki tanda luka
“Kakak yakin di sini alamatnya?”Kila mendecih, ingin rasanya menjambak rambut adiknya. Bagaimana tidak, Kala sudah mengajukan pertanyaan yang sama sebanyak sembilan kali dalam tiga puluh menit terakhir ini. Jika bukan karena pengawasan yang sedang mereka lakukan, Kila akan riang gembira menjambak rambut Kala sampai ia berteriak. Kalau perlu sampai rambut Kala rontok kalau ia bertanya sekali lagi.“Yakin nih, Kak, alamatnya di sini?”Mengerang dalam hati, Kila akhirnya benar-benar menjambak rambut Kala meskipun tidak sampai rontok. Seperti yang sudah diperkirakan, Kala berteriak dan menggeliat, membuat mobil yang memuat mereka berdua bergerak-gerak. Untung saja saat itu sedang tengah hari sehingga jalanan perumahan tempat mobil mereka terparkir sedang lengang. Jika tidak, bisa-bisa mereka digerebek warga komplek karena dituduh berbuat yang tidak-tidak dan pengamatan yang mereka lakukan pun sia-sia.“Kalo lo nggak percaya sama gue, kenapa bukan lo sendiri yang t
Neta berbaring telentang di kasurnya sambil memelototi langit-langit kamarnya, merenungi perbuatannya dan dampak yang ditimbulkannya, terutama rasa bersalah yang semakin menebal dari hari ke hari. Lagi-lagi ia memilih tidak masuk kampus. Tapi, buat apa? Hanya untuk jadi objek lelucon Ana? Lagipula, ayahnya juga tidak akan peduli Neta masuk kuliah atau tidak. Selama Neta diam dan tidak memproduksi masalah, ayahnya tidak akan memedulikan apapun yang ia lakukan. Jadi, lebih baik ia mendekam di rumah, menghabiskan sebanyak mungkin waktu dengan ibunya, wanita memukau itu, sebelum ia berniat melakukan apapun itu, mengaku ke polisi atau bahkan bunuh diri misalnya.Bosan berbaring, Neta bangkit dan berjalan menuju jendela kamarnya, bermaksud melihat pemandangan yang lumayan asri di sekitar rumahnya berkat taman yang dirancang oleh ibunya dan dieksekusi secara apik oleh Mang Karta, pengurus kebun keluarganya.Menikmati kesegaran yang ditawarkan taman di sekeliling rumahnya, Neta
“Ini Fatih teman Kak Lavi, Bu? Yang sering main ke sini?”Pertanyaan Zevo –adik Lavi yang masih berusia 16 tahun begitu pulang sekolah- membuat ibunya membatu, kehilangan kemampuan merangkai kata. Pandangannya kabur akibat ulah air mata yang menggenang, sehingga tulisan di layar ponsel berupa berita tentang penangkapan pembunuh putranya, yang lambat ia ketahui, seperti berlari dalam penglihatannya.Ibu Lavi memang tidak mengikuti perkembangan apapun soal kasus Lavi. Bukannya tak peduli, ia hanya berpikir bahwa itu perbuatan orang lain yang sama sekali tidak ia kenal, yang mengundang malaikat maut hanya untuk bersenang-senang. Lavi cuma berada di tempat dan waktu yang benar-benar salah, sehingga ia yang kebetulan menjadi korban. Pemikiran seperti itu juga membuat Ibu Lavi tidak memendam dendam kepada siapapun. Ia tidak pernah menduga akan ada yang tidak suka atau bahkan dendam terhadap Lavi sampai ingin membunuhnya, terlebih itu Fatih, teman dekat Lavi yang paling sering