Share

Bagian 3

Kedatangan atasan baru yang super baik nih. Semoga selalu baik ya. Bukan karena ada maksud tertentu.

Selamat membaca.

“Ini alamat rumahmu mana Yang, kamu belum kasih tau dari tadi.” Pak Rendra  bertanya tapi tatapannya masih lurus.

Apa tadi dia panggil aku Yang, wahh bisa baper ini. Tapi ya memang namaku kan Mayang. Hahaha gak boleh baper.

“Ohh Jalan Parangtritis pak, daerah ISI. Nanti saya arahin aja Pak.”

Pak Rendra  hanya menggut-manggut.

Laki-laki yang saat ini di sampingku ini fokus lurus tanpa banyak bicara. Suasana di dalam mobil Kembali hening setelah dia memuji kalau suaraku bagus. Saat mobil sudah memasuki jalan Parangtritis aku sadar kalau sabunku habis, jadi lebih baik aku minta tolong Pak Rendra  untuk berhenti di Meimart yang terletak di jalan Parangtritis.

“Pak, di Meimart depan nanti berhenti saja ya, saya turun disitu saja ada keperluan yang akan saya beli.” Pak Rendra  menoleh heran.

“Rumah kamu daerah situ?” menjawab pertanyaanku tanpa menoleh ke wajahku.

“Bukan Pak, saya mau beli perlengkapan mandi, nanti dari situ saya  bisa pesan ojol pak. Tidak jauh ko. Lagian ini bentar lagi azan maghrib nanti bapak ditunggu keluarga di rumah.” Aku bukan mengusir Pak Rendra , tapi tidak enak saja jika dia harus menunggu aku belanja kemudian mengantar pulang. Aku hanya karyawan biasa. Gak etis rasanya.

“Saya tungguin gak papa ko. Kamu tenang aja rumah saya kan juga di daerah sini juga.”

Aku membelakkan mata “Hah? Yang bener Pak? Bukannya rumah Pak Hilmawan di Jalan Kaliurang ya?” Karena setau saya memang rumah Pak Hilmawan di daerah Jalan Kaliurang.

“Itu rumah Ayah saya, kalau rumah saya di daerah Jalan Paris juga.” Pak Rendra  menjelaskan. Aku mencerna baik-baik kalimatnya. Bearti rumah keluarga Pak Rendra , jadi beliau sudah nikah. Waduh tambah gak enak sama istrinya batinku.

“Oh rumah keluarga Bapak bearti ya?” Aku berusaha menyakinkan. “Gak enak saya sama istrinya bapak.”

Pak Rendra  menepikan mobil tepat di depan Meimart “Saya belum menikah Yang. Jadi kamu tidak perlu sungkan dengan saya. Sudah sampai sana turun saya tunggu.” Perintah Pak Rendra .

Saya merasa sungkan dan tidak enak kalau Pak Rendra  nunggu terlalu lama. Saya segera masuk dan buru-buru mengambil perlengkapan yang aku butuhkan. Untuk saja antrian kasir tidak Panjang jadi aku bisa segera selesai dalam waktu sepuluh menit. Saat aku masuk mobil, Pak Rendra  sedang menelpon seseorang.

“Baik nanti saya hubungi lagi.” Suara Pak Rendra  mengakhiri telepon dan menutupnya.  “Sudah selesai? Ko cepet sekali, baru mau aku susul ke dalam.” Suara Pak Rendra  mengagetkanku karena aku baru fokus membalas pesan dari Gadis.

“Iya Pak, gak enak kalau bapak nunggu terlalu lama. Ohh iya, tadi saya juga membelikan bapak camilan, saya kurang tau bapak suka atau tidak kalau tidak suka jangan dibuang ya pak. Kasihkan ke orang saja.”

“Loh, kamu malah repot-repot.”

“Tidak Pak, bapak yang malah repot-repot nganterin saya pulang ditambah nungguin saya belanja.”

Pak Rendra  tidak menjawab tapi malah balik bertanya “Ini arahnya kemana Yang?”.

Ohh iya aku hampir lupa belum memberikan alamat rumah.

“Perum Sewon Indah nomor tiga puluh Pak.”

“Loh, kamu tinggal di situ?”

“Iya Pak.” Saat aku ingin menjawab pertanyaan Pak Rendra  tiba-tiba ada telepon dari Mama. “Pak, saya boleh angkat telepon?”

“Silakan.”Pak Rendra  mempersilakan.

“Assalamualaikum Ma.”

Kamu kapan pulang ke Solo, sudah satu bulan tidak pulang. Tidak lupa kalau masih punya orang tua kan?” Mama bertanya dengan nada marah.

Aku tau kalau Mama memang merindukan anak gadisnya ini, karena hanya aku yang belum menikah sedangkan Mas Angga sudah menikah dan tinggal dengan istrinya, walau rumahnya tidak jauh dari rumah Mama.

“Iya Ma, Mama ko ngomong gitu. Nanti kalau hari Jumat kerjaan Mayang gak numpuk. Mayang pulang.”

“Nduk, kamu sudah tau kalau  Rifki mau nikah? Kamu gak papa kan nduk?”

“Mama apa-apaan sih, Mayang gak papa Ma, Mayang dapat undangannya ko. Calonnya juga orang Jogja kan. Besok Mayang minta temenin Danu saja lah Ma, Mama jangan khawatirin Mayang.”

“Yau dah kalau gitu, kalau tidak sibuk sempatkan pulang. Papa Mama kangen kamu.”

“Iya Ma, Waalaikumsalam.”

“Ohh. Sudah sampai ya Pak, maaf ya Pak, bapak nunggu saya telepon lama. Kalau begitu terima kasih pak atas tumpangannya.

Pak Rendra hanya mengangguk dan ikutan turun, aku hanya membatin saja.

“Mayang, ternyata kita tetanggaan, rumah saya tuh di depan rumahmu. Saya nitip mobil sebentar di sini ya. Gak papa kan?”

Aku kaget Ketika Pak Rendra mengatakan kalau rumahnya depan rumahku. Setauku rumah depan kosong lama, tapi beberapa hari ini dibersihkan saya kira ada yang mau mengontrak.

“Wahh, kenapa bisa kebetulan seperti ini ya Pak? Bapak sudah berapa lama tinggal di situ? Setau saya lama kosong?”

“Baru dua hari yang lalu, saat Papa meminta saya untuk membantunya di kantor, dan rumah ini memang rumah saya tapi dulu saya kontrakkan, karena jarak rumah Papa sampai kantor jauh, maka saya memutuskan untuk pindah disini. Ternyata malah dekat dengan kamu.”

“Duh, malah ngobrol di luar, bapak mau mampir dulu? Kan gak ada salahnya sebagai tetangga baru bapak mampir dulu sekedar minum teh atau kopi. Ehh Bapak suka kopi kan?” Aku tanya hati-hati, tidak enak kalau menyinggung perasaan Pak Rendra.

“Wah tawaran yang bagus, tapi saya mandi dan sholat maghrib dulu ya. Nanti setelah sholat isyak boleh lah saya main, sambil ngopi seperti yang kamu katakana tadi.”

“Boleh Pak, kalau bapak tidak keberatan saja, saya mah dengan senang hati kalau bapak mau main.” Aku senyum-senyum. Gila ini pak bos, manis juga kelakuannya tapi dari tadi aku belum melihat pak bos tersenyum. Mukanya datar. “Kalau begitu saya permisi masuk dulu ya pak.” Aku mengangguk pelan.

Kami terpisah oleh pintu rumah masing-masing. Jantungku langsung berdegup kencang. Tolong ya jantung main aman, jangan langsung bekerja seperti ini, aku belum siap kalau harus patah hati lagi batinku.

Aku merasa janggal saja, ada sesuatu yang aneh, kenapa tiba-tiba Pak Rendra bisa jadi tetangga, tapi memang rumah di depan itu sudah kosong hampir tiga bulan ini yang dulu tinggal pindah kontrakan. Tapi selama lima tahun aku tinggal di sini, tidak pernah sekalipun aku melihat Pak Rendra apalagi melihat Pak Hilmawan, seharusnya kan pernah datang. Kemudian tiba-tiba saja Pak Rendra menawarkan tumpangan pulang, padahal beliau belum tau di mana rumah saya, siapa tau tidak searah juga. Ada sesuatu yang tidak beres ini. Tapi aku harus bisa berpikir logis kalau semua itu hanya kebetulan. Biarkan semua ini mengalir.

Lebih baik sekarang aku mandi dan berendam, lebih merilekskan pikiran. Daripada aku memikirkan yang tidak-tidak.

Yogyakarta, 30 Juli 2021

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status