Share

2. Aku Wanita Simpanan

( PoV Asmara )

"Nak Mara." Aku yang sedang fokus menatap anak-anak panti asuhan yang sedang begitu asyik menyantap puding jelly yang aku bawa, segera menoleh ke arah sumber suara.

"Iya Bu?" Aku tersenyum ke arah seseorang yang sedang berdiri di belakangku. Ibu Panti. Entah sudah berapa lama beliau berdiri di sana. Aku tak memperhatikannya.

"Pak Aksara ndak ikut?" Tanya beliau. Pertanyaan yang sebenarnya biasa saja bagi pasangan yang normal. Namun bagiku, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang membuatku sedikit merasa canggung kepada Beliau. Ku tatap Bu Panti sekejap. Sebelum akhirnya aku tersenyum kembali kepada beliau.

"Ada Buk, tuh, Aksara lagi nunggu di mobil. Dia lelah katanya Buk, jadi mau di mobil aja. Apa perlu aku panggil?" Ku tunjuk mobil sport berwarna hitam yang sedang terparkir di depan panti asuhan. Mobil itu memang sengaja aku pasang kaca yang gelap dan tak bisa di lihat siapapun dari luar. Biar tak ada yang tahu, aku sedang bersama dengan siapa. Yah, aku memang harus merahasiakannya.

"Nggak usah Nak. Biarin aja. Kasihan, Pak Aksa pasti lelah karena harus sering keluar kota kan? Ibu juga bukan mau bicara dengan Pak Aksa. Ibu ingin bicara sama kamu. Sebagai orang tua, Ibu cuma mau bilang, masih belum terlambat Nak. Kamu masih bisa memperbaikinya. Sebelum segalanya berantakan." Aku menatap beliau dengan perasaan tak karuan. Aku tahu kemana arah pembicaraan beliau. Aku tahu apa yang saat ini sedang beliau rasakan. Aku tahu apa yang selalu beliau pikirkan setiap kali melihatku datang bersama dengan Aksara. Bukan berarti beliau tak menyukai Aksara. Jelas saja beliau menyukainya karena Aksara adalah anak pemilik dari yayasan panti asuhan yang saat ini sedang beliau kelola. Jadi tak ada alasan untuk beliau tak menyukai Aksara yang notabene adalah bosnya. Namun, beliau juga seorang wanita. Beliau seorang Ibu untukku. Aku maklum. Sudah sewajarnya jika beliau juga turut mengkhawatirkanku.

Aku menarik napas panjang. Kemudian menghembuskannya secara perlahan-lahan. Mencoba menguasai diriku yang sudah mulai tak nyaman dengan topik apa yang selanjutnya akan aku dan Ibu Panti bicarakan. Pembicaraan ini pasti akan sangat tak mengenakkan.

"Aku nggak bisa mengendalikan hatiku Bu. Ibu pernah jatuh cinta kan? Ibu tahu bagaimana rasanya kan? Aku harap Ibu mengerti." Ku lihat mata beliau yang berkaca-kaca. Akupun sama. Seketika ingin sekali menangis dan memeluk beliau. Beliau sudah aku anggap seperti Ibuku sendiri. Beliau yang sudah merawat dan membesarkanku ketika kedua orang tuaku memilih untuk meletakkanku di bawah jembatan yang dingin dan gelap pada malam mereka membuangku seperti sampah. Beliau yang begitu tulus menyayangiku di saat orang tuaku tak mengharapkan kehadiranku di dunia ini. Ya! Beliau Ibuku.

"Jangan salahkan hati. Gunakan akal sehatmu Nak. Cukup tahu diri, kita itu siapa. Kita bukan siapa-siapa jika di bandingkan dengan mereka. Apalagi Bu Amanda. Kamu tahu sendiri kan?" Bu Panti bicara dengan begitu lembut. Begitu berhati-hati. Beliau tampak tak ingin menyakitiku dengan berkata kasar kepadaku. Beliau menasehatiku dengan penuh kasih sayang. Ya. Beliau memang seperti seorang malaikat. Malaikat tak bersayap yang memberikanku kehidupan.

Namun bukankah menasehati seseorang yang sedang jatuh cinta itu seperti berbisik di telinga seseorang yang tuli? Percuma saja. Mereka tak akan mendengarnya. Apapun dan siapapun itu tak penting bagi mereka. Cinta merekalah yang nomor satu. Bahkan jika cinta itu berwujud seperti sebuah arca, aku yakin banyak yang akan menyembahnya dengan beragam ritual pemujaan.

Ah. Aku merasa aku sudah menyakiti hati wanita paruh baya ini. Aku merasa telah membuatnya bersedih. Melihatnya yang meneteskan air mata, hatiku begitu sedih. Hatiku terluka. Dan aku sangat yakin, Ibu Panti pasti lebih terluka melihatku yang seakan tak menghiraukan nasehatnya. Sekali lagi ku tarik napas panjang. Hanya sekedar memberi ruang di dadaku yang sudah mulai sesak. Mencoba memberikan oksigen pada otakku yang sudah mulai merasa bodoh karena cinta.

"Aksara tak pernah mencintai Amanda, Bu. Aku sudah bilang sama Ibu kan? Ibu juga tahu kalau mereka menikah hanya karena bagian dari bisnis kedua orang tua mereka." Bukan hanya sekali aku berkata seperti ini. Berharap beliau setidaknya memaklumi apa yang saat ini sedang aku dan Aksara rasakan. Berharap beliau memaklumi kalau kami sedang jatuh cinta. Berharap beliau mendoakanku bahagia bersama dengan Aksara.

"Aku yakin kalau kamu tahu betul bagaimana kekuatan keluarga mereka berdua Nak." Beliau menunduk sambil menyeka air mata yang sedari tadi menetes sambil sesekali menarik panjang napasnya.

"Aku tahu dan aku sudah siap dengan segala resikonya Bu. Apapun itu." Itulah yang keluar dari mulutku. Sebuah kalimat ketidakpatuhan dari seorang anak yatim piatu kepada seorang wanita yang merawatnya dari kecil. Sebuah kalimat pembangkangan dari seorang anak kepada seorang ibu yang sudah menyayangi dan mengajarinya banyak hal. Ah. Aku rasa aku memang sudah gila akan cinta dari Aksara. Hingga aku mampu mengabaikan apa yang Ibu Panti katakan.

"Setidaknya Ibu sudah memperingatkanmu Nak. Bagaimanapun juga kamu anak Ibu. Jadi sudah menjadi kewajiban Ibu untuk menasehatimu. Namun jika kamu tak mengindahkan nasehat Ibu, Ibu hanya mampu berdoa, semoga Tuhan senantiasa menjagamu. Ingat! Bu Manda pasti tak akan diam saja jika sampai beliau mengetahui hal itu nak. Jadi berhati-hatilah." Kata beliau akhirnya sebelum pergi meninggalkanku dan bergabung bersama dengan anak-anak yang lain, yang sedang asyik memakan puding jelly.

Aku menarik napas panjang untuk yang ke sekian kalinya. Aku memang terkadang takut. Aku memang selalu memikirkannya di setiap aku bersama dengan Aksara. Aku tahu. Aku tahu jika Amanda bisa saja menghancurkanku dan meniupku bagaikan debu jalanan, ketika dia mengetahui tentang hubunganku dan juga Aksara. Aku tahu jika karir sebagai artis yang selama ini aku rintis dari nol, akan dengan mudahnya dia jatuhkan begitu saja. Bahkan Aksara, suaminya sendiri, kemungkinan besar akan ikut kena imbasnya. Aksara dan keluarganya pasti juga akan di buatnya berantakan jika berani macam-macam dengannya.

Namun apa yang bisa aku lakukan? Aku mencintai lelaki berusia delapan belas tahun lebih tua dariku itu ketika pertama kali aku melihatnya. Di usiaku yang saat itu masih dua belas tahun. Aku masih belum lupa. Di tempat ini, dengan tersenyum manis, dia memberikanku puding jelly strawberry dan menyuapiku dengan tangannya. Dan berkata jika aku adalah gadis kecil paling cantik yang pernah dia temui. Dia berkata kalau dia sangat menyukaiku. Dia menganggapku istimewa. Saat itulah, di sepanjang malam, semua mimpiku hanya berkisah tentang dia. Tentangnya. Aksara Bagaskara.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status