Share

3. Wanita Sepertiku

( PoV Asmara )

"Dingin banget. Ayo masuk." Aksara mengecup keningku sebelum akhirnya dia bangkit dan masuk ke dalam rumah. Malam ini hujan memang sangat deras. Seperti air yang di tumpahkan begitu saja dari atas langit dengan menggunakan selang raksasa. Hingga ketika mata ini melihat ke arah luar, kita tak bisa melihat apa-apa karena hujan yang memang sangat deras ini.

Ku tatap Aksara yang berjalan masuk ke dalam rumah dengan menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Dingin sekali memang. Aku yang memakai jaket tebal saja, hampir tak tahan di buatnya. Apalagi Aksara yang hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Dia pasti begitu kedinginan hingga memutuskan untuk masuk ke dalam rumah setelah menemaniku sekitar lima belas menit di teras rumah.

"Ayo cepetan. Nanti kamu sakit." Suaranya yang terdengar begitu indah di telingaku, kembali bergema dari dalam ruang tamuku yang besar. Aku tersenyum. Dia memang begitu memperhatikan kesehatanku.

Akhir-akhir ini kondisi tubuhku memang begitu lemah. Mungkin kelelahan karena harus menjalani syuting di daerah hutan dan pegunungan beberapa waktu yang lalu. Aku memang mudah sekali sakit. Untung saja ada Aksara bersamaku. Dia menjadi produser di dalam film baruku yang baru saja selesai proses syutingnya. Jadi, kemana-mana, aku selalu bersamanya. Di temani seseorang yang sangat kita cintai saat bekerja memang sangat menyenangkan, itulah mengapa aku mungkin sampai tak memperhatikan kesehatanku di saat kami sedang syuting di tempat dan udara yang ekstrim.

"Iya. Aku check pintu gerbang dulu." Dengan enggan, akhirnya aku bangkit. Padahal sebenarnya aku masih ingin berlama-lama jatuh bersama air hujan yang masih setia dengan Sang Pencipta. Menurut saja apa kata-Nya. Tak pernah mengeluh meski berkali-kali jatuh dari langit yang gagah perkasa. Ah, mengapa aku tiba-tiba menjadi puitis seperti ini? Apakah karena di malam yang dingin ini, ada kekasihku yang sedang bersamaku dan berniat untuk menghabiskan malam ini bersama? Kekasih yang biasanya selalu sibuk karena pekerjaannya. Kekasih yang bisa ku temui di saat aku ada pekerjaan yang sama dengannya. Jika tidak, bahkan ingin menatapnya saja, akan sangat sulit.

Aku mengambil payung. Berjalan ke arah pintu gerbang. Sekilas ku lirik Pak Sabar, penjaga rumahku, yang sudah tertidur lelap di pos jaga. Rasa lelah yang sangat dan juga udara di kala hujan yang begitu dingin, membuat beliau tampaknya sedang terlarut dalam mimpi indahnya. Apalagi di usianya yang sudah menginjak kepala lima, akan membuatnya sedikit lebih rentan jika di bandingkan dengan remaja sepertiku.

Dan aku lega. Pak Sabar sudah mengunci pintu gerbangnya. Aku memang seperti ini. Meskipun Pak Sabar bukan orang yang sembrono, namun rasanya tak tenang jika aku tak mengeceknya sendiri. Bukannya aku tak percaya dengan beliau, namun aku hanya berjaga-jaga saja, siapa tahu Pak Sabar lupa. Yah, yang namanya manusia itu kan tempatnya khilaf dan lupa.

Tak tahan dengan hawa dingin yang semakin memelintir tulang belulangku, aku ingin sekali cepat-cepat masuk ke dalam rumah, sebelum akhirnya aku melihat ada seorang wanita yang berdiri tepat di seberang jalan di depan rumahku. Menatap ke arahku.

Ku lihat wanita yang mengenakan setelan blouse berwarna merah muda dengan celana kulot panjang berwarna hitam. Cukup jelas terlihat wajahnya yang begitu cantik terkena sinar lampu taman, tempat beliau berteduh dari amukan hujan malam ini.

Melihat beliau yang tampaknya menggigil kedinginan, aku merasa kasihan. Aku bergegas mengambil kunci pintu gerbang yang Pak Sabar simpan di dalam pos satpam, dan membuka pintu gerbangnya segera. Berniat untuk mengajak wanita itu berteduh ke dalam rumahku sampai hujannya reda.

"Ibu, dari mana?" Aku menyapanya ketika aku sudah berada di dekat beliau. Mungkin aku lebih tepat memanggilnya Kakak daripada Ibu. Karena ternyata beliau masih begitu muda. Hanya dandanannya dan cara berpakaiannya saja yang sudah membuatnya terlihat lebih dewasa dari usianya.

"Dari ngajar les di sekitar sini Nak. Terus terjebak hujan." Di sekanya wajah ayunya yang basah terkena cipratan air hujan. Aku menatapnya. Aku benar-benar terkesima. Kenapa aku seperti bercermin ketika melihat wajahnya? Mirip sekali denganku. Apakah ini yang di maksud dengan peribahasa bagai pinang di belah dua? Apakah cerita orang-orang tentang kita yang punya kembaran tujuh di dunia ini benar? Yah, mungkin saja itu bukan hanya cerita yang di buat-buat. Karena aku menyaksikannya sendiri saat ini. Ada satu orang yang benar-benar mirip denganku. Mungkin aku harus mencari yang lima orang lagi. Agar kami bisa membuat w******p grup bersama.

Ah, cantik sekali kembaranku ini. Pantas saja jika aku menjadi idola di sekolah. Aku yang melihat seseorang yang mirip denganku saja sampai terpesona seperti ini. Bukannya aku ingin menyombongkan diri ya, tapi jujur, setiap orang yang bertemu denganku, mereka menyebutku dengan sebutan bidadari. Dan Ibu yang ada di hadapanku saat ini, aku rasa, tak ada bedanya denganku. Seperti bidadari.

"Ibu naik apa? Sudah pesan kendaraan belum? Ibu mau masuk rumah saya dulu? Minum teh dulu? Nanti biar di antar pulang sama sopir saya." Ku tawarkan bantuanku. Aku benar-benar iba melihat beliau basah kuyup kedinginan. Dan tampaknya beliau sudah lama berada di tempat itu. Karena ku lihat, ujung bibirnya sudah mulai membiru.

"Ndak usah Nak. Ibu udah ada yang jemput kok. Nah itu dia. Itu jemputan Ibu datang." Beliau menunjuk ke arah mobil hitam yang baru saja berhenti di hadapan kami. Aku menatap mobil itu, seperti tak asing. Mobil siapa ya? Ku tajamkan pandanganku, mencoba menembus kaca mobil yang berwarna hitam. Sayangnya, aku tak bisa melihat siapa yang mengemudikan mobil itu di tengah gelapnya malam dan hujan deras.

"Oh, iya Bu. Itu suami Ibu ya?" Aku benar-benar pernah melihat mobil itu sebelumnya. Siapa tahu aku mengenalnya. Dan rasanya penasaran saja ingin tahu siapa yang menjemput Ibu cantik ini.

"Hehe. Ibu pergi dulu ya Nak." Beliau menepuk pundakku dengan senyuman kecil yang tak ku tahu maknanya, sebelum akhirnya berlari dan masuk ke dalam mobil yang menjemputnya. Beliau juga tak menjawab pertanyaanku yang ingin tahu tentang hubungan beliau dengan seseorang yang menjemputnya itu. Ah, mungkin saja beliau malu karena kami baru saja kenal. Atau bahkan mungkin kami sama sekali belum saling kenal, karena aku belum memperkenalkan diri, dan beliaupun juga belum menyebutkan siapa namanya.

Sesaat kemudian, kulihat mobil itu sudah berjalan pelan menembus hujan lebat yang seakan betah mendinginkan bumi ini. Aku menatapnya. Terus menatapnya. Siapa tahu penasaranku terjawab dengan berlalu perginya mobil hitam yang membawa pergi Ibu itu.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
kayaknya bakal menarik nih,btw author bakal update tiap berapa hari yah..? author ada sosmed engga?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status