Share

4. Anak Angkat

( PoV Asmara )

"Duh, kemana sih. Dari kemaren kenapa kayak menghindar sih." Aku menggerutu. Berkali-kali aku menelepon Aksara, namun sama sekali tak mendapat jawaban. Entah kenapa akhir-akhir ini aku merasa ada yang aneh darinya. Mampir ke rumah hanya sebentar, dan buru-buru jika berbicara denganku di telepon. Bahkan dia juga sering mengabaikan teleponku. Gila memang.

"Ra, di cariin tuh, sama Mama." Albert menemuiku yang sedang sibuk menghubungi Aksara sambil menyantap bakso di kantin sekolah. Ku lihat dirinya yang juga membawa dan meletakkan bakso dan teh botol serta langsung duduk di hadapanku. Seketika langsung aku masukkan ponselku ke dalam sakuku. Bukan apa-apa, aku hanya tak enak saja jika membuat Albert merasa tak nyaman lagi.

"Iya. Aku sibuk banget sih Al memang. Belum sempet jenguk Tante Astia. Nanti deh kalau udah ada waktu, aku main ke rumah ya." Ku lanjutkan memakan bakso yang ada di hadapanku. Aku memang sangat lapar, karena dari tadi pagi belum sempat sarapan. Aku bangun terlalu siang karena semalam aku tak bisa tidur. Memikirkan orang yang selalu ada bersama dengan denganku beberapa waktu terakhir ini, lalu dengan tiba-tiba menghilang, membuatku tak mampu memejamkan mata.

"Iya deh, yang udah jadi artis papan atas sekarang. Harus maklum ya aku." Albert mencibirku. Dia seolah tak senang mendengar jawabanku. Aku meliriknya. Wajahnya cemberut. Aku jadi merasa tak enak.

Aku menarik napas panjang. Meletakkan garpu dan sendok yang aku pegang, lalu menatap lekat ke arah Albert.

"Iya, aku janji Al. Nanti aku ke rumah kamu kalau udah agak senggang ya." Ku genggam tangannya yang hanya memainkan sendok dan garpu yang di pegangnya dan memutar-mutar bola-bola daging sebesar bekel di atas kuah bening yang masih panas. Seketika ku lihat mood nya berubah.

"Kalau nggak ada waktu nggak apa-apa kok Ra. Biar aku bilang sama Mama." katanya pelan. Nada suaranya yang berat, menunjukkan dia kecewa. Dia menunduk. Seakan tidak ingin menatapku.

"Aku beneran sibuk Al." Suaraku penuh penekanan. Aku harap Albert mengerti apa yang aku katakan. Karena aku memang benar-benar sibuk. Banyak sekali kontrak film yang harus aku selesaikan dalam waktu dekat ini. Apalagi, aku sering sekali sakit. Jadi banyak pekerjaan yang akhir-akhir ini tertunda.

"Mama sudah mengadopsi kamu dari panti asuhan itu sejak kamu berumur tiga belas tahun Ra. Mama juga yang sudah bikin kamu jadi kayak sekarang. Selama empat tahun kita hidup sebagai keluarga, hingga akhirnya kamu pindah rumah setelah aku bilang kalau aku sayang sama kamu lebih dari seorang saudara angkat. Oh, atau lebih tepatnya setelah kamu bertemu dan jatuh cinta dengan Aksara." Albert menatapku dengan mata merah penuh emosi. Sejurus kemudian, ku lihat mata yang marah itu berubah menjadi berkaca-kaca.

Aku mengerti. Aku sangat mengerti bagaimana perasaannya. Mungkin aku memang yang tak tahu diri. Tante Astia yang baik itu sudah memberiku kehidupan yang layak. Mengangkatku dari masa laluku yang kelam. Menyayangiku melebihi orang tuaku sendiri yang sudah membuangku. Membiarkanku tumbuh menjadi seseorang yang aku mau. Memberiku kebahagiaan yang bahkan membayangkannya pun aku tak pernah.

Namun, kini aku meninggalkannya. Bahkan sejak tiga bulan kepergianku dari rumah beliau, aku belum sempat menemuinya. Jujur, aku sedang sibuk syuting. Aku bahkan hampir tak ada waktu untuk merawat diriku sendiri. Dan aku juga tak bisa memungkiri, jika waktuku selama aku ada libur syuting, selalu aku habiskan bersama dengan Aksara. Ya. Mungkin Albert tahu akan hal itu. Dan aku bisa paham, mengapa dia marah.

"Aku ngerti kok Al. Aku nggak akan lupa itu." Mungkin aku memang sudah bersalah. Mungkin hanya lima menit saja yang Tante Astia butuhkan untuk bertemu denganku. Sayangnya, lima menitku itu selalu tersita oleh Aksara.

"Kamu ngerti gimana keadaan Mama kan Ra?" Albert masih menatapku dengan tatapan yang aku sendiri begitu paham apa itu maksudnya.

"Iya. Ya udah. Nanti pas pulang sekolah kita ke rumah kamu ya." Ku tatap wajah tampan Albert. Seseorang yang sudah selama empat tahun ini aku anggap sebagai kakakku sendiri, meski umur kita sepantaran. Aku menyayanginya. Sungguh. Sayangnya, dia mengubah perasaan sayangku menjadi perasaan yang sangat tidak enak karena berkali-kali dia menyatakan perasaannya kepadaku. Dan berkali-kali juga aku menolaknya. Menolak cintanya.

"Oke." Senyum Albert mengembang. Senyum yang selama ini selalu menjadi semangat semua gadis di SMA Sejahtera ini. Senyum yang indah. Lega. Akhirnya. Setidaknya, aku tak jadi menyakiti hatinya lagi kali ini.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status