( PoV Asmara )"Ma, Mara datang Ma!" Albert berteriak ketika kami memasuki pintu rumahnya sepulang kami dari sekolah. Rumah model american house dengan dua lantai yang begitu besar. Rumah yang selama empat tahun belakangan ini aku tempati sebagai anak angkat dari Om Anggara dan Tante Astia. Ah. Rindu juga aku dengan rumah ini. "Ma!" Albert yang tak mendapat jawaban dari Tante Astia, meletakkan tas sekolahnya di sofa ruang keluarga, kemudian menaiki tangga, mencoba mencari tahu di mana Tante Astia berada. Aku menatap Albert yang sedikit berlari, seakan tak sabar ingin mempertemukan aku kembali dengan mama angkatku itu. Aku tersenyum kecil melihatnya. Ku edarkan pandanganku ke segala penjuru ruangan. Mencoba mencari kembali kenangan yang dulu begitu banyak aku kumpulkan, hingga akhirnya aku terpaksa harus meninggalkannya. Demi cinta. Entahlah. Entah mengapa akhirnya aku harus pergi. Padahal, tak sedikitpun aku tak merasa bahagia berada di rumah ini. Sebaliknya, aku layaknya seorang t
( PoV Asmara )"Kok diem aja Al?" Aku keluar dari kamar setelah selesai mandi dan mengganti pakaianku. Ku amati Albert yang tampak hanya menunduk di sofa ruang tamuku. Di luar hujan deras. Itulah mengapa akhirnya aku meminta Albert untuk mampir ke rumah setelah mengantarkanku pulang dari rumahnya sore tadi. "Nggak apa-apa." Albert tak bergeming. Dia masih duduk dan menunduk. Menyatukan dan menggosok kedua tangannya yang tampak pucat karena kedinginan. Dia basah kuyup. Kami memang sempat kehujanan tadi di jalan. "Ayo ganti baju." Aku menarik tangannya. Aku tak tahan melihatnya menderita menahan rasa dingin yang juga begitu aku benci. Aku sudah memintanya sedari tadi untuk mengganti pakaiannya. Kebetulan ada banyak sekali pakaian Aksara di rumahku. Tak ada salahnya jika dia memakainya, sementara aku mencuci dan mengeringkan pakaiannya yang basah kuyup. "Nggak usah. Aku balik aja." Albert menghempaskan tanganku kasar. Aku kaget. Tak biasanya dia seperti ini. Ada apa dengannya? Sumpah!
( PoV Asmara )"Mbak Mara nggak kenapa-kenapa?" Dengan raut wajah yang begitu panik, Bik Yuli masuk ke dalam kamarku. Menanyakan keadaanku. "Nggak apa-apa Bik. Ada Albert yang nolongin aku." Aku tersenyum kepada Bik Yuli. Sempat ku lirik Albert yang hanya menunduk. Dia hampir saja keluar, menolak permintaanku yang menginginkannya untuk membantuku mengusir ketakutanku malam ini, sebelum akhirnya Bik Yuli masuk ke dalam kamarku. "Ah. Syukurlah. Dasar anak-anak nakal memang. Malam-malam hujan-hujan, masih aja main petasan." Bik Yuli bersungut-sungut. Beliau seakan tak terima. Jelas saja. Petasan itu masuk ke dalam pagar rumahku. Untung saja hujan deras, jadi apinya kecil dan tak menyebar kemana-mana. Kalau seandainya tak ada hujan, pasti sudah lain lagi ceritanya. Masalahnya, suaranya benar-benar bikin jantungku hampir saja terlepas. "Anak-anak? Bukannya ini kawasan elite ya Bik? Mana ada anak orang kaya yang main petasan malam-malam gini? Apalagi ini hujannya deres banget. Kayaknya ng
( PoV Asmara )"Selamat pagi anak-anak." Pak kepala sekolah masuk ke dalam kelas kami bersama dengan seorang wanita yang memakai pakaian kerja formal. Wanita itu membawa tas kerja berwarna merah marun, dan juga buku-buku besar di tangannya. Mungkin beliau adalah seorang guru. Bisa jadi beliau guru baru di kelas kami. Mungkin. "Selamat pagi Pak." Jawab kami serentak dengan begitu keras. Kompak sekali memang. "Anak-anak! Pagi ini, Bapak membawa seorang guru baru buat kalian semua. Silahkan Bu, perkenalkan diri Anda." Aku seratus persen benar. Beliau adalah guru baru kami. Entah mata pelajaran apa yang akan dibawakannya. Namun aku akui, guru baru ini begitu cantik. Aku yakin, tak butuh waktu lama untuknya menyesuaikan diri di sekolah ini. Dan aku yakin, semua orang akan dengan mudah menyukainya, karena kecantikannya."Selamat pagi anak-anak! Bagaimana kabar kalian hari ini?" Guru cantik itu menyapa kami dengan begitu lembut. Senyumnya begitu manis. Tutur katanya juga benar-benar menyena
( PoV Asmara )"Sayang, ada guru baru lho di sekolahku. Wanita. Cantik banget lagi orangnya." Aku memeluk Aksara dengan begitu erat di balkon kamarku, ruang favorit kami dulu. Mencoba menikmati setiap momen kebersamaan dengannya yang akhir-akhir ini begitu langka aku dapatkan. Bagaimana tidak, Aksara mengaku sedang sibuk sekali menjalankan bisnis keluarganya dan juga bisnis keluarga Amanda, istrinya. Mau tak mau aku harus bersabar. Entahlah, aku merasa dia berubah. Mungkin dia memang sedang sibuk. Tapi, kesibukannya kini menjadi alasannya untuk selalu menghilang dan tak datang menemuiku."Oh ya? Siapa namanya?" Aksara melipat kedua tangannya di dada. Dia tak memelukku. Dia juga tak membelai rambut hitam panjangku yang selama ini selalu dia lakukan. Dia hanya menatap lurus ke arah depan. Dia bahkan tak mau menatapku."Namanya Bu Dira. Guru kesenian. Sumpah deh, kamu jangan sampai ketemu sama Bu Dira. Kamu nggak akan kuat. Aku aja yang perempuan, ngelihat Bu Dira itu udah spechless. Ngga
( PoV Asmara )"Hai!" Aku rebahkan tubuhku di samping Albert yang sedang asyik mendengarkan musik di atas tempat tidurnya. Aku datang untuk menemui Tante Astia karena aku merasa kesepian setelah Aksara pergi begitu saja dan tak ada kabar. Setidaknya di rumah ini, aku tak merasa sendiri. Namun sepertinya Albert tak menyadari kehadiranku. Buktinya dia sama sekali tidak keluar kamar, padahal aku sudah sekitar tiga puluh menit ngobrol bersama Tante Astia di ruang keluarga. "Mara? Kapan dateng?" Albert duduk dan langsung melepas earphonenya. Dia tampak terkejut melihatku yang tiba-tiba berada di sampingnya. Ku amati ekspresi wajah Albert, dia tampak kembali seperti semula. Dia tak tampak murung seperti saat terakhir kali aku bertemu dengannya. Berarti dia sudah tak marah denganku. "Udah setengah jam aku ngobrol sama Tante Astia. Kamu ngapain sih, sampai nggak tahu aku dateng?" Aku bangkit dan duduk di samping Albert. Aku tersenyum. Bahagia rasanya melihat Albert sudah tak menekuk wajahnya
( PoV Asmara )"Wah, bagus banget Al." Seperti cerita di dalam novel-novel romantis, Albert membawaku ke tempat yang romantis, dimana aku bisa melihat bintang di atas langit dan lampu di sepanjang jalan ibu kota yang begitu indah. Penasaran di mana tempatnya? Di atas gedung Rumah Sakit milik keluarga Albert. Entah aku lupa atau aku memang tak menganggap penting untuk mengingatnya, jujur aku sudah pernah ke tempat ini. Ketika Albert menyatakan perasaannya kepadaku waktu itu. Namun sepertinya malam itu tak seindah malam ini. Benar-benar berbeda. "Kan udah pernah ke sini." Albert menata tikar dan kasur lantai yang kami bawa dari rumah. Kami memang berniat ingin berkemah di tempat ini. Kami juga membawa tenda. Namun Albert belum memasangnya. "Iya sih. Tapi dulu rasanya biasa aja." Aku berjalan ke arah Albert. Berniat membantunya memasang tenda yang kini sudah di keluarkannya dari tas bawaannya. "Bukannya dulu ke sininya sama aku dan sekarang sama aku lagi? Kok bisa beda rasanya?" "Ih,
( PoV Asmara )"Apa kabar kamu Ra? Kamu aman kan di rumah kamu? Yah, meskipun setiap hari ketemu, aku tetap tak tenang memikirkan kamu yang sendirian di rumah itu." Albert mengelus rambutku yang berbaring di sampingnya. "Emmmm. Mungkin aku bisa di bilang menyesal karena sudah meninggalkan keluarga angkatku yang begitu baik kepadaku. Tapi setidaknya aku bisa berjuang untuk hidupku sendiri. Kalau di tanya kabar, kabar aku baik Al. Dan ya, kehidupanku aman-aman saja. Tapi jujur, aku sering merasa kesepian." Aku menatap lurus ke arah langit melihat gemerlap bintang di malam ini. Aku jadi rindu dengan teman-teman di panti asuhan. Seperti inilah kegiatan kami dulu setiap malam. Menatap bulan dan bintang. Belajar memaknai kehidupan. Kata Ibu Panti, belajarlah dari langit. Langit selalu membawa banyak pelajaran. Salah satunya tentang konsekuensi dalam sebuah pilihan. Ketika kita takut akan gelap dan ingin merasakan terang di siang hari, kita harus menerima terik sinar matahari yang terkadang